Menguntungkan laki-laki
Bagaimana mungkin ilmu pengetahuan selalu menunjukkan watak menguntungkan
laki-laki? Pertanyaan krusial ini dapat terjawab bila kita mempelajari bidang kajian
epistemologi, cabang filsafat yang intensif mengungkap serta menjawab bermacam
pertanyaan tentang pengetahuan, sehingga ada yang menegaskan epistemologi tidak lain
merupakan teori tentang pengetahuan.
Dalam lingkup epistemologi inilah asal-mula, objek, implikasi nilai, serta moralitas
mengenai pengetahuan dibicarakan. Jadi, epistemologi memiliki sifat kritis yang selalu
mempertanyakan segala klaim kebenaran pengetahuan.
Dari sudut pandang epistemologi, munculnya pengetahuan adalah akibat interaksi
bersifat terbuka antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Tidak
menjadi persoalan terlalu krusial jika jalinan relasional itu terdapat dalam ilmu alam sebab
objek yang dikaji adalah gejala alam yang bersifat tetap dan mempunyai kausalitas jelas.
Intinya, ilmuwan dapat menjaga jarak serta bersikap netral karena objek yang dikaji benda
alam yang cenderung statis.
Berbeda dengan ilmu sosial dan humaniora yang objek kajiannya sosok manusia
berwatak dinamis. Dapatkah manusia dimasukkan dalam proses objektivikasi tanpa jarak
emosional? Masih relevankah memosisikan relasi subjek-objek? Mungkinkah tidak
terdapat kepentingan dalam pembentukan pengetahuan? Apakah persoalan jender dapat
dibuang begitu saja karena dianggap akan "mengotori" objektivitas ilmu?
Dari segi konteks penemuan, terbentuknya ilmu pengetahuan pasti melibatkan
lingkungan sosial, yang berarti ilmu pengetahuan (sosial dan humaniora) tidak ditemukan
dalam kevakuman sosial. Ruang dan waktu yang berarti lingkup sosiologis dan historis
pasti mempunyai kemampuan melakukan intervensi terhadap aktivitas ilmuwan dalam
membentuk konsep, cara pandang, bahkan pada pengajuan asumsi.
Beberapa hal pembentuk dasar pengetahuan adalah penggunaan pikiran dan
penalaran, logika, serta bahasa. Dalam hal ini pikiran mengajukan pertanyaan yang relevan
dengan persoalan, sedangkan penalaran merupakan proses bagaimana pikiran menarik
kesimpulan dari hal-hal yang sebelumnya diketahui. Peran logika adalah menjadi
seperangkat asas yang mengarahkan supaya berpikir menjadi benar (J Sudarminta,
Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, 2002: 38-40). Logika memang belum
tentu dapat menarik kesimpulan dengan benar. Ironisnya, logika itu sendiri dapat
tercampur berbagai mitos yang sudah dianggap tepat dalam cara bernalar masyarakat.
Contohnya, penarikan kesimpulan menggunakan silogisme kategoris yang
mengandaikan kebenaran kodrati, seperti berikut: "Semua perempuan memiliki sifat
emosional. Wati adalah perempuan. Jadi Wati pasti emosional". Berbeda halnya jika
subjek itu diganti laki-laki, maka silogisme yang muncul: "Semua laki-laki adalah rasional.
Budi adalah laki-laki. Jadi Budi pasti rasional". Bukankah logika semacam ini dianggap
realitas sosial serta kebenaran yang niscaya?
Mitos masyarakat dengan berbagai kepentingannya telah terhunjam sedemikian
dalam, sehingga terbentuklah sejenis oposisi duaan yang mempertentangkan antara laki-
laki yang rasional dan perempuan yang emosional. Dalam sudut pandang manusia modern
yang dianggap lebih unggul dan terhormat adalah mereka yang rasional. Sebaliknya, sikap
emosional dianggap buruk dan tidak bermartabat. Implikasi dalam dunia perpolitikan kita
adalah politik menuntut rasionalitas tinggi. Sedangkan yang memenuhi kriteria semacam
itu hanya lelaki.
Tata bahasa
Lebih memprihatinkan lagi adalah ketika logika berpikir itu dimasukkan dalam tata
bahasa yang juga berperan membentuk pengetahuan. Harus disadari, bahasa bukan
medium menyampaikan gagasan yang netral. Bahasa selalu saja tercelup dalam kekuatan
kepentingan yang dominan. Padahal, dalam bahasa itulah kita memahami realitas. Dengan
demikian, melalui bahasa itu pula kita berpikir, menemukan makna, dan sampai puncaknya
bahasa merupakan wilayah bagaimana cara kita berada dalam ruang sosial.
Jika menempatkan bahasa dalam ruang lingkup pengetahuan layaknya cermin
netral, pastilah akan menemukan banyak kegagalan sebab bagaimanapun bahasa tidak
lebih dari sistem representasi yang sekadar menghadirkan kembali sejumlah gejala dan
fakta sosial. Konsekuensi yang tidak terhindarkan ketika bahasa dipahami sebagai sistem
representasi adalah posisinya sebagai ajang berlangsungnya pertarungan kepentingan.
Maka muncullah formula bahwa dalam bahasa itu pun telah tergelar situs perjuangan yang
tidak pernah berhenti antara kekuatan dominan dengan kekuatan subordinat.
Secara implisit gagasan di atas pernah dikemukakan feminis Luce Irigaray. Dengan
mengadopsi cara berpikir yang dikonseptualisasikan Jacques Lacan, Irigaray menyatakan
bahasa pada prinsipnya berwatak maskulin dan patriarkal. Dalam kaitan ini, yang menjadi
pusat sebagai Sang Diri (the Self) adalah laki-laki yang menentukan semua kebenaran
pemaknaan. Selebihnya, yang diposisikan sebagai Sang Lain (the Other) adalah perempuan
yang sekadar berperan sekunder dan harus taat terhadap the Self. Irigaray menyimpulkan,
baik subjek ilmu pengetahuan maupun bahasa (orang ketiga tunggal) yang bersifat netral
pun memiliki jenis kelamin laki-laki.
Dengan demikian, perempuan dalam ilmu pengetahuan tidak bisa lain kecuali harus
mengikuti kepastian hukum kebahasaan yang cenderung merepresi dirinya sendiri. Ini
berarti perempuan yang seakan-akan sebagai subjek serba menentukan, pada dasarnya juga
telah tertindas dengan sendirinya (the subjected subject).
Jadi, bahasa menentukan kesadaran kita bukan saja pada taraf gagasan yang bersifat
abstrak, tetapi juga diperkuat rujukan dari fakta sosial yang ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari. Konklusi yang harus ditegaskan adalah bahasa sebagai dasar pembentukan
pengetahuan pun sudah mengarahkan pada pembagian kerja yang bias jender. Tragisnya
pengetahuan yang bias jender ini sudah ditanamkan dalam lembaga pendidikan semenjak
anak-anak mulai belajar membaca.