oleh
Ken Budha Kusumandaru
bagian I | bagian II
Proses ini sejajar dengan proses yang terjadi dalam sistem masyarakat manusia.
Benturan-benturan kepentingan antar kelas terjadi terus-menerus dalam skala
kecil-kecil dan tidak terdeteksi. Tiap pergerakan selalu menumpuk enerji, yang
terwujud dalam kesumpekan rakyat pekerja terhadap sistem yang menindasnya.
Tiba-tiba, satu hari, rakyat pekerja itu bangkit melancarkan satu pukulan kilat
yang menghujam langsung ke jantung sistem penindasan dalam sebuah
revolusi. Kita biasanya kemudian mencari-cari siapa yang menjadi "provokator"
gerakan itu. Itu karena kita menganggap bahwa ledakan enerji itu tidak memiliki
sejarah, tidak memiliki latar-belakang proses. Cara kita mencari "provokator" ini
juga sejajar dengan cara kita memulangkan kejadian-kejadian alam yang luar
biasa itu kepada "kekuasaan Tuhan". Kita tidak memandang revolusi dalam alam
dan masyarakat manusia ini sebagai sebuah akibat wajar dari dialektika, dari
kontradiksi, dari sebuah proses internal sistem itu sendiri. Melainkan kita
mencari-cari penyebab eksternal, pihak ketiga yang bisa dijadikan kambing
hitam.
Tentu saja dalam proses sosial, picu ledakan (baik besar maupun kecil) selalu
dimulai dari beberapa gelintir individu. Sama seperti proses gempa yang terjadi
akibat gesekan satu atau dua titik saja dari garis batas lempeng benua yang
panjangnya ribuan kilometer itu. Tapi gerakan individual itu adalah puncak-
puncak dari gerakan sistem secara keseluruhan. Dan sebaliknya, gerakan
individu itu pasti juga memiliki efek yang akan menjalar ke seluruh bagian
sistem, seperti gelombang tsunami yang menyusul sebuah gearan gempa.
Baik dalam melihat peristiwa alam maupun peristiwa sosial, kita perlu
memahami hukum-hukum yang mengendalikan proses internalnya. Jika kita
memahami mengapa dan bagaimana sebuah peristiwa berlangsung, kita akan
dapat mengantisipasi peristiwa bersangkutan. Bahkan kita akan dapat
melakukan intervensi terhadap peristiwa tersebut jika teknologi kita
mengijinkan. Contohnya, kita sudah dapat melakukan intervensi terhadap proses
ledakan sebuah gunung berapi. Tingkat teknologi yang dikuasai manusia telah
mengijinkan kita untuk melakukan pemboran terhadap saluran magma yang
akan meledak dan menyalurkan tumpukan enerji yang tersimpan dalam saluran
magma itu agar tidak sampai ke titik kritis di mana ledakan tidak terhindarkan
lagi. Dalam kasus sistem sosial manusia, kelas berkuasa yang memahami
bagaimana masyarakat kapitalis ini bergerak selalu dapat menemukan cara
untuk mengintervensi proses yang terjadi di tengah kelas pekerja agar
tumpukan enerji yang terbangun oleh proses penindasan tidak sampai pada titik
di mana revolusi tidak terhindarkan lagi. Mereka dapat melakukan sogokan yang
tepat pada orang yang tepat, yakni pada para pimpinan serikat buruh. Mereka
dapat menyimpangkan jalannya enerji itu ke arah yang tidak berbahaya dengan
teori-teori yang nampaknya masuk akal tapi keliru sama sekali, dll. Dengan
memahami bagaimana alam bekerja, kita dapat mengendalikan proses alam
untuk kepentingan kita; dengan memahami bagaimana masyarakat manusia
bekerja, kita dapat memahami bagaimana mengendalikan proses itu untuk
kepentingan rakyat tertindas.
Satu hal yang harus kita sadari, pahami dan camkan adalah bahwa ini bukan
hasil kemarahan alam, apalagi hukuman Tuhan. Alam bergerak menurut hukum-
hukumnya. Alam bergerak memang tanpa mempedulikan apakah itu merugikan
atau menguntungkan bagi Manusia. Manusia adalah bagian dari alam, ia harus
tunduk pada hukum-hukum alam itu. Satu-satunya yang dapat dilakukan
Manusia adalah ia harus mengantisipasi apa yang terjadi di alam dan bekerja
sama untuk menghindarkan sedapat mungkin akibat-akibat yang merugikan bagi
masyarakat Manusia itu.
Dalam kasus tanggapan Negara terhadap proses alam ini, kita dapat melihat
bagaimana Negara ini menetapkan keberpihakannya.
Seperti dapat kita lihat dalam gambar 2, lokasi-lokasi yang tertimpa bencana
gempa belakangan ini, yakni Nusa Tenggara, Papua, dan terakhir ini Aceh,
terletak dalam garis perbatasan antar lempeng-lempeng benua. Daerah-daerah
ini adalah daerah yang rawan gempa. Jika kita tahu bahwa lempeng Samudra
Hindia sedang bergesekan dengan lempeng-lempeng lainnya, maka kita
tentunya dapat mengambil langkah-langkah persiapan untuk (setidaknya)
meminimalkan korban yang jatuh dalam bencana yang pasti tiba.
Apakah kita mampu membuat ramalan bila masanya lempeng-lempeng bumi ini
saling bersenggolan? Ya. Kita mampu. Segera setelah gempa di Aceh, Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG) mengumumkan peringatan bahwa gempa
serupa akan menghantam Jawa Barat bagian selatan. Seperti dapat kita lihat,
daerah termaksud juga masih berada dalam garis rawan gempa akibat
berbatasannya dua lempeng. Negara ini ternyata memiliki tingkat teknologi yang
cukup untuk meramalkan terjadinya gempa-gempa semacam yang terjadi di
Aceh.
Jelas kita butuh pemerintah yang berpihak pada rakyat miskin. Tapi bagaimana
mewujudkan itu?
Proses sosial masyarakat berjalan sejajar dengan proses di alam, yakni penuh
dengan benturan, gesekan dan gejolak-gejolak. Pada saat ini, benturan-benturan
terkeras terjadi antara rakyat pekerja dengan kelas pengusaha. Oleh karena
itulah kelas manapun yang menguasai negara pasti akan menggunakan negara
itu untuk melindungi kepentingan kelasnya dalam berhadapan dengan kelas-
kelas lainnya. Saat ini, kelas pengusahalah yang menguasai Negara. Ini terbukti
dari kenyataan bahwa 70% dari anggota kabinet kita adalah pengusaha dalam
berbagai skala dan bidang usaha. Di samping itu, di antara para menteri, yang
tercatat sebagai "termiskin", yakni Freddi Numberi, ternyata memiliki kekayaan
lebih dari 2 milyar rupiah. Bagaimana mungkin mereka akan berada di pihak
rakyat miskin ketika terjadi benturan kepentingan dalam masyarakat.
Ketika Negara itu dikuasai oleh wakil-wakil yang tumbuh dari rakyat pekerja itu
sendiri, teknologi yang dimiliki oleh Negara akan dapat digunakan untuk
kesejahteraan rakyat pekerja. Kita sudah punya teknologi untuk memberi
peringatan dini akan datangnya bencana. Jika rakyat pekerja yang memegang
kekuasaan, tentunya daerah-daerah yang penting bagi rakyat pekerjalah
(misalnya daerah pemukiman rakyat pekerja) yang akan diberi prioritas untuk
menghindarkan diri dari bencana.
Kita tentunya berduka atas bencana yang menimpa saudara-saudara kita, baik
itu di Aceh, Nusa Tenggara, maupun Papua; namun yang lebih penting adalah
kita harus belajar dari sana. Jika kita tetap berkeras untuk tidak belajar dari
kesalahan sejarah kita, sampai kapanpun rakyat pekerja akan terus
tersingkirkan. Bahkan dalam soal bencanapun rakyat pekerja akan tetap
dijadikan korban demi kepentingan para penguasa.
Desember 2004