Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PORTOFOLIO RUMAH SAKIT

KASUS MEDIK

SEORANG WANITA 42 TAHUN DENGAN KRISIS HIPERGLIKEMIA


SUSPEK HYPEROSMOLAR HYPERGLYCEMIC STATE (HHS)

Oleh :
dr. Hardina Bawatri

Pendamping :
dr. Triyono
dr. Ismy Dianty

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MUNTILAN
DINAS KESEHATAN KABUPATEN MAGELANG
2018

No. ID dan Nama Peserta : dr. Hardina Bawatri Presenter : dr. Hardina Bawatri
No. ID dan Nama Wahana : RSUD Muntilan Pendamping : dr. Triyono dan dr.Ismy
Dianty
TOPIK : Krisis Hiperglikemia Suspek Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS)
Tanggal (kasus) : 7 Juli 2018
Nama Pasien : Ny. SM / usia 42 tahun No. RM :274701
Tanggal Presentasi : 2018 Pendamping : dr. Triyono dan dr. Ismy Dianty
Tempat Presentasi : RSUD Muntilan Magelang
OBJEKTIF PRESENTASI
o Keilmuan o Keterampilan o Penyegaran √ Tinjauan Pustaka
√ Diagnostik √ Manajemen o Masalah o Istimewa
o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja √ Dewasa o Lansia o Bumil
o Deskripsi :
Pasien dibawa keluarga ke IGD RSUD Muntilan dengan keluhan lemas sejak 1 hari SMRS.
Pasien juga tampak mengantuk, hanya membuka mata jika diajak berkomunikasi, dan mulai
sulit diajak berkomunikasi sejak 2 jam SMRS. Pasien memiliki riwayat DM dan mengonsumsi
obat hiperglikemik suntik. Sejak 2 hari SMRS, keluarga pasien tidak memberikan suntik insulin
karena takut pasien drop gula darahnya. Pasien makan dan minum seperti biasa. BAB dan BAK
tidak ada keluhan. Demam (-), batuk (-), dan sesak nafas (-).
o Tujuan:
Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik yang tepat untuk menegakkan diagnosis
Dapat melakukan tatalaksana awal dan lanjutan terhadap diagnosis tersebut
Mengetahui patofisiologi sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit.
Mengetahui manajemen gawat darurat penyakit dan mencegah komplikasi lebih lanjut
Bahan Bahasan √ Tinjauan Pustaka o Riset √ Kasus o Audit
Cara Membahas o Diskusi √Presentasi o E-mail o Pos
dan Diskusi
DATA PASIEN Nama : Ny. SM No Registrasi : 274701
Nama klinik : IGD Telp : -
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Diagnosis : Krisis Hiperglikemia Suspek Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS)
2. Gambaran Klinis :
Pasien dibawa keluarga ke IGD RSUD Muntilan dengan keluhan lemas sejak
1 hari SMRS. Pasien juga tampak mengantuk, hanya membuka mata jika diajak
berkomunikasi, dan mulai sulit diajak berkomunikasi sejak 2 jam SMRS. Pasien
memiliki riwayat DM dan mengonsumsi obat hiperglikemik suntik. Sejak 2 hari SMRS,
keluarga pasien tidak memberikan suntik insulin karena takut pasien drop gula darahnya.
Pasien makan dan minum seperti biasa. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Demam (-),
batuk (-), dan sesak nafas (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat keluhan serupa : diakui, pada Januari 2018
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus :diakui, sejak tahun 2013 dan menggunakan insulin 3x12U
Riwayat asma/alergi : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat merokok : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat asma/alergi : disangkal
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat sakit kuning : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat merokok : (+) suami pasien 1 bungkus/hari
5. Riwayat Kebiasaan :
Riwayat konsumsi obat-obatan : disangkal
Riwayat konsumsi jamu : disangkal
Riwayat konsumsi minuman keras : disangkal
Riwayat merokok : disangkal
6. Riwayat Sosio-Ekonomi :
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan tinggal bersama suami pasien. Suami
pasien bekerja sebagai karyawan swasta. Biaya pengobatan menggunakan KIS. Kesan
ekonomi menengah ke bawah. Biaya pengobatan dengan BPJS.
HASIL PEMBELAJARAN:
1. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik yang tepat untuk menegakkan diagnosis
2. Melakukan tatalaksana awal dan lanjutan serta mencegah komplikasi lebih lanjut
KASUS: Krisis Hiperglikemia Suspek Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS)

1. SUBJEKTIF
 Keluhan Utama : Lemas
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dibawa keluarga ke IGD RSUD Muntilan dengan keluhan lemas sejak 1
hari SMRS. Pasien juga tampak mengantuk, hanya membuka mata jika diajak
berkomunikasi, dan mulai sulit diajak berkomunikasi sejak 2 jam SMRS. Pasien
memiliki riwayat DM dan mengonsumsi obat hiperglikemik suntik. Sejak 2 hari
SMRS, keluarga pasien tidak memberikan suntik insulin karena takut pasien drop
gula darahnya. Pasien makan dan minum seperti biasa. BAB dan BAK tidak ada
keluhan. Demam (-), batuk (-), dan sesak nafas (-).
 Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat keluhan serupa : diakui, pada Januari 2018
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat DM : diakui, sejak tahun 2013 dan menggunakan insulin 3x12U
 Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat merokok : (+) suami pasien 1 bungkus / hari
 Riwayat Kebiasaan :
Riwayat konsumsi obat-obatan, jamu, minuman keras, merokok disangkal
 Riwayat Sosio-Ekonomi :
Pasien bekerja sebagai petani dan berobat dengan menggunakan fasilitas BPJS.
2. OBJEKTIF
I. Pemeriksaan Fisik dilakukan 7 Juli 2018 pukul 18.50 WIB di IGD RSUD Muntilan.
 Keadaan Umum : tampak lemas
 Kesadaran : Somnolen/ E3V4M6
 Vital sign
o TD : 164/94mmHg
o Nadi : 121 kali/menit
o RR : 20 kali/menit
o Suhu : 36,7o C (per aksiler)
o SpO2 : 99%
o BB : 50 kg
o TB : 160 cm
o BMI : 19,53
 Kepala : mesocephal, simetris, rambut berwarna hitam
 Kulit : anemis (-), ikterik (-), purpura (-), pucat (-)
 Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), edema (-/-), ptosis (-/-),
 Telinga : otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
 Hidung : simetris, napas cuping hidung (-/-), secret (-/-), darah (-/-)
 Mulut : sianosis (-), pucat (-/-)
 Tenggorokan : faring hiperemis (-), uvula di tengah, T1-T1
 Leher : trakhea di tengah, limfonodi tidak membesar
 Thoraks : simetris, sela iga tidak melebar, retraksi suprasternal (-), retraksi epigastrial
(-), retraksi intercostal (-)
Pulmo
Inspeksi : normochest, simetris, spider nevi (-)
Palpasi : pengembangan dada kanan=kiri, fremitus raba dada kanan=kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi:SD Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-),
Ronkhi basah kasar(-/-)

Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat, teraba di SIC V 2 cm medial linea
medioclavicularis sinistra.
Perkusi :
Batas jantung kanan atas : SIC II linea parasternal dextra.
Batas jantung kanan bawah: SIC IV linea parasternal dextra.
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternal sinistra.
Batas jantung kiri bawah: SIC V 2 cm medial linea medioclavicularis sinistra.
Kesan : batas jantung normal
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal,reguler,murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), undulasi (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), Hepar-Lien tidak teraba
 Ekstremitas
Edema -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Pucat -/- -/-

 Pemeriksaan laboratorium : direncanakan darah lengkap, ureum, kreatinin, SGOT,


SGPT, GDS, analisis gas darah, urin rutin
RESUME
1. Anamnesis
a. Keluhan utama : lemas
b. Keluhan tambahan : tampak sering mengantuk, sulit diajak berkomunikasi

2. Pemeriksaan Fisik
a. KU/Kes : tampak lemas/ Somnolen
b. Vital sign :
o TD : 164/94mmHg
o Nadi : 121x/menit
o RR : 20 kali/menit
o Suhu : 36,7o C (per aksiler)
o SaO2 : 99%
c. Thoraks :
Pulmo : Auskultasi:SD Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-)
Ronkhi basah (-/-)
Cor :BJ I-II intensitas normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
d. Ekstrimitas : akral dingin -/-/-/-

 Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan 7 Juli 2018
Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 11.3↓ g/dl 12.0-15.0
Hematokrit 33.5↓ % 37-43
Eritrosit 3.70↓ 6  4.0-5.0
10 / L
Leukosit 11.50↑ 103 /  L 5.0-10.0

Trombosit 441 103/  L 150-450


MPV 6.35↓ fL 7.2-11.1
Indeks Eritrosit
RDW-CV 13.1 % 11,5 - 14,5
MCV 90.4 Fl 80-100
MCH 30.7 Pg 26-34
MCHC 33.9 g/dL 32-36
Differential Count
Neutrofil 73.8↑ % 50-70
Limfosit 19.6↓ % 25-40
Monosit 5.6 % 2-8
Eosinofil 0.0↓ % 2-4
Basofil 1.0 % 0-1
GDS 817↑ g/dL 120-140
Ureum 52 ↑ mg/dl 15-45
Creatinin 1.54↑ mg/dl 0,60-1,13
SGOT 9↓ U/L 14-38
SGPT 5 U/L 4-41
Natrium 134.4 ↓ mmol/L 135-148
Kalium 4.59 mmol/L 3.5-5.3
Chlorida 96.8↓ mmol/L 98 – 106
Urin Rutin
Warna urin Kuning Kuning
Kejernihan urin Keruh Jernih
Kimia Urine
Glukosa Urine +3 Negatif
Protein Urine +3 Negatif
Bilirubin Urine Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Urine
pH urine 7.0 5.0-8.0
Berat Jenis Urine 1.020 1.105-1.025
Blood Urine +2 Negatif
Keton Urine +1 Negatif
Leukosit Esterase 500 Negatif
Mikroskopis Urine
Sel Epitel 3-7 /lpk 1-2
Leukosit Urine Penuh /lpb <5
Eritrosit 20-25 /lpb <5
Silinder Silinder leukosit /lpk Negatif
(+)
Kristal Negatif /lpk Negatif
Bakteri Negatif /lpb Negatif
Lain-lain Jamur (+)
Analisis Gas Darah

pH 7.39 7.35-7.45
PCO2 37 mmHg 35-45
PO2 191 mmHg 90-100
BE -2,5 mmol/L
HCO3 22.1 mmol/L 22-26
SaO2 99 %

3. ASSESSMENT SEMENTARA
Krisis Hiperglikemia Suspek Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS)
4. PLAN
Diagnosa :-
Terapi :
 Penatalaksanaan di IGD
1. O2 3 LPM NK
2. IVFD NaCl 0,9% loading 1000cc/jam
3. Bolus Novorapid 8U (0,15U/kgBB)
4. IVFD NaCl 0,9% + Novorapid 50U (dosis 0,1U/kgBB/jam = 5U/jam = 50 tpm
mikro)
5. Pasang DC-UT
 Konsul dr. Zaenab, Sp.PD pukul 21.00
1. Inj. Ceftriaxon 1g/12jam

FOLLOW UP IGD
19.00 WIB Edukasi kondisi pasien ke keluarga
21.00 WIB Cek ulang GDS 1 jam post koreksi. GDS: 586
22.30 WIB Cek ulang GDS. (GDS 377)
23.30 WIB Cek ulang GDS. (GDS 349)
01.30 WIB Cek ulang GDS. (GDS 233)
Drip Novorapid 50U stop
Insulin sliding scale/6jam
Persiapan masuk bangsal
02.00 WIB Pasien masuk bangsal
TINJAUAN PUSTAKA

A. Krisis Hiperglikemia
Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada
Diabetes Melitus (DM), baik tipe 1 atau tipe 2. Keadaan tersebut merupakan
komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik.
Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetikum (KAD)
atau status hiperosmolar hiperglikemik (SHH atau HHS). KAD adalah keadaan
yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang
berlebihan, sedangkan HHS adalah keadaan hiperosmolalitas berat dengan kadar
glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni (Semarawirna, 2017).
B. Ketoasidosis Diabetikum (KAD)
1. Definisi KAD
Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi atau
kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan
ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut dan relatif.
Pasien dengan KAD biasanya mengalami dehidrasi berat akibat diuresis
osmotik dan bahkan dapat menyebabkan syok (Soewondo, 2006).
2. Patofisiologi KAD
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut
atau relatif dan peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin,
kortisol, dan hormon pertumbuhan). Keadaan tersebut menyebabkan
produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh
menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat
bervariasi dan tanda klinis KAD dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,
yaitu akibat hiperglikemia dan akibat ketosis (Saksono, 2012a).
Pada KAD terjadi defisiensi insulin atau relatif terhadap hormon
kontraregulasi yang berlebihan. Defisiensi insulin dapat disebabkan oleh
resistensi insulin atau suplai insulin endogen atau eksogen yang berkurang.
Defisiensi aktivitas insulin tersebut menyebabkan tiga proses patofisiologi
yang nyata pada tiga organ, yaitu sel-sel lemak, hati, dan otot. Perubahan
yang terjadi terutama melibatkan metabolisme lemak dan karbohidrat
(Saksono, 2012a). Pada hepar, akan terjadi peningkatan produksi glukosa
hepar (glukoneogenesis dan glikogenolisis) dan asam lemak bebas dioksidasi
menjadi benda keton yang prosesnya distimulasi terutama oleh glukagon
(Gotera & Dewa, 2010).
Diantara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling
berperan dalam patogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis
dan menghambat pembentukan malonyl CoA yang merupakan suatu
penghambat creatinin acyl transferase yang bekerja pada transfer asam
lemas bebas ke dalam mitokondria. Peningkatan glukagon akan merangsang
oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis (Saksono, 2012a).

Gambar 1.1 Proses biokimia pada KAD (Saksono, 2012a)


Kadar epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormon
pertumbuhan (GH) pada awal terapi KAD kadarnya kadang-kadang
meningkat dan lebih meningkat lagi dengan pemberian insulin. Keadaan
stres sendiri akan meningkatkan hormon kontraregulasi yang pada akhirnya
akan menstimulasi pembentukan benda-benda keton, glukoneogenesis serta
postensial sebagai pencetus KAD. Sekali proses KAD terjadi, maka akan
terjadi stres yang berkepanjangan (Soewondo, 2006).
Adanya deplesi cairan yang terjadi pada KAD dapat mengakibatkan
pelepasan hormon-hormon kontraregulasi diantaranya katekolamin, GH,
kortison, renin, aldosteron, dan vasopresin arginin. Hormon-hormon ini
tujuannya adalah untuk retensi cairan, namun dapat menyebabkan resistensi
insulin. Efek dari suplementasi cairan adalah mengurangi stimulasi sekresi
dari hormon-hormon ini, sehingga resistensi insulin menjadi berkurang. Hal
ini terlihat dari berkurangnya angka glukosa plasma setelah dilakukan
suplementasi cairan. Walaupun demikian, pemberian insulin diperlukan
untuk koreksi asidosis metabolik (Inward & Chambers, 2002).
Pencetus KAD lainnya adalah tidak ada compliance terhadap pemberian
insulin, infeksi, terutama infeksi saluran kemih dan pneumonia, trauma,
infark, dan intoksikasi kokain. Terdapat sebuah studi yang menyatakan
bahwa KAD disebabkan oleh penggunaan dosis insulin yang tidak tepat,
gastroenteritis, gangguan teknis pada pompa insulin, infeksi, masalah sosial,
dan infeksi (Hanas et al., 2009l Gotera & Dewa, 2010).
3. Penegakan Diagnosis KAD
Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal,
sehingga membantu untuk mengenali KAD sebagai komplikasi akut DM dan
segera mengatasinya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pasien dengan
KAD dijumpai pernafasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai tanda
dehidrasi seperti turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering, bahkan
terkadang disertai hipovolemia atau syok. Derajat kesadaran pasien dapat
dijumpai dari mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai dengan
koma (Saksono, 2012a).
Langkah pertama yang harus diambil pada pasien dengan KAD adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti, kemudian dilanjutkan
dengan pemeriksaan laboratorium. Kriteria diagnpsis KAD adalah kadar
glukosa >250mg%, pH <7,35, HCO3 rendah, anion gap yang tinggi, dan
keton serum positif (Saksono, 2012a).
Hasil pemeriksaan laboratorium yang ditemukan pada pasien KAD
adalah sebagai berikut (Saksono, 2012a):
Aspek Perubahan Nilai
Glukosa 250-600mg/dl
Natrium 125-135mEq/L
Kalium Normal atau meningkat
Magnesium Normal
Klorin Normal
Fosfat Turun
Kreatinin Naik sedikit
Osmolalitas 300-320mOsm/L
Keton plasma ++++
Bikarbonat serum <15mEq/L
pH arteri 6,8-7,3
pCO2 20-30mmHg
Anion gap (Na-(Cl+HCO3)) Meningkat
Gambar 1.2 Algoritma manajemen KAD (Saksono, 2012a)
4. Tatalaksana KAD
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah (Soewondo, 2006):
a. Penggantian cairan tubuh dan garam yang hilang
Cairan yang digunakan adalah garam fisiologis berdasarkan
perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100ml/kgBB,
maka pada jam pertama diberikan 1-2 liter, jam kedua diberikan 1
liter. Ada dua keuntungan rehidrasi pada pasien KAD, yaitu
memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon
kontraregulator insulin. Bila kadar glukosa darah kurang dari
200mg/dl, maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa
(dekstrosa 5% atau 10%)
b. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati
dengan pemberian insulin
Tujuan pemberian insulin bukan hanya untuk mencapai kadar
glukosa normal, tetapi juga untuk mengatasi keadaan ketonemia.
Oleh karena itu, jika kadar glukosa kurang dari 200mg/dl, insulin
diteruskan dan untuk mencegah hipoglikemia, diberikan cairan
yangmengandung glukosa hingga asupan oral pulih kembali.
c. Mengatasi stres sebagai pencetus KAD
d. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari
pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan
Pada keadaan KAD, diperlukan pula mengoreksi elektrolit,
yaitu kalium, glukosa, bikarbonat, dan fosfat menuju keadaan
fisiologi normal. Pada keadaan KAD, ion K bergerak ke luar sel dan
selanjutnya dikeluarkan melalui urin. Total defisit K yang terjadi
selama KAD diperkirakan mencapai 3-5mEq/kgBB. Oleh karena
itu, selama terapi KAD diperlukan pemberian kalium.
Setelah rehidrasi dua jam pertama, biasanya kadar glukosa
darah akan turun. Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan
terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60mg%/jam. Bila kadar
glukosa mencapai <200mg%, maka dapat dimulai infus yang
mengandung glukosa. Tujuan utama terapi KAD adalah untuk
menekan ketogenesis.
Bikarbonat merupakan salah satu elektrolit yang kadarnya
turun pada pasien KAD. Namun, pemberian bikarbonat hanya
dianjurkan pada kasus KAD yang berat. Pemberian bikarbonat
harus hati-hati karena bikarbonat menurunkan pH intraseluler akibat
difusi CO2 yang dilepas bikarbonat, adanya efek negatif pada
disosiasi oksigen jaringan, menyebabkan hipertonis dan kelebihan
natrium, meningkatkan insidens hipokalemia, menyebabkan
gangguan fungsi serebral, dan dapat terjadi alkalemia bila
bikarbonat terbentuk dari asam keto. Saat ini, bikarbonat hanya
diberikan pada pH <7,1 walaupun disertai dengan asidosis laktat
dan hiperkalemia (Soewondo, 2006).

Gambar 1.3 Algoritma tatalaksana KAD pada orang dewasa (Saksono, 2012a)
C. Hiperosmolar Hiperglikemik (HHS)
1. Definisi HHS
Hyperosmolar hyperglycemic state (HHS) adalah suatu komplikasi akut
Diabetes Mellitus (DM) yang utamanya ditandai dengan perubahan tingkat
kesadaran. Kriteria diagnostik dari HHS meliputi glukosa plasma 600mg/dl
atau lebih, osmolalitas serum 320mOsm atau lebih, dehidrasi berat (biasanya
8-12L) dengan peningkatan BUN, ketonuria minimal, tidak ada ketonemia,
bikarbonat >15mEq/L, dan perubahan dalam kesadaran (Saksono, 2012b).
2. Patogenesis HHS
HHS dimulai dengan adanya diuresis glukosurik. Glukosuria
menyebabkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam menonsentrasikan
urin. Keadaan ini semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan
normal, ginjal berfungsi mengeliminasi glukosa di atas ambang batas
tertentu. Namun demikian, penurunan volume intravaskular atau penyakit
ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular,
menyebabkan kadar glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak
dibandingkan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada
tidak cukup untuk menurunkan kadar glukosa darah terlebih jika ada
resistensi insulin (Longmore et al., 2010).
Pasien HHS tidak mengalami ketoasidosis, namun tidak diketahui jelas
alasannya. Faktor yang diduga ikut berpengaruh antara lain adalah
keterbatasan ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, kadar asam lemak
bebas yang rendah untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk
menghambat ketogenesis, namun tidak cukup untuk mencegah
hiperglikemia, dan resistensi hepar terhadap glukagon (Abbott et al., 2003;
Semarawirna, 2017).
Tidak tercukupinya kebutuhan insulin menyebabkan timbulnya
hiperglikemia. Penurunan pemakaian glukosa oleh jariangan perifer
termasuk oleh sel otot dan sel lemak, ketidakmampuan menyimpan glukosa
sebagai glikogen pada otot dan hati, dan stimulasi glukagon pada sel hati
untuk glukoneogenesis mengakibatkan semakin naiknya kadar glukosa
darah. Pada keadaan dimana insulin tidak mencukupi, maka besarnya
kenaikan kadar glukosa darah juga tergantung status hidrasi dan masukan
karbohidrat oral (Abbott et al., 2003).
Adanya hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik dan
mengakibatkan menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vaskular,
dimana glukoneogenesis dan masukan makanan akan terus menambah
glukosa, kehilangan cairan akan semakin mengakibatkan hiperglikemia dan
hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi
protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan intravaskuler menyebabkan
keadaan hiperosmolar. Adanya keadaan hiperosmolar akan memicu sekresi
hormon antiduretik dan timbul rasa haus (Saksono, 2012b).
Apabila keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar yang menyebabkan
kehilangan cairan ini tidak dikompensasi, yaitu dengan kasukan cairan oral,
maka akan timbul dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan
mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada
perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari
proses hiperglikemik ini dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam
kaitannya dengan hipotensi (Abbott et al., 2003).
Gambar 1.4 Perbedaan patofisiologi KAD dan HHS (Saksono, 2012b)
3. Penegakan Diagnosis HHS
Karakteristik pasien HHS umumnya berusia lanjut, belum diketahui
mempunyai DM, dan pasien DM tipe -2 yang mendapat pengaturan diet dan
atau obat hiperglikemik oral. Sering dijumpai kasus dengan penggunaan obat
yang semakin memperberat masalah, misalnya diuretik (Longmore et al.,
2010).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti
turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan
ekstremitas yang dingin, dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula
ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat
gastroparesis, dapat pula dijumpai distensi abdomen yang membaik setelah
rehidrasi adekuat (Longmore et al., 2010).
Perubahan pada status mental dapat berkisar antara disorientasi sampai
koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara
langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas
serum mencapat lebih dari 350mOsm per kg. Kejang ditemukan pada 25%
pasien, berupa kejang umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga terjadi
hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit cairan
(Longmore et al., 2010).
4. Tatalaksana HHS
Penatalaksanaan HHS meliputi lima pendekatan (Longmore et al.,
2010):
a. Rehidrasi intravena agresif
Terapi cairan merupakan terapi utama yang ditujukan untuk
memperluas colume intravaskular dan memperbaiki perfusi ginjal
serta jaringan. Kekurangan cairan pada pasien dapat dihitung dan
dibr\erikan terapi pengganti cairan. Kehilangan cairan umumnya
sekitar 20-25% dari total cairan tubuh atau sekitar 12-15% berat
badan. Kehilangan cairan yang terjadi 8-12 L atau dalam rata-rata
9L. Untuk memudahkan, kehilangan cairan yang terjadi sekitar
150ml/kgBB. Tujuan utama terapi pengganti cairan dalam 12 jam
pertama adalah dapat mengganti satu setengah kali total kehilangan
cairan.
Penggunaan cairan isotonik dapat menyebabkan overload
cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengoreksi defisit
cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis
mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L
normal salin per jam. Jika pasien mengalami syok hipovolemik,
mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan
syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik.
Pada awal terapi, kadar glukosa darah akan menurun, bahkan
sebelum insulin diberikan. Hal ini dapat menjadi indikator yang
baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika kadar
glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100mg/dl per jam,
hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau
gangguan ginjal.
b. Penggantian elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti
karena kadar kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Kadar
kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin,
karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel.
Kadar elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung
pasien juga harus dimonitor.
Jika kadar kalium awal <3,3mEq/L, pemberian insulin ditunda
dan diberikan kalium. Jika kadar kalium lebih besar mE1/L, kadar
kalium harus diturunkan sampai di bawah 5.0mEq/L dan dimonitor
setiap 2 jam. Jika kadar awal kalium antara 3,3-5,0mEq/L, maka
20-30mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena
yang diberikan.
c. Pemberian insulin intravena
Dalam penatalaksanaan HHS, insulin bukan merupakan
prioritas terapi. Insulin akan menyebabkan glukosa masuk ke dalam
intrasel, sehingga cairan akan berpindah juga ke intrasel. Hal ini
berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskuler,
atau kematian. Pemberian insulin dosis rendah diberikan apabila
kondisi hemodinamik pasien dan perfusi ginjal pasien sudah baik
dan stabil.
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB
secara intravena dan diikuti 0,1U/kgBB per jam sampai kadar
glukosa darah turun antara 250-300mg/dL. Jika kadar glukosa
dalam darah tidak turun 50-70mg/dl per jam, dosis dapat
ditingkatkan. Ketika kadar glukosa darah sudah mencapai dibawah
300mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa intravena dan dosis
insulin dititrasi secara sliding scale sampe pulihnya kesadaran dan
keadaan hiperosmolar.
d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan
antibiotik kepada semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi,
namun terapi antibiotik dianjurkan menunggu hasil kultur pada
pasien usia lanjut dan pasien dengan hipotensi. Berdasarkan
penelitian terkini, kadar C-reactive protein dan interleukin-6
merupakan indikator awal sepsis pada pasien dengan HHS.
e. Pencegahan
DAFTAR PUSTAKA

Abbott KC, Bernet VJ, Agodoa LY, Yuan CM. 2003. Diabetic ketoacidosis and
hyperglycemic hyperosmolar syndrome after renal transplantation in the United
States. BMC Endocr Disord 3(1):1

Hanas R, Lindgren F, Lindbald B. 2009. A 2 year national population study of


pediatric ketoacidosis in Sweden: predisposing conditions and insulin pump
use. Pediatr Diabetes 10(1): 33-7

Gotera W, Dewa GAB. 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD). J Peny


Dalam 11(2):126-38

Inward CD & Chambers TL. 2002. Fluid Management in diabetic ketoacidosis. Arch
Dis Child 87(5): 451-2

Longmore M, Wilkinson IB, Davidson EH, Foulkes A, Mafi AR. 2010. Diabetic
Ketoacidosis . dalam Oxford Handbook of Clinical Medicine 8th Ed. Oxford:
Oxford University Press.

Saksono, D. 2012a. Ketoasidosis DIabetik. Dalam Setyohadi B et al. EIMED PAPDI


(Kegawatdaruratan Penyakit Dalam): Jakarta

Saksono D. 2012b. Hyperosmolar Hyperglycemic State. Dalam Setyohadi B et al.


EIMED PAPDI (Kegawatdaruratan Penyakit Dalam): Jakarta.

Semarawirna. G. 2017. Status hiperosmolar hiperglikemik. Medicina 48(1):49-53

Soewondo P. 2006. Ketoasidosis Diabetik. Dalam Sudoyo AW et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta: Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai