Anda di halaman 1dari 17

IMUNOMODULATOR, IMUNOSUPRESAN, DAN IMUNOSTIMULAN

1. PENDAHULUAN
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respons
imun seperti pencegah penolakan transplantasi, mengatasi penyakit autoimun dan
mencegah hemolisis Rhesus pada neonatus. Sebagian dari kelompok obat ini bersifat
sitotoksik dan digunakan sebagai antikanker.

i. RESPONS IMUN
Masuknya organisme atau benda asing ke dalam tubuh akan
menumbulkan berbagai reaksi yang bertujuan menghancurkan atau
menyingkirkan benda pengganggu tersebut. Pada makhluk tingkat tinggi
seperti hewan vertebrata dan manusia, terdapat dua system pertahanan
(imunitas), yaitu imunitas nonspesifik (innate immunity) dan imunitas spesifik
(adaptive immunity).
Imunitas nonspesifik merupakan mekanisme pertahanan terepan yang
meliputi komponen fisik berupa kebutuhan keutuhan kulit dan mukosa;
komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim, komplemen; dan
komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan makrofag. Netrofil dan
makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan memproduksi
berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain ke daerah infeksi.
Selanjutnya benda asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.
Imunitas spesifik memiliki karakteristik khusus, antara lain
kemampuannya untuk bereaksi secara spesifik dengan antigen tertentu;
kemampuan membedakan antigen asing dengan antigen sendiri (nonself vs
self); dan kemampuan untuk bereaksi lebih cepat dan lebih efisien terhadap
antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respons imun spesifik ini terdiri dari
dua system imunitas utama, yaitu imunitas seluler dan imunitas humoral.
Imunitas seluler melibatkan sel limfosit T, sedangkan imunitas humoral
melibatkan limfosit B dan sel plasma yang berfungsi memproduksi antibody.

ii. AKTIVASI RESPONS IMUN SPESIFIK


Aktivasi sistem imun spesifik memerlukan partisipasi kelompok asal
yang disebut sebagai antigen presenting cell (APC), diantaranya sel makrofag,
sel dendritic, sel Langerhans, dan sel limfosit B. Tahap paling awal aktivasi
sistem imun adalah fagositosis/internalisasi antigen oleh sel APC, dilanjutkan
dengan proses proteolisis menghasilkan peptide dengan 8-14 asam amino.
Antigen yang sudah diolah ini selanjutnya digabungkan dengan protein khusus
yang disebut MHC (major histocompability complex). Kompleks antigen-
MHC ditampilkan di permukaan sel APC untuk kemudian ditangkap oleh
reseptor sel T (CD4). Terdapat dua kelompok MHC, yaitu MHC kelas 1
(HLA-A, B, dan C) yang dapat dikenali oleh sel limfosit B sitotoksik (CD8),
dan MHC kelas 2 (HLA-DR, DP, dan DQ) yang dikeali oleh sel limfosit T
Helper (CD4).
Sel T Helper (CD4) yang teraktivasi akan memproduksi berbagai
sitokin, terutama interleukin-2 (IL-2) yang berperan mengaktifkan sel T-
Helper 1 (TH1) dan sel T-Helper 2 (TH2). TH1 menghasilkan interferon gama
(IFN- γ), interleukin-2 (IL-2), tumor necrosis factor- β (TNF- β), yang
nantinya akan mengaktifkan sel T sitotoksik (CD8), makrofag, dan sel natural
killer (NK) untuk respon imunitas seluler, sedangkan sel TH2 menghasilkan
IL-4,5,6 dan 10, yang nantinya mengaktifkan sel B menjadi sel plasma
penghasil antibodi.
Terdapat sistem umpan balik negatif antara TH1 dan TH2. IL-10 yang
dihasilkan TH2 memberi hambat ekspresi MHC II oleh sel APC, sedangkan
IFN- γ yang dihasilkan TH1 memberi umpan balik negatif untuk TH2.
Sebagian sel B dan sel T yang sudah eraktivasi akan disimpan sebagai
sel memori yang nantinya dikerahkan untuk respons sekunder.
Respons terhadap atigen ekstrasel terjadi melalui kerja TH2 yang
berakhir pada pembentukan antibodi netralisasi. Sebaliknya, respons terhadap
organisme intrasel seperti mikobacterium berkaitan TH1 yang berakhir pada
aktivasi sel makrofag. Sel T sitotoksik mengenal peptide yang disajikan oleh
sel-sel yang terinfeksi virus. Sel NK dapat mengenal dan menghancurkan sel-
sel tumor dan sel-sel yang terinfeksi.
Kedua sistem tersebut mempunyai spesifisitas yang tinggi yang
diarahkan pada epitope antigen yang terdapat pada mikroorganisme, transplan,
sel kanker, atau sel autolog (autoimunitas). Komponen seluler yang terlibat
dalam respon imun dapat dilihat pada gambar 48-1. Berbagai sitokin
diproduksi oleh sel-sel yang terlibat dalam inisiasi dan regulasi respons imun.

iii. INDIKASI IMUNOSUPRESAN


Imunosupresan digunakan untuk tiga indikasi utama, yaitu
transplantasi organ, penyakit autoimun, dan pencegahan hemolysis Rheses
pada neonatus.

TRANSPLANTASI ORGAN
Imunosupresan sangat diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan
transplantasi. Pada awalnya obat yang diperlukan adalah sitotoksik
nonspesifik (azatiprin dan siklofosfamid) dan kortikosteroid. Selanjutnya
ditemukan siklosporin, takrolimus, dan yang lebih baru lagi, mikofenolat
mofetil.
Obat sitotoksik nonspesifik menimbulkan efek imunosupresan dengan
cara menghambat profiliferasi limfosit. Sayangnya, obat-obat ini juga
menekan pertumbuhan sel-sel yang cepat berkembang seperti sumsum tulang
dan mukosa saluran cerna. Hal ini dapat menyebabkan efek samping sperti
meningkatnya resiko infeksi dan supresi sumsum tulang. Pertambahan
kortikosteroid akan menambah resiko infeksi dan resiko efek samping lainnya.
Siklosporin dan takrolimus memiliki efek samping yang jauh lebih ringan dari
imunosupresan meningkatkan keberhasilan transplantasi.
Paduan obat yang sering digunakan untuktransplantasi berbagai organ
(ginjal, sumsum tulang, hati, jantung, dan pankreas) menggunakan siklosporin
dan predniso. Azatioprin juga digunakan sebagai kombinasi kedua obat di
atas, terutama untuk transplantasi ginjal dan jantung. Untuk mengatasi
penolakan jaringan akut umumnya digunakan immunoglobulin antilimfosit,
immunoglobulin antitimosit, dan antibody monoclonal terhadap CD3
(muromonab CD3). Selain itu, antibody monoclonal juga digunakan dengan
tujuan membersihkan sumsum tulang dari sel-sel ganas atau dari sel T yang
menjadi penyebab penolakan transplantasi.

PENCEGAHAN HEMOLISIS RHESUS PADA NEONETUS


Eritroblastosis fetalis terjadi bila seorang ibu Rhesus negatif
mengandung bayi rhesus positif. Darah bayi yang mengandung antigen D
dapat masuk ke sirkulasi ibu pada waktu persalinan atau bila ada solusio
plasenta, atau kehamilan ektopik. Proses ini akan menyebabkan ibu
membentuk antibody terhadap eritrosit Rh(+). Pada kehamilan selanjutnya,
antibody terhadap RH(+) akan semakin meningkat dengan resiko transfer
antibody ke sirkulasi janin terutama pada trimester akhir dan menyebabkan
hemolysis pada janin (eritroblastosis fetalis). Untuk pencegahan eritroblastosis
fetalis, antibody Rh(D) diberikan pada ibu Rh(-) dalam waktu 72 jam setelah
melahirkan.

PENGOBATAN PENYAKIT AUTOIMUN

Penyakit autoimun berkembang bila sistem imun mengalami sensitisasi


oleh protein endogen dan menganggapnya sebagai protein asing. Hal ini
merangsang pembentukan antibody atau perkembangan sel T yang dapat
bereaksi dengan antigen endogen ini. Efektivitas terapi imunosupresan
bervariasi tergantung dari jenis penyakit, dan umumnya kurang efektif
dibanding dengan pencegahan reaksi transplantasi atau pencegahan reaksi
hemolitik Rhesus. Berbagai penyakit autoimun seperti ITP (idiopathic
thrombocytopenic purpura), anemia hemolitik autoimun, dan
glomerulonephritis akut, umumnya memberi respons cukup baik terhadap
pemberian prednison saja. Untuk kasus berat diperlukan penambahan obat
sitotoksik.

iv. PRINSIP UMUM TERAPI IMUNOSUPRESAN


Prinsip umum penggunaan imunosupresan untuk mencapai hasil terapi
yang optimal adalah sebagai berikut :
1) Respons imun primer lebih mudah dikendalikan dan ditekan
dibandingkan dengan respos imun sekunder. Tahap awal respons imun
primer mencakup: pengolahan antigen oleh APC, sintesis limfokin,
proliferasi dan diferensiasi sel-sel imun. Tahap ini merupakan yang
paling sensitive terhdap obat imunosupresan. Sebaliknya, begitu
terbentuk sel memori, maka efektivitas obat imunosupresan akan jauh
berkurang.
2) Obat imunosupresan memberikan efek yang berbeda terhadap antigen
yang berbeda. Dosis yang dibutuhkan untuk menekan respons imun
terhadap suatu antigen berbeda dengan dosis untuk antigen lain.
3) Penghambatan respon imun lebih berhasil bila obat imunosupresan
diberikan sebelum paparan terhadap antigen. Sayangnya, hampir
semua penyakit auto imun baru bida dikenal setelah autoimunitas
berkembang sehingga relatif sulit diatasi.

2. OBAT IMUNOSUPRESAN

TEMPAT KERJA OBAT IMUNOSUPRESAN


Gambar 48.2 memperlihatkan berbagai tahapan respon imun yang dapat dihambat
oleh imunosupresan. Beberapa diantara obat ini memiliki efek yang relatif spesifik
seperti antibodi Muromonab CD3 (disebut juga OKT3), antitimosit globulin atau anti
CD4 yang menghambat proliferasi limfosit T, sedangkan yang lain bersifat
nonspesifik seperti azatioprin, siklofosfamid, dan metotreksat, yang secara umum
menghambat sel B dan sel T. Asam mikofenolat merupakan sitotoksik dengan efek
spesifik menghambat sintesis purin. Obat ini secara langsung menghambat sel T dan
sel B.
2.1 KORTIKOSTEROID
Kortikostreoid (glukokortikoid) digunakan sebagai obat tunggal atau dalam
kombinasi dengan imunosupresan lain untuk mencegah reaksi penolakan transplantasi
dan untuk mengatasi penyakit autoimun. Prednison dan prednisolone merupakan
glukorkotikoid yang sering digunakan. Keterangan rinci tentang struktur kimia dan
farmakokinetik glukorkotikoid dapat dilihat dalam bab 32.

2.2 PENGHAMBAT KALSINEURIN :


SIKLOSPORIN DAN TAKROLIMUS

MEKANISME KERJA
Siklosporin dan takrolimus memiliki struktur kimia yang berbeda, namun
bekerja dengan mekanisme yang sama, yaitu menghambat kalsineurin. Di dalam
sitoplasma limfosit T (CD4), siklosporin berikatan dengan siklofilin, sedangkan
takrolimus dengan FK506-binding protein (FKBP). Ikatan ini selanjutnya
menghambat fungsi kalsineurin. Kalsineurin adalah enzim fosfatase dependent
kalsium dan memegang peranan kunci dalam defosforilasi (aktivasi) protein regulator
di sitosol, yaitu NFATc (nuclear factor of activated T cell). Setelah mengalami
defosforilasi, NFATc ini mengalami translokasi ke dalam nukleus untuk
mengaktifkan gen yang bertanggung jawab dalam sintesis sitokin, terutama IL-2 dan
berbagai protoonkogen seperti c-myc dan H-Ras, serta reseptor sitokin tertentu seperti
reseptor IL-2. Hambatan kalsineurin oleh siklosporin dan takrolimus akan
menghambat transkripsi gen-gen tersebut. Siklosporin juga mengurangi produksi IL-2
dengan cara meningkatkan ekspresi tumor growth factor-B (TGF-B) yang merupakan
penghambat kuat aktivitas limfosit T oleh IL-2. Meningkatkan ekspresi TGF-B
diduga memegang peranan penting pada efek imunosupresan siklosporin.

FARMAKOKINETIK, SEDIAAN DAN POSOLOGI

SIKLOSPORIN (Sandimun). Sediaan IV terdapat dalam bentuk larutan dalam


ethanol-poly-axyethylated castor oil dengan kadar 50 mg/ml, dan sediaan oral berupa
kapsul lunak 25-100 mg dan larutan 100 mg/ml untuk pemberian oral. Absorpsi oral
lambat dan tidak lengkap, dengan bioavailabilitas 20-50%. Sediaan modifikasi dalam
bentuk mikroemulsi menghasilkan absorpsi yang lebih baik. Sediaan IV dan sediaan
oral bersifat tidak bioekuivalen, sehingga penggantian dari sediaan IV ke sediaan oral
harus dilakukan dengan perhitungan yang cermat.
Pada pemberian per oral, kadar puncak tercapai setelah 1,3 sampai 4 jam. Adanya
makanan berlemak sangat mengurangi absorpsi siklosporin kapsul lunak, tapi tidak
siklosporin mikroemulsi. Siklosporin mengalami distribusi yang luas dengan volume
distribusi 3-5 liter/kg. Dalam darah 50-60% siklosporin terakumulasi dalam eritrosit,
dan 10-20% dalam likosit, dan sisanya berada dalam plasma. Waktu paruh siklosporin
kurang lebih 6 jam.
Siklosporin mengalami metabolisme dalam hati oleh sitokrom-P4503A (CYP3A)
menjadi lebih dari 30 macam metabolit. Hanya sekitar 0,1% yang diekskresi dalam
bentuk utuh ke urin. Sebagian dari metabolit masih bersifat imunosupresif dan diduga
berperan dalam toksisitas. Ekskresi terutama melalui empedu dan fases; hanya sekitar
6% yang diekskresi melalui urin. Dalam gangguan fungsi hati, diperlukan
penyesuaian dosis.

TAKROLIMUS dapat diberikan secara IV dan peroral. Setelah pemberian IV selama


2-4 jam, kadar takrolimus mula-mula akan turun. Selanjutnya takrolimus akan
menunjukkan waktu paruh yang cukup panjang, yaitu 11,7 jam pada pasien
transplantasi hati dan 21,2 jam pada orang sehat. Data ini menunjukkan adanya
kinetika model dua kompartemen. Pada pemberian oral, bioavailabilitas bervariasi
antara 6% sampai 56%. Takrolimus sebagian besar mengalami metabolisme dihati
oleh sitokrom P-450, dan hanya 1% yang diekskresi utuh dalam urin.
Dosis IV untuk dewasa adalah 25-50 mg/kgBB per hari dan pada anak adalah 50-100
mg/kgBB per hari. Dosis oral berkisar antara 150-200 mg/kgBB per hari, dan pada
anak 200-300 mg/kgBB per hari.

INTERAKSI

Siklosporin dan takrolimus berintraksi dengan berbagai obat. Pemberian bersama


fenobarbital, fenitoin, trimetoprim-sulfametoksazol, dan rifampisin, mempercepat
eliminasi dan menurunkan kadar siklosporin, yang dapat berakibatkan penolakan
transplantasi. Sebagian besar interaksi ini karena induksi enzim sitokrom P 450.
Sebaliknya klirens siklosporin menurun bila diberikan bersama amfoterisin B,
eritomisin, ketokonazol. Interasik ini menimbulkan resiko toksisitas siklosporin. Oleh
karena itu, penggunaan siklosporin dengan berbagai obat diatas, memerlukan monitor
kadar siklosporin.

PENGGUNAAN KLINIS

SIKLOSPORIN sangat berperan meningkatkan keberhasilan transplantasi. Obat ini


digunakan secara rutin bersama imunosupresan lain (paling sering dengan
kortikosteroid) pada transplantasi ginjal, jantung, hati, sumsum tulang, paru, dan
pankreas. Siklosporin dilaporkan meningatkan keberhasilan transplantasi ginjal
dengan kesintasan (survival) 36 bulan mencapai 80%.
Pemberian oral dimulai 4-24 jam sebelum transplantasi dengan dosis 15
mg/kgBB, satu kali sehari dan dilanjutkan 1 sampai 2 minggu pasca transplantasi.
Selanjutnya dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis pemeliharaan
sebesar 3-10 mg/kgBB. Besarnya dosis disesuaikan berdasarkan adanya tanda-tanda
gangguan fungsi ginjal berupa peningkatan kreatinin. Perlu perhatiaan khusus pada
pasien transplantasi ginjal agar tidak salah membedakan antara reaksi penolakan dan
toksisitas siklosporin.
Pada pasien yang tidak bisa mentoleransi siklosporin oral, dapat diberikan
sediaan IV dengan pemberian pelan selama 2-6 jam atau lebih. Dosis harian IV
(biasanya 5-6 mg/kgBB hanya sepertiga dari dosis oral. Karena seringnya terjadi
reaksi terhadap vehikulum sediaan IV, pemberian IV harus segera dihetikan begitu
pasien dapat menerima sediaan oral.
Siklosporin juga bermanfaat pada beberapa penyakit autoimun seperti sindrom
Bechet, uveitis endogen, psoriasis, dermatitis atopik, rematoid artritis, penyakit crohn,
dan sindrom nefrotik. Siklosporin diberikan jika terapi standar dengan kortikosteroid
gagal. Dalam banyak kasus di atas, siklosporin dikombinasi dengan kortikosteroid.
Selain itu, siklosporin juga diberikan sebagai pengobatan lini pertama pada anemia
aplastik yang tidak dapat dilakukan transplantasi sumsum tulang. Data terbaru
menunjukkan manfaat siklosporin pada sirosis bilier primer. Siklosporin diduga juga
bermanfaat pada pioderma gangrenosum yang berat, polimiositis/dermatomiositis,
dan asma berat yang tergantung steroid.

TAKROLIMUS digunakan dengan indikasi yang sama dengan siklosporin, terutama


untuk transplantasi hati, ginjal, dan jantung. Takrolimus kira-kira 100 kali lebih
efektif dibandingkan siklosporin. Takrolimus juga tersedia dalam bentuk salep untuk
pengobatan dermatitis atopik dan psoriasi.

EFEK SAMPING

SIKLOSPORIN. Efek samping utama siklosporin adalah gangguan fungsi ginjal


yang dapat terjadi pada 75% pasien yang mendapat siklosporin. Gangguan fungsi
ginjal juga sering menjadi faktor utama penghentian pemberian siklosporin. Toksisitas
lain meliputi hipertensi, hepatotoksisitas, neurotoksisitas, hirsutisme, hiperplasia
gingiva, dan toksisitas gastrointestinal (mual, muntah, diare, anoreksia, dan sakit
perut).

TAKROLIMUS menunjukkan toksisitas yang mirip dengan siklosporin.


Nefrotoksisitas merupakan efek samping utama. Selain itu dapat terjadi efek samping
SSP (sakit kepala, tremor, insomnia), gastrointestinal (mual, diare), kardiovaskular
(hipertensi), dan metabolik (hiperkalemia, hipomagnesemia, hiperglikemia). Efek
jangka panjang sama dengan obat imunosupresan yang lain.
SIKLOSPORIN

KIMIA. Sirolimus (rapamisin) merupakan derivat Streptomyces hygroscopicus. Obat


ini bekerja mirip dengan takrolimus, yaitu berikat dengan imunofilin (FKBP-12).
Komplek sirolimus-FKBP-12 tidak mempengaruhi kalsineurin, melainkan
menghambat siklus sel dari G1 ke S. Sirolimus tidak menghambat produksi
interleukin oleh sel CD4, tapi menghambat respons CD4 terhadap sitokin. Sirolimus
juga menghambat proliferasi sel B dan produksi imunoglobulin; menghambat respons
sel mononuklear terhadap rangsangan colony stimulating factor, dan menekan
pemulihan hematopoetik setelah pemberian sitotoksik.

PENGGUNAAN KLINIK. Sirolimus dapat digunakan secara tersendiri atau dalam


kombinasi dengan imunosupresan lain dalam mencegah penolakan transplantasi.
Sirolimus topikal juga digunakan pada berbagai kelainan kulit, dan dalam kombinasi
dengan siklosporin, pada kasus uveoretinitis.

EFEK SAMPING. Meliputi imunosupresi yang kadang-kadang dapat menjadi berat


(terutama trombositopenia). Dapat juga terjadi hepatotoksisitas, diare,
hipertrigliseridemia, dan sakit kepala.

2.3 SITOTOKSIK

Sebagian besar obat sitotoksik digunakan sebagai antikanker.


Beberapa diantara nya digunakan sebagai imunosupresan untuk mencegah penolakan
transplantasi dan pengobatan penyakit autoimun. Obat kelompok ini menghambat
perkembangan sel limfosit B dan T.

AZATIOPRIN (Imuran)

MEKANISME KERJA. Azatoprin adalah antimetabosit golongan purin yang


merupakan prekursor 6-merkaptopunin. Azatoprin dalam tubuh diubah menjadi 6
merkaptopurin (6-MP) yang merupakan metabolit aktif dan bekerja menghambat
sintesis denovo purin. Yang terbentuk adalah Thio-IMP yang selanjutnya diubah
menjadi Thio-GMP, kemudian Thio-GTP. Interkalasi Thio-GTP dalam DNA akan
menyebabkan kerusakan DNA.

FARMAKOKINETIK. Azatoprin mudah diabsorpsi melalui saluran cerna dan


dimetabolisme menjadi 6-MP. Metabolisme selanjutnya dilakukan oleh xantin
oksidase menjadi 6-thiouric acid sebelum diekskresi melalui ginjal. Ekskresi terutama
melalui urin, sebagian kecil dalam bentuk utuh dan yang lainnya dalam bentuk
metabolit.

INTERAKSI. Penggunaan bersamaan alopurinol menyebabkan hambatan xantin


oksidase yang juga merupakan enzim penting dalam metabolisme 6-merkaptopurin,
sehingga kombinasi ini akan meningkatkan toksisitas azatiopirin dan merkaptopurin.
Bila kedua obat ini harus diberikan bersamaan, maka diperlukan pengurangan dosis
azatiopirin menjadi 65% sampai 75%.

PENGGUNAAN KLINIS. Azatiopirin digunakan antara lain untuk mencegah


penolakan transplantasi, lupus nefritis, glomerulonefritis akut, artritis rematoid,
penyakit crohn, dan sklerosis multipel. Obat ini kadang-kadang juga digunakan pada
ITP (idiopatic trombocytopenic purpura) dan hemolisis autoimun yang refrakter
terhadap steroid. Untuk profilaksis digunakan dosis 3-10 mg/kgBB per hari, 1
atau 2 hari sebelum transplantasi. Dosis pemeliharaan 1-3 mg/kgBB per hari. Obat ini
tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan sediaan IV 100 mg/vial.

EFEK SAMPING. Seperti imunosupresan lain, azatiopirin dapat menghambat


profilaksis sel-sel yang cepat tumbuh seperti mukosa usus dan sumsung tulang dengan
akibat leukopenia dan trombositopenia. Ruam kulit, demam obat, mual, muntah, dan
diare juga dapat terjadi. Pernah dilaporkan nepatotoksisitas dengan peningkatan enzim
transminase, dan kolestasis. Efek samping lain adalah peningkatan resiko infeksi dan
efek mutagenisitas dan karsinogenisitas.

MIKOFENOLAT MOFETIL (Cellcept)


Mikofenolat mofetil merupakan derivat semisintetik dari
asam mikofenolat yang diisolasi dari jamur Penicillium glaucum. Asam mikofenolat
adalah penghambat kuat inosin monofosfat dehidrogenase, suatu enzim penting pada
sintesis de novo purin. Limfosit B dan T tergantung pada enzim ini untuk sintesis
purinnya sehingga obat ini menghambat aktivasi limfosit T dan B. Limfosit yang
tidak memiliki jalur alternatif unttuk sintesis purin lebih sensitif terhadap obat ini
dibandingkan sel seri lain. Mikofenolat mofetil menekan proliferasi limfosit dan
pembentukan antibodi oleh sel B. Obat ini juga menghambat migrasi lekosit ke
tempat inflamasi. Pada hewan percobaan, obat ini terbukti efektif menghambat
penolakan transplantasi, memperpanjang penerimaan transplantasi, dan mengurangi
penolakan akut dan kronik.

FARMAKOKINETIK. Mikofenolat mofetil diabsorpsi dengan cepat setelah


pemberian per oral dan dihidrolisis menjadi asam mikofenolat yang merupakan
komponen aktif. Asam mikofenolat dimetabolisme terutama oleh glukoronil
transferase menjadi inaktif. Sebagian besar obat (90%) diekskresi dalam bentuk
mikofenolat- glukoronat. Bioavailabilitas oral mencapai 94% dengan volume
distribusi 4+1,2 liter/kg, 95% terikat pada albumin plasma.

INTERAKSI. Pemberian mikofenolat mofetil bersama antasid yang mengandung


aluminium hidroksida dan magnesium akan menurunkan absorpsi. Obat ini tidak
mempengaruhi farmakokinetik siklosporin. Juga tidak terdapat interaksi signifikan
dengan trimetoprim/sulfametoksazol, kontrasepsi oral, asiklovir dan gansiklovir. Tapi
pada gangguan fungsi ginjal bisa terjadi kompetisi antara asam mikofenolat dengan
asiklovir dan gansiklovir dalam proses sekresi tubulus.

PENGGUNAAN KLINIS. Mikofenolat mofetil digunakan untuk mencegah


penolakan transplantasi ginjal. Penggunaan untuk transplantasi organ lain masih
dalam penelitian. Obat ini diberikan dalam waktu 72 jam setelah transplantasi dengan
dosis anjuran 1 g dua kali sehari dalam kombinasi dengan siklosporin dan
kortikosteroid. Pemberian dosis lebih tinggi tinggi tidak memberi hasil lebih baik, dan
profil keamanan lebih baik pada pemberian 2 g dibanding 3 g per hari. Mikofenolat
mofetil dalam kombinasi dengan prednison digunakan pada transplantasi organ,
sebagai alternatif dari siklosporin dan takrolimus, bila pasien tidak toleran terhadap
obat terakhir ini. Obat ini juga digunakan untuk mengatasi penyakit graft vs host yang
refrakter terhadap steroid, juga digunakan setelah transplantasi stem sel. Indikasi lain
antara lain lupus nefritis, artritis rematoid, dan berbagai kelainan dermatologis.

EFEK SAMPING DAN SEDIAAN. Efek samping meliputi gangguan


gastrointestinal (mual, muntah, diare, sakit perut), dan mielosupresi (terutama
netropenia). Tersedia dalam bentuk kapsul 250 mg, tablet 500 mg, dan bubuk 500 mg
untuk injeksi.

SIKLOFOSFAMID
Siklofosfamid merupakan alkilator golongan mustar nitrogen yang menyebabkan
alkilasi pada DNA sehingga menghambat sintesis dan fungsi DNA. Sel B dan T sama-
sama dihambat oleh siklofosfamid, walaupun toksisitas lebih besar pada sel B. Oleh
karena itu, efek obat ini lebih nyata pada penekanan imunitas humoral. Pemberian
dosis sangat besar dapat menyebabkan toleransi terhadap antigen baru. Efek terhadap
imunitas seluler bervariasi. Sebagian dihambat, sebagian mengalami perangsangan.
Di dalam tubuh siklofosfamid diaktifkan oleh enzim Mikrosom hati. Oleh karena itu,
penggunaan obat ini bersama obat lain yang mempengaruhi enzim ini, seperti
fenobarbital dan glukokortikoid, memerlukan penyesuaian dosis untuk masing-masing
obat yang berinteraksi.

PENGGUNAAN KLINIK. Siklofosfamid dosis besar digunakan sebagai antikanker.


Pada dosis yang lebih kecil digunakan untuk pengobatan penyakit autoimun seperti
SLE, granulomatosis Wegener, ITP, artritis rematoid, dan sindrom nefrotik.
Pemberian siklofosfamid dapat mempertahankan remisi yang dihasilkan
kortikosteroid, bahkan juga setelah kedua obat ini dihentikan. Hasil terapi pada
sindrom nefrotik lebih memuaskan daripada artritis rematoid. Manfaat siklofosfamid
jelas pada granulomatosis wegener, suatu penyakit yang cepat fatal dan kurang
responsif terhadap kortikosteroid.
TOKSISITAS. Pemberian dosis besar dikaitkan dengan efek samping sistitis
hemoragik, kardiotoksisitas, dan pansitopenia berat. Keterangan lebih rinci tentang
efek samping siklofosfamid dapat dilihat dalam Bab 47.

DOSIS DAN SEDIAAN. Dosis berkisar antara 1,5 - 3 mg/kgBB per hari. Pada
artritis rematoid, respons klinis biasanya diperoleh bersamaan dengan timbulnya
leukopenia (2500-4000/ml).
Tersedia dalam bentuk tablet 25 dan 50 mg, larutan untuk Injeksi IV 100 mg/vial 20
cc, vial 1 dan 2 g, bubuk 100, 200, dan 500 mg.
Obat sitotoksik lain yang juga digunakan sebagai imunosupresan antara lain
metotreksat, klorambusi, vinkristin, vinblastin, dan daktinomisin. Di antara obat ini,
hanya metotraksat yang dipakai secara luas sebagai imunosupresan.

METOTREKSAT

MEKANISME KERJA. Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim


dihidrofolat reduktase, sehingga menghambat sintesis timidilat dan purin. Obat ini
menunjukkan hambatan replikasi dan fungsi sel T dan mungkin juga sel B karena
adanya efek hambatan sintesis DNA. Obat ini bekerja spesifik pada fase S siklus sel.
Pada pasien leukimia yang menerima transplantasi sumsum tulang, kambuhnya
leukimia lebih jarang bila diberi metotreksat dibandingkan pemberian siklosporin. Ini
mungkin karena efek antileukemik intrinsik dari metotreksat.

PENGGUNAAN KLINIK. Metotreksat merupakan obat antikanker yang digunakan


sebagai obat tunggal atau kombinasi dengan siklosporin untuk mencegah penolakan
transplantasi. Obat ini juga berguna untuk mengatasi penyakit autoimun dan
merupakan lini kedua pada pengobatan artritis rematoid, dan psoriasis yang refrakter
terhadap terapi standar. Untuk artritis rematoid digunakan dosis 7,5 mg sekali
seminggu yang dapat diberikan dalam dosis tunggal atau terbagi. Dosis ini dapat
ditingkatkan sampai maksimum 20 mg per minggu. Untuk psoriasis dapat diberikan
dosis yang sama. Sebagai antikanker, metotreksat merupakan obat terpilih pada
neoplasma trofoblastik, dan juga berguna pada limfoma Burkitt stadium I dan II.

EFEK SAMPING DAN KONTRAINDIKASI. Pada pemberian jangka panjang


dosis rendah seperti pada psoriasis, dilaporkan terjadinya sirosis dari fibrosis hati pada
30-40% pasien. Sedangkan pada pengobatan artritis rematoid kejadiannya lebih
rendah. Toksisitas meningkat pada pemberian bahan yang bersifat hepatotoksik,
seperti alkohol. Pneumonitis akut dan kronik juga dapat terjadi pada artritis rematoid,
sedangkan pada psoriasis kejadiannya lebih panjang. Mekanisme perbedaan efek
toksik ini belum diketahui dengan pasti, dan umumnya bersifat reversibel. Obat ini
dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui.

SEDIAAN. Metotreksat tersedia dalam bentuk tablet 2,5 mg.


2.4. ANTIBODI
Antibodi poliklonal dan monoklonal terhadap antigen yang ada di permukaan limfosit
digunakan secara luas untuk mencegah penolakan transplantasi dan pada berbagai
penyakit autoimun. Antibodi poliklonal dihasilkan dengan cara injeksi berulang sel
timosit (menghasilkan antithymocyte globulin, ATG) atau limfosit (menghasilkan
antilymphocyte globulin, ALG) pada hewan seperti kuda, kelinci, domba, kambing.
Antibodi poliklonal sangat efektif, namun efektivitas dan toksisitasnya sangat
bervariasi dan satu batch ke batch yang lain. Dengan cara hibridoma dapat dihasilkan
antibodi monoklonal yang lebih spesifik untuk antigen tertentu. Teknik ini dapat
mengatasi masalah variabilitas efek seperti pada antibodi poliklonal, namun spektrum
penggunaannya lebih terbatas.

ANTIBODI POLIKLONAL

ANTIRHYMOCYTE GLOBULIN (ATG) merupakan antibodi poliklonal yang


dapat berikatan pada berbagai molekul permukaan limfosit T (CD2, CD3, CD4, CD8,
CD11a,CD18, CD25, CD44, CD45), dan molekul HLA kelas I dan II. Efek utama
ATG adalah mengurangi jumlah limfosit karena efek sitotoksik langsung,
menghambat fungsi limfosit dan menekan respons imun sel T. ATG umumnya
digunakan untuk mengobati reaksi penolakan transplantasi ginjal, jantung atau organ
lain. Juga digunakan sebagai profilaksis sebelum transplantasi. Dosis untuk
transplantasi adalah 1,5 mg/kgBB/ hari (dalam infus
4-6 jam) selama 7-14 hari. Jumlah sel T biasanya mulai turun pada hari kedua.
Efek samping yang relatif sering adalah derum sickness dan nef-
ritis. Efek samping lain meliputi demam, menggigil, leukopenia, trombositopeni, dan
ruam kulit. Kadang-kadang bisa terjadi reaksi anafilaksis. ATG tersedia dalam
sediaan 25 mg/vial untuk suntikan IV. Biasanya diberikan melalui vena sentral
dengan dosis 10-30 mg/kgBB. Waktu paruh lebih kurang 3-9 hari.

IMUNOGLOBULIN INTRAVENA (IGIV). IGIV merupakan imunoglobulin yang


berasal dari darah donor dengan titer antibodi yang tinggi terhadap antigen tertentu
seperti virus dan toksin. Diharapkan kumpulan berbagai antibodi ini memiliki efek
netralisasi terhadap sistem imun pasien. IGIV dosis besar (2 g/kgBB) terbukti efektif
untuk berbagai keadaan seperti asma dan penyakit imun lainnya. Pada penyakit
Kawasaki, IGIV terbukti aman dan efektif, mengurangi inflamasi sistemik dan dapat
mencegah aneurisma arteri koroner. IGIV juga efektif pada SLE dan ITP yang
refraktar terhadap kortikosteroid. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan
pengurangan jumlah sel T helper, peningkatan jumlah sel T supresor, dan mengurangi
produksi imunoglobulin. Walaupun mekanisme kerjanya belum pasti, tapi obat ini
terbukti efektif pada berbagai kondisi klinis. IGIV tersedia untuk pengobatan
respiratory sincititial virus, sitomegalovirus, varisella zoster, human herpes virus 3,
hepatiti B, rabies, dan tetanus. Tersedia dalam larutan 5 dan 10%, dan bubuk 2,5 g, 5
g, 10 g, dan 12g, untuk injeksi.
ANTIBODI MONOKLONAL

ANTI CD3 (Muromonab CD3, atau OKT3). Antibodi spesifik terhadap antigen
CD3 di permukaan sel limfosit T sudah digunakan sejak tahun 1980 an pada
transplantasi organ, dan terbukti sangat efektif. Muromonab CD3 berikatan dengan
molekul CD3, yaitu komponen reseptor sel T yang berperan pada fase pengenalan
antigen. Oleh karena itu, obat ini bekerja pada fase yang sangat dini dari respons
imun. Pemberian muromonab CD3 mencegah pengenalan antigen. Efek yang terlihat
adalah deplesi sel T secara cepat dari sirkulasi dan organ limfoid yang agaknya
merupakan efek dari kematian sel T akibat aktivasi komplemen dan juga akibat
redistribusi sel T ke jaringan non limfoid seperti paru-paru, dan endotelium vaskular.
Sel T yang muncul selanjutnya tidak memiliki molekul CD3 dan antigen
recognitionsite. Efek ini mencegah penolakan transplantasi.
Muromonab CD3 juga berikatan dengan limfosit T dan menurunkan fungsi sel T yang
masih tersisa, seperti terlihat dari berkurangnya produksi IL-2, dan berbagai sitokin
lain, kecuali mungkin IL-4 dan IL-10.

PENGGUNAAN KLINIS. Antibodi ini digunakan pada transplantasi ginjal, hati, dan
jantung. Selain itu juga digunakan untuk mengurangi jumlah sel T sebelum
transplantasi sumsum tulang. Dosis yang dianjurkan adalah 5mg/hari, IV, dalam dosis
tunggal, selama 10-14 hari.

EFEK SAMPING yang mungkin saja terjadi antara lain cytokine release syndrome,
yang dapat terjadi pada dosis awal dan bervariasi mulai dari flu like syndrome sampai
syok berat yang mengancam nyawa. Efek samping ini berkaitan dengan peningkatan
kadar sitokin dalam serum (TNF-a, IL-2, IL-6, dan IFN-4) yang dihasilkan oleh sel T
dan monosit yang teraktivasi. Risiko ini dapat dikurangi dengan pemberian
kortikosteroid 1-4 jam sebelumnya.
Efek samping SSP meliputi rasa pusing, kejang, ensefalopati, edema serebral,
meningitis aseptik, dan sakit kepala. Efek rebound berupa penolakan transplantasi
dapat terjadi setelah Penghentian muromonab CD3.
Antibodi anti-CD3 generasi terbaru dihasilkan dengan cara humanisasi antibodi,
artinya penggabungan antibodi yang diproduksi dari hewan dengan fraksi Fc dari
imunoglobulin manusia. Caranya ini mengurangi risiko cytokine release syndrome.
Obat ini tersedia dalam ampul 5 mg/5 mL.

Rh2 (D) Immune Globulin. Rh(D) immune globulin (RHOGAM, GAMULIN)


merupakan antibodi spesifik terhadap antigen Rhesus di permukaan eritrosit. Data
farmakokinetik antibodi ini belum lengkap; waktu paruh diperkirakan 21-29 hari dan
pemberian secara IM. Rh0(D) immune globulin digunakan pada ibu Rhesus negatif
untuk mencegah sensitisasi terhadap antigen Rhesus yang berasal dari janin.

ANTIBODI MONOKLONAL LAIN. Saat ini terdapat berbagai antibodi


monoklonal spesifik terhadap antigen tertentu antara lain:
TRASTUZUMAB. Antibodi spesifik terhadap reseptor EGF (HER-2Ineu receptor)
yang digunakan pada kanker payudara metastatik pada pasien dengan ekspresi HER-
2Ineu berlebihan.

RITUKSIMAB. Merupakan antibodi monoklonal (lgG1) yang mengikat CD20 sel


normal dan sel limfosit B ganas. Obat ini digunakan untuk limforma non Hodgkin
derajat rendah atau jenis folikuler yang relaps atau refrakter terhadap pengobatan.

DAKLIZUMAB dan BASILIKSIMAB. Merupakan lgG1 yang spesifik terhadap


CD25 (subunit’alfa dari IL-2) dan berfungsi menghambat ikatan IL-2 pada limfosit
yang teraktivasi, sehingga secara keseluruhan menghasilkan efek imunosupresi.

ABSIKSIMAB adalah fragmen Fab yang berfungsi mengikat reseptor GPllb/llla pada
permukaan trombosit. Obat ini menghambat ikatan fibrinogen dan faktor von
Willebrand dengan trombosit sehingga menghambat agregasi trombosit.

INFLIKSIMAB (etanercept) dan ADALIMUMAB, mempunyai efek mengikat


TNF-a dan menghambat aktivasi sitokin lain seperti IL-1, IL-6, dan molekul-molekul
adesi yang berperan pada migrasi dan aktivasi leukosit. Etanercept digunakan untuk
pengobatan artritis rematoid dan artritis psoriatik, dan dapat digunakan dalam
kombinasi dengan metotreksat.

3.IMUNOSTIMULAN

Imunostimulan ditunjukkan untuk perbaikan fungsi imun pada kondisi-kondisi


imunosupresi. Kelompok obat ini dapat mempengaruhi respon imun seluler maupun
humoral. Kelemahan obat ini adalah efeknya yang menyeluruh dan tidak bersifat
spesifik unuk jenis sel atau antibodi tertentu. Selain itu, efeknya umumnya lemah.
Indikasi penggunaan imunostimulan antara lain AIDS, infeksi kronik, dan keganasan,
terutama yang melibatkan sistem limfatik.

3.1.ADJUVAN NATURAL

BACILLUS CALMETTE-GUERIN (BCG). BCG dan komponen aktifnya


(dipeptida muramil) merupakan produk bakteri yang memiliki efek imunostimulan
BCG mengandung Mycobacterium bovis yang dilemahkan. Saat ini tersedia tiga
bentuk sediaan BCG, yaitu live unlyophilized, live lyophilized, dan killed
lyophilized. Pemberiaan dapat secara intradermal, intravena, intralesi, intravesika,
atau secara oral atau dengan goresan. BCG terutama berefek pada sel T, dan juga pada
sel NK. Walaupun sudah dicoba untuk berbagai neoplasma, efek yang cukup nyata
terlihat pada kanker kandung kemih dengan pemberian intravesika. Efek samping
meliputi reaksi hipersensitivitas, syok, menggigi, lesu, dan penyakit komplek imun.
ISOPRINOSIN (lnosipleks). Isoprinosin memiliki efek imunomudulator pada
berbagai studi praklinik dan klinik. Obat ini meningkatkan fungsi sel NK dan fungsi
sel T dan monosit. Obat ini disetujui pengggunaan nya untuk berbagai penyakit
imunodefisiensidi beberapa negara Eropa. Tapi tidak di Amerika berbagai derivat
sentetiknya sedang dalam penyelidikan untuk AIDS dan berbagai neoplasma. Obat ini
dilaporkan mengurangi risiko infeksi pada HIV tahap lanjut. Namun, bukti klinik
yang meyakinkan sangat langka. Obat ini tidak aktif pada tahap awal HIV, dan
penggunaannya untuk tujuan ini belum disetujui.

LEVAMISOL. Levamisol merupakan obat yang tadinya digunakan untuk membasmi


berbagai jenis cacing. Studi selanjutnya membuktikan bahwa levamisol memiliki efek
imunostimulan pada hewan coba dan manusia karena kemampuannya meningkatkan
imunitas seluler. Pada penyakit Hodgkin, levamisol dilaporkan dapat meningkatkan
jumlah sel T in vitro dan memperbaiki reaktivitas tes kulit. Levamisol juga sudah
digunakan pada artritis rematoid, dan sebagai adjuvan pada terapi kanker kolorektal,
dan terlihat adanya efek potensiasi terhadap fluorourasil (5-FU). Pada pemberian obat
oral ini diabsorpsi dengan cepat dan lengkap dengan kadar puncak 1-2 jam setelah
pemberian. Obat ini didistribusi luas ke berbagai jaringan dan dimetabolisme oleh
hati. Metabolitnya diduga berperan dalam efek imunostimulan. Waktu paru levamisol
kira-kira 4 jam, sedangkan waktu paruh metabolitnya 16 jam. Efek samping antara
lain flu-like syndrome dan agranulositosis yang kadang-kadang memerlukan
penghentian obat. Tersedia dalam bentuk tablet 25, 40, dan 50 mg.

TALIDOMID. Talidomid pada awalnya digunakan sebagai sedatif pada wanita


hamil, namun karena banyaknya kejadian fokomelia berkaitan dengan obat ini, maka
pemakaiannya pada wanita hamil dilarang. Belakangan peranan talidomid dievaluasi
lagi karena memiliki efek imunosupresan. Sekarang ini talidomid digunakan pada
transplantasi sumsum tulang dan untuk mengatasi reaksi eritema nodosum, leprosum.
Obat ini tersedia dalam bentuk kapsul 50 mg.

LEFLUNOMID (Arava). Leflunomid merupakan prodrug yang dalam tubuh diubah


menjadi metabolit aktif dan bekerja menghambat pirimidin sintetase. Obat ini aktif
pada pemberian per oral dengan waktu paruh beberapa minggu. Oleh karena itu, obat
ini diberikan dengan dosis muat (loading dose) sampai tercapai kadar mantap,
selanjutnya diberikan dengan dosis sekali sehari. Penggunaannya masih terbatas untuk
artritis rematoid.
Efek samping meliputi peningkatan enzim hati, gangguan fungsi ginja, dan efek
teratogenik. Pernah dilaporkan adanya efek samping kardiovaskular berupa angina
dan takikardia. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 10, 20, dan 100 mg, dan
dikontraindikasikan pada kehamilan.

3.2.SITOKIN
Sitokin merupakan kelompok protein yang diproduksi oleh leukosit dan sel-sel yang
berkaitan, dan memiliki peranan khusus dalam sistem imun dan hematopoesis. Sitokin
yang sering digunakan di klinik antara lain IL-2, IFN, dan colony stimulating factor
(CSF).

INTERFEUKIN-2. IL-2 disebut juga T cell growth factor karena kemampuannya


merangsang produksi sel T helper dan sel T sitotosik. Sekarang ini tersedia dalam
bentuk rekombinan. IL-2 berikatan dengan reseptor di permukaan sel-sel yang
berfungsi mengaktifkan proliferasi dan diferensiasi sel T helper dan T sitotosik. Selain
itu, juga merangsang proliferasi dan diferensiasi sel B, makrofag, dan meningkatkan
toksisitas sel NK, IL-2 digunakan secara IV atau infus kontinyu, SK, dan IM. Data
farmakokinetik saat ini belum lengkap. Aktivitas antitumor IL-2 terlihat pada jenis
melanoma metastatik dan karsinoma sel ginjal. Efek samping IL-2 antara lain
hipotensi berat dan toksisitas Kardiovaskular. Edema paru yang berkaitan dengan
dosis dapat terjadi akibat sindrom rembesan kapiler. Pada ginjal dapat meningkatkan
kreatini, dan pada sistem hematologi menimbulkan supresi sumsung tulang. Pada SSP
dapat menimbulkan somnolen atau delirium. Dapat juga terjadi peradangan pada kulit
terutama setelah pemberian subkutan.

INTERFERON. Interferon (IFN) merupakan protein yang terdiri dari tiga kelompok,
IFN-a, IFN-B, dan IFN-Y, IFN-a dan IFN-B merupakan famili IFN tipe I yang bersifat
tahan asam dan bekerja pada reseptor yang sama IFN tipe I biasanya diinduksi oleh
infeksi virus. Leukosit memproduksi IFN-a , fibroblas dan sel sepitelial memproduksi
IFN-B, IFN-Y merupakan IFN tipe II yang tidak tahan asam dan bekerja pada reseptor
yang berbeda. IFN-Y biasanya dihasilkan oleh limfosit T.
IFN menimbulkan efek yang bervariasi tergantung dari jenis IFN dan sel targetnya.
IFN, terutama IFN-Y, memiliki sifat meningkatkan imun yang meliputi presentasi
antigen, dan aktivasi makrofag, sel NK, dan limfosit T sitotoksik. IFN juga
menghambat proliferasi sel. Dalam hal ini IFN-a dan IFN-B lebih poten daripada IFN-Y.
Efek lain dari IFN adalah meningkatkann ekspresi MHC di permukaan sel. Ketiga
jenis IFN merangsang ekspresi MHC I, tapi hanya IFN -Y yang merangsang ekspresi
MHC II. Didalam sel glia, IFN -B menghambat efek ini, dan dapat menekan penyajian
antigen oleh sel dalam sistem saraf. Dalam klinik, IFN digunakan pada berbagai
kanker seperti melanoma, karsinoma sel ginjal, leukimia mielositik kroni, hairy cell
leukemia, dan Kaposi’S sarcoma. IFN-a dalam kombinasi dengan ribavirin digunakan
pada hepatitis C. Penelitian tentang efek IFN-B Pada multipel sklerosis memberi
harapan dengan adanya perbaikan. Efek samping IFN meliputi demam, menggigil,
lesu, mialgia, mielosupresi, sakit kepala, dan depresi.

COLONY STIMMULATING FACTORS (CSF). Granulocyte colony stimulating


factor (G-CSF), seperti filgrastim dan levograstim telah disetujui penggunaanya
untuk mencegah neutropenia akibat kemoterapi kanker. Granulocyte-macrophage
colony stimulating factor (GM-CSF) digunakan untuk penyelamatan kegagalan
transplantasi sumsung tulang dan untuk mempercepat pemulihan setelah transplantasi
sumsung tulang autolog. Sitokin lain, IL dan IFN-a merupakan yang paling banyak
digunakan dalam terapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Heynes BF, Fauci AS. Introduction to the immune system In; Kasper, Braunwald,
Fauci, Hauser, Longo, Jameson, eds. Harrison’s Principles of internal Medicine. 16th
ed. M

Anda mungkin juga menyukai