1. PENDAHULUAN
Imunosupresan adalah kelompok obat yang digunakan untuk menekan respons
imun seperti pencegah penolakan transplantasi, mengatasi penyakit autoimun dan
mencegah hemolisis Rhesus pada neonatus. Sebagian dari kelompok obat ini bersifat
sitotoksik dan digunakan sebagai antikanker.
i. RESPONS IMUN
Masuknya organisme atau benda asing ke dalam tubuh akan
menumbulkan berbagai reaksi yang bertujuan menghancurkan atau
menyingkirkan benda pengganggu tersebut. Pada makhluk tingkat tinggi
seperti hewan vertebrata dan manusia, terdapat dua system pertahanan
(imunitas), yaitu imunitas nonspesifik (innate immunity) dan imunitas spesifik
(adaptive immunity).
Imunitas nonspesifik merupakan mekanisme pertahanan terepan yang
meliputi komponen fisik berupa kebutuhan keutuhan kulit dan mukosa;
komponen biokimiawi seperti asam lambung, lisozim, komplemen; dan
komponen seluler nonspesifik seperti netrofil dan makrofag. Netrofil dan
makrofag melakukan fagositosis terhadap benda asing dan memproduksi
berbagai mediator untuk menarik sel-sel inflamasi lain ke daerah infeksi.
Selanjutnya benda asing akan dihancurkan dengan mekanisme inflamasi.
Imunitas spesifik memiliki karakteristik khusus, antara lain
kemampuannya untuk bereaksi secara spesifik dengan antigen tertentu;
kemampuan membedakan antigen asing dengan antigen sendiri (nonself vs
self); dan kemampuan untuk bereaksi lebih cepat dan lebih efisien terhadap
antigen yang sudah dikenal sebelumnya. Respons imun spesifik ini terdiri dari
dua system imunitas utama, yaitu imunitas seluler dan imunitas humoral.
Imunitas seluler melibatkan sel limfosit T, sedangkan imunitas humoral
melibatkan limfosit B dan sel plasma yang berfungsi memproduksi antibody.
TRANSPLANTASI ORGAN
Imunosupresan sangat diperlukan untuk mencegah reaksi penolakan
transplantasi. Pada awalnya obat yang diperlukan adalah sitotoksik
nonspesifik (azatiprin dan siklofosfamid) dan kortikosteroid. Selanjutnya
ditemukan siklosporin, takrolimus, dan yang lebih baru lagi, mikofenolat
mofetil.
Obat sitotoksik nonspesifik menimbulkan efek imunosupresan dengan
cara menghambat profiliferasi limfosit. Sayangnya, obat-obat ini juga
menekan pertumbuhan sel-sel yang cepat berkembang seperti sumsum tulang
dan mukosa saluran cerna. Hal ini dapat menyebabkan efek samping sperti
meningkatnya resiko infeksi dan supresi sumsum tulang. Pertambahan
kortikosteroid akan menambah resiko infeksi dan resiko efek samping lainnya.
Siklosporin dan takrolimus memiliki efek samping yang jauh lebih ringan dari
imunosupresan meningkatkan keberhasilan transplantasi.
Paduan obat yang sering digunakan untuktransplantasi berbagai organ
(ginjal, sumsum tulang, hati, jantung, dan pankreas) menggunakan siklosporin
dan predniso. Azatioprin juga digunakan sebagai kombinasi kedua obat di
atas, terutama untuk transplantasi ginjal dan jantung. Untuk mengatasi
penolakan jaringan akut umumnya digunakan immunoglobulin antilimfosit,
immunoglobulin antitimosit, dan antibody monoclonal terhadap CD3
(muromonab CD3). Selain itu, antibody monoclonal juga digunakan dengan
tujuan membersihkan sumsum tulang dari sel-sel ganas atau dari sel T yang
menjadi penyebab penolakan transplantasi.
2. OBAT IMUNOSUPRESAN
MEKANISME KERJA
Siklosporin dan takrolimus memiliki struktur kimia yang berbeda, namun
bekerja dengan mekanisme yang sama, yaitu menghambat kalsineurin. Di dalam
sitoplasma limfosit T (CD4), siklosporin berikatan dengan siklofilin, sedangkan
takrolimus dengan FK506-binding protein (FKBP). Ikatan ini selanjutnya
menghambat fungsi kalsineurin. Kalsineurin adalah enzim fosfatase dependent
kalsium dan memegang peranan kunci dalam defosforilasi (aktivasi) protein regulator
di sitosol, yaitu NFATc (nuclear factor of activated T cell). Setelah mengalami
defosforilasi, NFATc ini mengalami translokasi ke dalam nukleus untuk
mengaktifkan gen yang bertanggung jawab dalam sintesis sitokin, terutama IL-2 dan
berbagai protoonkogen seperti c-myc dan H-Ras, serta reseptor sitokin tertentu seperti
reseptor IL-2. Hambatan kalsineurin oleh siklosporin dan takrolimus akan
menghambat transkripsi gen-gen tersebut. Siklosporin juga mengurangi produksi IL-2
dengan cara meningkatkan ekspresi tumor growth factor-B (TGF-B) yang merupakan
penghambat kuat aktivitas limfosit T oleh IL-2. Meningkatkan ekspresi TGF-B
diduga memegang peranan penting pada efek imunosupresan siklosporin.
INTERAKSI
PENGGUNAAN KLINIS
EFEK SAMPING
2.3 SITOTOKSIK
AZATIOPRIN (Imuran)
SIKLOFOSFAMID
Siklofosfamid merupakan alkilator golongan mustar nitrogen yang menyebabkan
alkilasi pada DNA sehingga menghambat sintesis dan fungsi DNA. Sel B dan T sama-
sama dihambat oleh siklofosfamid, walaupun toksisitas lebih besar pada sel B. Oleh
karena itu, efek obat ini lebih nyata pada penekanan imunitas humoral. Pemberian
dosis sangat besar dapat menyebabkan toleransi terhadap antigen baru. Efek terhadap
imunitas seluler bervariasi. Sebagian dihambat, sebagian mengalami perangsangan.
Di dalam tubuh siklofosfamid diaktifkan oleh enzim Mikrosom hati. Oleh karena itu,
penggunaan obat ini bersama obat lain yang mempengaruhi enzim ini, seperti
fenobarbital dan glukokortikoid, memerlukan penyesuaian dosis untuk masing-masing
obat yang berinteraksi.
DOSIS DAN SEDIAAN. Dosis berkisar antara 1,5 - 3 mg/kgBB per hari. Pada
artritis rematoid, respons klinis biasanya diperoleh bersamaan dengan timbulnya
leukopenia (2500-4000/ml).
Tersedia dalam bentuk tablet 25 dan 50 mg, larutan untuk Injeksi IV 100 mg/vial 20
cc, vial 1 dan 2 g, bubuk 100, 200, dan 500 mg.
Obat sitotoksik lain yang juga digunakan sebagai imunosupresan antara lain
metotreksat, klorambusi, vinkristin, vinblastin, dan daktinomisin. Di antara obat ini,
hanya metotraksat yang dipakai secara luas sebagai imunosupresan.
METOTREKSAT
ANTIBODI POLIKLONAL
ANTI CD3 (Muromonab CD3, atau OKT3). Antibodi spesifik terhadap antigen
CD3 di permukaan sel limfosit T sudah digunakan sejak tahun 1980 an pada
transplantasi organ, dan terbukti sangat efektif. Muromonab CD3 berikatan dengan
molekul CD3, yaitu komponen reseptor sel T yang berperan pada fase pengenalan
antigen. Oleh karena itu, obat ini bekerja pada fase yang sangat dini dari respons
imun. Pemberian muromonab CD3 mencegah pengenalan antigen. Efek yang terlihat
adalah deplesi sel T secara cepat dari sirkulasi dan organ limfoid yang agaknya
merupakan efek dari kematian sel T akibat aktivasi komplemen dan juga akibat
redistribusi sel T ke jaringan non limfoid seperti paru-paru, dan endotelium vaskular.
Sel T yang muncul selanjutnya tidak memiliki molekul CD3 dan antigen
recognitionsite. Efek ini mencegah penolakan transplantasi.
Muromonab CD3 juga berikatan dengan limfosit T dan menurunkan fungsi sel T yang
masih tersisa, seperti terlihat dari berkurangnya produksi IL-2, dan berbagai sitokin
lain, kecuali mungkin IL-4 dan IL-10.
PENGGUNAAN KLINIS. Antibodi ini digunakan pada transplantasi ginjal, hati, dan
jantung. Selain itu juga digunakan untuk mengurangi jumlah sel T sebelum
transplantasi sumsum tulang. Dosis yang dianjurkan adalah 5mg/hari, IV, dalam dosis
tunggal, selama 10-14 hari.
EFEK SAMPING yang mungkin saja terjadi antara lain cytokine release syndrome,
yang dapat terjadi pada dosis awal dan bervariasi mulai dari flu like syndrome sampai
syok berat yang mengancam nyawa. Efek samping ini berkaitan dengan peningkatan
kadar sitokin dalam serum (TNF-a, IL-2, IL-6, dan IFN-4) yang dihasilkan oleh sel T
dan monosit yang teraktivasi. Risiko ini dapat dikurangi dengan pemberian
kortikosteroid 1-4 jam sebelumnya.
Efek samping SSP meliputi rasa pusing, kejang, ensefalopati, edema serebral,
meningitis aseptik, dan sakit kepala. Efek rebound berupa penolakan transplantasi
dapat terjadi setelah Penghentian muromonab CD3.
Antibodi anti-CD3 generasi terbaru dihasilkan dengan cara humanisasi antibodi,
artinya penggabungan antibodi yang diproduksi dari hewan dengan fraksi Fc dari
imunoglobulin manusia. Caranya ini mengurangi risiko cytokine release syndrome.
Obat ini tersedia dalam ampul 5 mg/5 mL.
ABSIKSIMAB adalah fragmen Fab yang berfungsi mengikat reseptor GPllb/llla pada
permukaan trombosit. Obat ini menghambat ikatan fibrinogen dan faktor von
Willebrand dengan trombosit sehingga menghambat agregasi trombosit.
3.IMUNOSTIMULAN
3.1.ADJUVAN NATURAL
3.2.SITOKIN
Sitokin merupakan kelompok protein yang diproduksi oleh leukosit dan sel-sel yang
berkaitan, dan memiliki peranan khusus dalam sistem imun dan hematopoesis. Sitokin
yang sering digunakan di klinik antara lain IL-2, IFN, dan colony stimulating factor
(CSF).
INTERFERON. Interferon (IFN) merupakan protein yang terdiri dari tiga kelompok,
IFN-a, IFN-B, dan IFN-Y, IFN-a dan IFN-B merupakan famili IFN tipe I yang bersifat
tahan asam dan bekerja pada reseptor yang sama IFN tipe I biasanya diinduksi oleh
infeksi virus. Leukosit memproduksi IFN-a , fibroblas dan sel sepitelial memproduksi
IFN-B, IFN-Y merupakan IFN tipe II yang tidak tahan asam dan bekerja pada reseptor
yang berbeda. IFN-Y biasanya dihasilkan oleh limfosit T.
IFN menimbulkan efek yang bervariasi tergantung dari jenis IFN dan sel targetnya.
IFN, terutama IFN-Y, memiliki sifat meningkatkan imun yang meliputi presentasi
antigen, dan aktivasi makrofag, sel NK, dan limfosit T sitotoksik. IFN juga
menghambat proliferasi sel. Dalam hal ini IFN-a dan IFN-B lebih poten daripada IFN-Y.
Efek lain dari IFN adalah meningkatkann ekspresi MHC di permukaan sel. Ketiga
jenis IFN merangsang ekspresi MHC I, tapi hanya IFN -Y yang merangsang ekspresi
MHC II. Didalam sel glia, IFN -B menghambat efek ini, dan dapat menekan penyajian
antigen oleh sel dalam sistem saraf. Dalam klinik, IFN digunakan pada berbagai
kanker seperti melanoma, karsinoma sel ginjal, leukimia mielositik kroni, hairy cell
leukemia, dan Kaposi’S sarcoma. IFN-a dalam kombinasi dengan ribavirin digunakan
pada hepatitis C. Penelitian tentang efek IFN-B Pada multipel sklerosis memberi
harapan dengan adanya perbaikan. Efek samping IFN meliputi demam, menggigil,
lesu, mialgia, mielosupresi, sakit kepala, dan depresi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Heynes BF, Fauci AS. Introduction to the immune system In; Kasper, Braunwald,
Fauci, Hauser, Longo, Jameson, eds. Harrison’s Principles of internal Medicine. 16th
ed. M