Anda di halaman 1dari 5

Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan

atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil.

Resistensi adalah suatu keadaan karena pengaruh obat antiinfeksi terhadap kuman berkurang
khasiatnya atau kuman tersebut tidak sensitif oleh perlakuan obat anti infeksi. Resistensi merupakan
kegagalan pengobatan dengan suatu antibiotika dengan dosis terapi (Gran, 1983).

Resistansi antibiotik adalah salah satu jenis dari resistansi obat-obatan yang terjadi pada mikroorganisme, ketika
mikroorganisme tersebut berkemampuan untuk menahan efek antibiotic. Penyebab utama resistensi
antibiotika adalah penggunaannya yang meluas dan irasional.

antimikroba dibagi menjadi dua jenis yaitu yang membunuh kuman (bakterisid) dan yang hanya
menghambat pertumbuhan kuman (bakteriostatik). Antibiotik yang termasuk golongan bakterisid
antara lainpenisilin, sefalosporin, aminoglikosida (dosis besar), kotrimoksazol, rifampisin, isoniazid
danlain-lain. Sedangkan antibiotik yang memiliki sifat bakteriostatik, dimana penggunaanya
tergantung status imunologi pasien, antara lain sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin,
trimetropim, linkomisin, klindamisin, asam paraaminosalisilat, dan lain-lain (Laurence&
Bennet,1987).

Beberapa bakteri resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh dunia, di


antaranya Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant
Enterococci (VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci, Klebsiella pneumoniae yang
menghasilkan Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL),
Carbapenem-Resistant Acinetobacter baumannii dan Multiresistant
Mycobacteriumtuberculosis. http://news.unair.ac.id/2020/01/03/darurat-resistensi-antibiotik-di-
indonesia/

Timbulnya resistensi terhadap suatu antibiotika terjadi berdasarkan salah satu atau lebih mekanisme
berikut:

1. Bakteri mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika. Misalnya Stafilokoki,
resisten terhadap penisilin G menghasilkan beta-laktamase, yang merusak obat tersebut. Beta-
laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang Gram-negatif.

2. Bakteri mengubah permeabilitasnya terhadap obat. Misalnya tetrasiklin, tertimbun dalam


bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten.

3. Bakteri mengembangkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat. Misalnya resistensi
kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein
spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang
rentan.

4. Bakteri mengembangkan perubahan jalur metabolik yang langsung dihambat oleh obat.
Misalnya beberapa bakteri yang resisten terhadap sulfonamid tidak membutuhkan PABA
ekstraseluler, tetapi seperti sel mamalia dapat menggunakan asam folat yang telah dibentuk.
5. Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya
tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya
beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase, mempunyai afinitas
yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz, 1997).

beberapa faktor yang mendukung terjadinya resistensi,antara lain:

1. Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional): terlalu singkat, dalam dosis yang terlalu rendah,
diagnosa awal yang salah, dalam potensi yang tidak adekuat.

2. Faktor yang berhubungan dengan pasien. Pasien dengan pengetahuan yang salah akan cenderung
menganggap wajib diberikan antibiotik dalam penanganan penyakit meskipun disebabkan oleh virus,
misalnya flu, batuk-pilek, demam yang banyak dijumpai di masyarakat. Pasien dengan kemampuan
finansial yang baik akan meminta diberikan terapi antibiotik yang paling baru dan mahal meskipun
tidak diperlukan. Bahkan pasien membeli antibiotika sendiri tanpa peresepan dari dokter (self
medication). Sedangkan pasien dengan kemampuan finansial yang rendah seringkali tidak mampu
untuk menuntaskan regimen terapi.

3. Peresepan dalam jumlah besar, meningkatkan unnecessary health care expenditure dan seleksi
resistensi terhadap obat-obatan baru. Peresepan meningkat ketika diagnose awal belum pasti.
Klinisi sering kesulitan dalam menentukan antibiotik yang tepat karena kurangnya pelatihan dalam
hal penyakit infeksi dan tatalaksana antibiotiknya.

4. Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan


monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.

5. Perilaku hidup sehat: terutama bagi tenaga kesehatan, misalnya mencuci tangan setelah memeriksa
pasien atau desinfeksi alat-alat yang akan dipakai untuk memeriksa pasien.

6. Penggunaan di rumah sakit: adanya infeksi endemik atau epidemik memicu penggunaan antibiotika
yang lebih massif pada bangsal-bangsal rawat inap terutama di intensive care unit. Kombinasi
antara pemakaian antibiotik yang lebih intensif dan lebih lama dengan adanya pasien yang sangat
peka terhadap infeksi, memudahkan terjadinya infeksi nosokomial.

7. Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak: antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan
mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai
suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan
dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.

8. Promosi komersial dan penjualan besar-besaran oleh perusahaan farmasi serta didukung
pengaruh globalisasi, memudahkan terjadinya pertukaran barang sehingga jumlah antibiotika yang
beredar semakin luas. Hal ini memudahkan akses masyarakat luas terhadap antibiotika.

9. Penelitian: kurangnya penelitian yang dilakukan para ahli untuk menemukan antibiotika
baru(Bisht et al,2009)
10. Pengawasan:lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian
antibiotika.Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa
peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk
meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi (Kemenkes RI, 2011).

2.1. Uji Resistensi

Resistensi menyatakan bahwa uji resistensi bakteri merupakan suatu metode untuk menentukan tingkat
kepekaan bakteri terhadap zat antibakteri dan untuk mengetahui senyawa murni yang memiliki aktivitas
antibakteri. Metode uji resistensi bakteri adalah metode cara bagaimana mengetahui dan mendapatkan
produk alam yang berpotensi sebagai bahan anti bakteri serta mempunyai kemampuan untuk
menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri pada konsentrasi yang rendah. uji resistensi bakteri
merupakan suatu metode untuk menentukan tingkat kekebalan bakteri terhadap zat antibakteri dan
untuk mengetahui senyawa murni yang memiliki aktivitas antibakteri. Seorang ilmuan dari perancis
menyatakan bahwa metode difusi agar dari prosedur Kirby-Bauer, sering digunakan untuk mengetahui
resistensi bakteri. Prinsip dari metode ini adalah penghambatan terhadap pertumbuhan
mikroorganisme, yaitu zona hambatan akan terlihat sebagai daerah jernih di sekitar cakram kertas
yang mengandung zat antibakteri. Diameter zona hambatan pertumbuhan bakteri menunjukkan
sensitivitas bakteri terhadap zat antibakteri. Selanjutnya dikatakan bahwa semakin lebar diameter
zona hambatan yang terbentuk bakteri tersebut semakin resistensi(Chambers, 2004).

Pada umumnya metode yang dipergunakan dalam uji resistensi bakteri adalah metode Difusi Agar yaitu
dengan cara mengamati daya hambat pertumbuhan mikroorganisme oleh ekstrak yang diketahui dari
daerah di sekitar kertas cakram (paper disk) yang tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme. Zona hambatan
pertumbuhan inilah yang menunjukkan sensitivitas bakteri terhadap bahan anti bakteri (Ermilla, 2006).

Tujuan dari proses uji resistensi ini adalah untuk mengetahui obat-obat yang paling cocok (paling
poten) untuk kuman penyebab penyakit terutama pada kasus-kasus penyakit yang kronis dan untuk
mengetahui adanya resistensi terhadap berbagai macam antibiotik. Penyebab kuman resisten
terhadap antibiotik yakni memang kuman tersebut resisten terhadap antibiotik yang diberikan, akibat
pemberian dosis dibawah dosis pengobatan dan akibat penghentian obat sebelum kuman tersebut
betul-betul terbunuh oleh antibiotik (Dwidjoseputro, 2003).

Zona Hambat merupakan tempat dimana bakteri terhamabat pertumbuhannya akibat antibakteri atau
antimikroba. Zona hambat adalah daerah untuk menghambat pertumbuhan mikroorrganisme pada
media agar oleh antibiotik. Contohnya: tetracycline, erytromycin, dan streptomycin. Tetracycline
merupakan antibiotik yang memiliki spektrum yang luas sehingga dapat menghambat pertumbuhan
bakteri secara luas (Novillia, 2008).
2.2. Metode-metode Uji Resistensi

Menurut Syamsuni (2005) ada beberapa metode yang dapat dilakukan dalam pengujian uji resistensi
terhadap mikroba. Salah satu metode yang dipakai adalah metode difusi yang terdiri beberapa cara
diantaranya yaitu :

1. Metode disc diffusion (tes Kirby dan Bauer) untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan
yang berisi agen antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang
akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan
mikroorganisme oleh agen antimikroba permukaan media agar.

2. Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (minimum inhibitory concentration) atau KHM
(kadar hambat minimum), yaitu konsentrasi minimal suatu agen antimikroba untuk dapat menghabat
pertumbuhan mikroorganisme. Pada metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen
antimikroba dari kadar terendah hingga tertinggi dan diletakkan permukaan media agar yang telah
ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkannya yang
menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada media
agar.

3. Ditch-plate technique

Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan pada parit yang dibuat dengan
cara memotong media agar dalam cawan petri pada bagian tengah secara membujur dan mikroba uji
( maksimum 6 macam ) digoreskan kearah parit yang berisi agen antimikroba.

4. Cup-Plate Technique

metode ini serupa dengan mitode disc diffusion, dimana dibuat sumur pada media agar yang telah
ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antimikroba yang akan diuji.

5. Gradient-Plate Technique

Pada metode ini konsentrasi agen antimikroba pada media agar secara teoretis bervariasi dari 0 hingga
maksimal. Media agar dicairkan dan larutan uji ditambahkan. Campuran kemudian dituang kedalam
cawan petri dan diletakkan dalam posisi miring. Nutrisi kedua selanjutnya dihitung diatasnya.

Plate diinkubasi selama 24 jam untuk memungkinkan agen antimikroba berdifusi dan permukaan media
mengering. Mikroba uji (maksimal 6 macam) digoreskan pada arah mulai dari konsentrasi tinggi ke
rendah. Hasil diperhitungkan sebagai panjang total pertumbuhan mikroorganisme maksimum yang
mungkin dibandingkan dengan panjang pertumbuhan hasil goresan.
DAFTAR PUSTAKA

Chambers, H. F. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. 8th ed. Salemba Medika, Jakarta.

Djide, M.N, 2003. Mikrobiologi Farmasi, Jurusan Farmasi Unhas, Makassar.

Dwidjoseputro, D.2003, Dasar-Dasar Mikrobiologi, Djambatan, Jakarta.

Ermilla. 2006. Uji Resistensi Bakteri. Angkasa, Jakarta.

Ganiswarna, S.G, 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.

Novilia, 2008. Artikel Ilmiah Penelitian Mikroba dan Uji Resistensi. Gramedi, Jakarta.

Pelczar, Michael J, 1986, Dasar-Dasar Mikrobiologi, UI-Press, Jakarta.

Syamsuni, H., Drs. 2005. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai