Anda di halaman 1dari 37

Bahan Ajar 8:

PENILAIAN AWAL
MASALAH KESEHATAN
AKIBAT BENCANA

A. PENGERTIAN

Penilaian awal masalah kesehatan atau yang biasa disebut Initial Rapid Health
Assesment dalam pedoman buku penanggulangan bencana di bidang kesehatan
menutut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomer 145/MENKES/SK/1/2007 dijelaskan
bahwa penilaian awal masalah kesehatan diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mendapatkan informasi dan data yang berguna untuk melakukan
tindakan intervensi yang dilakukan secara cepat, kurang dari 1 pekan setelah kejadian,
sehingga dapat digunakan untuk mengambil keputusan yang segera di bidang
kesehatan.

B. TUJUAN

Tujuan dari dilakukan Penilaian awal ini adalah menggambarkan kerusakan


yang terjadi, perubahan fungsi social masyarakat dan kebutuhan masyarakat terdampak
dibidang kesehatan.

C. ALASAN MELAKUKAN INITIAL NEED ASSESSMENT

Pengambilan keputusan yang efektif dan efisien dalam merespon bencana


mutlak ditopang oleh informasi yang didapat oleh pihak pengambil keputusan. Jika
informasi tidak benar, bisa dipastikan keputusan akan salah dan intervensi yang
dilakukan juga tidak tepat (tidak efektif), juga sangat dimungkinkan menghambur-
hamburkan sumberdaya dan sumberdana (tidak efisien).
Selain kebenaran dan ketepatan, informasi harus up to date. Pengambil
keputusan harus menggunakan informasi terbaru dan real-time. Jika informasinya using,
juga bisa dipastikan keputusan akan salah dan intervensi yang dilakukan juga tidak tepat
(tidak efektif), juga sangat dimungkinkan menghambur-hamburkan sumberdaya dan
sumberdana (tidak efisien).

1 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


Oleh karena itu diperlukan system penggalian informasi (assessment) yang
baku dan efektif bagi LPB/MDMC sebagai salah satu pengambil keputusan saat tanggap
darurat bencana.

D. Waktu Penilaian
Assesment adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk medapatkan
informasi dan data yang berguna untuk melakukan tindakan intervensi. Untuk
mendapatkan gambaran yang lengkap, assessment dilakukan di setiap tahap dalam
siklus bencana: sebelum kejadian (fase preparedness), pasca kejadian (fase tanggap
darurat) dan pada fase recovery. Pada setiap fase, assessment dapat dilakukan
beberapa kali dan dalam bentuk yang bisa berbeda sesuai kebutuhan, untuk menangkap
informasi yang terus berkembang.

E. Tempat Penilaian

Tempat penilaian yaitu tempat terjadinya bencana di suatu daerah.

F. Petugas dan Tim

2 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


Pelaksanaan Assessment adalah tugas dan tanggungjawab Unit kerja Assesment
yang merupakan bagian integral dari tugas pokok Tim Tanggap Darurat. Unit kerja
Assesmen dipimpin oleh Koordinator yang ditunjuk dan disepakati ketua Tanggap
Darurat Bencana yang beranggotakan orang – orang / relawan yang mempunyai
keahlian pemetaan, analisa medis, dan mengerti kondisi lingkungan serta karakter
wilayah yang terkena bencana. Koordinator tim assesmen bertanggung jawab langsung
kepada Ketua Tanggap darurat bencana. Assessor adalah seseorang atau sekelompok
orang yang melakukan assessment.
Unit kerja Assesmen bertugas dan bertanggungjawab :
1. Melakukan Assessment
2. Melaporkan hasil assessment kepada Ketua Tanggap darurat bencana
3. Bekerjasama dengan unit lain dalam tim tanggap darurat dalam melaksanakan
tugas dan tanggungjawabnya
4. Mencari dan berkomunikasi dengan Pimpinan Wilayah / Daerah / Cabang dan
ranting sesuai dengan jenis dan lokasi bencana yang terjadi untuk mendukung
tugas assesmen dan penanganan tanggap darurat bencana.

G. Langkah Innitial Assesment


1. Menyusun perencanaan kegiatan assesment
2. Mengumpulkan data primer dan/atau sekunder
3. Membuat pemetaan lokasi kejadian bencana dan peta camp pengungsian
4. Membuat kajian dan analisis kondisi lokasi bencana secara tepat dan cepat
5. Menetukan titik lokasi pendampingan dan menentukan jenis bantuan yang
akan diberikan.
6. Melaporkan hasil assessment kepada Ketua Tanggap darurat bencana
7. Mempersiapkan assessment berikutnya jika diperlukan

H. Perbedaan Assessment Cepat , Assessment Detail dan Assessment Continual

INDIKATOR RAPID DETAIL CONTINUAL

ASSESSMENT ASSESSMENT ASSESSMENT

WAKTU 1 X 24 Jam Sekitar 1 bulan Informasi


dikumpulkan
(Maks 1 minggu) secara reguler
berdasarkan
periode waktu
operasi

AKSES Terbatas Memungkinkan Akses luas

3 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


MENDAPATKAN Tidak ada waktu yang mengunjungi sejumlah
INFORMASI cukup untuk lokasi dan wawancara
mengunjungi seluruh kepada sejumlah nara
lokasi dan berbicara sumber
dengan nara sumber

Atau

Situasi keamanan yang


mengambat kegiatan
dan akses kepada orang

SUMBER INFORMASI Data sekunder, Data sekunder, sejumlah Data sekunder,


pelayanan sosial nara sumber sumber nara
(kesehatan,air dll) LSM, sumber yang
Pemerintah, masyarakat terpilih, petunjuk
yang terkena dampak lain, relawan PMI

ASUMSI YANG Tinggi Rendah Menengah


DIGUNAKAN
Waktu yang digunakan Waktu yang cukup Asumsi didasari
tidak cukup. Asumsi memadai untuk oleh petunjuk dan
didasari oleh mendapatkan informasi informasi, tetapi
pengalaman sebelumnya dapat disesuaikan
dengan sumber
lainnya

4 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


Bahan Ajar 9:
PERTOLONGAN PERTAMA
PADA
KEGAWATDARURATAN

A. Prinsip Keperawatan Gawat Darurat

Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat serta
harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama
menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para medis, dokter), baik
didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat terjadi setiap
saat dan menimpa siapa saja.
Kondisi gawat darurat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Kumpulan
materi mata kuliah Gadar:2005):
a. Gawat darurat
Suatu kondisi dimana dapat mengancam nyawa apabila tidak
mendapatkan pertolongan secepatnya.  Contoh : gawat nafas, gawat
jantung, kejang, koma, trauma kepala dengan penurunan kesadaran
b. Gawat tidak darurat
Suatu keadaan dimana pasien berada dalam kondisi gawat tetapi tidak
memerlukan tindakan yang darurat contohnya : kanker stadium lanjut
c. Darurat tidak gawat
Pasien akibat musibah yang datang tiba-tiba tetapi tidak mengancam
nyawa atau anggota badannya contohnya : fraktur tulang tertutup.
d. Tidak gawat tidak darurat
 Pasien poliklinik yang datang ke UGD

B. Triage Dalam Gawat Darurat

Triage adalah suatusistem seleksi pasien yang menjamin supaya tidak ada
pasien yang tidak mendapatkan perawatan medis. Tujuan triage ini adalah
agar pasien mendapatkan prioritas pelayanan sesuai dengan tingkat
kegawatannya.

5 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


Pemberian label dalam triage meliputi :
a. Merah : Untuk kasus-kasus gawat darurat
b. Kuning : Untuk kasus gawat tidak darurat atau darurat tidak gawat
c. Hijau : Untuk kasus-kasus tidak gawat tidak darurat/ringan
d. Hitam : Untuk kasus DOA (datang dalam keadaan sudah meninggal).

C. Tindakan Keperawatan Gawat Darurat Sesuai Aspek Legal

Perawat yang membantu korban dalam situasi emergensi harus


menyadari konsekuensi hukum yang dapat terjadi sebagai akibat dari tindakan
yang mereka berikan. Banyak negara-negara yang telah memberlakukan
undang-undang untuk melindungi personal kesehatan yang menolong korban-
korban kecelakaan. Undang-undang ini bervariasi diberbagai negara, salah
satu diantaranya memberlakukan undang-undang “ Good Samaritan” yang
berfungsi untuk mengidentifikasikan bahasa/ istilah hukum orang-orang atau
situasi yang memberikan kekebalan tanggung jawab tertentu, banyak
diantaranya ditimbulkan oleh adanya undang-undang yang umum.
Perawatan yang dapat dipertanggungjawabkan diberikan oleh
perawat pada tempat kecelakaan biasanya dinilai sebagai perawatan yang
diberikan oleh perawatan serupa lainnya dalam kondisi-kondisi umum yang
berlaku. Maka perawatan yang diberikan tidaklah dianggap sama dengan
perawatan yang diberikan diruangan emergensi.
Perawat-perawat yang bekerja di emergensi suatu rumah sakit harus
menyadari implikasi hukum dari perawatan yang diberikan seperti
memberikan persetujuan dan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan
dalam membantu kondisi mencari bukti-bukti.

D. Fungsi Perawat Dalam Pelayanan Gawat Darurat

a. Melaksanakan asuhan keperawatan gawat darurat


b. Kolaborasi dalam pertolongan gawat darurat
c. Pengelolaan pelayanan perawatan di daerah bencana dan ruang gawat
darurat

6 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


E. Tindakan – tindakan yang Berhubungan dengan bantuan hidup dasar dan bantuan
hidup lanjut.

Pengetahuan medis teknis yang harus diketahui adalah mengenal ancaman


kematian yang disebabkan oleh adanya gangguan jalan nafas, gangguan fungsi
pernafasan/ventilasi dan gangguan sirkulais darah dalam tubuh kita.
Dalam usaha untuk mengatasi ketiga gangguan tersebut harus dilakukan
upaya pertolongan pertama yang termasuk dalambantuan hidup dasar yang
meliputi :
a. Pengelolaan jalan nafas (airway)
b. Pengelolaan fungsi pernafasan/ventilasi (breathing management)
c. Pengelolaan gangguan fungsi sirkulasi (circulation management)
Setelah bantuan hidup dasar terpenuhi dilanjutkan pertolongan lanjutan
ataubantuan hidup lanjut yang meliputi :
d. Penggunaan obat-obatan (drugs)
e. Dilakukan pemeriksaan irama/gelombang jantung (EKG)
f. Penanganan dalam kasus fibrilasi jantung (fibrilasi)
Khusus untuk kasus-kasus kelainan jantung pengetahuan tentang ACLS
(Advanced Cardiac Life Sipport) setelah tindakan ABC dilakukan tindakan
D (differential diagnosis), untuk kasus-kasus ATLS (Advanced Trauma Life
Support) setelah ABC dilanjutkan dengan D (disability) serta E (exposure)

7 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


Bahan Ajar 10:
RESUSITASI JANTUNG
PARU

A. Definisi.
1. Resusitasi jantung paru (RJP) adalah upaya mengembalikan fungsi
nafas dan atau sirkulasi yang berhenti oleh berbagai sebab dan boleh
membantu memulihkan kembali kedua-dua fungsi jantung dan paru
ke keadaan normal. (http://www.scribd.com/doc/79280894/resusitasi-
jantung-paru-anestesi

2. Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat


kegagalan sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi
optimal guna mencegah kematian biologis
(http://thefuturisticlovers.wordpress.com/2012/03/18/kgd-i-resusitasi-
jantung-paru-pada-bayi-anak-dan-dewasa/).

3. Resusitasi jantung paru adalah cara untuk memfungsikan kembali


jantung dan paru-paru (Wong, 2003).

B. Tujuan.
1. Mengembalikan fungsi pernafasan atau sirkulasi pada henti nafas
(respiratory arrest) atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang
dimana fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang
memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi
tersebut bekerja kembali.
2. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi (nafas).
3. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkukasi (fungsi jantung)
dan ventilasi (fungsi pernafasan/paru) pada pasien/korban yang
mengalami henti jantung atau henti nafas melalui Cardio Pulmonary
Resuciation (CPR) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP).

8 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


(http://ekaediawati.blogspot.com/2009/05/resusitasi-jantung-
paru.html).

C. Peralatan.
Tidak menggunakan alat-alat.

D.   Persiapan Pasien.
         Keluarga diberi penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan.
         Posisi pasien diatur terlentang datar.
         Baju bagian atas pasien di buka.

E. Langkah-langkah Tindakan/Prosedur.
1. Ketika menemukan korban, lakukanlah penilaian dini dengan
memeriksa responnya melalui respon suara anda. Panggillah nama
korban jika anda mengenalnya atau dengan cara mengguncang-
guncang bahu korban (hati-hati bila curiga ada cedera leher dan
tulang belakang).
2. Jika TIDAK ADA RESPON, untuk korban dewasa mintalah
pertolongan pertama kali kepada orang disekeliling anda baru
lakukan pertolongan. Pada bayi atau anak, lakukan pertolongan
terlebih dahulu selama 1 menit baru minta bantuan. Hal ini karena
umumnya pada bayi atau anak terjadi karena sebab lain sehingga
biasanya pemulihannya lebih cepat.
3. Pada kondisi tidak respon ini, segera buka jalan nafas, tentukan fungsi
pernafasan dengan cara ; lihat, dengar, dan rasakan (LDR) selama 3-5
detik. Jika ada nafas maka pertahankan jalan nafas dan segera lakukan
posisi pemulihan atau melakukan pemeriksaan fisik.
4. Jika TIDAK ADA NAFAS, maka lakukan pemberian NAFAS
BUATAN sebanyak 2X.
5. Kemudian periksa nadi karotis korban 5 - 10 detik, jika ada maka
kembali ke no.3. Jika TIDAK ADA NADI, maka baru lakukan
tindakan Pijat Jantung Luar atau Resusitasi Jantung Paru dengan
jumlah rasio 30 kali kompresi dada : 2 kali tiupan nafas (satu

9 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


penolong) atau 5 : 1 untuk (dua penolong). Ingat melakukan RJP ini
hanya dilakukan ketika nadi tidak ada/tidak teraba.
6. Jika korban menunjukkan tanda-tanda pulihnya satu atau semua
sistem maka tindakan RJP harus segera dihentikan atau hanya diarah
ke sistem yang belum pulih saja. Biasanya yang paling lambat pulih
adalah pernafasan spontan maka hanya dilakukan tindakan resusitasi
paru (nafas buatan) saja.

Catatan : Khusus untuk bayi yang baru lahir, rasio kompresi, dan nafas
buatan adalah 3 : 1, mengingat dalam keadaan normal bayi baru lahir
memiliki denyut nadi diatas 120 x/menit dan pernafasan mendekati 40
x/menit. Melakukan RJP yang baik bukan jaminan penderita akan
selamat, tetapi ada hal-hal yang dapat dipantau untuk menentukan
keberhasilan tindakan maupun pemulihan sistem pada korban
diantaranya:
1. Saat melakukan pijatan jantung luar suruh seseorang menilai nadi
karotis, bila ada denyut maka berarti tekanan kita cukup baik.
2. Gerakan dada terlihat naik turun dengan baik pada saat memberikan
bantuan pernafasan.
3. Reaksi pupil/manik mata mungkin akan kembali normal.
4. Warna kulit korban akan berangsur-angsur membaik.
5. Korban mungkin akan menunjukkan refleks menelan dan bergerak.
6. Nadi akan berdenyut kembali.

      Resusitasi Jantung Paru dapat dihentikan apabila:


 korban pulih kembali.
 Penolong kelelahan.
 Diambil alih oleh tenaga yang sama atau yang lebih terlatih
dimungkinkan juga dengan peralatan yang lebih canggih (seperti
kejutan listrik)
 Jika ada tanda pasti mati.

F. Pendokumentasian.

10 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


         Mencatat respon pasien.
         Mencatat reaksi pasien pada saat resusitasi jantung paru.

G. Komplikasi/ Bahaya yang Mungkin Terjadi.


1. Fraktur iga dan sternum sering terjadi terutama pada orang tua, RJP
tetap diteruskan walaupun terasa ada fraktur iga. Fraktur mungkin
terjadi bila posisi tangan salah.
2. Pneumothorax.
3. Hemothorax.
4. Kontusio paru.
5. Laserasi hati dan limpa, posisi tangan yang  terlalu rendah akan
menekan procesus xipoideus ke arah hepar/limpa.
6. Emboli lemak.
7. Muntah dan aspirasi.
8. Distensi lambung.

11 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


Bahan Ajar 11:
TEKNIK BIDAI

A. PENGERTIAN
Balut bidai adalah penanganan umum trauma ekstremitas atau
imobilisasi dari lokasi trauma dengan menggunakan penyangga misalnya
splinting (spalk). Balut bidai adalah jalinan bilah (rotan, bambu) sebagai kerai
(untuk tikar, tirai penutup pintu, belat, dsb) atau jalinan bilah bambu (kulit
kayu randu dsb) untuk membalut tangan patah dsb.

B. TUJUAN BALUT BIDAI


1.     Memperrtahankan posisi bagian tulang yang patah agar tidak bergerak
2.     Memberikan tekanan
3.     Melindungi bagian tubuh yang cedera
4.     Memberikan penyokong pada bagian tubuh yang cedera.
5.     Mencegah terjadinya pembengkakan
6.     Mencegah terjadinya kontaminasi dan komplikasi
7.     Memudahkan dalam transportasi penderita.

C. PRINSIP PEMASANGAN BALUT BIDAI


1.  Bahan yang digunakan sebagai bidai tidak mudah patah atau tidak terlalu
lentur
2.  Panjang bidai mencakup dua sendi
3.  Ikatan pada bidai paling sedikit dua sendi terikat, bila bisa lebih dari dua
ikatan lebih baik.
4.  Ikatan tidak boleh terlalu kencang atau terlalu longgar.
5.  Prinsip pertolongan pertama pada patah tulang
6.  Pertahankan posisi
7.  Cegah infeksi
8.  Atasi syok dan perdarahan
9.  Imobilisasi (fiksasi dengan pembidaian)

12 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


10.Pengobatan :
a.     Antibiotika
b.    ATS (Anti Tetanus Serum)
c.     Anti inflamasi (anti radang)
d.    Analgetik/ pengurang rasa sakit

D. SYARAT – SYARAT BALUT BIDAI :


1. Cukup kuat untuk menyokong
2. Cukup panjang
3. Diberi bantalan kapas
4. Ikat diatas dan dibawah garis fraktur (garis patah)
5. Ikatan tidak boleh terlalu kencang atau terlalu kendur.

E. MACAM-MACAM PEMASANGAN BALUT BIDAI


1. Spalk kayu
2. Pneuma splint
3. Traksi
4. Vacuum matras
5. Neck collar.

F. FRAKTUR
1. Pengertian
Fraktur adalah Putusnya hubungan tulang yang diakibatkan karena ruda
paksa/ benturan.
2. Macam – Macam Fraktur :
a. Menurut Perluasan
1)     Patah tulang komplit
2)     Patah tulang inkomplit/ tidak komplit
b.   Menurut bentuk garis patah
1)     Transversal
2)     Oblique
3)     Spiral
4)     Comunited (remuk)

13 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


c. Menurut hubungan antar fragmen
1)     Tanpa perubahan bentuk
2)     Dengan perubahan bentuk
d. Menurut hubungan dengan dunia luar
1)     Patah tulang terbuka
2)     Patah tulang tertutup
e. Menurut lokalisasi
1) Pada tulang panjang :
• ⅓ proksimal
• ⅓ tengah
• ⅓ distal
2) Pada tulang Clavicula
• ¼ medial
• ½ tengah
• ¼ lateral
3) Patah Tulang Lengan Atas
Tindakan :
 Letakkan lengan bawah di dada dengan telapak tangan
menghadap ke dalam
 Pasang bidai dari siku sampai ke atas bahu
 Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah
 Lengan bawah di gendong.
 Jika siku juga patah dan tangan tak dapat di lipat, pasang
bidai sampai kelengan bawah dan biarkan tangan
tergantung tidak usah digendong
 Bawah korban ke rumah sakit
4) Patah Tulang Lengan Bawah
Tindakan :
 Letakkan tangan pada dada.
 Pasang bidai dari siku sampai punggung tangan
 Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah
 Lengan di gendong
 Kirim korban ke rumah sakit.

14 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


5) Patah Tulang Paha
Tindakan :
 Pasang 2 bidai dari:
1)    Ketiak sampai sedikit melewati mata kaki
2)   Lipat selangkangan sampai sedikit melewati mata kaki
 Beri bantalan kapas atau kain antara bidai dengan tungkai
yang patah. Bila perlu ikat kedua kaki di atas lutut dengan
pembalut untuk mengurangi pergerakan.
6) Patah Tulang Betis
Tindakan :
 Pembidaian 2 buah mulai dari mata kaki sampai atas lutut
 Diikat Beri bantalan di bawah lutut dan di bawah mata
kaki

G. PERSIAPAN ALAT DAN BAHAN


1. Mitela yaitu pembalut berbentuk segitiga
2. Dasi yaitu mitela yang telipat-lipat sehingga berbentuk dasi
15 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana
3. Pita yaitu penbalut berperekat
4. Pembalut yang spesifik
5. Kassa steril
6. Sarung tangan steril bila perlu.

H. PROSEDUR KERJA
1. Jelaskan prosedur kepada klien dan tanyakan keluhan klien
2. Cuci tangan dan gunakan handscoen steril
3. Jaga privasi klien
4. Lihat bagian tubuh yang akan dibidai
5. Atur posisi klien tanpa menutupi bagian yang akan dilakukan tindakan
6. Lepaskan pakaian atau perhiasan yang menutupi tenpat untuk
mengambil tindakan.
7. Perhatikan tempat yang akan dibalut:
a.     Bagian tubuh yang mana
b.    Apakah ada bagian luka terbuka atau tidak
c.     Bagaimana luas luka.
d.    Apakah perlu membatasi gerak bagian tertentu atau tidak
8. Lakukan balut bidai dengan melewati dua sendi
9. Hasil balut bidai:
a. Harus cukup jumlahnya, dimulai dari bagian bawah tempat yang
patah
b.    Tidak kendor dan keras.
10. Rapikan alat-alat yang tidak pergunakan.
11. Buka sarung tangan jika dipakai dan cuci tangan
12. Evaluasi dan dokumentasi tindakan.

I. PERHATIAN
1.     Pemasangan hati-hati
2.     Ingat nyeri dan kemungkinan syok

16 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


Bahan Ajar 12:
DASAR HUKUM
PENANGANAN KESPRO
DALAM BENCANA

A. ALASAN
Dalam situasi darurat bencana penting untuk menyediakan layanan
kesehatan reproduksi, sebab :
1. Akses ke pelayanan kesehatan reproduksi merupakan suatu hak
2. Kesakitan dan kematian yeng terkait dengan sistem reproduksi
merupakan persoalan kesehatan masyarakat yang signifikan
3. Orang-orang yang terdampak oleh konflik atau bencana berhak atas
perlindungan dan bantuan. Pemberian layanan kesehatan reproduksi
secara tepat waktu dapat mencegah kematian, penyakit, dan kecacadan
terkait dengan kehamilan yang tidak diinginkan, komplikasi kebidanan,
kekerasan seksual dan bentuk kekerasan berbasir gender lainnya, infeksi
HIV dan serangkaian gangguan reproduksi.

B. PENGERTIAN DASAR
a. Bencana
Adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda, dan dampak psikologis.
Berdasarkan UU Nomor 24 tahun 2007, bencana dibagi menjadi
bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial.
b. Penanggulangan Bencana (Disaster Management)
Adalah seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan
penanggulangan bencana pada sebelum, saat dan sesudah terjadi
bencana mencakup tanggap darurat, pemulihan, pencegahan,
mitigasi dan kesiapsiagaan.
c. Kesehatan Reproduksi
Adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh,
tidak semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan dalam

17 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


semua hal yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi
dan prosesnya.

C. TUJUAN

Tujuan Umum
Meningkatkan kesiapsiagaan dan kualitas pelaksanaan pelayanan
Kesehatan Reproduksi dalam situasi bencana.
Tujuan Khusus
1. Terbentuk dan terkoordinasinya tim yang melibatkan seluruh
pihak yang terkait baik dari pemerintah maupun non
pemerintah termasuk komponen masyarakat
2. Tersedianya rencana kesiapsiagaan di masing-masing
tingkatan.
3. Terjaminnya pelaksanaan Paket Pelayanan Awal Minimum
untuk Kesehatan Reproduksi pada fase awal bencana

D. DASAR HUKUM

Dasar hukum penanganan kesehatan reproduksi pada


penyelenggaraan penanggulangan kesehatan reproduksi adalah:

1. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan


Anak.
2. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW
(Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan).
3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
4. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan di
Daerah
5. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
6. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
7. Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2000 tentang Pelimpahan
Tugas dan Wewenang.

18 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


8. Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.
9. Kepmenkes Nomor 131/II/2004 tentang Sistem Kesehatan
Nasional.
10. UU no 21 tahun 2007 tentang Trafiking.
11. Undang – Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana. Pasal 55, ayat (1) menyatakan bahwa perlindungan
terhadap kelompok rentan sebagaimana dimaksud dalam pasal 48
huruf e dilakukan dengan memberikan prioritas kepada kelompok
rentan berupa penyelamatan, evakuasi, pengamanan, pelayanan
kesehatan, dan psikososial. Ayat (2) menyebutkan bahwa
kelompok rentan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. bayi, balita, dan anak-anak; b. ibu yang sedang mengandung
atau menyusui; c. penyandang cacat; dan d. orang lanjut usia.
12. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
145/MENKES/SK/I/2007 tentang Pedoman Penanggulangan
Bencana Bidang Kesehatan.

E. PRINSIP DASAR DALAM PENYUSUNAN PROGRAM KESEHATAN REPRODUKSI


DALAM SITUASI DARURAT BENCANA
1. Koordinasi
Koordinasi meliputi : pertukaran informasi, kompromi dan aksi
kolaboratif
2. Kualitas pelayanan
3. Komunikasi
4. Partisipasi masyarakat
5. Pengembangan kapasitas teknik dan managemen
6. Akuntabilitas
7. Hak Asasi Manusia
8. Advokasi

Bahan Ajar 13:


PENGORGANISASIAN TIM
SIAGA KESEHATAN
REPRODUKSI DAN
PENANGGULANGAN BENCANA

19 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


A. PENGORGANISASIAN BADAN PENANGGULANGAN BENCANA
DI INDONESIA
Pembentukan struktur organisasi Badan Penanggulangan Bencana
menurut UU No. 24 tahun 2007 dibagi dalam 3 tingkatan kewenangan
sesuai dengan susunan kepemerintahan, yaitu;

1. Pada Tingkat Nasional dibentuk Badan Nasional Penanggulangan


Bencana (BNPB)
2. Pada Tingkat Propinsi dibentuk Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) tingkat propinsi.
3. Pada Tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) tingkat kabupaten/kota.

Penanggulangan bencana di bidang kesehatan adalah menjadi :


tanggung jawab dari Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Departemen
Kesehatan dibawah koordinasi Badan Nasional Penanggulangan
Bencana di tingkat pusat.

B. PENGORGANISASIAN TIM SIAGA KESEHATAN REPRODUKSI DI


BAWAH KOORDINASI PUSAT PENANGGULANGAN KRISIS,
DEPKES PADA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA

Berikut ini adalah struktur organisasi penanggulangan bencana


berdasarkan UU no. 24 tahun 2007. Keberadaan tim siaga kesehatan
reproduksi di tingkat pusat direkomendasikan berada dibawah
struktur dan koordinasi Pusat Penanggulangan Krisis Depkes di
bawah struktur dari Badan Pelaksana Penanggulangan Bencana.

Bagan Posisi Tim Kesehatan Reproduksi dalam Penanganan Bencana


di Tingkat Nasional

Tingkat Pusat

Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Departemen Kesehatan - Pusat Penanggulangan Krisis (PPK)


20 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen
Tim Bencana
Siaga Kesehatan Reproduksi

Koordinator Tim Siaga Kesehatan Reproduksi

Bidang Data dan informasi


Bidang Pelayanan Kesehatan Reproduksi dan GBV
Bidang Logistik
Tingkat propinsi dan Kabupaten

Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Unit Pelaksana Teknis (regional) BNPB

PPK regional

Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten

Sub din Yankes/P2M

Tim Siaga Kesehatan Reproduksi

Catatan:

Pusat Penanggungan Krisis Depkes telah mendirikan 9 regional untuk


penanggulangan bencana di seluruh Indonesia. Regional PPK berfungsi
sebagai unit fungsional di daerah yang ditunjuk untuk mempercepat dan
mendekatkan fungsi bantuan pelayanan kesehatan dalam penanggulangan
kesehatan dan berfungsi sebagai pusat pengendali bantuan kesehatan, pusat
rujukan kesehatan dan pusat informasi kesehatan.

Ke-9 regional tersebut adalah:

1. Sumatera Utara, Pusat di Medan dengan wilayah: NAD, Sumatera Utara,


Riau, Kepulauan Riau dan Sumatera Barat
2. Sumatera Selatan, Pusat di Palembang dengan wilayah : Sumatera
Selatan, Jambi, Bangka Belitung dan Bengkulu

21 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


3. DKI Jakarta, Pusat di Jakarta, dengan wilayah DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat. Lampung dan Kalimantan Barat
4. Jawa Tengah, Pusat di Semarang, dengan wilayah: Jawa Tengah dan DI
Yogyakarta
5. Jawa Timur, Pusat di Surabaya, dengan wilayah: Jawa Timur
6. Kalimantan Selatan, Pusat di Banjarmasin, dengan wilayah: Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur
7. Bali, Pusat di Denpasar, dengan wilayah Bali, NTB dan NTT
8. Sulawasi Utara, Pusat di Menado, dengan wilayah Sulawesi Utara,
Gorontalo dan Maluku Utara
9. Sulawesi Selatan, Pusat di Makasar dengan wilayah Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara,Maluku dan sub
regional Papua dengan pusat di Jayapura dan mencakup wilayah Papua
dan Irian Jaya Barat.

C. PEMBAGIAN TANGGUNG JAWAB PADA MASING–MASING BADAN


PENANGGULANGAN BENCANA
1. Upaya penanganan masalah kesehatan reproduksi pada
manajemen bencana ada pada tingkat kabupaten/kota adalah
tanggung jawab tim siaga kesehatan reproduksi bekerja sama
dengan dinas kesehatan kabupaten setempat.
2. Tanggung jawab upaya penanganan masalah kesehatan
reproduksi pada tingkatan provinsi bersifat suportif dan rujukan
(referal) kepada tim siaga kesehatan reproduksi kabupaten/kota.
3. Tim siaga kesehatan reproduksi pusat bersifat suportif dan
rujukan kepada tim kesehatan reproduksi Propinsi.
D. Struktur Tim Siaga Kesehatan Reproduksi
Tim siaga Kesehatan Reproduksi terdiri dari beberapa bidang, dimana
setiap bidang terdiri dari koordinator dan anggota. Pemilihan
koordinator maupun anggota tim sedapat mungkin berdasarkan
bidang kerja dan kemampuan dalam mengelola program kesehatan
reproduksi.

22 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


Koordinator Tim Kespro
Penanggung Jawab Kespro
Sektor Kesehatan

Wakil Koord : dari non


pemerintah yang memiliki
peran & fungsi yang relevan

Bidang
Bidang Bidang Bidang Bidang
Pelayanan Kespro dan
data dan informasi Logistik Capacity Building Promosi (KIE)
GBV

Bagan 2. Tim Siaga Kesehatan Reproduksi

Di bawah ini adalah struktur tim siaga Kesehatan Reproduksi yang

direkomendasikan:

1. Rekomendasi anggota bidang Data dan Informasi


 Kesga
 Surveilan
 IBI
 NGO/INGO bidang kespro
 jejaring PPKtP (Program Penanggulangan Kekerasan terhadap
Perempuan)
 Lain-lain

2. Rekomendasi anggota bidang Pelayanan Kespro dan GBV


 Dokter RS- Puskesmas-IDI
 Bidan RS- Puskesmas-IBI
 POGI
 Jejaring PPKtP
 Lain-lain
3. Rekomendasi anggota bidang logistik
 Kesga

23 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


 TU dinkes
 IBI
 BKKBN daerah
 PMI
 Lain-lain
4. Rekomendasi anggota bidang capacity building
 Kesga
 IBI
 P2KP/P2KS/ POGI
 Anggota jejaring PPKtP
 Perguruan Tinggi
 Lain-lain
5. Rekomendasi bidang promosi (KIE)
 Promkes
 IBI
 NGO/INGO
 PKK Kader
 BKKBN daerah
 Jejaring PPKtP
 Lain-lain

Catatan :

Daftar anggota tersebut adalah bersifat rekomendasi dan penentuannya


dapat disesuaikan dengan kondisi di masing-masing daerah.

E. PEMBAGIAN TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB


Pembagian tugas dan tanggung jawab tim siaga kesehatan
reproduksi: Fungsi dari tim siaga Kesehatan Reproduksi adalah
sebagai pelaksana kegiatan kesehatan Reproduksi dalam kondisi
bencana

24 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana


25 Nur Khafidhoh, SSiT, M. Kes | Managemen Bencana
F. PEMBAGIAN TUGAS MASING-MASING BIDANG DI BAWAH TIM SIAGA KESEHATAN REPRODUKSI

PRA BENCANA
TUGAS Dalam situasi tidak ada Dalam situasi terdapat TANGGAP DARURAT PASCA BENCANA
bencana potensi bencana
Koordinator Tim Siaga Kespro  Melakukan koordinasi Mengkoordinasikan :  Sebagai focal point program  Melakukan koordinasi,
menyusun rencana Proses penilaian bahaya, kespro rehabilitasi dan
penanganannkesehatan kerentanan dan resiko  Memberikan bantuan teknis rekonstruksi
reproduksindalam kespro dan saran bagi koord.siaga
penanggulangan bencana Pembuatan rencana kesproo dan seluruh
 Mengorganisasikan kesiapsiagaan organisasi yang terkait
pelaksanaan tindak lanjut bidang kespro
hasil perencanaan  Berkoordinasi dengan
 Memantau pelaksanaan pemerintah pusat dan
monitoring dan evaluasi regional dalam perencanaan
pelaksanaan hasil tindak dan pelaksanaan program
lanjut kespro.
 Meyakinkan akan
pentingnya memasukkan
komponen kepro dalam
agenda pertemuan
koordinasi kesehatan
PRA BENCANA
TUGAS Dalam situasi tidak ada bencana Dalam situasi terdapat TANGGAP DARURAT PASCA BENCANA
potensi bencana
Bidang data dan informasi  Melakukan penilaian bahaya,  Menggunakan indikator standar
kerentanan dan analisa kespro untuk memonitor hasil PPAM
 Mempersiapkan data dasar  Mengumpulkan, menganalisa dan
SDM, sarana dan prasarana mendistribusikan data hasil
kespro penilaian cepat untuk digunakan
 Membuat pemetaan wilayah pihak yang berkepentingan
kespro

Bidang pelayanan dan  Merencanakan rujukan kespro  Memastikan kesiapan tim  Memastikan pelayanan PPAM
kekerasan berbasis gender dalam kondisi darurat dengan pelayanan untuk kelompok spesifik : ibu
menunjuk RS tertentu sbg hamil, menyusui, dll
pusat rujukan  Mengadaptasi dan
 Mempersiapkan kerjasama RS memperkenalkan formulir
swasta maupun pemerintah sederhana untuk memonitor
untuk menjadi RS rujukan aktifitas kespro selama fase
dalam kondisi emergency kegawatdaruratan yang dapat
keputusan Menteri Kesehatan menjadi lebih komprehensif
(Kepmenkes) Bila program sdh berkembang :
 Advokasi kepmen untuk  Melapor secara teratur kepada tim
memasukkan kespro dan koordinasi kesh.
kekerasan berbasis gender  Memastikan masing-masing
dalam situasi bencana koordinator lap & anggotanya yg
 Sosialisasi protokol standar mempunyai tanggung jwb pd
untuk pelayanan kesehatan pelaks yankesrepro tlh berada di
reproduksi masing-masing tempat
 Pemantapan jejaring  Mengaktifkan tim gerak cepat
menempatkan posko-posko
pelayanan kespro
PRA BENCANA
TUGAS Dalam situasi tidak ada bencana Dalam situasi terdapat TANGGAP DARURAT PASCA BENCANA
potensi bencana
Bidang logistik  Merencanakan pengadaan alat  Menjamin ketersediaan  Distribusi logistik kespro  Pemantauan pemakaian
dan bahan untuk persediaan logistik untuk pelayanan  Pencatatan dan pelaporan logistik
(stockpilling kondisi kespro  Pencatatan dan pelaporan
 Memastikan ketersediaan fasilitas
emergency dan penyimpanan
 Membuat pencatatan dan untuk memenuhi kebutuhan
maupun pengisian ulang.
 Pengadaan barang pelaporan distribusi reproduksi
 Penyusunan mekanisme logistik
distribusi  Penentuan titik distribusi
 Pencatatan dan pemeliharaan
RH Kits (minimal 6 bln utk
obat2 yang akan kadaluwarsa
untuk dikirim ke puskesmas)
 Pengadaan sistem pre order
Bidang capacity building  Melakukan pendidikan dan  Menginventaris proses
pelatihan manajemen bencana pembelajaran (lessons
 Membentuk tim gerak cepat learnt) untuk perbaikan ke
kespro depan
 Melatih tim gerak cepat  Menyusun rencana
kespro kebutuhan pelatihan
(manajemen & teknis) di
bidang kesehatan
reproduksi

PRA BENCANA
TUGAS Dalam situasi tidak ada bencana Dalam situasi terdapat TANGGAP DARURAT PASCA BENCANA
potensi bencana
Bidang KIE  Menyusun materi KIE untuk  Sosialisasi materi KIE yang  Melakukan kegiatan KIE di  Mengevaluasi materi yang
masyarakat : bagaimana sudah disusun daerah pengungsian kerjasama ada berdasarkan
mendapatkan pelayanan saat dengan bidang pelayanan pengalaman masa darurat
kondisi darurat, tempat-
dan melakukan revisi
tempat yang bisa melayani
dalam kondisi darurat ( sesuai sesuai kebutuhan
perjanjian kerjasama dengan  Menyusun materi KIE
RS dan layanan yang lain) situasi pasca bencana
 Sosialisai materi KIE yang  Pemberdayaan masyarakat
sudah disusun
 Pendidikan tentang
keterlibatan masyarakat
dalam mendukung pelayanan
kespro pada saat bencana
Bahan Ajar 14&15:
LANGKAH-LANGKAH
PENANGGULANGAN KESPRO
PADA TIAP TAHAP
PENANGGULANGAN
BENCANA

Tiap-tiap fase bencana memiliki karakteristik/kondisi yang tertentu. Oleh


karena itu diperlukan langkah-langkah yang berbeda untuk setiap tahapan
bencana. Agar kegiatan dapat berjalan dengan terarah, maka rencana yang
disusun oleh Tim Siaga Kesehatan Reproduksi harus bersifat spesifik untuk
tiap tahapan bencana yaitu:

1. Pada Tahap Prabencana baik dalam situasi normal dan potensi bencana,
dilakukan penyusunan Rencana kesiapsiagaan yangdapat dipergunakan
untuk segala jenis bencana.
2. Pada Tahap Tanggap Bencana, dilakukan pengaktifan Rencana Operasi
(Operational Plan) yang merupakan operasionalisasi Rencana
Kesiapsiagaan.
3. Pada Tahap Pasca Bencana, dilakukan Penyusunan Rencana Pemulihan
(Recovery Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi.

A. TAHAP PRABENCANA
Tindakan yang dilakukan adalah penyusunan rencana kesiapsiagaan
kesehatan reproduksi pada setiap tingkat pemerintahan, mulai dari
tingkat kabupaten/kota, propinsi dan tingkat pusat.

Rencana Kesiapsiagaan adalah rencana kegiatan yang dilakukan untuk


mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna.

Tujuan rencana Kesiapsiagaan :

1. Membangun kesadaran stakeholder agar turut aktif dalam program


penanganan bencana.
2. Memastikan koordinasi yang efektif dari respon bencana.
3. Memastikan respon bencana yang cepat, tepat dan efisien melalui
penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum untuk Kesehatan
Reproduksi sejak fase awal bencana.

Waktu penyusunan :

1. Pada kondisi normal sebelum terjadi bencana.

Rencana kesiapsiagaan disusun pada kondisi normal sebelum terjadi


bencana dan harus direview dan direvisi secara berkala sesuai dengan
perkembangan kondisi daerah setempat (minimal 1 tahun sekali).

2. Pada saat terdapat potensi bencana

Rencana kesiapsiagaan harus disesuaikan dengan kondisi daerah


setempat. Pada saat terdapat potensi bencana dimana sering terjadi
perubahan kondisi daerah, maka frekuensi review dan revisi rencana
kesiapsiagaan harus ditingkatkan. Disamping itu harus pula
ditingkatkan persiapan operasionalisasi dari rencana kesiapsiagaan
tersebut.

Tahap penyusunan rencana kesiapsiagaan

1. Tahap persiapan
a. Pembentukan tim kesehatan reproduksi
b. Mengadakan pertemuan/lokakarya untuk mendapatkan
kesepahaman tentang konsep PPAM (Paket Pelayanan Awal
Minimum) dan penerapannya dalam penyusunan rencana
kesiapsiagaan pada tahap berikutnya.
2. Tahap penyusunan rencana kesiapsiagaan
a. Identifikasi data-data kesehatan reproduksi (baik data cakupan
maupun data sarana yang ada), termasuk data kerentanan di
wilayah tsb.
b. Pembuatan peta
c. Tindakan untuk mengurangi kerentanan dan risiko
kesehatanreproduksi.
d. Penyiapan komponen rencana kesiapsiagaan.
Proses identifikasi kerentanan kesehatan reproduksi dalam masyarakat
melalui langkah;

1. Menilai status kesehatan reproduksi setempat berdasarkan indikator


kesehatan reproduksi yang ada seperti angka kematian ibu, dll.
2. Mengenali faktor – faktor kerentanan kesehatan reproduksi seperti
faktor kemiskinan, akses terbatas ke pelayanan kesehatan reproduksi,
ketrampilan tenaga kesehatan dll.

Peta Kerentanan dan Risiko

Peta adalah salah satu dari cara terbaik untuk mempresentasikan hasil
dari penilaian kerentanan, dan analisa risiko.

Langkah – Langkah Menggambar Peta

1. Membuat simbol – simbol yang menggambarkan;


a. Kelompok – kelompok rentan seperti ibu hamil dan bayi .
b. Kelompok risiko tinggi kesehatan reproduksi pada populasi yang
ada dalam wilayah setempat seperti : wilayah dengan prevalensi
HIV, IMS, dll.
c. Masalah kesehatan reproduksi pada masyarakat seperti tingginya
jumlah kematian ibu, bayi dll.
d. Tenaga kesehatan khususnya dalam bidang kesehatan reproduksi.
e. Fasilitas kesehatan dan alur rujukan pelayanan kesehatan
reproduksi (puskesmas PONED dan Rumah sakit PONEK)
2. Menggambar alur yang menghubungkan antara populasi setempat
dengan fasilitas layanan kesehatan reproduksi terdekat dan alur
rujukan antar fasilitas layanan kesehatan reproduksi.

Penyiapan Komponen Kesiapan Penanggulangan Bencana


Komponen kesiapan penanggulangan bencana meliputi;

1. Sumber daya manusia

Tim siaga kesehatan reproduksi bertanggung jawab untuk menyiapkan


kemampuan sumber daya manusia untuk pelaksanaan rencana
kesiapsiagaan sesuai bidangnya masing-masing.

2. Pengorganisasian: sesuai pengorganisasian sebelumnya


3. Fasilitas, alat dan bahan

Langkah-langkah:

a. Mengidentifikasi kebutuhan logistik kesehatan reproduksi


b. Mengidentifikasi tempat penyimpanan logistik
c. Mengidentifikasi tempat pelayanan
d. Mengidentifikasi institusi/organisasi (nasional/internasional) yang
memiliki potensi dalam penyediaan logistik dan fasilitas kesehatan
reproduksi Penyediaan dan penyiapan kebutuhan material Kesehatan
Reproduksi yang terdiri dari:
 RH kit
 Bidan kit (di luar paket RH kit)
 Individual kit: hygiene kit, kit bayi, kit ibu hamil, kit ibu bersalin
 Peralatan penunjang Kesehatan Reproduksi: tenda, generator,
lampu penerangan dll
4. Perencanaan anggaran

Tiap tingkatan pemerintahan perlu menyiapkan alokasi anggaran dan


memobilisasi anggaran untuk membiayai rencana kegiatan pada rencana
kesiapsiagaan.

5. Komunikasi, Informasi dan Edukasi

Langkah yang dilakukan adalah:

Penyusunan materi KIE yang berkaitan dengan situasi bencana seperti:

 Bagaimana mendapatkan pelayanan dalam kondisi bencana


 Tempat-tempat pelayanan yang tersedia dll
 Dan menyebarkannya secara luas kepada masyarakat.
6. Penyiapan Mekanisme Respon

Penyiapan mekanisme respon dapat dilakukan dengan melakukan


gladi/simulasi pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi dalam
situasi tanggap bencana.

Tindak Lanjut Pasca Penyusunan Rencana Kesiapsiagaan

1. Pengesahan dan penetapannya dengan landasan hukum

2. Sosialisasi kepada pihak-pihak terkait

3. Pelaksanaan rencana kesiapsiagaan

B. SAAT TANGGAP BENCANA


Panduan Tindakan Operasional

a. Tindakan yang dilakukan:

operasionalisasi dari rencana kesipasiagaan dibawah koordinasi


koordinator tim siaga kesehatan reproduksi.

b. Tujuan pelaksanaan tindakan operasional :

Untuk memberikan respon yang cepat, tepat dan sistematis segera


setelah dan selama tanggap bencana, sehingga efek yang ditimbulkan
bencana terhadap kesehatan reproduksi dapat seminimal mungkin.

c. Tahapan Tindakan Operasional

Tindakan operasional dari rencana kesiapsiagaan dibedakan menjadi


respon awal dan respon lanjutan.

1. Respon Awal
a. Penentuan Tingkat wewenang penanganan bencana: tingkat
kabupaten/propinsi/nasional

Tim Siaga Kespro Tim Siaga Kespro


bencana Tingkat Tingkat Propinsi
Kabupaten

Tim Siaga Kespro PPK Regional


PPK Pusat Setempat

Keterangan :

Dalam hal terjadi bencana, maka tanggung jawab pertama upaya


penanganan kesehatan reproduksi ada pada tingkatan
kabupaten/kota, Manakala masalah Kesehatan Reproduksi yang
timbul tidak tertangani oleh tim tingkat kabupaten, maka upaya
penanganan akan mendapat dukungan dari tingkat di atasnya.

b. Mengintegrasikan tim siaga kespro ke dalam tim koordinasi Badan


Penanggulangan Bencana
2. Mobilisasi tim siaga kesehatan reproduksi untuk melakukan penilaian
awal dan kegiatan lain secara simultan sesuai fungsi dari masing-
masing sub tim.

Penilaian Awal Kesehatan Reproduksi secara Cepat

a. Tujuan:
1. untuk mengukur besarnya masalah yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi akibat bencana, dampak yang terjadi
maupun yang mungkin terjadi terhadap kesehatan reproduksi.
2. menjadi acuan bagi upaya kesehatan reproduksi yang tepat
dalam penanggulangan dampak bencana terhadap kesehatan
reproduksi.

b. Penanggung jawab: koordinator bidang penilai pada tim siaga


kesehatan reproduksi
c. Waktu pelaksanaan: terintegrasi dengan penilaian kesehatan
secara umum, dan waktu pelaksanaannya tidak lebih dari 72 jam
setelah bencana terjadi.

Penilaian awal kesehatan secara cepat dilakukan melalui alur sebagai


berikut :

Koordinator Tim Siaga Kesehatan Reproduksi

Bidang Data dan Informasi :Mereview sumber informasi yang tersedia,


berdasarkan rencana kesiapsiagaan

Mengunjungi daerah bencana dan mengumpulkan informasi yang


dibutuhkan dengan cara; Mengisi form penilaian cepat kesehatan reproduksi

untuk PPAM

Menganalisa informasi yang terkumpulkan dengan cepat Memberikan


rekomendasi kepada koordinator Tim Siaga Kesehatan Reproduksi untuk
operasionalisasi rencana kesiapsiagaan sesegera mungkin

C. PASCA BENCANA
Kegiatan difokuskan pada upaya pemulihan kondisi kesehatan reproduksi.
Secara definisi pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk
mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena
bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana
dengan melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi dan difokuskan pada
perencanaan pelaksanaan kesehatan reproduksi komprehensif.

Pelayanan kespro komprehensif meliputi :

a. KIA

b. KB

c. IMS, HIV dan AIDS

d. Kespro Remaja
e. Kespro usia lanjut

f. Kasus kekerasan berbasis gender termasuk kekerasan seksual

Kegiatan Pemulihan ini meliputi kegiatan :

1. Melakukan assessment untuk menilai kesiapan pelayanan Kesehatan


Reproduksi sesuai kondisi normal

Penanggung jawab: Koordinator bidang data & informasi

Data yang dikumpulkan meliputi:

a. Validasi data penduduk pasca bencana


b. Lihat data-data awal kesehatan reproduksi sebelum bencana
c. Mengidentifikasi sarana dan pra sarana (fasilitas kesehatan,
ketersediaan staff, termasuk ketersediaan alat dan bahan) yang dapat
direhabilitasi dan dikembangkan untuk pelaksanaan pelayanan RH
yang komprehensif terpadu.
2. Perencanaan pelaksanaan Kesehatan Reproduksi komprehensif terpadu
Perencanaan disusun berdasarkan hasil dari proses assessment.
Komponen perencanaan meliputi : sumber daya manusia, fasilitas, alat
dan bahan, anggaran.
3. Pelaksanaan Upaya Pemulihan Kesehatan Reproduksi

Operasionalisasi dari perencanaan pelaksanaan kespro komprehensif


terpadu.

D. MONITORING DAN EVALUASI

Tujuan keseluruhan dari Monitoring dan evaluasi adalah untuk mengukur


efektifitas program, identifikasi permasalahan, mendapat pelajaran, dan
meningkatkan performance secara keseluruhan.

Aktivitas M&E digunakan untuk menilai kemajuan dari pelaksanaan hasil


perencanaan dan menemukan kelemahan dalam penyusunan rencana.

Anda mungkin juga menyukai