Anda di halaman 1dari 10

Sejarah Qawaid Fiqhiyyah

Disusun sebagai Bahan Presentasi Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyyah semester 4

Dosen Pengampu: Dr. Muh. Fudhoil Rahman, Lc., M.A.

DISUSUN OLEH:
Kelompok 1

Aldira Nathasya 11180490000012

Abdurrahman Baqi 11180490000030

Annisa Alkarimah 111804900000

PROGRAM STUDI S1 HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRISYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H /2020 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah Qawaid
Fiqhiyah ”. Makalahini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Qawaid Fiqhiyah”

Kami mengucapkan terimakasih pada semua pihak dan sumber yang


tercantumataspartisipasinyadalampembuatanmakalahini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami menerima saran dari berbagai pihak demi terwujudnya makalah
yang lebih baik dimasa yang akan datang. Terimakasih.

Jakarta, 18 Maret 2020

Penulis
BAB 1

A. Sejarah munvulnya Qaidah Fiqhiyyah


1. Pada Masa Nabi
Nabi SAW tidak meninggalkan Umatnya begitu saja sebelum membangun secara
sempurna terhadap hukum islam dengan nash yang sharih, global dan universal. Di samping
itu, Nabi akan lebih dulu menjelaskan dalil – dalil yang masih global, mutlak, serta men-
takhsis dalil yang umum dan men- nash hukum – hukum yang perlu untuk di naskh.
Sedangkan peran sahabat setelahnya hanya melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh nabi.
Ijtihad sahabat tidak dapat disebut sebagai tasyri’ (penciptaan hukum syariat) namun,
sebatas mengembangkan dan menjabarkan dasar – dasar yang telah diletakkan oleh
nabi.1Posisi fiqh lebih berada pada wilayah praktis dari pada menanyakan persoalan baru
kepada nabi setelah persoalan itu terjadi. Tidak ada usaha untuk membuat kerangka teori
dalam berfikir untuk kedepan. Disamping itu nabi tidak mewariskan ilmu fiqh dalam bentuk
buku yang siap pakai. Beliau hanya meninggalkan prinsip – prinsip hukum yang universal,
Qaidah – Qaidah umum, dan beberapa hukum – hukum parsial tertentu yang telah
ditetapkan dalam Al – Qur’an dan Al-Hadis. Qaidah – qaidah umum itu dapat dijadikan
senagai kerangka berfikir untuk memecahkan persoalan – persoalan yang bersifat parsial.
Dengan qaidah itu, fiqih akan tetap dinamis, fleksibel dan tetap akan memiliki cakupan
wilayah yang luas. 2
a. Al –Qur’an
ِ ‫َن لَ ي س لِ إْلِ نْ س‬
‫ان إِ اَّل َم ا َس َع ٰى‬ َ َ ْ ْ ‫َو أ‬
“Dan bahwasannya manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakan.”
(Al-Najm/53:39)
:ۖ ‫ َو أ َْو فُ وا بِ الْ َع ْه ِد‬:ۚ ُ‫َش دَّ ه‬ ِ ِ ِ‫ال الْ يَ ت‬
ْ ‫يم إِ اَّل بِ الَّيِت ه َي أ‬
ُ ‫َح َس ُن َح ىَّت ٰ َي ْب لُ َغ أ‬ َ ‫َت ْق َر بُوا َم‬ ‫َو اَل‬
‫ان َم ْس ئُ و اًل‬
َ ‫الْ َع ْه َد َك‬ َّ‫إِ ن‬
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik
(bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggung jawabnya”. (Al-Isra’/17:34)

ُّ ِ‫ إِ نَّهُ اَل حُي‬:ۚ ‫َّه‬


‫ب‬ ِ ‫ فَ م ن ع َف ا و أَص لَ ح فَ أَج ر ه ع لَ ى الل‬:ۖ ‫و ج ز اء س يِّ ئَ ٍة س يِّ ئَ ةٌ ِم ْث لُ ه ا‬
َ ُُْ َ ْ َ َ ْ َ َ َ َ ُ ََ َ
ِِ
َ‫الظَّال م ني‬
“Dan balasan sesuatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka bagi yang
memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas allah. Sesungguhnya Dia tidak
menyakiti orang-orang zalim”.(Al-Syura/42;40)

1
Al-Subqi,dkk.., Tarikh Tasyri’al-Islami,(Beirut: Dar al-Fikr,t.th).h.8
2
Musthafa Ahmad Al-Zarqa’, Al-Madkhal al-fiqh Al-‘Ami,(Beirut: Dar al-Fikri, 1967-1968),Juz 1,h.148-149
b. Al Hadis
َ ‫ض َر َر َوالَ ضِ َر‬
‫ار‬ َ َ‫ال‬
“Tidak boleh berbuat dlarar kepada diri sendiri dan orang lain “

Ayat – ayat dan hadis – hadis diatas sekilas sulit untuk difahami karena tidak
menunjuk pada satu persoalan fiqh tertentu dan makna yang dikandungnya sangat
umum. Namun, jika difahami secara seksama, teks – teks ini dapat menampung seluruh
persoalan fiqh yang ada. Al-Qur’an lebih banyak mengandung ajaran – ajaran yang
sifatnya prinsipil dari pada penjelasan – penjelasan yang sifatnya teknik. Diatas Prinsip-
prinsip ini persoalan yang sifatnya parsial terbangun diatasnya. Ajaran prinsipil ini
bersifat global dan tidak mengatur persoalan-persoalan yang berada ditataran practice
dan teknis kecuali hanya sedikit. Diatas prinsip itulah, nilai-nilai keadilan sosial dan
kebagian dibangun dan dibawahnya masalah- masalah ikhtilaf teratasi. Dan ajaran –
ajaran prinsip itu sesuai dengan fitrah manusia, sehingga seluruh persoalan fiqh dapat
bermuara kepadanya. Menurut ulama Syariah, al-qur’an adalah sumber utama didalam
Islam. Selain Al-qur’an hanya sebatas teks pengurai dari al-qur’an yang bersifat global
itu.3
Sejarah tentang munculnya qaidah fiqh tidak dibicarakan secara khusus dalam
kebanyakan kitab yang mengungkap tentang sejarah fiqh. Oleh karena itu, sangat
penting sekali menulis buku yang secara khusus membicarakan tentang sejarah dari
qaidah-qaidah, mengingat eksistensinya dalam fiqh sangat urgen. Ada tiga tahap
perjalanan dari sejarah qa’idah fiqh. Pertama sejarah kemunculannya, kedua sejarah
perkembangan dan pembukuannya. Ketiga, masa kesempurnaan atau kematangannya.
Munculnya benih – benih qaidah yang sebenernya sudah ada sejak masa nabi. Hadis
– hadis Nabi yang membecarakan tentang hukum, banyak yang memakai pola qa’idah
umum yang artinya dapat mencakup dan menampung seluruh persoalan – persoalan
fiqh (Jawami’ al-kalim). Seperti hadis yang berbunyi;
َ ‫ض َر َر َوالَ ضِ َر‬
‫ار‬ َ َ‫ال‬
“ Tidak boleh berbuat dlarar terhadapt diri sendiri dan orang lain”
‫الخراج بالضمان‬
“Keuntungan dapat diperoleh dengan pinjaman”

Merunut para ahli fiqh hadis-hadis diatas berbentuk ungkapan yang berpola qa’idah
fiqh. Walaupun hadis tersebut secara formal belum disebut qa’idah tetapi tetap sebagai
hadis pada saat itu, seperti;

Hadis – hadis diatas memiliki arti umum yang mencakup beberapa aspek hukum dan
merangkul masalah – masalah yang bersifat subordinatif. Kalau dipahami secara
3
Ibid. h. 150-155
mendalam, maka hadis – hadis diatas memiliki karakter yang sama dengan qaidah. 4
Imam al-Khattabi (388 H) dalam komentarnya mengatakan “Teks – Teks Hadis ini
memiliki makna yang cakupan hukumnya sangat luas, baik menyangkut persoalan
nyawa ataupun harta.5
Berdasarkan hadis diatas kita dapat simpulkan bahwa dari sekian ribu hadis, terdapat
hadis-hadis yang memiliki karakter yang sama dengan qa’idah fiqh yang keberadaannya
sangat penting dalam ilmu fiqh.

2. Periode Al-Khulafa’ Al-Rasyidun


Pada periode ini pola piker sahabat telah berubah. Kalau pada masa nabi mereka hanya
menaruh perhatian terhadap apa yang telah diberikan oleh nabi. Sehingga pada masa ini,
penggunaan rasio secara maksimal dalam memahami hukum tidak dibutuhkan. Segala
persoalan langsung ditanyakan kepada nabi. Akibatnya ijtihad yang masih berada diantara
benar dan salah tidak diperlukan karena mereka dapat memperoleh kebenaran valid dengan
cara menanyakan langsung persoalan itu pada sumbernya, yaitu Nabi.
Namun setelah nabi meninggal, persoalannya menjadi lain. Pola piker sahabat mulai
mengalami transformasi ke arah ijtihad. Hal ini lebih disebabkan oleh persoalan – persoalan
baru yang tidak pernah terjadi pada masa nabi muncul dan memaksa mereka untuk
berijtihad.
Metode ijtihad mereka pada saat itu adalah mencari keterangan terlebih dahulu dalam
al-Qur’an. Jika mereka tidak menemukan maka pindah ke sunan nabi, dengan cara
memusyawarahkan dan mengumpulkan para sahabat yang pernah mendengar penjelasan
dari nabi tentang masalah itu jika mereka tidak menemukan keterangan,baru mereka
menggunakan ra’yu atau ijtihad.
Metode pengkajian fiqh pada periode ini tidak beda jauh dengan sebelumnya, yaitu
pada masa nabi, fiqh hanya bersifat praktis. Persoalan – persoalan baru dicari hukumnya
setelah terjadi, kemudian baru disesuaikan dengan nash kibat dan sunah. Ada dua hal yang
membedakan masa ini dengan masa sebelumnya;
a. Penggunaan ra’yu dan qiyas sangat tampak nyata dalam menghukumi persoalan –
persoalan baru. Ra’yu dan ijtihad pada masa nabi tidak pernah dipakai kecuali pada
saat – saat tertentu.
b. Munculnya Ijma’, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar ketika
menghadapi masalah – masalah baru, keduanya mengumpulkan para sahabat lain
untuk dimintai pendapatnya dan apa yang di sepakati itu yang diajalankan. 6

Jika kita menganalisis atsar para sahabat, maka akan kita temukan pola-pola bahasa yang
sama dengan Hdis diatas. Seperti perkataan Umar;

Dan perkataan yang diriwayatkan oleh Abdul Razzaq dari Abdullah bin Abbas;

4
Ali Ahmad Al-Nadwi,Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus:Dar al-Qalam,1986),Cet. 1, h.90
5
Al-Khattabi,Garib al-Hadis,(T.tp:tp,t.th) Juz 1, h. 64-65
6
Al-Zarqa’,op.cit., h.156-159
Bila diamati ungkapan Umar diatas, maka ia merupakan ungkapan yang berpola qa’idah
yang menjelaskan tentang bab syarat. Sedang ungkapan Ibnu Abbas adalah Ungkapan
berbentuk qa’idah yang menjelaskan tentang bab kaffarat (denda) dan takhyir
(menentukan pilihan pada denda).

3. Periode Tabi’in
Menurut Ibnu Qayim al-Jauzy, ilmu fiqh menjadi berkembang ditengah masyrakat pada
waktu itu karena jasa murid-murid Ibnu Mas’ud yang ada di irak, murid-murid Zaid bin
Tsabit, Ibnu Umar yang ada di madinah, dan murid-murid Ibnu Abbas yang ada di makkah. 7
Demikian halnya para pembesar sahabat seperti Umar, Ibnu Mass’ud, dan Ali, ketika
singgah disuatu tempat, mereka saling memberikan pengarahan-pengarahan kepada
kelompok masyarakat yang mengjaki fiqh, sehingga kelompok – kelompok kajian fiqh yang
pernah disinggahi akan mengikuti system pengambilan hukum yang pernah diajarkan oleh
mereka.
Periode pendasaran ini adalah awal dari kecenderungan fiqh untuk berada pada wilayah
teori. Hal ini berbeda dengan masa al-Khulafa’ al-Rasyidun yang menjadikan fiqh berada
dalam wilayah praktek, sebagaimana yang ada pada masa nabi. Dengan masuknya fiqh
pada wilayah teori, banyak hukum fiqh yang di produksi dari hasil penalaran terhadap teori
dibandingkan hukum fiqh yang dihasilkan dari pemahaman terhadap kasus – kasus yang
pernah terjadilalu disamakan dengan kasus baru. Sehingga, fiqh tidak hanya mampu
menjelaskan persoalan-persoalan waqi’iyyah (aktual) namun lebih dari itu. Disamping itu
juga,periode ini merupakan awal perubahan fiqh dari sifatnya yang waqi’iyyah (aktual)
menjadi Nazariyyah (teori).8
Penggunaan ra’yu didalam fiqh, seperti qiyas, istihsan dan istishlah untuk menghukumi
masalah-masalah yang tidak dijelaskan secara tegas oleh nash berkembang pesat. Akhitnya
pengambilan hukum dengan cara seperti itu menimbulkan kekhawatiran terhadap ulama
ahli hadis, karena cara diatas dianggap telah memberikan otoritas penuh kepada ra’yu
dalam proses pengambilan hukum menurut mereka episteme seperti ini tidak menutup
kemungkinan dalam proses pengambilan hukum hanya mengandalkan atau mengutamakan
akal bukan dalil.
Menurut Abu Zahrah pertentangan antara Ahlu Ra’yi dan Ahlu Hadis tidak berlangsung
lama, karena para generasi setelahnya berusaha melakukan singkronisasi terhadap masalah
dipersengketakan oleh guru-guru mereka. Seperti Imam Muhammad dari pengikut Mazhab
Hanafi pergi ke Hijaz untuk mempelajari kitab Muwatta’-nya Imam Malik (w. 179 H). Imam
al-Syafi’I (w. 204 H) menemui Muhammad bin Hasan dari golongan Ahlu Ra’yi.
Pada awal periode ini dimulailah pembukuan ilmu fiqh dalam bentuk Mazhab. Pertama
kali ulama yang menulis kitab dalam bentuk mazhabi adalah Muhammad bin Hasan al-
Syaibani, murid Abu Hanifah, yang berusaha mengumpulkan pendapat-pendapat mazhab
gurunya (Imam Abu Hanifah). Selain itu adalah kitab Muwatta’ karya Imam Malik dan al-

7
Ibnu Qayyim al-Jauzi, I’lamul Muqi’in,(T.tp:tp, t.th) Jilid.1, h.23
8
Ali Hasan Abdul Qadir,Nazratun ‘Amnatun Fi Tarikh al-Fiqh. (T.tp:tp, t.th), h. 108
Umm Karya Imam al-Syafi’I. di periode ini, ilmu ushul fiqh juga dibukukan agar supaya
dijadikan kerangka berfikir untuk menggali hukum – hukum dari sumbernya.
Pada masa ini juga banyak bermunculah istilah-istilah fiqh yang menjadi ciri dari kekayaan
bahasa fiqh. Istilah ini diciptakan dengan berbagai bentuk sesuai dengan mazhabnya. Teori-
teori fiqh pada masa ini sangat berkembang pesat ini, banyak qa’idah fiqh dan dlawabid
(batasan fiqh) bermunculan. Seperti lima dasar qa’idah, yaitu;

Seluruh atsar diatas adalah bukti yang kongkrit bahwa ungkapan yang berpola qa’idah
telah ada pada masa nabi, sahabat, dan tabi’in. Mereka membuat ungkapan yang tidak
ditujukan kepada satu maksud namun beberapa maksud, tidak satu hukum namun
beberapa hukum. Mungkin kitab fiqh pertama kali yang berbicara tentang qa’idah adalah
kitab al-Kharraj, yang telah direfisi dan dikembangkan oleh imam al-Qadli Abi Yusuf Ya’qub
bin Ibrahim (w. 172 H). Kalau kita perdalami isi kitab itu, maka akan kita temukan ungkapan
yang berpola seperti qa’idah karena makna dan kandungannya sangat umum, seperti;

Pertanyaan Abu Yusuf diatas berkaitan dengan masalah ta’zir.

Salah satu sumber lain yang sampai kepada kita adalah kitab Muhammad bin Hasan al-
Syaibani (w . 179 H). jika kitab-kitabnya difahami dan diteliti, maka akan ditemukan
ungkapan-ungkapan yang berbentuk qa’idah. Seperti ungkapan Muhammad bin Hasan
ketika membahas istihsan.
Dalam qa’idah itu Muhammad bin Hasan membuat dasar hukum dengan al-zan al-ghalib
(dugaan kuat). Atas dasar itu, berpendapat “sebaiknya mengulangi wudlu dalam contoh
qa’idah yang pertama. Namun ia memfatwakan bolehnya melakukan salat walau tidak
mengulangi wudlu berdasarkan qa’idah : (keyakinan tidak dapat hilang karena ragu)

Dalam kitab al-Ummnya ditempat yang berbeda, Syafi’I juga menyinggung qa’idah ini
serta menyebutkan contohnya. Dia mengakatakan;
“ kita tidak dapat mengembangkan rukhsah dari porsinya yang telah ditetapkan, seperti
tidak diperbolehkan mengusap surban atau sarung tangan ketika wudhu karena disamakan
dengan mengusap khuf (sepatu bot)9

B. Periode Kedua; Masa Perkembangan dan Pembukuan


Awal mula qa’idah fiqhiyah menjadi disiplin ilmu tersendiri dan dibukukan terjadi pada abad ke
4 H dan terus berlanjut pada masa setelahnya. Hal ini terjadi ketika kecenderungan taqlid mulai
tampak dan semangat ijtihad telah melemah karena saat itu fiqh mengalami kemajuan yang
sangat pesat. Hal ini berimbas terhadap berkotak-kotak fiqh dalam mazhab. Dan ulama pada
waktu itu merasa puas dengan perkembangan yang telah dicapai oleh fiqh pada saat itu
pembukuan fiqh dengan mencatumkan dalil beserta perbedaan-perbedaan pendapat yang
terjadi diantara mazhab dan pentarjihan terhadap pendapat yang bertentangan seperti telah

9
Ibid,Bab faut Hajji bila Khasrin ‘Adwin…., jilid:11, h. 168
memuaskan mereka, sehingga tidak ada pilihan lain bagi generasi setelahnya kecuali merujuk
pada pendapat-pendapat mazhab itu dalam memutuskan dan menjawab persoalan-persoalan
baru. Berkaitan dengan ini, Ibnu Khaldun berkata dalam muqaddimahnya;
“ketika mazhab-mazhab telah dijadikan ilmu yang tersendiri oleh para pengikutnya, dan tidak
ada kesempatan untuk melakukan ijtihad danmengaplikasikan metode qiyas, maka mereka
hanya menyamakan persoalan-persoalan baru yang pernah dibahas oleh pendiri dan para
pemuka mazhab. Ketika mereka tidak menemukan penjelasan dalam mazhab, baru mereka
membahas masalah-masalah itu berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh mazhab”
Menjawab beberapa persoalan fiqh dengan menggunakan metode seperti ini rupanya
menyebabkan fiqh menjadi semakin berkembang pada saat itu, cakup wilayahnya menjadi luas
dan mampu menjawab seluruh persoalan. Pada saat itulah para ahli fiqh membuat metode
baru. Mula-mula metode ini diberi nama dengan ;
1. Al – Qawa’id atau Ad-Dlawabid.
2. Al-Furuq
3. Al-Alghaz
4. Muthorohat
5. Ma’arifah al-afrad
6. Al-Khiyal

Dan nama-nama lain yang termasuk menjadi istilah dalam ilmu fiqh. Setelah itu, para ahli fiqh
menjelaskan maksud dari istilah-istilah diatas. Istilah “al-Faruq” diperuntukkan bagi masalah –
masalah fiqh yang masih samar dan diduga memiliki hukum sama, namun pada hakikatnya
memiliki hukum yang berbeda dan tersendiri. Diperkirakan orang yang pertama kalinya
memberikan informasi tentang pengumpulan qa’idah fiqhiyah dalam mazhab Hanafi adalah
Imam al-Ala’I al-Syafi’I (w. 761 H)10,al-Suyuthi dan Ibnu Nujaim (w. 970 H); Mereka mengatakan
dalam kitabnya; “sesungguhnya Abu Thahir Al-Dabbas, ulama fiqh abad 4 H, telah
mengumpulkan qa’idah-qa’idah penting dari imam Abu Hanifah sebanyak 17 qa’idah.

Pada Abad ke-5 H,Imam Abu Zaid al-Dabusi (w. 430 H) menambah jumlah qa’idah Imam al-
Karkhi. Oleh sebab itu diperkirakan abad ke-4 adalah tahap kedua dari periode kemunculan dan
awal penulisan qaidah fiqh, terbukti kitab tentang qa’idah ditemukan pada abad ini. 11 Setelah
kitab “Ta’sis al-Nadlar”, karya al-Dabusi tidak ditemukan lagi kitab lain. Baru pada abad ke 6
muncul satu kitab yang ditulis oleh Ala’uddin Muhammad bin Ahmad Al-Samarqandi (w. 540 H)
dengan judul, “Idhah al-Qaidah”. Menurut penulis kitab Hidayah al-Arifin, kitab tersebut
termasuk kitab yang membahas tentang qa’idah fiqh. Tidak ditemukannya kitab setelah karya al-
Dabusi tidak berarti semangat ulama untuk menulis qa’idah sudah pupus, namun lebih
dimungkinkan, kitab-kitab tentang qa’idah yang ditulis setelah al-Dabusi tidak ditemukan oleh
ahli sejarah karena ditelan oleh masa.

Pada abad ke-7 H qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang sangat signifikan walaupun
terlalu dini untuk dikatakan matang. Di antara ulama yang menulis kitab qawaid pada abad ini
10
Lihat. Al-Ala’i, Majmu’ul Madzhab fi Qawaid al-Mazhab,(Baghdad: Madiriyatul Awqaf al-Ammah,t. th),h. 4168.
11
Ali ahmad Al-Nadwi, op. cit., h. 136-137
adalah al-‘Allamah Muhammad bin Ibrahin al-Jurjani al Sahlaki (w.613 H). Ia menulis kitab
dengan judul “al-Qawaid fi Furu’I al- Syafi’iyah”. Kemudian al-Imam Izzudin Abd al-Salam (w. 660
H) menulis kitab “Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-Anam” yang sempat menjadi kitab terkenal.
Dari kalangan madzhab Maliki Muhammad bin Abdullah bi Rasyid al-bakri al-Qafshi (685 H)
menulis “al-Mudzhb fi Qawaid al-Madzhab” dan masih banyak lagi. Karya-karya ini menunjukan
bahwa qawaid fiqhiyah mengalami perkembangan yang pesat pada abad ke-7 H. Qawaid
fiqhiyah pada abad ini nampak tertutup namun sedikit demi sedikit mulai meluas.

Pada abad ke-8 H, ilmu qawaid fiqhiyah mengalami masa keemasan, ditandai dengan banyak
bermunculannya kitab-kitab Qawaid fiqhiyah. Perkembangan ini terbatas hanya pada
penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama
Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin dan Taqiyuddin al-Hishni.
Dalam hal ini, ulama Syafi’iyyah termasuk yang paling kreatif. Diantara karya-karya besar yang
muncul dalam abad ini adalah:

1. Al-Asyabah wa an-Nadhair karya Ibnu al-Wakil al-Syafi’I (w.716 H)


2. Kitab al-Qawa’id karya al-Maqqari al-Maliki (w. 758 H)
3. Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabt al-Madzhab karya al-‘Alai al-Syafi’I (w.761 H) Dll
Karya-karya besar yang mengkaji qawaid fiqhiyah yang disusun pada abad IX H banyak
mengikuti metode karya-karya abad sebelumnya. Di antara karya-karya tersebut adalah:
1. Kitab al-Qawa’id karya Ibnu al-Mulaqqin (w. 840 H)
2. Asnal Maqashid fi Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairi (w.
808 H)
3. Kitab al-Qawa’id karya Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H), Dll
Karya karya besar ini dengan metodenya yang variatif telah mengantarkan qa’idah fiqhiyah pada
masa kemajuan dan kematangan. Dalam karya – karya besar itulah, kematangan qa’idah fiqh
mulai tampak pada saat itu.

Pada abad ke 9 bermunculan karya-karya baru yang masih menggunakan metode lama. Seperti
Ibnu Mulaqqin (804 H) menulis kitab qaidah dengan mengikuti pola kitab al-Subkhi. Kitab – kitab
lainnya adalah;

1. Asnaa Al-Maqhasid fi Tahrir al-Qawa’id:Karya Muhammad bin Muhammad al-Zubairiy (w.


707 H)12
2. Al-Qawaid Al-Manzumah: Karya Ibnul Haa’im al-Muqdisi (w. 713 H).13 Disamping itu, dia juga
menyeleksi kitab Al-Majmu’u Al-Mudzhab fi Qawa’idi Al-Mazhab, Karya Al-‘Ala’i. kitab itu ia
beri nama; Tahriru Al-Qawa’id Al-‘Ala’iyyah wa Tamhidu Al-Masaliki Al-Fiqhiyah. 14
C. Periode Ketiga: Masa Kematangan dan Penyempurnaan

12
Lihat : Al-Sakhawi, Al-Dlaw’ al-Laami’ li Ahlil Qurun al-Tasi’ (Kairo: Al-Qudsi, 1345H), Jilid IX, h. 218
13
Nama lengkapnya: Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Imad Al-Mishri, dia menetap di Muqoddas, dan bisa
dipanggil “Ibnu al-Himam”. Ia lahir pada tahun 753 H, dan meninggal di Baitul Muqoddas pada tahun 815. Lihat
Ibnu al-Imad, op. cit., jilid VII, h. 120
14
Lihat: Isma’il Basya, op. cit., jilid V, h. 120
Kitab “Majallatul Ahkam Al-‘Adliyyah”,yang ditulis dan dibukukan setelah diadakan
pengumpulan dan penyeleksian terhadap kita-kitab fiqh adalah suatu prestasi yang gemilang
dan merupakan indikasi bagi kebangkitan fiqh pada waktu itu para tim penyusun kitab majallah
sebelumnya telah mengadakan penyeleksian terhadap kitab-kitab fiqh, lalu mengkonstuknya
dalam bahasa undang-undang yang lebih bagus dari sebelumnya, kitab Majallatul Ahkam
Al-‘Adliyyah yang menyebabkan qaidah fiqh semakin tersebar luas dan menduduki proses yang
sangat penting dalam proses penalaran hukum fiqh
D. Faktor-Faktor Pendorong Timbulnya Qawaid Fiqhiyah
Dapat ditarik dari pernyataan Muhamma az-Zarqa dalam Kitabnya “Syarh Al-Qawaid Al-
Fiqhiyyah” yaitu: “seandainya tidak ada qawaid (fiqhiyyah), tentu hukum- hukum fiqh akan
menjadi (hukum) furu’ yang berserakan dan kadang-kadang lahiriyahnya tampak saling
bertentangan; tidak ada ushul (kaidah) yang dapat mengokohkan dalam pikiran, menampakkan
‘ilat-‘ilatnya,menentukan arah-arah pembentuknya, dan membentangkan jalan pengqiyasan dan
penjenisan padanya”
Ditarik juga dalam pernyataan Imam al-qarafi dalam kitabnya al-furuq: “siapa yang berhujjah
dengan hanya menghafal juz’iyyah saja, maka hujjahnya itu tidak aka nada batasnya, serta akan
menghabiskan umurnya tanpa dapat mencapai cita-cita. Sebaliknya siapa yang memperdalam
fiqh melalui kaidah-kaidah fiqh tidak harus menghafal berbagai macam cabang fiqh karena telah
mencakup kulliyah”
Berdasarkan dua pernyataan diatas dapat dikemukakan beberapa factor pendorong
perkembangan qawaid fiqhiyah;
1. Makin bertambah banyaknya hukum fiqh sehingga menyebabkan semakin sulitnya
menghafal hukum-hukum fiqh tersebut
2. Para ulama dalam menyusun qawaid fiqhiyyah terinspirasi oleh sebagian teks al-qur’an dan
al-hadis yang bersifat jamawi’ alkalim (singkat padat).

Anda mungkin juga menyukai