Anda di halaman 1dari 7

Materi kuliah 2.

Kepemimpinan dalam perpekstif historis

Tujuan pembelajaran

a. Memahami beberapa aspek perspektif historis kepemimpinan di Indonesia (terutama


di Jawa),
b. Revitalisasi nilai-nilai ksatria Jawa dalam membangun martabat bangsa,
c. Kepemimpinan di Indonesia dalam perpekstif historis

1. Pendahuluan
Hanya ada dewa yang dipuja yang biasa disebut Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu, dan
Syiwa. Dewa Brahma adalah Pencipta. Dewa Wisnu adalah Pemelihara. Dewa Siwa
adalah Perusak.

 Budaya Jawa dominan dalam gaya kepemimpinan nasional.


 Krisis kepemimpinan di Indonesia: modernisasi, kepemimpinan populis,
paradoks kebudayaan
 Revitalisasi nilai-nilai kepemimpinan tradisional
2. Nilai-nilai kepemimpinan menurut kebudayaan Jawa
2.1. Priyayi

1
Priyayi adalah lapisan atau kelas menengah dalam stratifikasi sosial
masyarakat sosial dan masyarakat kolonial (Winarni, 2014). Golongan elite, siapa
saja yang berdiri di atas rakyat jelata, berpendidikan dan berkedudukan lebih baik,
dan mempunyai jabatan-jabatan pada administrasi pemerintah, yang dalam
berbagai hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur dan menuntun masyarakat.
2.2. Bupati
Bupati adalah kaum priyayi jaman penjajahan Belanda yang mengakui
kedaulatan penjajah, menjauhkan diri dari kekuasaan asing lain, memelihara
perdamaian, dan mengumpulkan pajak dan menyerahkan barang dagangan yang
dibutuhkan penjajah.
2.3. Budata jawa: Otokratis-teokratis
Pemimpin : Gusti, Gus, Tuhan, tuan, kelompok sosial yang paling tinggi atau
ditinggikan
Rakyat: kawula, hamba, budak, kuli (istilah belanda)
2.4. Pemimpin ideal menurut budaya Jawa
 Ambek adil paramarta: watak adil merata tanpa pilih kasih
 Delapan laku baik: Hastabrata (hasta= delapan; Brata= perilaku,
pengendalian diri): Bumi, api, air, angin, angkasa, matahari, bulan dan
bintang (Bumi, geni, banyu, angin, langit, surya, candra, dan kartika)
2.5. Ojo gumunan, ojo kagetan lan ojo dumeh.
Sebagai pemimpin janganlah terlalu terheran-heran (gumun) terhadap sesuatu
yang baru (walau sebenarnya amat sangat heran), tidak menunjukkan sikap kaget
jika ada hal-hal diluar dugaan dan tidak boleh sombong (dumeh) dan aji mumpung
sewaktu menjadi seorang pemimpin. Intinya falsafah ini mengajarkan tentang
menjaga sikap dan emosi bagi semua orang terutama seorang pemimpin.
Pemimpin memiliki sikap yang tenang dan wibawa agar masyarakatnya dapat
hidup tenang
2.6. Ki Hadjar Dewantoro
 Ing ngarso sung tuladha
 Ing madya mangun karso
 Tut wuri handayani
2.7. Empat larangan
 Aja dumeh

2
 Aja lali, kudu eling lan waspada
 Aja adigang, adigung, adiguna
 Aja aji mumpung
2.8. Kyai Yasadipura I: Asta Brata (delaman kebijaksanaan):
1). Dewa Endra: dermawan yang tak terbatas
2). Dewa Yama: memberantas segla kejahatan
3). Dewa Surya: memerintah bijaksana dan mengajak rakyatnya untuk hidup suci
4). Dewa Candra: memiliki rasa cinta kasih baik terhadap rakyat maupun para
musuhnya
5). Dewa Bayu: berpikir cerdas dan teliti
6). Dewa Kuwera: sengna memberi pakaian, makanan, tempat tinggal dan hiburan
bagi ralyat
7). Dewa Baruna: menyelesaikan segala permasalahan sesulit apapun
8). Dewa Brama: menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta memiliki
semangat membara untuk memberantas segala keajahatan.
3. Revitalisasi nilai-nilai ksatria Jawa dalam membangun martabat bangsa
Ksatria merupakan salah satu kasta dari empat kasta di India, dan merupakan
kasta bangsawan sebagai golongan pemerintah, terdirid ari Raja, bangsawan dan
prajurit yang bertugas sebagai penyelenggaran pemerintahan, penjaga keamanan,
penegak keadilan, pemberantas kejahatan, pembela kaum tertindas atau kaum lemah.
Seorang ksatria Jawa harus memilki wisma, wanadya, turangga, kukila, dan curiga.
Wisma (rumah) harus dimiliki oleh seorang ksatria, tetapi tiharus rumah
mewah (gedhong magrong-magrong), melainkan rumah sehat yang memadai dan
sehat agar penghuninya dapat melaksanakan tugas ksatria dengan baik.
Wanodya adalah wanita, yang berarti wani di tata. Wanita tsb adalah garwa
(istri) yang berarti sigaraning nyawa. Seorang ksatria memerlukan seorang wanita
sebagai tempat curhat di rumahnya, dan wanita tsb adalah isterinya dan tidak boleh
bukan isterinya. Wanita (isteri) mengurus ksatria (suaminya) dengnan makanan yang
bergizi, empat ehat lima sempurna dan kebutuhan iologis lainnnya. Wanita siap
melayani suami dua puluh empat jam setiap hari. Isteri diajak bicara atau dimintai
pertimbangan terkait dengan tugas ksatria, sehingga ksatria dapat ide-ide baru dan
kreatif. Tidak tepat bahwa isteri adalah kanca wingking yang tidak tahu dan tidak
boleh tahu persoalan suami karena wanita itu sebagai garwa yang berarti sigaraning

3
nyawa. Namun demikian seorang wanita tidak boleh mendikte atau memaksakan
kehendak trkaiat dengan tugas suami, akan berpengaruh negatif terhadap kinerja
suami.
Turangga berarti kuda. Kelengpana yang harus dimiliki oleh seorang ksatria
adalah kuda, sebagai sarana transportasi dalam melaksanakan tugasnya. Secara
simbolik, kuda dapat diartikan sebagai iman. Iman sebagai sarana untuk mencapai
tujuan hidup yaitu menuju sangkan paraning urip (selamat sampai tujuan hidup). Iman
untuk mengendalikan diri dari segala godaan (nafsu). Kuda juga mempunyai makna
simbolik sebagai ilmu pengetahuan, karena tanpa ilmu pengetahuan seorang ksatria
tidak memilki kompetensi. Seoangg ksatria harus senantiasa belajar dan
meningkatkan kompetensi. Kuda juga punya makna simbolik sebagai anggaran/dana.
Dana yang rasional diperlkan seorang ksatria dalam melaksanakan tugasnya, dan
tidak sekedar dana yang menyerap anggaran.
“Jaran iku pancen tumpakan. Jaman saiki kowe dipundhutake Honda karo
ramamu, nanging elinga tumpakan iku sakyektine dudu jaran dudu Honda. Sing dadi
tumpakanmy ya budi rahayu dikanteni iaman lan takwa dumadeng Pangeran kang
Murbeng Jagad mengko uripmu bakal slamet”.
Kukila (burung perkutut) memberikan relaksasi bagi ksatria Jawa. Tidak
seoragpun bisa terus-menerus didera dengan tugas-tugas berat dan ada saatnya relax
atau santai. Relax perlu untuk meningkatkan kualitas kenerja.
Curiga (keris) digunakan ksatria sebagai senjata bukan untuk membunuh
melainkan untuk melindungi diri, keluarga, membela kaum lemah mapupun untuk
membela negara. Keris sebagai sifat kandel dan kewaspadaan yang dapat
meningkatkan kepercayaan diri. Secara simbolis juga diartikan bahwa ilmu
pengetahuan dan harta dapat memnigkatkan rasa percaya diri. Saat ini kita tidak perlu
bawa keris ke mana-mana, melainkan bawa sengat profesionalisme.
“Keris iku rak landep, mula iku dadi wong aja nganti uteke landep dengkul
bodho longa-longo kaya kebo, pakanane suket ijo, ana papan ngendi wae payu goleh
penggawean. Mula iku kerismu saktemenne iku ya utekmu dhewe. Mulane sekolaha
sing pinter bisa kanggo golek sandang pangan”.

4. Kepemimpinan di Indonesia dalam perpekstif historis


 Pemimpin adalah orang yang punya wewenang dan kekuasaan untuk mengatur
orang yang dipimpinnya.
4
4.1. Kepemimpinan tradisional
Gaya kepemimpinan sebelum dipengaruhi gaya kepemimpinan barat
Konsep patrimonial (hubungan bapak dan anak buah; kekeluargaan)
 Mendapat kehormatan lebih dibandingkan warga lainnya
 Sebagai penayom warga, bijak dalam memecahkan persoalan warganya
 Menerapkan hukum adat
 Menyembuhkan orang sakit

Kedudukan bawahan dalam birokrasi ditentukan bukan oleh profesinya


melainkan oleh loyalitas terhadap atasan. Keterikatan anak buah trhadap bapak akan
menjamin anak buah memperoleh status sosial dn sumber ekonomi. Kesejahtaraan
bersama. Membangun diri sendiri sebagai pelindung (patron) yang kuat, memberikan
bantuan, dan melndungi warganya dengan imbalan dukungan dan kepatuhan.

Masih ditemukan di masyarakat pedesaan, menggunakan kearifan lokal

Perubahan sistem patrimonial menjadi kerajaan atau monarkhi terjadi karena


penngaruh India (Hindu dan Budha). Kepemimpinan berubah menjadi kerajaan
dengan raja sebagai penguasa tertinggi. Sistem kerajaan ini bersifat feodal.
Kepemimpinan raja yang absolut.

Wenang wiwesa ing sanagari (berkuasa penuh di seluruh negeri)

Gung binathara, bahu dhendha nyakrawati (sebesar kekuasaan dewa,


pengendali hukum dan penguasa dunia)

Konsep kepemimpinan tradisional : legal-irasional

Raja gung binathara, babu dhendha nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambeg
adil paramarta. Konsep kepemimpinan yang mengandung arti absolut, tetapi punya
kewajiban yang luhur. Bila konsep ini dipraktekkan sesungguhnya tidak menjadi
beban ketidakadilan bagi masyarakat. Kenyataan dalah sejarah berbeda, karena ikatan
feodal, maka kekuasaan yang bersifat absolut sulit untuk dikontrol oleh masyarakat
yang kedudukannnya hanya sebagai kawula. Masyarakat tidak dapat menyarakan
keinginannya atau memberikan kritikan terhadap penguasa. Apa yang dikatakan
penguasa itulah yang dilakukan. Apabila masyarakat tidak menyetujui perintah

5
penguasa, maka tindakannya adalah menninggalkan daerahnya dan mencari patron
baru yang dapat melindunginya.

Budaya feodal-agraris-tradisional

4.2. Kepemimpinan kolonial


 Pemerintah kolonial mengalami kesulitan pola yang tepat untuk
masyarakat yang sangat plural.
 Pemerintah kolonial tidak terlalu memikirkan kesejahteraan masyarakat
yang dijajahnya.
 Daendels & Raffles: mengurangi hak-hak feodal dan ak istimewa yang
dimiliki oleh bupati
 Politik ekonomi tanam paksa yang menempatkan bupati sebagai pengawas
dan pelaku sehingga pemerintah Belanda lebih mudah menerapkan dan
mengawasi
4.3. Kepemimpinan nasional
 Setelah merdeka, terjadi pertentangan yang tajam dalam prosees
pembentukan kepemimpinan nasional, terutama bentuk kepemimpinan
luar Jawa yang lebih demokratis dangen bentuk kepemiminan Jawa yang
masih terbelenggu dalam bingkai feodalis.
 Orde lama: gaya feodalisme, tanpa boleh dikritik atau dikontrol oleh
masyarakat. Kondisi ekonomi, sosial, politik makin memburuk.
 Orde baru apa bedanya? Rakyat sama sekali tidak diberi kesempatan dan
fasilitas untuk mengadakan pengawasan.gaya patron klien berubah
menjadi otoriter. Rakyat harus tunduk pada aturan pemerintah tanpa dapat
mengkritisi pemerintah. Kesetiaan dan loyalitas kepada atasan merupakan
dasar pijakan status. Korupsi, nepotisme, kesenjangan sosial sangat
mencolok.
 Era reformasi: Jokowi. Blusukan. Mengapa poluler? Gaya patro monial
yang benar? Mumpuni (mau mendengarkan dan memberi solusi yang tepat
dan menerapkan hukum yang benar). Menjadi pelindung yang kuat,
memberikan bantuan, melindungi masyarakat.
 Diperlukan pemimpin yang bekerja dengan penuh kesungguhan, bukan
pencari kerja yang memimpikan jabatan melalui kedudukan dan legimitasi

6
sebagai pemimpin. Pemimpin yang melayani rakyat, memberi dan
memnumbuhkan harapan dengan cara menerapkan kepemimpinan dan
tatalaksana kenegaraan yang efektif dan efisien demi pelayanan publik dan
kualitas demkrasi yang baik.
 Masa krisis (kalatidha): para pemimpin kehilangan “wahyu ilahi”,
kehilangan jiwa ksatria dan sikap pengecut. Masa kutukan Tuhan karena
dosa-dosanya. Diperlukan ruwatan massal tau tobat nasional. Revitalisasi
nilai-nilai ksatria diyakini mampu mewujudkan pemerintahan yang jujur,
adil, bersih, adil, transparan, berwibawa, dan dicintai rakyat.

Pustaka

Krisnadi, IG., 2014. Revitalisasi Nilai-nilai Ksatria Jawa dalam membangun martabat bangsa.
Dalam Nawiyanto (Eds.). Kepemimpinan di Indonesia dalam perspektif sejarah dan
budaya. Laksbang PRESSindo Yogyakarta.

Retno Winarni, 20`4. Priyayi, Educaki dan tradisi: adaptasi priyayi terhadap tuntutn
modernisasi edukasi dan tradisi. Dalam Nawiyanto (Eds.). Kepemimpinan di
Indonesia dalam perspektif sejarah dan budaya. Laksbang PRESSindo Yogyakarta.

Sri Anna Handayani, 2014. Kepemimpinan di Indonesia dalam perspektif historis. Dalam
Nawiyanto (Eds.). Kepemimpinan di Indonesia dalam perspektif sejarah dan budaya.
Laksbang PRESSindo Yogyakarta.

Sri Margana, 2014. Westernisasi dan paradoks kebudayaan: elite Istana Jawa pada masaPku
Alam V (1878-1900), Dalam Nawiyanto (Eds.). Kepemimpinan di Indonesia dalam
perspektif sejarah dan budaya. Laksbang PRESSindo Yogyakarta.

Wasino, 2014. Nilai-nilai kepemimpinan menurut kebudayaan Jawa. Dalam Nawiyanto


(Eds.). Kepemimpinan di Indonesia dalam perspektif sejarah dan budaya. Laksbang
PRESSindo Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai