DOI: http://dx.doi.org/10.33603/hermeneutika.v3i2
Diterima: 14 Mei 2019; Direvisi: 10 Juli 2019; Dipublikasikan: Agustus 2019
Abstrak : Tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh peneliti adalah untuk mengetahui
dan mengkaji tanggung jawab dokter dalam penghentian tindakan medik terhadap
pasien terminal. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu
suatu metode pendekatan yang beranjak dari dan berfokus kepada semua peraturan
hukum yang secara teoretik dianggap relevan dengan masalah tanggung jawab dokter
terhadap penghentian tindakan medik terhadap pasien terminal yang selanjutnya diolah
dan dianalisi menggunakan metode analisi yuridis-kwalitatif. Hasil Penelitian dapat
disimpulkan bahwa tanggung jawab dokter terhadap penghentian tindakan medis pada
pasien terminal khususnya dan pasien biasa pada umumnya telah dialihkan kepada
yang membatalkan atau mengentikan tindakan medis. Berdasarkan kesimpulan di atas,
peneliti merekomendasikan perlu adanya revisi di dalam Undang-Undang Praktik
Kedokteran untuk memasukan rumusan tentang penghentian tindakan medis atau
informed refusal. Agar terdapat kepastian hukum serta perlu dilakukan sosialisasi
mengenai lebih itensif mengenai makna dan batasan dalam melakukan penghentian
tindakan medis pada pasien terminal.
Kata kunci: Tanggung Jawab Dokter, Penghentian tindakan medis, Pasien Terminal
1
Puti Priyana
Email: puri_ana08@yahoo.co.id
p-ISSN 2337-6368 | e-ISSN 2615-4439
http://jurnal.unswagati.ac.id/index.php/HERMENEUTIKA
dihentikan dan hanya perawatan biasa saja. penghentian tindakan medik terhadap pasien
Akhirnya nyonya Endah meninggal dunia terminal.
(Ginting, n.d.). Metode pendekatan yang digunakan
Timbul pertanyaan dari peneliti dalam penelitian penulisan hukum ini
apabila dihubungkan dengan penghentian adalah metode pendekatan perundang-
tindakan medik atau informed refusal. undangan (statute approach) atau yang
Bagaimana jikalau setelah diberikan lebih dikenal dengan metode pendekatan
penjelasan oleh dokter mengenai diagnosa yuridis-normatif (Peter Mahmud, 2005),
dan tata cara tindakan medis, tujuan yakni suatu metode pendekatan yang
tindakan medis yang dilakukan, alternatif beranjak dari dan berfokus kepada semua
tindakan lain dan resikonya, resiko dan peraturan hukum yang secara teoretik
komplikasi yang mungkin terjadi, dan dianggap relevan dengan masalah tanggung
prognosis terhadap tindakan yang jawab dokter dalam penghentian tindakan
dilakukan. Pasien atau keluarga pasien medik terhadap pasien terminal
dalam keadaan terminal menolak atau
menghentikan tindakan medik? bolehkah III. HASIL PENELITIAN
seorang dokter melakukan menghentikan a. Tanggung Jawab Hukum Dokter
tindakan medik terhadap pasien terminal dalam Penghentian Tindakan Medik
atas persetujuan pasien dan/atau keluarga terhadap Pasien Terminal
pasien? bagaimana jikalau pasien dalam Pada umumnya setiap orang
keadaan terminal saat itu juga meninggal? mempunyai tanggung jawab terhadap apa
apakah itu bisa dikategorikan sebagai yang telah dilakukannya. Memberikan
euthanasia? dan bagaimana kalau seorang pelayanan kepada pasien merupakan suatu
dokter tetap melakukan tindakan medik amanah yang dpercayakan kepada seorang
walaupun pihak keluarga tetap menolak dokter sebagai pengemban profesi mulia
untuk dilakukan tindakan medik? serta yang harus dipertanggungjawabkannya.
bagaimana jikalau penghentian tindakan Rambu-rambu yang harus diperhatikan
medik dilakukan oleh seorang dokter dan ditaati oleh seorang dokter dalam
terhadap pasien terminal? memahami tanggung jawabnya dalam
Berdasarkan uraian di atas, peneliti pelayanan medis atau praktik kedokteran
tertarik untuk membuat satu tulisan dengan yang mereka lakukan yaitu Kode Etik
permasalahan mengenai tanggung jawab Kedokteran (KODEKI) yang telah
dokter dalam penghentian tindakan medik disepakati bersama dalam ikatan profesinya
terhadap pasien terminal. dan peraturan negara yang berbentuk
undang-undang, diantaranya yang khusus
II. METODE PENELITIAN sebagai pedoman dan acuan seorang dokter
Spesifikasi penelitian, yaitu dalam menjalankan profesinya adalah
menggunakan deskriptif-analitis. Penelitian Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentag
yang bersifat deskriptif-analitis Kesehatan dan Undang-Undang No. 29
dimaksudkan untuk memberikan data Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan serta Undang-Undang No. 44 Tahun 2009
dan gejala-gejala tertentu. Maksudnya tentang Rumah Sakit.
adalah untuk mempertegas hipotesa, agar Tindakan atau perbuatan dokter
dapat memperluas teori lama, atau di dalam sebagai subjek hukum, dalam pergaulan
rangka teori-teori baru (Soekanto, 1986). masyarakat,dapat dibedakan antara
Peneliti menggunakan penelitian tindakannya sehari-hari yang tidak berkaitan
deskriftif-analitis karena di dalam penulisan dengan profesi, dan tindakan yang
ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran berkaitan dengan pelaksanaan profesi.
mengenai tanggung jawab dokter dalam Begitu pula dalam tanggung jawab hukum
seorang dokter, dapat tidak berkaitan
Hermeneutika : Jurnal Ilmu Hukum
376
Vol. 3, No. 2, August 2019
p-ISSN 2337-6368 | e-ISSN 2615-4439
http://jurnal.unswagati.ac.id/index.php/HERMENEUTIKA
dengan profesi, dan dapat pula merupakan oleh kecelakaan atau penyakit yang pasien
tanggung jawab hukum yang berkaitan tersebut mendekati tahap akhir kehidupan,
dengan pelaksanaan profesinya. maka hal tersebut menurut analisa peneliti
Pertanggungjawaban hukum sudah merupakan persoalan hukum.
seorang dokter sebagai pengemban Apabila kita menijau Pasal 45 Undang-
profesinya, dokter harus selalu bertanggung Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah
jawab dalam menjalankan profesinya. Sakit dan beberapa pasal-pasal di dalam
Tanggung jawab dokter dalam hukum Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
sedemikian luasnya, maka dokter juga 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
harus mengerti dan memahami ketentuan- Persetujuan Tindakan Kedokteran, yang
ketentuan hukum yang berlaku dalam merupakan tata cara pesetujuan tindakan
pelaksanaan profesinya, termasuk di medis yang diatur di dalam Pasal 56
dalamnya pemahaman hak-hak dan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
kewajiban dalam menjalankan profesi Kesehatan yang mengatur tentang informed
sebagai dokter. consent, diantaranya adalah sebagai berikut:
Keterikatan dokter terhadap ketentuan- Di dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-
ketentuan hukum dalam menjalankan Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah
profesinya umumnya merupakan tanggung Sakit dikatakan, bahwa: “Rumah sakit tidak
jawab hukum yang harus dipenuhi dokter bertanggung jawab secara hukum apabila
yang pada dasarnya meliputi 3 bentuk pasien dan/atau keluarganya menolak atau
pertanggungjawaban, yaitu: menghentikan pengobatan yang dapat
1) Bidang Hukum Administrasi dimuat berakibat kematian pasien setelah adanya
dalam Undang-Undang Nomor 29 penjelasan yang komprehensif”. Dengan
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran halnya rumah sakit berdasarkan Pasal 45
2) Bidang Hukum Pidana, terdiri dari: Undang-Undang tentang Rumah sakit tidak
a) Kitab Undang-Undang Hukum dapat dimintakan pertanggungjawabannya,
Pidana, Pasal 48-51, maka secara implinsif dokter pun tidak
224,267,268,322,344-361,531. dapat dimintakan pertanggungjawabannya
b) Ketentuan Pidana di dalam Undang- secara hukum apabila pasien dan/atau
Undang No. 36 Tahun 2009 tentang keluarganya menolak atau menghentikan
Kesehatan. pengobatan yang dapat mengakibatkan
c) Ketentuan Pidana di dalam Undang- kematian pasien setelah adanya penjelasan
Undang No. 29 Tahun 2004 tentang yang komprehensif. Di mana hal itu
Praktik Kedokteran. dikarenakan dokter merupakan tenaga
3) Bidang Hukum Perdata, terdiri dari: kesehatan yang ditanggung kerugiaan oleh
1) Buku III BW tentang Perikatan pihak Rumah Sakit di mana dokter tersebut
(Pasal 1239, 1365, 1366, 1367 bekerja atas kelalaian yang telah
BW). dilakukannya. Sebagaimana tercantum di
2) Undang-Undang No. 8 Tahun dalam Pasal 46 Undang-Undang Rumah
1999 tentang Perlindungan Sakit yang berbunyi, bahwa: “Rumah sakit
Konsumen Pasal 19 bertanggung jawab secara hukum terhadap
b. Tanggung jawab Hukum dokter semua kerugian yang ditimbulkan atas
dalam penghentian tindakan medik kelalaiam yang ditimbulkan oleh tenaga
terhadap pasien terminal atas kesehatan di Rumah Sakit”.
persetujuan pasien dan/atau Lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri
keluarga pasien Kesehatan RI No.
Mengenai penghentian tindakan medis 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
terhadap pasien terminal, yaitu pasien yang Persetujuan Tindakan Kedokteran, adalah
menurut akal sehat sudah tidak harapan lagi sebagai berikut:
bagi pasien untuk sembuh, yang disebabkan
Puti Priyana
Tanggung Jawab Dokter Penghentian tindakan medis
377
p-ISSN 2337-6368 | e-ISSN 2615-4439
http://jurnal.unswagati.ac.id/index.php/HERMENEUTIKA
Bali. memulangkan paksa pasiennya karena atau menolak sebagian atau seluruh
tak mampu membayar biaya operasi. Kadek tindakan pertolongan yang akan diberikan
Arik warga Dejaring Kecamatan Bajar kepadanya setelah menerima dan
Buleleng tidak sadarkan diri akibat luka memahami informasi mengenai tindakan
parah dibagian otak. Namun pihak tersebut secara lengkap". Namun dalam
keluarga terpaksa membawa Kadek keluar Undang-Undang Kesehatan itu terdapat
setelah tiga hari dirawat di rumah sakit salah satu pasal yang menyatakan bahwa:”
Paramesidi karena dipulangkan paksa oleh Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan
pihak rumah sakit di kawasan Sinaraja. kesehatan, baik pemerintah maupun swasta,
Sebelumnya pihak rumah sakit meminta wajib memberikan pelayanan kesehatan
jaminan ke pihak keluarga berupa jaminan bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pada pihak rumah sakit berupa uang tunai pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
sebesar Rp10 juta dan sebuah sertifikat Selain itu dalam keadaan darurat, fasilitas
tanah untuk operasi dibagian kepala namun pelayanan kesehatan, baik pemerintah
karena masih kekurangan biaya pasien maupun swasta dilarang menolak pasien
dipulangkan paksa oleh pihak rumah sakit”. dan/atau meminta uang muka. Pernyataan
Berdasarkan contoh kasus di atas tersebut sesuai dengan Pasal 32 ayat (1) dan
mengenai pulang paksa seorang pasien (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
tidak sadarkan diri oleh pihak rumah sakit, tentang Kesehatan. Selanjutnya dalam Pasal
menurut peneliti terdapat penghentian 190 dikatakan, bahwa: “Pimpinan fasilitas
tindakan medis tanpa persetujuan pihak pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
keluarga pasien karena pasien dalam kesehatan yang melakukan praktik atau
keadaan tidak sadarkan diri, hal itu berarti pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan
peneliti simpulkan sebagai suatu keadaan yang dengan sengaja tidak memberikan
terminal. pertolongan pertama terhadap pasien yang
Peneliti di sini akan mencoba dalam keadaan gawat darurat sebagaimana
menganalisis dari sudut tenaga medis saja dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal
yang bekerja di Rumah Sakit, yaitu dokter 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
karena dalam hal ini peneliti hanya paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
meneliti mengenai tanggung jawab hukum banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus
dokter dalam penghentian tindakan medis jutarupiah). Dalam hal perbuatan tersebut
pada pasien terminal sesuai dengan mengakibatkan terjadinya kecacatan atau
permasalahan yang dibuat oleh peneliti. kematian, pimpinan fasilitas pelayanan
Selain itu juga walaupun pihak rumah sakit kesehatan dan/atau tenaga kesehatan
yang memulangkan paksa, tenaga medis pun tersebut dipidana dengan pidana penjara
ada hubungannya dengan penghentian paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
tersebut. paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
Pertama peneliti akan mencoba miliar rupiah).
meniliti dari segi Undang-Undang No. 36 Menurut Undang-Undang No. 29
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Setahu Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pun
peneliti tidak ada peraturan dari Undang- sama seperti Undang-Undang Kesehatan,
Undang Kesehatan yang mengatur tidak terdapat hak dokter untuk
mengenai hak seorang dokter untuk menghentikan medis pada pasien terminal
menghentikan tindakan medis. Namun, khususnya dan pasien pada umumnya.
dalam Undang-Undang Kesehatan hanya Begitupun dalam Undang-Undang No. 44
terdapat hak seseorang untuk menghentikan Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, namun
tindakan medisnya. Hal itu sesuai dengan dalam Pasal 44 Undang-Undang Rumah
Pasal 56 Undang-Undang No. 36 Tahun Sakit menyatakan, bahwa:
2009 tentang Kesehatan. yang mengatur , (1) Rumah sakit tidak bertanggung jawab
bahwa : “(1)Setiap orang berhak menerima secara hukum apabila pasien dan/atau
Puti Priyana
Tanggung Jawab Dokter Penghentian tindakan medis
379
p-ISSN 2337-6368 | e-ISSN 2615-4439
http://jurnal.unswagati.ac.id/index.php/HERMENEUTIKA
keluarga pasien menolak atau hukum jika ada unsur kesalahan yang
menghentikan pengobatan yang dapat dilakukannya.
berakibat kematian pasien setelah Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
adanya penjelasan medis yang Hukum Perdata yang lazim dikenal sebagai
komprehensif. pasal tentang perbuatan melawan hukum,
(2) Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam mengharuskan terpenuhinya empat unsur
melaksanakan tugas dalam rangka pokok, yaitu:
menyelamatkan nyawa manusia”. a. adanya perbuatan;
Berdasarkan contoh kasus di atas serta b. adanya unsur kesalahan;
beberapa uraian mengenai penghentian c. adanya kerugian yang diderita;
tindakan medis yang dilakukan oleh seorang d. adanya hubungan kausalitas antara
dokter terhadap pasien terminal khususnya kesalahan dan kerugian.
dan pasien pada umumnya, peneliti akan Kesalahan adalah unsur yang
mencoba menyimpulkan mengenai tanggung bertentangan dengan hukum. Pengertian
jawab hukum dokternya dalam penghentian hukum tidak hanya bertentangan dengan
tindakan medis pada pasien terminal. undang-undang tetapi juga kepatutan dan
Menurut peneliti baik pasien dalam kesusilaan dalam masyarakat.
keadaan terminal ataupun tidak, ketika halnya Untuk Kasus kadek menurut peneliti
seorang pasien tersebut di rawat di salah satu sudah memenuhi unsur perbuatan hukum
rumah sakit maka hal itu bukan sepenuhnya yang mengharuskan terpenuhinya empat
tanggung jawab dari pihak dokter yang secara unsur pokok sesuai dengan Pasal 1365 Kitab
kebetulan merawat pasien tersebut di rumah Undang-Undang Hukum Perdata, namun di
sakit. Seperti halnya peneliti tahu bahwa sini perlu dihubungkan dengan teori
setiap rumah sakit pasti akan memiliki satu pertanggungjawaban pejabat menurut
kebijakan yang akan di terapkan kepada Kranenburg dan Vegtig, salah satunya
semua tenaga kesehatan yang bekerja di adalah teori fautes de services, yaitu teori
rumah sakit tersebut, sehingga segala yang menyatakan bahwa kerugian terhadap
tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari
pasiennya akan dibatasi oleh kebijakan pejabat yang bersangkutan. Menurut teori
tersebut. ini tanggung jawab dibebankan kepada
Apabila kita hubungkan kasus pasien jabatan.
yang bernama kadek tersebut yang Sehingga mengenai tanggung jawab
menderita luka parah dibagian otak yang hukum dokter dalam penghentian tindakan
dihentikan tindakan medisnya oleh pihak medis terhadap pasien yang bernama kadek
rumah sakit penghentian tindakan medis yang di rawat di rumah sakit, menurut
pada pasien terminal. maka seperti halnya peneliti hal itu dapat dialihkan kepada pihak
kita tahu bahwa ada beberapa prinsip dalam rumah sakit. Hal itu didasarkan pada Pasal
pertanggungjawaban diantaranya adalah 46 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur tentang Rumah Sakit yang menyatakan
kesalahan (fault liability atau liability based bahwa: Rumah Sakit bertanggung jawab
on fault), yaitu prinsip yang cukup umum secara hukum terhadap semua kerugian
berlaku dalam hukum pidana dan perdata. yang ditimbulkan atas kelalaian yang
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah
Perdata, khususnya pasal 1365, 1366, dan Sakit. Biasanya apabila terjadi sesuatu
1367, prinsip ini dipegang secara teguh. terhadap pasien misalnya pasien sampai
Prinsip ini menyatakan, karena faktor meninggal dan pihak keluarga menuntut
finansial dengan tanggung jawab hukum ganti rugi maka Rumah Sakit harus
dokter dalam seseorang baru dapat membayar kompensasi tersebut kepada
dimintakan pertanggungjawabannya secara pihak pasien.
Puti Priyana
Tanggung Jawab Dokter Penghentian tindakan medis
381