Judul Kasus Saat Tato di Dada Sulitkan Dokter untuk Selamatkan Nyawa
B. Deskripsi Kasus
Seorang pria berusia 70 tahun dilarikan ke departemen emergensi.
Pria ini memiliki riwayat penyakit PPOK, Diabetes Melitus, dan Atrial Fibrilasi. Saat ditemukan pasien memiliki kadar alkohol darah yang tinggi. Beberapa jam kemudian pasien ditemukan dalam keadaan hipotensi dan anion gap asidosis metabolic dengan pH 6,8. Pada dada anterior pasien didapatkan tato yang tertulis “Do Not Resuscitate” dengan tanda tangan berada dibawah yang diasumsikan miliknya. Pasien ini ditemukan tanpa identifikasi atau keluarga sehingga social work department dipanggil untuk menghubungi keluarganya. Segala usaha untuk menangani penyebab yang reversibel dari penurunan kesadaran tidak berhasil membuat pasien sadar untuk mendiskusikan penanganan selanjutnya.
Tim medis pada awalnya hendak tidak menuruti permintaan pada
tato tersebut. Tetapi tim medis tetap berkonsultasi ke departemen etik. Pada akhirnya tim etik menyarankan untuk menuruti permintaan tato pasien. Pada akhirnya pasien diberikan antibiotik empiris, pemasangan infuse, dan vasopressor serta pemberian ventilasi non invasif. Mereka menyarankan hal itu karena yang paling masuk akal dan hukum tidak selalu berpihak pada pelayanan kesehatan yang berprinsip patient centered care.
Kemudian social work department mendapatkan bukti salinan dari
surat persetujuan untuk menolak dilakukannya resusitasi dari department kesehatan florida. Keadaan klinis pasien menurun sepanjang malam dan dia meninggal tanpa dilakukan CPR (cardiopulmonary respiration).
C. Pembahasan
Cardiopulmonary resuscitation (CPR) biasanya dilakukan kepada
pasien yang menderita henti jantung (cardiac arrest) atau henti pernapasan. Asumsi perizinan untuk memberikan CPR diasumsikan atas dasar kondisi pasien yang tidak dapat memberikan izin saat serangan terjadi. CPR boleh tidak dilakukan dalam dua kondisi yaitu pertama jika pasien lebih dahulu memberikan persetujuan untuk dilakukan CPR dan yang kedua jika dokter yang menangani menganggap CPR itu tidak memberikan hasil yang bermakna atau sia-sia jika dilakukan (Panchal et al., 2018).
Terdapat beberapa pertimbangan yang diperlukan sebelum
melakukan suatu tindakan klinis. Menurut Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 disebutkan bahwa setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan yang dimaksud setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan yang akan dilakukan. Persetujuan dapat diberikan secara lisan maupun tertulis. Terutama tindakan yang berisiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis. Belakangan ini tim kesehatan ataupun tim medis terutama dokter masih sering mengalami dilema dalam kode etik kedokteran. Dimana dokter dihadapkan oleh suatu pilihan yang sulit apakah harus melakukan atau tidak melakukan dan apakah itu beresiko atau tidak terhadap keselamatan pasien. Kasus yang sering ditemukan adalah DNR. Do Not Resuscitate (DNR) merupakan keputusan untuk tidak melanjutkan tindakan CPR setelah 30 menit tidak menunjukan ada Return of spontaneous circulation (ROSC). Do not resuscitate (DNR) merupakan sebuah perintah jangan dilakukannya Resusitasi Jantung Paru (RJP) bagi tenaga kesehatan jika terjadi permasalahan darurat pada jantung pasien atau berhentinya pernapasan (Fu et al., 2018). DNR secara umum berarti bahwa pasien tidak akan menerima RJP saat cardiac arrest. Misalnya jika tiba-tiba pasien mengalami henti jantung dan sebagai dokter, membiarkan pasien mati karena permintaan DNR dari pasien maupun keluarganya. Tetapi apabila dilakukan RJP, dokter akan dianggap tidak menghormati keputusan pasien/keluarga dan dapat dituntut. Di satu pihak dokter tidak berhak untuk mengakhiri kehidupan, tugas utama ialah untuk menyembuhkan dan memperjuangkan kehidupan. Di lain pihak dokter memiliki kewajiban untuk menolong pasien yang menderita dan karena itu tidak boleh mengabaikan permintaan pasien atau keluarga. Hal ini akan berhadapan dengan masalah etik. Do Not Resuscitate (DNR) menjadi keputusan yang tidak mudah diambil oleh dokter dan membutuhkan beberapa pertimbangan. Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan pendekatan kaidah dasar bioetik.
Menurut Afandi (2017) menyatakan bahwa kaidah dasar bioetika
adalah suatu karakteristik yang unik dari prinsip yang dapat digunakan untuk menganalisis lebih tajam suatu standar, untuk membenarkan peraturan dan dapat menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan klinis yang etis dalam praktik sehari-hari. Berdasarkan kasus tersebut, dokter memilih pengambilan tindakan terhadap pasiennya dengan mempertimbangkan prinsip otonomi (respect for autonomy) setelah melihat tato yang tertera pada dada pasien bertuliskan “Do Not Resuscitation”. Dokter mempertimbangkan untuk tidak melakukan tindakan RJP karena tidak dilakukannya komunikasi sebelumnya antara dokter dan pasien untuk meminta persetujuan pasien baik secara lisan maupun tulisan untuk dilakukannya suatu tindakan oleh dokter sebab pasien dalam keadaan tidak sadar. Sehingga dokter hanya memberikan antibiotik empiris, vasopressor, dan pemberian ventilasi non invasif yang menunjukkan bahwa dokter menghargai hak dan menyetujui keputusan pasien yang hanya didasarkan tato pasien. Tulisan pada tato di dada pasien lebih membuat kebingungan dokter dalam melakukan pertimbangan. Walau pada akhirnya setelah dokter memberikan penatalaksanaan awal, pihak rumah sakit menemukan bukti surat pernyataan persetujuan penolakan dilakukannya resusitasi beserta yang secara resmi bisa mengantarkan dokter untuk tidak melakukan resusitasi meski pasien membutuhkan.
Prinsip otonomi adalah prinsip yang menghormati keinginan atau
otonomi pasien. Otonomi secara literatur adalah aturan yang mengatur diri sendiri secara tenang dan tidak tergesa-gesa tanpa campur tangan orang lain. Otonomi pasien harus dihormati secara etik dan legal. Dalam mengambil keputusan, pasien dapat menggunakan hak otonominya. Namun, harus dipastikan bahwa pasien merupakan orang yang dinilai mampu untuk memberikan keputusan. Sebelum keputusan diambil, perlu dilakukan komunikasi antara dokter dan pasien. Dokter wajib melakukan informed consent, yang mensyaratkan bahwa pasien mampu menerima dan memahami informasi yang akan diberikan berkaitan dengan kondisi penyakit, prognosis, tindakan medis yang diusulkan, tindakan alternatif, risiko dan manfaat dari masing-masing pilihan (Sampurna, Syamsu, dan Dwidja, 2007). Dasar-dasar respect for autonomy terkait erat dengan dasar mengenai rasa hormat terhadap martabat manusia dengan segala karakteristik yang dimilikinya karena ia adalah seorang manusia yang memiliki nilai dan berhak untuk meminta. Respect for autonomy merupakan sesuatu yang hanya diwajibkan bila ia tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah bioetika yang utama lainnya (Afandi, 2017). Prinsip bioetik selanjutnya adalah prinsip beneficence yang mengedepankan kebaikan pasien. Dalam arti prinsip ini bahwa seorang dokter berbuat baik, menghormati martabat manusia, dokter juga harus mengusahakan agar pasiennya dirawat denga baik. Beneficenxe membawa arti menyediakan kemudahan dan kesenangan kepada pasien mengambil langkah positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada hal yang buruk. Beberapa ciri dari prinsip ini adalah mengutamakan alturisme, memandang pasien atau keluarga bukanlah bukanlah suatu tindakan tidak hanya menguntungkan seorang dokter, mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan buruknya, menjamin kehidupan baik minimal manusia (Mawere, 2012). Pada prinsip ini, tindakan resusitasi merupakan usaha untuk memulihkan kondisi kesehatan dan fungsi organ yang bertujuan untuk mengurangi kesakitan dan penderitaan pasien. RJP dianggap sebagai upaya yang efektif jika dilakukan pada pasien henti jantung akibat gangguan jantung. Penyebab yang irreversibel merupakan indikasi untuk tidak melakukan RJP atau DNR.
Di lain hal, dokter menyampingkan prinsip non maleficence yang
mencegah tindakan menyakiti atau memperparah penderitaan pasien yang berada dalam kondisi gawat. Prinsip non-maleficence berputar sekitar konsep kerugian. Kerugian bisa bersifat sengaja atau tidak sengaja. Non maleficent secara general maupun non maleficent secara medis berarti seorang dokter tidak boleh melakukan kejahatan atau yang merugikan orang lain sebagai pasiennya (Omonzejele, 2005). Pemberian RJP yang berkepanjangan atau telat diberikan dapat memberikan penderitaan lebih lanjut pada pasien. Pasien dapat saja bertahan hidup tanpa tindakan RJP, namun dalam kondisi koma. Berdasarkan prinsip ini, harus dipertimbangkan apakah pelaksanaan RJP akan menimbulkan kerugian yang lebih besar dibandingkan manfaatnya.
Prinsip terakhir yang menjadi pertimbangan dokter adalah prinsip
keadilan (justice). Beuchamp dan Childress menyatakan bahwa teori ini sangat erat kaitannya dengan sikap adil seseorang pada orang lain, seperti memutuskan siapa yang membutuhkan pertolongan kesehatan terlebih dahulu dilihat dari derajat keparahan penyakitnya. Prinsip keadilan menjamin terpenuhinya hak-hak pasien dengan menyeimbangkan tercapainya tujuan sosial. Namun, diperlukan nilai moral untuk menjustifikasi perawatan medis yang diberikan pada pasien (Sachrowardi, 2011). Dalam kasus tersebut prinsip keadilan menjamin semua pasien yang mengalami henti jantung harus mendapat RJP, tetapi nilai moral akan menentukan pada pasien mana tindakan RJP akan memberikan manfaat yang paling baik.
Solusi yang menurut kami paling baik untuk dijadikan
pertimbangan dokter ketika dihadapkan pada situasi seperti kasus adalah dokter mengutamakan kaidah dasar bioetik berupa prinsip beneficence (berbuat baik). Beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat baik, menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap dalam kondisi sehat. Point utama dari prinsip beneficence sebenarnya lebih menegaskan bahwa seorang dokter harus mengambil langkah atau tindakan yang lebih banyak dampak baiknya daripada buruknya sehingga pasien memperoleh kepuasan tertinggi. Berdasarkan laporan-laporan hasil tindakan klinis, jika RJP dilakukan pada pasien henti jantung yang timbul oleh sebab penyakit selain jantung atau disfungsi organ maka jarang sekali ditemukan pasien dapat bertahan hidup. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irreversibel, diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau pneumonia. Sehingga pada pasien yang meminta DNR, dimana kemungkinan bertahan hidup sangat rendah, dengan melakukan tindakan RJP tidak membawa dampak serta keuntungan dalam penyembuhan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan DNR tidak bertentangan dengan prinsip etik beneficence. Di lain hal, kasus permintaan DNR akan menjadi berbeda ketika dokter dihadapkan dengan adanya surat resmi pernyataan DNR dari pasien. Hal tersebut bisa menjadi tambahan pertimbangan dokter untuk tidak melakukan tindakan RJP. Sebab berdasarkan salah satu prinsip kaidah dasar bioetik yaitu otonomi, dokter diwajibkan untuk menghargai segala keputusan pasien/keluarga. Dalam kasus tersebut, dokter dihadapkan permintaan DNR dari pasien melalui tato didadanya yang sebetulnya masih rancu apakah tato tersebut benar-benar keinginan pasien atau tidak. Pilihan lain yang dapat membantu adalah dengan bertanya mengenai keputusan keluarganya. Namun pada kasus tersebut, pasien datang dengan kondisi tidak sadarkan diri dan tanpa identitas sehingga sulit untuk bertanya keputusan keluarga yang mewakili pasien. Kemudian, hal lain yang bisa menjadi pertimbangan dokter adalah keadaan pasien apakah ada penyakit lain diluar penyakit jantung yang dapat menjadikan tindakan RJP apabila dilakukan akan memperparah penderitaan pasien yang justru mejadi sisi berlawanan dari prinsip non maleficence yaitu tidak merugikan orang lain atau tidak memperparah penderitaan. Di beberapa negara, pengaplikakasian DNR diterapkan dengan berdasarkan prinsip otonomi, yaitu pasien dapat memilih perawatan yang terbaik menurut pasien. Berdasarkan kasus tersebut, dokter telah menemukan surat pernyataan DNR yang mana diharapkan pasien harus kompeten saat mengambil keputusan DNR tersebut sehingga dokumentasi tersebut dianggap sah.
Menurut sumber lain menyebutkan bahwa tindakan medis yang
diketahui sebagai tindakan sia-sia (futile) saat ini dipertimbangkan untuk tidak lagi dilanjutkan dan secara moral dapat dibenarkan apabila tindakan tersebut dihentikan. Namun keputusan bahwa sesuatu tindakan medis adalah tindakan sia-sia haruslah diambil melalui pertimbangan yang ketat. Sebagai contoh adalah tindakan CPR, yang pada mulanya hanya ditujukan untuk henti jantung yang akut dan reversible, namun dalam prakteknya CPR diterapkan pada setiap kasus henti jantung di rumah sakit termasuk dengan penyakit selain jantung dan penyebab irreversibel, sehingga seolah-olah menjadi prosedur baku. Bahkan keluarga pasien masih dapat menuntut dokter apabila tidak melakukan CPR, meskipun sebenarnya oleh dokter telah dipertimbangkan futilitasnya. DAFTAR PUSTAKA
Afandi D. 2017. Kaidah Dasar Bioetika dalam Pengambilan Keputusan
Klinis yang Etis. Majalah Kedokteran Andalas. 40(2): 111-121.
C. Santonocito et al. 2013. Do-not-resuscitate order: a view throughout the
world. Journal of Critical Care 28, 14–2.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2004. Undang-
undang RI No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Jakarta: Depkes RI.
Fu PK, et al. 2018. early and late do-not-resuscitate (DNR) decisions in
patients with terminal COPD: a retrospective study in the last year of life. International Journal of COPD. 13(1): 2447-2454.
Mawere M. 2012. Critical Reflections On The Principle of Beneficence in
Biomedicine. Pan African Medical Journal. 11(29): 1-5.
Omonzejele PF. 2005. Obligation of non-maleficence: moral dilemma in
physician-patient relationship. Journal of Biomedical Sciences. 4(1): 22-30.
Panchal AR, et al. 2018. 2018 American Heart Association Focused
Update on Advanced Cardiovascular Life Support Use of Antiarrhythmic Drugs During and Immediately After Cardiac Arrest. American Heart Association Journal. 138: 740-749.
Richter JA dan Barankay A, Dziersk J. 2001. Do not resuscitate orders in
different countries. Current Opinion in Anaesthesiology, 14: 553- 557.
Sachrowardi, Qomariyah S, dan Basbeth F. 2011. Bioetika: Isu & Dilema.
Jakarta: Pensil-324. Sampurna B, Syamsu Z, Dwidja T. 2007. Bioetik dan Hukum Kedokteran: Etik pada akhir kehidupan. Jakarta: Pustaka Dwipar.
ILMU PERUBAHAN DALAM 4 LANGKAH: Strategi dan teknik operasional untuk memahami bagaimana menghasilkan perubahan signifikan dalam hidup Anda dan mempertahankannya dari waktu ke waktu
Pengambilan keputusan dalam 4 langkah: Strategi dan langkah operasional untuk pengambilan keputusan dan pilihan yang efektif dalam konteks yang tidak pasti