Anda di halaman 1dari 38

Trend Issue

End of Life
(Do Not Resusitation)
Nurul Laili,S.Kep.Ns.,M.Kep
Keperawatan
Gawat Darurat

DNR disebut juga sebagai do not attempt resuscitation (DNAR), do


not attempt cardiopulmonary resuscitation (DNACPR), atau allow
natural death (AND).
Kondisi pro dan kontra, sehingga perlu dikaji dari segi bioetik dan
medikolegal secara hati-hati terhadap masing-masing kasus.
.
Do not resuscitate (DNR)
DNR adalah perintah untuk
tidak melakukan resusitasi
jantung paru pada pasien
henti jantung. Perdebatan
mengenai aspek hukum DNR
masih terus berlaku.
Aspek Keadilan
Beberapa negara menetapkan hukum yang melarang DNR
atas beberapa pertimbangan. Di Cina dan Korea Selatan,
DNR dilarang berdasarkan asas keadilan bahwa tindakan
pengobatan, termasuk RJP harus dilakukan sama pada
setiap orang dalam kondisi dan tempat yang sama.

Negara Inggris mengemukakan bahwa orang yang


diberikan label DNR memiliki kemungkinan akan
ditelantarkan dan tidak diberikan penatalaksanaan
yang layak. Selain itu, ada pasien yang memiliki
keinginan euthanasia, terutama pasien dewasa yang
kompeten tetapi menolak RJP secara irasional.
Aspek Etis dan Agama
Aspek lain yang banyak digunakan
untuk menolak DNR adalah aspek
etis dan agama. Agama tidak
memberikan kuasa pada manusia
untuk dapat menentukan hidup dan
mati seseorang, sedangkan
keputusan DNR dianggap dapat
menentukan hidup dan mati
seseorang.
Pro Tindakan DNR
Beberapa pertimbangan yang digunakan kelompok pro
terhadap DNR adalah aspek legal dan etis. Rekomendasi
American Heart Association (AHA), sebagai salah satu
panduan yang banyak digunakan di seluruh dunia,
menyatakan bahwa RJP tidak diindikasikan pada semua
pasien. RJP tidak perlu dilakukan pada pasien dengan
kondisi terminal, penyakit irreversible, dan penyakit
dengan prognosis kematian hampir pasti.
Aspek Legal
Beberapa organisasi profesi, seperti organisasi
profesi perawat dan dokter anestesi, memiliki
konsensus yang mendukung hak pasien akan
dirinya sendiri. Pasien yang dinyatakan dewasa
secara hukum dan kompeten berhak menolak
pengobatan, termasuk prosedur untuk
menyelamatkan hidup mereka.
Setelah mendapat informasi lengkap dan
memahami betul implikasi keputusannya, maka
pasien dapat menolak suatu terapi. Perintah
DNR dianggap sebagai dokumen medis legal
yang mencerminkan keputusan dan keinginan
pasien untuk menghindari upaya dalam
mempertahankan kehidupan.
Aspek Etis
Pandangan etis terhadap DNR juga dipakai sebagai alasan
pembenaran tindakan tersebut. Melakukan RJP harus
mempertimbangan 4 kaidah bioetika, yaitu:
1. Asas manfaat (beneficence),
2. Prinsip do no harm (nonmaleficence)
3. Perlakuan yang adil (justice)
4. Hak otonomi pasien (autonomy)
Selain itu, beberapa pandangan agama juga membenarkan
dilakukannya DNR, terutama bila RJP tidak akan memberikan hasil
yang terbaik dan justru menambah beban pasien dan keluarga.
Keputusan Medis
Perintah DNR dapat juga merupakan bagian dari
keputusan medis. Bila tim medis percaya bahwa RJP
tidak akan berhasil, maka RJP tidak perlu dimulai karena
dokter dapat menghentikan perawatan yang dianggap
sia-sia (futile care). Hal ini memerlukan keterampilan,
pengetahuan, dan kemampuan dokter dan tim medis
lainnya. Keputusan DNR harus dipandang sebagai bagian
dari upaya resusitasi pasien.
Kajian Etik Pada DNR
Keputusan DNR dianggap sebagai bagian dari upaya
resusitasi pasien. Oleh karena itu, prinsip etik harus
berdasarkan pengkajian terhadap keseluruhan upaya
RJP, termasuk mempertimbangkan kondisi lingkungan
sekitar. Misalnya, orang Asia sangat menekankan pada
keputusan kelompok/keluarga, sedangkan orang di
Amerika Serikat lebih menekankan pada prinsip otonomi
individual.
Prinsip Bioetika Beneficence
Beneficence adalah prinsip keuntungan dalam upaya pemulihan
pasien. Pada prinsip ini, RJP dipandang bermanfaat sebagai upaya
pemulihan kesehatan dan fungsi organ untuk meringankan
kesakitan dan penderitaan pasien.
RJP sangat efektif jika dilakukan pada pasien henti jantung yang
disebabkan gangguan jantung. RJP jarang memperbaiki kondisi
pasien gagal ginjal, kanker, atau penyakit kronis lain. Penyebab
irreversible, seperti syok berkepanjangan, merupakan indikasi untuk
tidak melakukan RJP. Namun, perlu diingat bahwa usia tua bukanlah
kontraindikasi dilakukan RJP.
Prinsip Bioetika Non Maleficence

Non maleficence atau do no harm adalah prinsip mencegah


kesakitan pasien meningkat akibat terapi yang diberikan.
Tindakan RJP berkepanjangan atau RJP yang diberikan
terlambat dapat menyebabkan kesakitan lebih lanjut pada
pasien.
Pasien dapat bertahan hidup tetapi berada dalam kondisi
koma persisten, atau status vegetatif. Berdasarkan prinsip
ini, RJP dapat dihentikan jika kerugiannya lebih besar
daripada keuntungan.
Prinsip Bioetika Otonomi

Hak otonomi pasien harus dihormati


secara etik, bahkan secara legal. Dalam
menggunakan hak otonominya, pasien
harus dipastikan layak untuk memutuskan
setuju atau tidak dalam suatu tindakan
medis, termasuk RJP.
Prinsip Bioetika Otonomi
Pasien dianggap dewasa sesuai dengan peraturan
negara, yakni berusia 18 tahun. Dokter wajib
mendapatkan informed consent, sebagai bukti bahwa
pasien telah menerima dan memahami informasi terkait
kondisi penyakit, prognosis, tindakan medis yang
diusulkan, tindakan alternatif, risiko, dan manfaat dari
masing-masing pilihan. Baik edukasi maupun penjelasan
yang diberikan kepada pasien harus menjadi dasar
shared decision making.
Prinsip Bioetika Otonomi
Jika kapasitas pasien menurun akibat obat-
obatan atau komorbid, maka kondisinya harus
dikembalikan terlebih dahulu hingga mampu
memberikan keputusan. Pada kondisi
kegawatdaruratan dan pasien belum sempat
mengambil keputusan, maka pilihan yang
bijaksana adalah dokter memberikan perawatan
medis sesuai standar.
Prinsip Bioetika Keadilan
Prinsip keadilan menjamin hak-hak
pasien terpenuhi, dengan
menyeimbangkan tujuan pribadi dan
sosial. Prinsip keadilan diperlukan
untuk mengurangi ketidaksamaan
perlakuan pada pasien
Prinsip Bioetika Keadilan
Keputusan DNR dianggap sebagai bagian dari upaya
resusitasi pasien. Oleh karena itu, prinsip etik harus
berdasarkan pengkajian terhadap keseluruhan upaya
RJP, termasuk mempertimbangkan kondisi lingkungan
sekitar. Misalnya, orang Asia sangat menekankan pada
keputusan kelompok/keluarga, sedangkan orang di
Amerika Serikat lebih menekankan pada prinsip otonomi
individual.
Hukum Terkait DNR di Indonesia
Belum ada peraturan yang secara jelas mengatur
DNR di Indonesia. Dasar perundang-undangan
yang banyak digunakan sebagai landasan dalam
mempertahankan kehidupan manusia adalah
UUD 1945 pasal 28A perubahan kedua, yaitu
setiap orang berhak hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Hukum Persetujuan Pasien
Pelaksanaan setiap tindakan kedokteran di Indonesia harus
didasarkan pada persetujuan pasien, setelah mendengarkan
penjelasan yang cukup oleh dokter. Hal ini tertulis pada
Undang-Undang no. 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran pasal 39: Praktik kedokteran diselenggarakan
berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien, dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan,
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit, dan pemulihan kesehatan
Hukum Persetujuan Pasien
Diperkuat dengan pasal 45: Ayat (1) Setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
Hukum Tindakan
Kegawatdaruratan
Pada kondisi gawat darurat, tindakan untuk menyelamatkan
nyawa sering dilakukan bersama atau sebelum mendapatkan
persetujuan tindakan. Kode Etik Kedokteran Indonesia
(KODEKI) pasal 17: Setiap dokter wajib melakukan pertolongan
darurat sebagai suatu wujud tugas peri kemanusiaan, kecuali
bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
Hukum Tindakan
Kegawatdaruratan
Pada penjelasan pasal 17, dinyatakan bahwa salah
satu alasan yang dapat menggugurkan kewajiban
dokter untuk memberikan pertolongan gawat
darurat adalah pada pasien yang telah mendapat
keputusan medis DNR yang diberikan pada pasien
paliatif
Hukum Khusus DNR
Saat ini belum ada kepastian hukum yang
khusus mengatur DNR. Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) no. 37 tahun 2014
mengenai penentuan kematian dan
pemanfaatan organ memiliki bab dan pasal
terkait penghentian atau penundaan terapi
bantuan hidup
Hukum Khusus DNR
Pada dasarnya, penghentian dan penundaan
terapi bantuan hidup harus diputuskan oleh tim
dokter yang menangani pasien, setelah
berkonsultasi dengan tim dokter yang ditunjuk
oleh Komite Medik atau Komite Etik. Keluarga
pasien dapat meminta hal ini, tetapi harus dengan
syarat tertentu di antaranya pasien telah
mewasiatkan pesannya
Hukum Khusus DNR
Penghentian atau penundaan terapi
bantuan hidup dapat dilakukan pada
pasien dengan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan lagi (terminal state), atau
tindakan medis sudah sia-sia (futile care)
Pelaksanaan DNR
Pada pelaksanaannya, DNR pada dasarnya
adalah permintaan pasien atas kepentingan
dirinya. Persetujuan DNR harus dilakukan
dengan mempertimbangkan segala aspek,
terutama untung rugi sebuah upaya
penyelamatan. DNR hanya dilakukan untuk
melindungi otonomi pasien, dan mencegah
bahaya lebih lanjut pada pasien.
Pelaksanaan DNR
Penilaian ketidakberhasilan terapi oleh dokter
tidak serta merta menjadi alasan DNR. Penilaian
kesia-siaan sepihak oleh dokter tidak menjadi
prioritas jika dibandingkan dengan keputusan
keluarga. Oleh karena itu, pelaksanaan DNR
membutuhkan upaya komunikasi dan
dokumentasi.
Tidak ada waktu yang paling
Upaya Komunikasi tepat untuk mendiskusikan DNR
Komunikasi merupakan bagian yang sangat dengan pasien, karena seringkali
penting dalam pengambilan keputusan DNR. Perlu pasien dan keluarga
diketahui bahwa pemahaman dokter atau tenaga mempercayakan keputusan
medis mengenai DNR tidak sama dengan apa yang
dokter. Namun, dokter harus
pasien dan keluarganya pahami. Beberapa pasien
mungkin memahami DNR sebagai penolakan mempertimbangkan kondisi dan
pemberian obat-obatan. Dokter harus menjelaskan kesiapan pasien menerima
bahwa DNR berarti tidak akan dilakukan RJP bila informasi tersebut.
terjadi kasus henti nafas dan henti jantung,
sehingga pasien tetap mendapatkan terapi
maksimal termasuk perawatan intensif jika
diperlukan.
Upaya Dokumentasi
Setelah komunikasi yang baik, pasien akan dapat
memberikan keputusan bersama dokter. Hasil
keputusan tersebut harus didokumentasikan secara
baik. DNR harus dituliskan dengan jelas pada status
pasien, termasuk detail diskusi yang terjadi dan
kesimpulan yang diambil. Penjelasan dokter,
pertanyaan pasien, serta jawabannya harus dituliskan
dalam rekam medis
Upaya Dokumentasi
Dokumen DNR harus memuat tindakan dan obat yang
ditolak pasien, lengkap dengan hal-hal pengecualian.
Misalnya, pasien menolak untuk dilakukan RJP dan
pemberian obat bantuan hidup saat mengalami henti
jantung, kecuali henti jantung yang disebabkan
komplikasi prosedur, seperti syok anafilaksis akibat
penggunaan obat/ zat dan komplikasi kateterisasi
jantung.
Upaya Dokumentasi

Pendokumentasian harus diikuti


dengan pemberian tanda khusus,
yang dapat dikenali oleh semua
petugas kesehatan.
Keputusan DNR
Tidak Kaku
Keputusan DNR tidak bersifat kaku. Bila dalam perjalanan
penyakitnya pasien berkeinginan mengubah
keputusannya, maka pendokumentasian harus dilakukan
dengan baik. Revisi keputusan DNR harus diketahui oleh
semua dokter dan petugas kesehatan yang merawat
pasien, misalnya dengan menarik tanda khusus
sebelumnya.
Kesimpulan
Do not resuscitate (DNR) adalah perintah untuk tidak
melakukan upaya penyelamatan pasien henti jantung
dengan melakukan resusitasi jantung paru (RJP).
Keputusan DNR perlu dikaji dari segi bioetik dan
medikolegal secara hati-hati terhadap masing-masing
kasus.
Kesimpulan
RJP harus mempertimbangan 4 kaidah bioetika, yaitu
asas manfaat (beneficence), prinsip do no harm (non
maleficence), perlakuan yang adil (justice), dan hak
otonomi pasien (autonomy).
Oleh karena itu perintah DNR dapat menjadi bagian
keputusan medis, di mana RJP tidak perlu dimulai jika
perawatan dianggap sia-sia (futile care).
Kesimpulan
Pelaksanaan DNR pada dasarnya adalah
permintaan pasien atas kepentingan dirinya.
DNR hanya dilakukan untuk melindungi
otonomi pasien, dan mencegah bahaya lebih
lanjut pada pasien.
Kesimpulan
Di Indonesia, tidak ada kepastian hukum yang khusus mengatur
DNR. Berbagai hukum dan undang-undang yang berlaku
menyebutkan bahwa setiap orang berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya, setiap tindakan medis harus
berdasarkan kesepakatan antara dokter dengan pasien, dan
setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai
suatu wujud tugas peri kemanusiaan. Namun kewajiban dokter
untuk memberikan pertolongan gawat darurat dapat gugur
pada pasien yang telah mendapat keputusan medis DNR yang
diberikan pada pasien paliatif
Menunda sesuatu yang
baik sama dengan
menunda kesuksesanmu

Anda mungkin juga menyukai