Anda di halaman 1dari 16

RJP PADA PASIEN DNR

Untuk memenuhi tugas essai

KDK Gadar 1

yang dibina oleh Ibu Sulastyawati,S.Kep, Ns, M.Kep

Oleh

Kelompok 1

KEMENTRIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN LAWANG

Agustus 2019
RJP PADA PASIEN DNR

Pendahuluan

Do Not Resuscitate (DNR) merupakan keputusan untuk tidak melanjutkan

tindakan CPR setelah 30 menit tidak menunjukan ada Return of spontaneous

circulation (ROSC). Pasien pasien dengan DNR termasuk dalam kategori sebagai

pasien menjelang ajal. Salah satu kompetensi perawat IGD menurut Emergency

Nursing Association yaitu memecahkan masalah dengan mengunakan prinsip etik

dalam pengambilan keputusan dan memiliki tanggung jawab dalam memberikan

perawatan menjelang ajal (Wolf, 2015).

Do Not Resuscitation (DNR) merupakan suatu keputusan yang ditujukan pada

pasien dimana pasien akan mendapatkan suatu tindakan penghentian alat bantu hidup,

penghindaran Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR), serta hanya mendapatkan

kenyamanan (Chu, 2002). DNR dilaksanakan atas permintaan pasien dan keluarga

serta atas pertimbangan dari tim medis. DNR dapat dilakukan atas pertimbangan

status kesehatan pasien maupun biaya perawatan (Weiss & Hite, 2000).

Pasien dan keluarganya yang meminta untuk dilakukannya DNR pada pasien

memiliki hak otonomi yang harus dihormati yang terkadang menjadi suatu dilemma

bagi timkesehatan. Namun disisi lain DNR dapat dilakukan apabila tim medis

menemukan suatu kenyataan bahwa pasien memiliki harapan hidup yang rendah,

dimana kemungkinan tertolongnya sangat kecil (Michael, 2002). Bahkan tingkat

keberhasilan CPR yang dilakukan di ICU hanyalah 9.2% (Park, 2011). Dari hasil

penelitian Oh et al (2006) diketahui bahwa beberapa pasien memiliki waktu mulai


dari beberapa jam hingga beberapa hari sebelum akhirnya meninggal. Selama sisa

waktu yang dimiliki pasien, tidak diketahui bagaimana asuhan keperawatan yang

diberikan oleh perawat. Menurut Fields (2007), menerapkan DNR pada seorang

pasien bukan berarti tidak ada asuhan yang dapat kita berikan, melainkan justru harus

ditemukan cara lain yang terbaik yang dapat kita berikan. Hal ini untuk meningkatkan

kualitas end of life pasien. Ruland dan Moore pada tahun 1998 telah mencetuskan

teori peacefull end of life. Teori dari Ruland dan Moore ini menyatakan bahwa

kedamaian menjelang ajal meliputi terhindar dari rasa sakit, merasakan kenyamanan,

merasakan penghormatan, merasakan kedamaian, mendapatkan kesempatan untuk

dekat dengan seseorang yang dapat merawatnya (Higgins, 2010).

Menurut Saczynski, et al. (2012) menyebutkan fenomena pengambilan

keputusan DNR cenderung meningkat setiap tahunnya, di Massachuesetts pada

semua pusat kesehatan pasien mendapatkan DNR adalah sebanyak 1051 orang dari

total jumlah 4182 pasien antara tahun 2001 hingga 2007. DNR menjadi keputusan

yang tidak mudah diambil oleh dokter dan membutuhkan pertimbangan dan

rekomendasi dari perawat (Brizzi, 2012).

Perawat memiliki tantangan dalam praktik membantu meningkatkan kualitas

hidup selama di IGD melalui pengembangan hubungan antara perawat dengan pasien,

mempertahankan komunikasi dan bertindak sebagai pelindung untuk pasien selama

krisis (Bailey, et al., 2011). Doran (2013) menyebutkan bahwa adanya ketegangan

dalam kepedulian sosial atau caring pada Perawat yang bekerja di IGD memiliki

pengalaman dalam menghadapi banyak situasi etik yang sulit yang sering mengalami

ketegangan emosi dibandingkan dengan perawat lainnya.


Tindakan yang dilakukan pada pasien DNR berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi

oleh persepsi masing-masing petugas kesehatan terhadap DNR itu sendiri, begitu juga

dengan perawat, masing-masing perawat memliki persepsi mengenai DNR yang

dapat dipengaruhi oleh pengetahuannya (Park et al, 2011). Berdasarkan teori

peacefull end of life tindakan keperawatan masih dapat diberikan pada pasienpasien

DNR, seperti mengurangi rasa nyeri yang dapat dilakukan dengan tindakan mandiri

keperawatan maupun tindakan kolaboratif.

I. Aspek legal etik

Pada November 2017, The New England Journal of Medicine

mempublikasikan sebuah kasus tentang seorang pria 70 tahun, datang dengan tidak

sadarkan diri tanpa ada keluarga pengantar. Ketika kondisinya kritis, dilakukan

evaluasi terhadap pasien dan menemukan tato “Do Not Resuscitate” disertai tanda

tangan di dada pasien. Hal ini membuat tim dokter menjadi ragu-ragu dalam

mengambil tindakan agresif apalagi awalnya tidak ada ditemukan dokumen resmi

permintaan Do Not Resuscitate (DNR) pada pasien. DNR adalah perintah untuk tidak

melakukan upaya penyelamatan pasien berupa resuitasi jantung paru. DNR pada

beberapa kepustakaan disebut juga sebagai Do Not Attempt Resuscitation (DNAR),

Do Not Attempt Cardiopulmonary Resuscitation (DNACPR) or Allow Natural Death

(AND).
II. Pro dan Kontra Tindakan DNR

Perdebatan mengenai aspek hukum DNR masih terus berlaku. Beberapa negara

melakukan pelarangan DNR atas beberapa pertimbangan. Di Cina dan Korea Selatan

misalnya, DNR dilarang dengan asas keadilan bahwa tindakan pengobatan seperti

resusitasi jantung paru (RJP) harus dilakukan sama pada setiap orang dalam kondisi

dan tempat yang sama. Contoh lain, di Inggris, mengemukakan bahwa orang yang

diberikan label DNR memiliki kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak mendapat

penatalaksanaan yang layak. Dokter juga harus dapat menggali apakah ada

kemungkinan keinginan euthanasia, terutama pada pasien dewasa yang kompeten

namun menolak resusitasi jantung paru secara irasional.

Aspek lain yang banyak digunakan untuk menolak DNR adalah aspek etis dan

agama. Kaidah etis dan terutama kaidah agama menjadi banyak dasar pihak yang

menolak dilakukan DNR. Agama tidak memberikan kuasa pada manusia untuk dapat

menentukan hidup dan mati seseorang sebagaimana keputusan DNR dianggap dapat

menentukan hidup dan mati seseorang.

Beberapa pertimbangan yang digunakan kelompok pro terhadap DNR adalah

pertimbangan legal dan etis. Pertimbangan legal misalnya, bahwa rekomendasi

American Heart Association (AHA), sebagai salah satu panduan yang banyak

digunakan di seluruh dunia, menyatakan bahwa RJP tidak diindikasikan pada semua

pasien. Pasien dengan kondisi terminal, penyakit yang tidak reversibel, dan penyakit

dengan prognosis kematian hampir dapat dipastikan, tidak perlu dilakukan RJP.
Beberapa organisasi profesi, misalnya organisasi profesi perawat dan dokter

anestesi memiliki konsensus yang mendukung hak pasien akan dirinya sendiri. Pasien

yang dinyatakan dewasa secara hukum dan kompeten berhak menolak prosedur,

termasuk yang menyelamatkan hidup mereka, setelah mendapat informasi dan

memahami betul implikasi keputusannya. Perintah DNR dianggap sebagai dokumen

medis legal yang mencerminkan keputusan dan keinginan pasien akan menghindari

upaya untuk mempertahankan kehidupan.

Pandangan etis terhadap DNR juga dipakai sebagai alasan pembenaran tindakan

tersebut. Melakukan resusitasi jantung paru tidak hanya dibatasi oleh kaidah legal dan

teknis namun juga mempertimbangan 4 kaidah bioetika, asas manfaat (beneficence),

prinsip do no harm (nonmaleficence), perlakuan yang adil (justice), dan hak otonomi

pasien (autonomy). Selain itu, beberapa pandangan agama juga membenarkan

dilakukannya DNR terutama bila RJP tidak akan memberikan hasil yang terbaik dan

justru menambah beban pasien dan keluarga.

Perintah DNR dapat juga merupakan bagian dari keputusan medis. Bila tim medis

percaya bahwa RJP tidak akan berhasil, maka RJP tidak perlu dimulai karena dokter

dapat menghentikan perawatan yang dianggap sia-sia (futile care). Hal ini

memerlukan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan dokter dan tim medis lain.

Keputusan DNR harus dipandang sebagai bagian dari upaya resusitasi pasien.

III. Kajian Etik pada DNR

DNR dianggap sebagai bagaian dari upaya resusitasi pasien sehingga prinsip etik

yang dikaji haruslah pengkajian terhadap keseluruhan upaya RJP. Prinsip etik yang

dilakukan harus mempertimbangkan kondisi lingkungan sekitar. Misalnya, orang


Asia sangat menekankan pada keputusan kelompok akan keputusan yang ingin di

ambil. Berbeda dengan orang di Amerika Serikat yang sangat menekankan pada

prinsip otonomi individual.

Prinsip Beneficience adalah prinsip yang menjadi keuntungan upaya pemulihan

yang dilakukan pasien. Pada prinsip ini RJP dipandang sebagai upaya pemulihan

kesehatan dan fungsi organ yang bertujuan untuk meringankan kesakitan dan

penderitaan pasien. RJP berdasarkan prinsip ini dokter harus memikirkan

kebermanfaatan RJP pada pasien. RJP dianggap sebagai upaya yang sangat efektif

pada pasien dengan henti jantung yang disebabkan oleh gangguan jantung. Jarang

sekali ditemukan pasien yang mengalami perbaikan pasca RJP bila henti jantung

terjadi akibat penyebab lain misalnya gagal ginjal, kanker, atau penyakit kronis lain.

Penyebab yang irreversibel seperti syok bekerpanjangan merupakan indikasi untuk

tidak melakukan RJP atau perintah DNR. Namun, perlu diingat bahwa penuaan

bukanlah kontraindikasi dilakukannya RJP.[6]

Prinsip non maleficence (do no harm) adalah prinsip yang mencegah tindakan

yang diberikan oleh tenaga kesehatan meningkatkan kesakitan pada pasien.

Pemberian RJP berkepanjangan atau RJP yang diberikan terlambat pada dasarnya

memberikan kesakitan lebih lanjut pada pasien. Pasien dapat bertahan hidup tetapi

berada dalam kondisi koma persisten atau status vegetatif. Berdasarkan prinsip ini,

RJP dikatakan tidak memberikan kesusahan lebih lanjut bila keuntungan akibat

tindakan ini dianggap lebih besar dibanding kerugiannya.

Prinsip otonomi pasien harus dihormati secara etik, bahkan secara legal. Dalam

mengambil keputusan, pasien menggunakan hak otonominya, harus dipastikan pasien


secara cakap memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak tindakan medis,

termasuk RJP. Pasien dianggap dewasa sesuai dengan peraturan negara yakni berusia

18 tahun. Pasien juga harus dinilai kapasitasnya dalam mengambil keputusan.

Sebelum keputusan diambil pasien, diperlukan komunikasi yang baik antara dokter

dan pasien. Dokter wajib memberikan informed consent yang mensyaratkan pasien

mampu menerima dan memahami informasi yang akan diberikan berkaitan dengan

kondisi penyakit, prognosis, tindakan medis yang diusulkan, tindakan alternatif,

risiko dan manfaat dari masing-masing pilihan. Pasien yang kapasitasnya menurun

akibat obat-obatan atau penyakit penyerta, harus dikembalikan dulu pada kondisi

semula sampai pasien mampu memberikan keputusan medis. Bila terjadi kondisi

gawat darurat sebelum pasien belum mengambil keputusan dengan waktu yang

terbatas untuk mengambil keputusan, pilihan yang bijaksana adalah memberikan

perawatan medis sesuai standar.

Prinsip keadilian menjamin terpenuhinya hak-hak pasien dengan

menyeimbangkan tercapainya tujuan social. Prinsip keadilan diperlukan untuk

mengurangi ketidaksamaan perlakuan pada pasien. Namun, diperlukan nilai moral

untuk menjustifikasi perawatan medis yang diberikan pada pasien. Prinsip keadilan

menjamin semua pasien yang mengalami henti jantung harus mendapat RJP, tetapi

nilai moral akan menentukan pada pasien mana RJP akan memberikan manfaat yang

paling baik. Dalam menjamin terjadinya keadilan, penyedia layanan kesehatan harus

mempertimbangkan apakah sebuah tindakan medis:

1. mengobati, mencegah dan memberikan harapan hidup yang tinggi,

2. menghasilkan lebih sedikit efek samping dan kesakitan,


3. memberikan manfaat dan 4) secara memberikan dampak positif dibanding

dampak negatif.

IV. Aspek Hukum di Indonesia

Belum ada peraturan yang secara jelas mengatur bagaimana DNR dilakukan di

Indonesia. Dasar perundang-undangan yang banyak digunakan sebagai landasan

dalam mempertahkan kehidupan manusia adalah UUD tahun 1945 pasal 28 A

perubahan kedua yang menyebutkan “setiap orang berhak hidup serta berhak

mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Hal ini diperkuat oleh Undang-undang

no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39 yang menyatakan bahwa

“praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter

atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan,

pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan

kesehatan.”.

Pelaksanaan setiap tindakan kedokteran harus didasarkan pada persetujuan pasien

setelah mendengarkan penjelasan yang cukup oleh dokter. Hal ini tertulis pada UU

no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45. Dalam keadaan

kegawatdaruratan seringnya persetujuan tindakan harus dilakukan bersamaan dengan

pemberian tindakan yang menyelamatkan nyawa. Pertolongan kegawatdaruratan

harus diberikan oleh dokter berdasarkan pada Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal

17 menjelaskan bahwa “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai

suatu wujud tugas peri kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan

mampu memberikannya.” Pada penjelasan pasal 17 dinyatakan bahwa kewajiban

dokter untuk memberikan pertolongan gawat darurat hanya gugur oleh beberapa hal,
salah satunya adalah pada pasien yang telah mendapat keputusan medis DNR yang

diberikan pada pasien paliatif.

Saat ini belum ada kepastian hukum yang mengatur DNR. Bila mengacu pada

Peraturan Menteri Kesehatan no. 37 tahun 2014 mengenai penentuan kematian dan

pemanfaatan organ dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa praktik kedokteran

diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan

pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,

peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dalam

pandangan ini, DNR dapat dianggap sebagai bagian eutanasia. Eutanasia, walaupun

belum jelas kedudukan hukumnya, dapat dikenakan KHUP pasal 344 bab XIX

tentang kejahatan terhadap nyawa.

Saat ini juga belum diatur bagaimana apabila keputusan DNR dilakukan oleh

pasien, bahkan sebelum masuk dalam perawatan. Dalam hal ini, pasien yang pernah

mengambil keputusan DNR di perawatan sebelumnya atau fasilitas kesehatan lain

tidak dapat melakukan penuntutan pada dokter apabila atasnya dilakukan tindakan

penyelamatan nyawa.

Dalam pertimbangan hukum, pengambilan keputusan DNR harus dilakukan

dengan pertimbangan yang matang. Kesepakatan mengenai kondisi pasien dan

bagaimana kualitas hidup pasien menjadi penting. Pendokumentasian keputusan ini

dalam form khusus juga penting sebagai pembuktian bila ada permasalahan hukum di

kemudian hari.
V. Melakukan DNR pada Pasien

Pada pelaksanaannya harus dipahami bahwa permintaan DNR pada dasarnya

adalah permintaan pasien atas kepentingan dirinya. Belum ada aturan yang mengikat

apakah keluarga dapat memintakan keputusan DNR pada keluarganya. Persetujuan

DNR harus dilakukan dengan mempertimbangkan segala aspek, terutama untung

ruginya sebuah upaya penyelamatan. DNR hanya dilakukan untuk melindungi

otonomi pasien dan mencegah bahaya lebih lanjut pada pasien.

Penilaian keberhasilan terapi oleh dokter tidak serta merta menjadi alasan DNR

dilakukan oleh dokter. Masukan pasien dan keluarga adalah bagian yang penting.

Penilaian kesia-siaan sepihak oleh dokter tidak berada lebih prioritas dibanding

keputusan keluarga.

Komunikasi menjadi bagian penting dalam pengambilan keputusan DNR. Pasien

baru akan dapat memberikan keputusan setelah dilakukan komunikasi yang baik oleh

dokter. Bentuk komunikasi tersebut dan hasilnya harus didokumentasikan secara

baik. Perlu dipahami bahwa pemahaman dokter atau tenaga medis lain mengenai

DNR tidak sama dengan apa yang pasien dan keluarganya pahami. Beberapa pasien

mungkin memahami DNR sebagai penolakan pemberian obat-obat tertentu, yang lain

mungkin memikirkan DNR berarti tidak bersedia dilakukan RJP namun masih

menginginkan usaha maksimal dan obat-obatan bahkan bersedia dirawat di ruang

rawat intensif. Dokter harus menyebutkan dengan jelas bahwa DNR berarti RJP tidak

akan dilakukan bila terjadi kasus henti nafas dan henti jantung.
Hal penting lain dalam komunikasi dokter pasien berkaitan dengan DNR adalah

waktu. Tidak ada waktu yang paling tepat untuk menentukan kapan DNR harus

didiskusikan. Pasien dan keluarganya mempercayakan keputusan dokter mengenai

kapan keputusan itu harus dibuat, namun dokter harus mempertimbangkan kondisi

dan kesiapan pasien menerima informasi tersebut.

Komunikasi dilakukan pada pasien bila dirasa pasien mampu menerima informasi

tersebut. Bila pasien tidak mampu atau tidak ingin atau bila diskusi terkait DNR akan

menyebabkan gangguan fisik dan mental pada pasien, maka diskusi dengan pasien

tidak dilakukan. Kondisi tersebut harus tertulis dengan baik di catatan pasien. Bila

pasien tidak dapat terlibat pada pengambilan keputusan, keputusan DNR harus

dilakukan pada kerabat yang memiliki wewenang atas pasien.

Dokter perlu mempraktekkan komunikasi dokter pasien dalam hal diskusi DNR.

Kemampuan berkomunikasi dokter adalah kemampuan yang perlu dilatihkan

terutama dalam setting yang sebenarnya. Observasi dan simulasi adalah bentuk

pelatihan komunikasi yang dapat dilakukan oleh dokter, terutama dokter muda.

DNR harus dituliskan dengan jelas pada status pasien. Dokumentasi yang

dituliskan termasuk diskusi yang terjadi dan kesimpulan yang diambil. Penjelasan

yang diberikan dokter, termasuk pertanyaan yang dikeluarkan pasien serta

jawabannya harus dituliskan dalam catatan. Pendokumentasian tersebut harus diikuti

dengan pemberian tanda khusus yang dapat dikenali oleh semua petugas kesehatan.

Keputusan DNR bukan merupakan keputusan yang kaku. Bila dalam perjalanan

penyakitnya pasien berkeinginan mengubah keputusan DNRnya, harus dilakukan

pendokumentasian yang baik. Keputusan DNR harus dapat direvisi dan revisi
tersebut harus diketahui oleh semua petugas kesehatan yang mungkin bersinggungan

dengan pasien, misalnya dengan menarik tanda yang sudah dibuat sebelumnya.

Dokumen DNR harus memuat kondisi yang ditolak oleh pasien, tindakan dan

obat yang ditolaknya dan hal-hal pengecualian. Misalnya, pasien menolak untuk

dilakukan RJP dan pemberian bantuan obat pada pasien yang mengalami henti

jantung, kecuali henti jantung akibat komplikasi prosedur, misalnya syok anafilaktik

akibat penggunaan obat, bahan kontras dan komplikasi pada tindakan kateterisasi

jantung.

MANFAAT

Prinsip Beneficience adalah prinsip yang menjadi keuntungan upaya pemulihan

yang dilakukan pasien. Pada prinsip ini RJP dipandang sebagai upaya pemulihan

kesehatan dan fungsi organ yang bertujuan untuk meringankan kesakitan dan

penderitaan pasien. RJP berdasarkan prinsip ini dokter harus memikirkan

kebermanfaatan RJP pada pasien. RJP dianggap sebagai upaya yang sangat efektif

pada pasien dengan henti jantung yang disebabkan oleh gangguan jantung. Jarang

sekali ditemukan pasien yang mengalami perbaikan pasca RJP bila henti jantung

terjadi akibat penyebab lain misalnya gagal ginjal, kanker, atau penyakit kronis lain.

Penyebab yang irreversibel seperti syok bekerpanjangan merupakan indikasi untuk

tidak melakukan RJP atau perintah DNR. Namun, perlu diingat bahwa penuaan

bukanlah kontraindikasi dilakukannya RJP

Beneficence dapat diartikan bahwa seorang dokter harus berbuat baik,

menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap
dalam kondisi sehat. Point utama dari prinsip beneficence sebenarnya lebih

menegaskan bahwa seorang dokter harus mengambil langkah atau tindakan yang

lebih banyak dampak baiknya daripada buruknya sehingga pasien memperoleh

kepuasan tertinggi. Jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan RJP ketika

henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi

organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila

henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit

yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irrevers-

ible, diikuti dengan trauma, perdarahan, hipotensi yang berkepanjangan atau

pneumonia. Sehingga pada pasien terminal yang meminta DNR, dimana

kemungkinan bertahan hidup sangat rendah, dengan melakukan tindakan RJP tidak

membawa dampak serta keuntungan dalam penyembuhan pasien. Hal ini

menunjukkan bahwa tindakan DNR tidak bertentangan dengan prinsip etik

beneficence.

EFEK SAMPING RJP (KASUS DNR)

Perintah ditulis atas permintaan pasien atau keluarga tetapi harus

ditandatangani oleh dokter yang berlaku. DNR merupakan salah satu keputusan yang

paling sulit, adalah masalah etika yang menyangkut perawat ataupun dokter dan

tenaga kesehatan lainnya. Hal ini akan berhadapan dengan masalah moral atau pun

etik, apakah akan mengikuti sebuah ‘perintah jangan lakukan resusitasi atau tidak‘.

Bagaimana tidak, jika tiba-tiba pasien henti jantung sebagai perawat yang sudah

handal dalam melakukan RJP, membiarkan pasien mati dengan begitu saja. Tapi
masalahnya, jika kita memiliki hati dan melakukan RJP pada pasien tersebut, kita

bisa dituntut oleh pasien dan keluarga pasien tersebut. Ini adalah sebuah dilema, jika

terjadi kedaruratan jantung pasien atau pernapasan terhenti.

KESIMPULAN

Do Not Resuscitation (DNR) merupakan suatu keputusan yang ditujukan pada

pasien dimana pasien akan mendapatkan suatu tindakan penghentian alat bantu hidup,

penghindaran Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR), serta hanya mendapatkan

kedamaian menghadapi ajal. DNR dilaksanakan atas permintaan pasien dan keluarga

serta atas pertimbangan dari tim medis. Salah satu peran perawat yaitu memecahkan

masalah dengan mengunakan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan

memiliki tanggung jawab dalam memberikan perawatan menjelang ajal

Pengambilan keputusan DNR (Do Not Resuscitate) membutuhkan

pertimbangan dan pemahaman pada kriteria DNR. Selain itu, perawat harus terlibat

dalam kolaborasi dengan tim yang merawat pasien, sehingga keputusan DNR tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Ose, M. I. (2017). Pengalaman Perawat IGD Merawat Pasien Do Not Resuscitate

pada Fase Perawatan Menjelang Ajal. Jurnal Keperawatan Indonesia, 20(1),

32–39. https://doi.org/10.7454/jki.v20i1.378

Amestiasih, T., & Nekada, C. D. Y. (2017). Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang

Do Not Resuscitation ( Dnr ) Dengan Sikap Merawat Pasien Di Icu Rsud

Panembahan Senopati Bantul. Jurna Keperawatan Respati Yogyakarta, 4(2),

138–141.

Ose, M.I. 2017. Pengalaman Perawat IGD Merawat Pasien Do Not Resuscitate pada

Fase Perawatan Menjelang Ajal, diakses tanggal 8 Agustus 2019

http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/378

Anda mungkin juga menyukai