KDK Gadar 1
Oleh
Kelompok 1
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
JURUSAN KEPERAWATAN
Agustus 2019
RJP PADA PASIEN DNR
Pendahuluan
circulation (ROSC). Pasien pasien dengan DNR termasuk dalam kategori sebagai
pasien menjelang ajal. Salah satu kompetensi perawat IGD menurut Emergency
pasien dimana pasien akan mendapatkan suatu tindakan penghentian alat bantu hidup,
kenyamanan (Chu, 2002). DNR dilaksanakan atas permintaan pasien dan keluarga
serta atas pertimbangan dari tim medis. DNR dapat dilakukan atas pertimbangan
status kesehatan pasien maupun biaya perawatan (Weiss & Hite, 2000).
Pasien dan keluarganya yang meminta untuk dilakukannya DNR pada pasien
memiliki hak otonomi yang harus dihormati yang terkadang menjadi suatu dilemma
bagi timkesehatan. Namun disisi lain DNR dapat dilakukan apabila tim medis
menemukan suatu kenyataan bahwa pasien memiliki harapan hidup yang rendah,
keberhasilan CPR yang dilakukan di ICU hanyalah 9.2% (Park, 2011). Dari hasil
waktu yang dimiliki pasien, tidak diketahui bagaimana asuhan keperawatan yang
diberikan oleh perawat. Menurut Fields (2007), menerapkan DNR pada seorang
pasien bukan berarti tidak ada asuhan yang dapat kita berikan, melainkan justru harus
ditemukan cara lain yang terbaik yang dapat kita berikan. Hal ini untuk meningkatkan
kualitas end of life pasien. Ruland dan Moore pada tahun 1998 telah mencetuskan
teori peacefull end of life. Teori dari Ruland dan Moore ini menyatakan bahwa
kedamaian menjelang ajal meliputi terhindar dari rasa sakit, merasakan kenyamanan,
semua pusat kesehatan pasien mendapatkan DNR adalah sebanyak 1051 orang dari
total jumlah 4182 pasien antara tahun 2001 hingga 2007. DNR menjadi keputusan
yang tidak mudah diambil oleh dokter dan membutuhkan pertimbangan dan
hidup selama di IGD melalui pengembangan hubungan antara perawat dengan pasien,
krisis (Bailey, et al., 2011). Doran (2013) menyebutkan bahwa adanya ketegangan
dalam kepedulian sosial atau caring pada Perawat yang bekerja di IGD memiliki
pengalaman dalam menghadapi banyak situasi etik yang sulit yang sering mengalami
oleh persepsi masing-masing petugas kesehatan terhadap DNR itu sendiri, begitu juga
peacefull end of life tindakan keperawatan masih dapat diberikan pada pasienpasien
DNR, seperti mengurangi rasa nyeri yang dapat dilakukan dengan tindakan mandiri
mempublikasikan sebuah kasus tentang seorang pria 70 tahun, datang dengan tidak
sadarkan diri tanpa ada keluarga pengantar. Ketika kondisinya kritis, dilakukan
evaluasi terhadap pasien dan menemukan tato “Do Not Resuscitate” disertai tanda
tangan di dada pasien. Hal ini membuat tim dokter menjadi ragu-ragu dalam
mengambil tindakan agresif apalagi awalnya tidak ada ditemukan dokumen resmi
permintaan Do Not Resuscitate (DNR) pada pasien. DNR adalah perintah untuk tidak
melakukan upaya penyelamatan pasien berupa resuitasi jantung paru. DNR pada
(AND).
II. Pro dan Kontra Tindakan DNR
Perdebatan mengenai aspek hukum DNR masih terus berlaku. Beberapa negara
melakukan pelarangan DNR atas beberapa pertimbangan. Di Cina dan Korea Selatan
misalnya, DNR dilarang dengan asas keadilan bahwa tindakan pengobatan seperti
resusitasi jantung paru (RJP) harus dilakukan sama pada setiap orang dalam kondisi
dan tempat yang sama. Contoh lain, di Inggris, mengemukakan bahwa orang yang
diberikan label DNR memiliki kemungkinan untuk ditelantarkan dan tidak mendapat
penatalaksanaan yang layak. Dokter juga harus dapat menggali apakah ada
Aspek lain yang banyak digunakan untuk menolak DNR adalah aspek etis dan
agama. Kaidah etis dan terutama kaidah agama menjadi banyak dasar pihak yang
menolak dilakukan DNR. Agama tidak memberikan kuasa pada manusia untuk dapat
menentukan hidup dan mati seseorang sebagaimana keputusan DNR dianggap dapat
American Heart Association (AHA), sebagai salah satu panduan yang banyak
digunakan di seluruh dunia, menyatakan bahwa RJP tidak diindikasikan pada semua
pasien. Pasien dengan kondisi terminal, penyakit yang tidak reversibel, dan penyakit
dengan prognosis kematian hampir dapat dipastikan, tidak perlu dilakukan RJP.
Beberapa organisasi profesi, misalnya organisasi profesi perawat dan dokter
anestesi memiliki konsensus yang mendukung hak pasien akan dirinya sendiri. Pasien
yang dinyatakan dewasa secara hukum dan kompeten berhak menolak prosedur,
medis legal yang mencerminkan keputusan dan keinginan pasien akan menghindari
Pandangan etis terhadap DNR juga dipakai sebagai alasan pembenaran tindakan
tersebut. Melakukan resusitasi jantung paru tidak hanya dibatasi oleh kaidah legal dan
prinsip do no harm (nonmaleficence), perlakuan yang adil (justice), dan hak otonomi
dilakukannya DNR terutama bila RJP tidak akan memberikan hasil yang terbaik dan
Perintah DNR dapat juga merupakan bagian dari keputusan medis. Bila tim medis
percaya bahwa RJP tidak akan berhasil, maka RJP tidak perlu dimulai karena dokter
dapat menghentikan perawatan yang dianggap sia-sia (futile care). Hal ini
memerlukan keterampilan, pengetahuan dan kemampuan dokter dan tim medis lain.
Keputusan DNR harus dipandang sebagai bagian dari upaya resusitasi pasien.
DNR dianggap sebagai bagaian dari upaya resusitasi pasien sehingga prinsip etik
yang dikaji haruslah pengkajian terhadap keseluruhan upaya RJP. Prinsip etik yang
ambil. Berbeda dengan orang di Amerika Serikat yang sangat menekankan pada
yang dilakukan pasien. Pada prinsip ini RJP dipandang sebagai upaya pemulihan
kesehatan dan fungsi organ yang bertujuan untuk meringankan kesakitan dan
kebermanfaatan RJP pada pasien. RJP dianggap sebagai upaya yang sangat efektif
pada pasien dengan henti jantung yang disebabkan oleh gangguan jantung. Jarang
sekali ditemukan pasien yang mengalami perbaikan pasca RJP bila henti jantung
terjadi akibat penyebab lain misalnya gagal ginjal, kanker, atau penyakit kronis lain.
tidak melakukan RJP atau perintah DNR. Namun, perlu diingat bahwa penuaan
Prinsip non maleficence (do no harm) adalah prinsip yang mencegah tindakan
Pemberian RJP berkepanjangan atau RJP yang diberikan terlambat pada dasarnya
memberikan kesakitan lebih lanjut pada pasien. Pasien dapat bertahan hidup tetapi
berada dalam kondisi koma persisten atau status vegetatif. Berdasarkan prinsip ini,
RJP dikatakan tidak memberikan kesusahan lebih lanjut bila keuntungan akibat
Prinsip otonomi pasien harus dihormati secara etik, bahkan secara legal. Dalam
termasuk RJP. Pasien dianggap dewasa sesuai dengan peraturan negara yakni berusia
Sebelum keputusan diambil pasien, diperlukan komunikasi yang baik antara dokter
dan pasien. Dokter wajib memberikan informed consent yang mensyaratkan pasien
mampu menerima dan memahami informasi yang akan diberikan berkaitan dengan
risiko dan manfaat dari masing-masing pilihan. Pasien yang kapasitasnya menurun
akibat obat-obatan atau penyakit penyerta, harus dikembalikan dulu pada kondisi
semula sampai pasien mampu memberikan keputusan medis. Bila terjadi kondisi
gawat darurat sebelum pasien belum mengambil keputusan dengan waktu yang
untuk menjustifikasi perawatan medis yang diberikan pada pasien. Prinsip keadilan
menjamin semua pasien yang mengalami henti jantung harus mendapat RJP, tetapi
nilai moral akan menentukan pada pasien mana RJP akan memberikan manfaat yang
paling baik. Dalam menjamin terjadinya keadilan, penyedia layanan kesehatan harus
dampak negatif.
Belum ada peraturan yang secara jelas mengatur bagaimana DNR dilakukan di
perubahan kedua yang menyebutkan “setiap orang berhak hidup serta berhak
no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 39 yang menyatakan bahwa
atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan,
kesehatan.”.
setelah mendengarkan penjelasan yang cukup oleh dokter. Hal ini tertulis pada UU
no. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45. Dalam keadaan
harus diberikan oleh dokter berdasarkan pada Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal
suatu wujud tugas peri kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan
dokter untuk memberikan pertolongan gawat darurat hanya gugur oleh beberapa hal,
salah satunya adalah pada pasien yang telah mendapat keputusan medis DNR yang
Saat ini belum ada kepastian hukum yang mengatur DNR. Bila mengacu pada
Peraturan Menteri Kesehatan no. 37 tahun 2014 mengenai penentuan kematian dan
pemanfaatan organ dalam pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa praktik kedokteran
diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan
pandangan ini, DNR dapat dianggap sebagai bagian eutanasia. Eutanasia, walaupun
belum jelas kedudukan hukumnya, dapat dikenakan KHUP pasal 344 bab XIX
Saat ini juga belum diatur bagaimana apabila keputusan DNR dilakukan oleh
pasien, bahkan sebelum masuk dalam perawatan. Dalam hal ini, pasien yang pernah
tidak dapat melakukan penuntutan pada dokter apabila atasnya dilakukan tindakan
penyelamatan nyawa.
dalam form khusus juga penting sebagai pembuktian bila ada permasalahan hukum di
kemudian hari.
V. Melakukan DNR pada Pasien
adalah permintaan pasien atas kepentingan dirinya. Belum ada aturan yang mengikat
Penilaian keberhasilan terapi oleh dokter tidak serta merta menjadi alasan DNR
dilakukan oleh dokter. Masukan pasien dan keluarga adalah bagian yang penting.
Penilaian kesia-siaan sepihak oleh dokter tidak berada lebih prioritas dibanding
keputusan keluarga.
baru akan dapat memberikan keputusan setelah dilakukan komunikasi yang baik oleh
baik. Perlu dipahami bahwa pemahaman dokter atau tenaga medis lain mengenai
DNR tidak sama dengan apa yang pasien dan keluarganya pahami. Beberapa pasien
mungkin memahami DNR sebagai penolakan pemberian obat-obat tertentu, yang lain
mungkin memikirkan DNR berarti tidak bersedia dilakukan RJP namun masih
rawat intensif. Dokter harus menyebutkan dengan jelas bahwa DNR berarti RJP tidak
akan dilakukan bila terjadi kasus henti nafas dan henti jantung.
Hal penting lain dalam komunikasi dokter pasien berkaitan dengan DNR adalah
waktu. Tidak ada waktu yang paling tepat untuk menentukan kapan DNR harus
kapan keputusan itu harus dibuat, namun dokter harus mempertimbangkan kondisi
Komunikasi dilakukan pada pasien bila dirasa pasien mampu menerima informasi
tersebut. Bila pasien tidak mampu atau tidak ingin atau bila diskusi terkait DNR akan
menyebabkan gangguan fisik dan mental pada pasien, maka diskusi dengan pasien
tidak dilakukan. Kondisi tersebut harus tertulis dengan baik di catatan pasien. Bila
pasien tidak dapat terlibat pada pengambilan keputusan, keputusan DNR harus
Dokter perlu mempraktekkan komunikasi dokter pasien dalam hal diskusi DNR.
terutama dalam setting yang sebenarnya. Observasi dan simulasi adalah bentuk
pelatihan komunikasi yang dapat dilakukan oleh dokter, terutama dokter muda.
DNR harus dituliskan dengan jelas pada status pasien. Dokumentasi yang
dituliskan termasuk diskusi yang terjadi dan kesimpulan yang diambil. Penjelasan
dengan pemberian tanda khusus yang dapat dikenali oleh semua petugas kesehatan.
Keputusan DNR bukan merupakan keputusan yang kaku. Bila dalam perjalanan
pendokumentasian yang baik. Keputusan DNR harus dapat direvisi dan revisi
tersebut harus diketahui oleh semua petugas kesehatan yang mungkin bersinggungan
dengan pasien, misalnya dengan menarik tanda yang sudah dibuat sebelumnya.
Dokumen DNR harus memuat kondisi yang ditolak oleh pasien, tindakan dan
obat yang ditolaknya dan hal-hal pengecualian. Misalnya, pasien menolak untuk
dilakukan RJP dan pemberian bantuan obat pada pasien yang mengalami henti
jantung, kecuali henti jantung akibat komplikasi prosedur, misalnya syok anafilaktik
akibat penggunaan obat, bahan kontras dan komplikasi pada tindakan kateterisasi
jantung.
MANFAAT
yang dilakukan pasien. Pada prinsip ini RJP dipandang sebagai upaya pemulihan
kesehatan dan fungsi organ yang bertujuan untuk meringankan kesakitan dan
kebermanfaatan RJP pada pasien. RJP dianggap sebagai upaya yang sangat efektif
pada pasien dengan henti jantung yang disebabkan oleh gangguan jantung. Jarang
sekali ditemukan pasien yang mengalami perbaikan pasca RJP bila henti jantung
terjadi akibat penyebab lain misalnya gagal ginjal, kanker, atau penyakit kronis lain.
tidak melakukan RJP atau perintah DNR. Namun, perlu diingat bahwa penuaan
menghormati martabat manusia, dan harus berusaha maksimal agar pasiennya tetap
dalam kondisi sehat. Point utama dari prinsip beneficence sebenarnya lebih
menegaskan bahwa seorang dokter harus mengambil langkah atau tindakan yang
kepuasan tertinggi. Jarang sekali pasien bertahan hidup setelah dilakukan RJP ketika
henti jantung yang timbul disebabkan oleh penyakit selain jantung atau disfungsi
organ. Harapan hidup pasien setelah dilakukan tindakan RJP sangat buruk (<5%) bila
henti jantung terjadi pada pasien dengan gagal ginjal, kanker (kecuali dengan penyakit
yang minimal), atau AIDS; dan dengan tidak adanya penyakit penyebab yang irrevers-
kemungkinan bertahan hidup sangat rendah, dengan melakukan tindakan RJP tidak
beneficence.
ditandatangani oleh dokter yang berlaku. DNR merupakan salah satu keputusan yang
paling sulit, adalah masalah etika yang menyangkut perawat ataupun dokter dan
tenaga kesehatan lainnya. Hal ini akan berhadapan dengan masalah moral atau pun
etik, apakah akan mengikuti sebuah ‘perintah jangan lakukan resusitasi atau tidak‘.
Bagaimana tidak, jika tiba-tiba pasien henti jantung sebagai perawat yang sudah
handal dalam melakukan RJP, membiarkan pasien mati dengan begitu saja. Tapi
masalahnya, jika kita memiliki hati dan melakukan RJP pada pasien tersebut, kita
bisa dituntut oleh pasien dan keluarga pasien tersebut. Ini adalah sebuah dilema, jika
KESIMPULAN
pasien dimana pasien akan mendapatkan suatu tindakan penghentian alat bantu hidup,
kedamaian menghadapi ajal. DNR dilaksanakan atas permintaan pasien dan keluarga
serta atas pertimbangan dari tim medis. Salah satu peran perawat yaitu memecahkan
pertimbangan dan pemahaman pada kriteria DNR. Selain itu, perawat harus terlibat
dalam kolaborasi dengan tim yang merawat pasien, sehingga keputusan DNR tepat.
DAFTAR PUSTAKA
32–39. https://doi.org/10.7454/jki.v20i1.378
138–141.
Ose, M.I. 2017. Pengalaman Perawat IGD Merawat Pasien Do Not Resuscitate pada
http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view/378