Anda di halaman 1dari 45

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

TB MILIER DENGAN DESTROYED LUNG

Disusun oleh
Intan Widya Astuti
1710029048

Pembimbing
dr. Sukartini, Sp. A

Dibawakan dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik pada


Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
Samarinda
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

TUTORIAL

TB MILIER DENGAN DESTROYED LUNG

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian Stase Anak

Oleh :

Intan Widya Astuti (1710029048)

Pembimbing

dr. Sukartini, Sp.A

LAB / SMF ILMU KESEHATAN ANAK

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

RSUD Abdul Wahab Sjahranie

2019

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “TB Milier dengan
Destroyed Lung”. Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di
Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima


kasih kepada :

1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas


Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Ahmad Wisnu Wardhana, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Sukartini, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di Laboratorium
Ilmu Kesehatan Anak.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini.
Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.

Samarinda, Agustus 2019

Penyusun

3
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................5
1.1 Latar Belakang................................................................................................5
1.2 Tujuan Penulisan............................................................................................6
BAB II RESUME KASUS......................................................................................7
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................25
3.1 Definisi.........................................................................................................25
3.2 Epidemiologi................................................................................................25
3.3 Etiologi.........................................................................................................27
3.4 Patogenesis...................................................................................................27
3.5 Imunopatogenesis TB...................................................................................29
3.6 Manifestasi Klinis.........................................................................................31
3.7 Diagnosis......................................................................................................33
3.8 Penatalaksanaan............................................................................................36
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................41
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................44
Daftar Pustaka........................................................................................................45

4
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada anak di seluruh dunia terutama di negara berkembang (Nelson & Wells,
2004). Pada tahun 2009 diperkirakan terdapat 9,4 juta kasus baru TB di seluruh
dunia dengan jumlah kematian 1,7 juta orang (WHO,2010)(Cruz & Starke, 2010).
Pada seluruh kasus yang ditemukan, sekitar 11% terdapat pada anak, literatur lain
menulis perkiraan jumlah kasus TB anak sebesar 1,3 juta dengan 450.000
kematian setiap tahunnya (Maltezau, Spyridis & Kafetzis, 2000).
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB berat dan merupakan 3-
7% kasus TB dengan angka kematian yang tinggi. Tuberkulosis milier merupakan
jenis tuberkulosis yang bervariasi mulai dari infeksi kronis, progresif lambat,
hingga penyakit fulminan akut, yang disebabkan penyebaran hematogen dan
mengenai banyak organ (Departemen kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama
usia dibawah 2 tahun, karena imunitas seluler spesifik, fungsi makrofag dan
mekanisme lokal pertahanan parunya belum berkembang sempurna sehingga
kuman TB mudah berkembang biak dan menyebar keseluruh tubuh (Kartasasmita
& Basir, 2008).
Tuberkulosis milier yang timbul di pengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah
dan virulensi kuman Mycobacterium tuberculosis dan status imunologis pasien
(non spesifik dan spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga
dapat memudahkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi
morbili, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan
kortikosteroid jangka lama. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan
penyakit adalah faktor lingkungan, yaitu kurangnya sinar matahari, perumahan
yang padat, polusi udara, asap rokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosial
ekonomi (Starke, 2011).
Tuberkulosis pada anak mempunyai permasalahan khusus berbeda dengan
dewasa yaitu masalah diagnosis, pengobatan dan pencegahan. Gejala TB pada

5
anak seringkali tidak khas, karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering
terjadi overdiagnosis diikuti dengan overtreatment, atau sebaliknya. Foto thoraks
bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak, tapi bila dijumpai
gambaran milier, langsung didiagnosis TB. Gambaran sugestif TB berupa
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi
segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma (Rahajoe
dkk, 2007).

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dibuatnya tutorial ini adalah untuk menambah wawasan bagi dokter
muda mengenai “TB milier”, serta sebagai salah satu syarat mengikuti ujian stase
Ilmu Kesehatan Anak.

6
BAB 2
RESUME KASUS

2.1 Identitas Paisen


Nama : An. R
Usia : 13 Tahun 11 Bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Samarinda
Tanggal MRS : 25 Juni 2019

2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 16 Juli 2019, di ruang Seruni.
Anamnesis dilakukan dengan cara heteroanamnesis orang tua pasien.

2.2.1 Keluhan Utama


Sesak nafas sejak 1 hari yang lalu

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda karena
pasien sesak sejak satu hari sebelum masuk rumah sakit. Keluarga pasien juga
mengatakan bahwa pasien batuk kurang lebih 1 bulan, berdahak, tidak disertai
dengan sesak nafas. Pasien juga pernah batuk dengan bercampur darah satu kali.
Keluhan ini disertai berat badan yang turun dan keringat saat malam hari.
Keluarga pasien mengeluhkan pasien bertambah kurus tetapi tidak tahu secara
pasti berat badan pasien turun berapa kg. Demam sejak 1 bulan yang lalu, tidak
tinggi, hilang timbul, dan tidak menggigil. Pasien kadang mengalami demam saat
sore menjelang malam. Mual dan muntah tidak ada. Ayah pasien merupakan
penderita TB dan meninggal karena TB. Buang air kecil warna dan jumlah biasa,
riwayat nyeri saat buang air kecil tidak ada. Buang air besar warna dan konsistensi
biasa.

7
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat MRS tidak ada
- Keluhan serupa tidak ada
- Alergi tidak ada

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


- Ayah pasien merupakan penderita TB dan meninggal karena TB
- Riwayat asma (-), kejang (-) DM (-) Hipertensi (-)

2.2.5 Pertumbuhan Dan Perkembangan Anak


Berat badan lahir : 2.900 gram
Panjang badan lahir : 50 cm
Tengkurap : - bulan
Duduk : - bulan
Berdiri : - bulan
Berjalan : - tahun
Berbicara 2 suku kata : - tahun
Gigi keluar : - bulan

2.2.6 Riwayat Kelahiran


Lahir di : Klinik Bidan
Usia kehamilan : Aterm (9 bulan)
Persalinan ditolong oleh : Bidan
Jenis partus : Spontan

8
2.2.7 Riwayat Imunisasi Dasar
Imunisasi

I II III IV Booster I Booster II

BCG + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////

Polio + + + /////// ///////// ///////////

Campak + //////////// //////////// //////////// //////////// ////////////

DPT + + + //////////// - -

Hepatitis B + + + ////////// - -

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis GCS: E4 V5 M6

Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 130/60 mmHg
Frekuensi nadi : 102x/menit, regular, kuat angkat
Frekuensi nafas : 24 x/menit, regular
Suhu : 38,4oC, aksiler

Status gizi
Berat badan : 23 kg
Tinggi badan : 130 cm
BB/TB% : 80% (Gizi Kurang)

Regio Kepala/Leher
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), sianosis bibir (-), tampak
pucat (+), pembesaran KGB (-), pupil isokor (3mm, 3mm),refleks cahaya (+/+),
pernapasasan cuping hidung (-)

Regio Thorax

9
Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada dextra
tertinggal, retraksi intercosta (-), suprasternal dan
supraklavikula (-), pembesaran KGB pada aksila (-).
Palpasi : Fremitus kanan melemah
Perkusi : Redup (+/-)
Auskultasi : Vesikuler (↓/+), rhonki (+/-), wheezing (-/-), suara jantung
S1S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).

Regio Abdomen
Inspeksi : Perut tampak cembung
Auskultasi : Peristaltik usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani, batas paru hepar ICS 4
Palpasi : Soefl, nyeri tekan epigastrium (-), asites (-), hepatomegali
(-), splenomegali (-), pembesaran KGB
inguinal (-)

Regio Ekstremitas
Inspeksi : Edema (-), deformitas (-), ruam (-), memar (-)
Palpasi : Akral hangat, pucat (-/-), edema (-/-), CRT <2 detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan 25/6/2019 27/6/2019 29/6/2019 2/7/2019 11/7/2019 15/7/2019 16/7/2019


Leukosit 10.800 8.270 8.970 11,470 12.730 12.550

Hemoglobin 6,5 6,0 11,8 10,5 9,3 10,0

Hematokrit 21,3 21,3 38,9 32,4 2,91 31,0

MCV 60,0 64,9 73,0 70,0 74,9 76,3

MCH 18,2 18,3 22,2 22,7 24,0 24,6

MCHC 30,4 28,2 30,4 32,4 32,0 32,2

Trombosit 657.000 476.000 527.000 563.000 669.000 368.000

Kimia Klinik
GDS 133
Ureum 20,1

10
Creatinin 0,5
Serum Transferin 5
Serum Iron 11
UIBC 227
TIBC 238
Bilirubin total 0,6

Bilirubin Direct 0,4

Bilirubin Indirect 0,2

Total Protein 7,9

Albumin 3,0

Globulin 4,9

SGOT 12

SGPT 12

Gamma GT 87

Alkali Phospatase 177

Elektrolit
Natrium 130 129
Kalium 3,6 3,5
Chloride 99 100
Analisa Gas Darah
pH 7,55
pCO2 30,60
pO2 100,60
Beecf 4,3
Imuno-serologi
CRP 24,0 (+) 48,0 (+) 24 (+) 48,0 (+) 48,0 (+)

Procalcitonin 0,20

Bakteriologi
BTA I (-)

BTA II (-) (-)

Foto Thorax

11
Interpretasi :
Cor, trakea, dan hillus tertarik ke kanan.
Pulmo :
 corakan bronkovaskular baik
 bercak infiltrat di kedua lapangan paru dengan perselubungan opak
di paru kanan
Sinus costofrenikus sinistra tmpul
Jaringan lunak dan tulang-tulang dinding dada baik

MSCT (8 Juli 2019)

12
Konsolidasi disertai airbronchogram sign pada seluruh paru kanan dan
bercak-bercak infiltrat pada segmen anterior lobus superior paru kiri disertai
limfadenopati mediastinal, peribronkhial kanan dan subcarina gambaran
pneumonia curiga proses spesifik TB.

Kultur Sputum (11 Juli 2019)


Infected Organism : Streptococcus mitis
R : Ampicilin, Levofloxacin, Moxifloxacin, Clindamycin, Tetracycline
S : Chloramphenicol, Linezolid, Ceftriaxone

Kultur Darah (11 Juli 2019)

13
 Tidak ada pertumbuhan bakteri aerob dan jamur.
 Tidak dapat disingkirkan kemungkinan adanya bakteri anaerob, virus,
amoeba, dan Mycobacterium.

2.6 Diagnosis
1. TB milier
2. Efusi masif
3. Destroyed lung dextra
4. Anemia mikrositik hipokrom ec defisiensi Fe
5. Gizi kurang

2.7 Tatalaksana
 O2 nasal kanul menggunakan masker 4-6 lpm
 IVFD D5 ½ NS 1500 cc/24 jam
 Injeksi cefotaxim 3 x 600 mg IV
 INH 1 x 250 mg PO
 Rifampisin 1 x 375 mg PO
 Pirazinamid 1x625mg
 Etambutol 1x625mg
 Prednison 2-2-1 PO
 Ranitidin 2x50 mg
 Injeki Paracetamol 3 x 250 mg IV
 PRC 250 ml (2 hari)

2.8 Follow up
Tanggal Pemeriksaan Terapi
Kamis, S: sesak (+) batuk (+) demam (-) mual (-) A: TB milier + Efusi masif
27/6/2019 penurunan nafu makan (+) dextra + Destroyed lung
dextra + Anemia
O:
 P:
Kesadaran : Composmentis, GCS
 O2 nasal kanul
E4V5M6
menggunakan

TD: 110/70mmHg, HR: masker 4-6 lpm
100x/mnt,kuat angkat, RR: 24  IVFD D5 ½ NS
x/mnt, Suhu: 36,50 1500 cc/24 jam

14

Ves (↓/+) Rhonki (+/-) Perkusi  PRC 250 ml (2
redup (+/-) hari)
 Injeksi cefotaxim 4
x 500 mg IV
Hasil lab :  INH 1 x 250 mg
Hb: 6,5 PO
L: 10800  Rifampisin 1 x 375
mg PO
Ht: 21,3%
 Pirazinamid
Tr: 657.000 1x625mg
 Etambutol
1x625mg
 Prednison 2-2-1
PO
 Ranitidin 2x50 mg
 Injeki Paracetamol
3 x 250 mg IV
Planning
 Konsul BTKV
 Cek SI, TIBC, dan
Ferritin

Jum’at, S: sesak (↓) batuk (+) demam (-) mual (-) A: TB milier + Efusi masif
28/6/19 penurunan nafu makan (+) dextra + Destroyed lung
dextra + Anemia
O:
 P:
Kesadaran : Composmentis, GCS
 BTKV : Saran CT
E4V5M6
 scan (A : Detroyed
TD: 110/80mmHg, HR:
Lung Dextra)
95x/mnt,kuat angkat, RR: 25 x/mnt,
 O2 nasal kanul
Suhu: 36,80
menggunakan

Ves (↓/+) Rhonki (+/-) Perkusi masker 4-6 lpm
redup (+/-)  IVFD D5 ½ NS
1500 cc/24 jam
 PRC 250 ml (2
Hasil lab :
hari)
Hb: 6,0  Injeksi cefotaxim 4
L: 8270 x 500 mg IV
Ht: 21,3%  INH 1 x 250 mg

15
Tr: 476.000 PO
Serum transferin: 5  Rifampisin 1 x 375
mg PO
Serum Iron: 11
 Pirazinamid
UIBC: 227 1x625mg
TIBC: 238  Etambutol
1x625mg
 Prednison 2-2-1
PO
 Ranitidin 2x50 mg
 Injeki Paracetamol
3 x 250 mg IV

Sabtu, S: sesak (↓) batuk (+) demam (-) mual (-) A: TB milier + Efusi masif
29/6/19 penurunan nafsu makan (+) dextra + Destroyed lung
dextra + Anemia
O:
 P:
Kesadaran : Composmentis, GCS
 BTKV : Saran CT
E4V5M6
 scan (A : Detroyed
TD: 110/70mmHg, HR:
Lung Dextra)
89x/mnt,kuat angkat, RR: 20 x/mnt,
 IVFD D5 ½ NS
Suhu: 36,50
1500 cc/24 jam

Ves (↓/+) Rhonki (+/-) Perkusi  Injeksi cefotaxim 4
redup (+/-) x 500 mg IV
 INH 1 x 250 mg
PO
Hasil lab :
 Rifampisin 1 x 375
Hb: 11,8 mg PO
L: 8970  Pirazinamid
Ht: 38,9% 1x625mg
 Etambutol
Tr: 527.000 1x625mg
 Prednison 2-2-1
PO
 Ranitidin 2x50 mg
 Injeki Paracetamol
3 x 250 mg IV
 Ambroxol 3x1
 Transamin 2 x 250

16
mg
 Diet TKTP
Planning
 MSCT

Senin, S: sesak (-) batuk (↓) demam (-) mual (-) A: TB milier + Efusi masif
1/07/19 penurunan nafsu makan (+) dextra + Destroyed lung
dextra + Anemia
O:
 P:
Kesadaran : Composmentis, GCS
 BTKV : Saran CT
E4V5M6
 scan (A : Detroyed
TD: 110/70mmHg, HR:
Lung Dextra)
91x/mnt,kuat angkat, RR: 22 x/mnt,
 IVFD D5 ½ NS
Suhu: 36,90
1500 cc/24 jam

Ves (↓/+) Rhonki (+/-) Perkusi  INH 1 x 250 mg
redup (+/-) PO
 Rifampisin 1 x 375
mg PO
MSCT :
 Pirazinamid
Konsolidasi disertai airbronchogram 1x625mg
sign pada seluruh paru kanan dan bercak-  Etambutol
bercak infiltrat pada segmen anterior lobus 1x625mg
 Prednison 2-2-1
superior paru kiri disertai limfadenopati PO
mediastinal, peribronkhial kanan dan  Ranitidin 2x50 mg
subcarina gambaran pneumonia curiga  Injeki Paracetamol
3 x 250 mg IV
proses spesifik TB.
 Ambroxol 3x1
 Transamin 2 x 250
mg
 Diet TKTP
Planning
 Cek DL, LED,
CRP, BTA

Selasa, S: sesak (-) batuk (↓) demam (-) mual (-) A: TB milier + Efusi masif
2/07/19 penurunan nafsu makan (+) dextra + Destroyed lung
dextra + Anemia
O:
 P:
Kesadaran : Composmentis, GCS

17
E4V5M6  IVFD D5 ½ NS

TD: 100/80mmHg, HR: 1500 cc/24 jam
 INH 1 x 250 mg
88x/mnt,kuat angkat, RR: 20 x/mnt,
PO
Suhu: 36,50  Rifampisin 1 x 375

Ves (↓/+) Rhonki (+/-) Perkusi mg PO
 Pirazinamid
redup (+/-)
1x625mg
 Etambutol
Hasil lab : 1x625mg
Hb: 10,5  Prednison 2-2-1
PO
L: 11.470
 Injeki Paracetamol
Ht: 32,4% 3 x 250 mg IV
Tr: 563.000  Ambroxol 3x1
LED: 36  Transamin 2 x 250
mg
CRP: 48 (+)
 Diet TKTP
BTA I: -  Cefixim 2x100mg
BTA II: -

Rabu, S: sesak (-) batuk (-) demam (-) mual (-) A: TB milier + Efusi masif
10/07/19 penurunan nafsu makan (-) dextra + Destroyed lung
dextra + Anemia
O:
 P:
Kesadaran : Composmentis, GCS
 IVFD D5 ½ NS
E4V5M6
1500 cc/24 jam

TD: 110/80mmHg, HR:  INH 1 x 250 mg
88x/mnt,kuat angkat, RR: 20 x/mnt, PO
Suhu: 36,50  Rifampisin 1 x 375

mg PO
Ves (↓/+) Rhonki (+/-) Perkusi
 Pirazinamid
redup (+/-) 1x625mg
 Etambutol
1x625mg
 Prednison 2-2-1
PO
 Transamin 2 x 250
mg

18
 Diet TKTP
 Cefixim (stop)
 Ampicilin
4x500mg
 Gentamicim
2x100mg
 PCT 3x1/2 tab
Planning
 BTA sputum
 Kultur sputum
 Kultur darah
 Cek DL, CRP

Sabtu, S: sesak (-) batuk (-) demam (-) mual (-) A: TB milier + Efusi masif
13/07/19 penurunan nafsu makan (-) dextra + Destroyed lung
dextra + Anemia
O:
 P:
Kesadaran : Composmentis, GCS
 IVFD D5 ½ NS
E4V5M6
1500 cc/24 jam

TD: 110/70mmHg, HR:  INH 1 x 250 mg
90x/mnt,kuat angkat, RR: 20 x/mnt, PO
Suhu: 36,30  Rifampisin 1 x 375

mg PO
Ves (↓/+) Rhonki (+/-) Perkusi
 Pirazinamid
redup (+/-) 1x625mg
 Etambutol
1x625mg
 Prednison 2-2-1
Hasil lab : PO
Hb: 9,3  Transamin 2 x 250
L: 12.730 mg
 Diet TKTP
Ht: 29,1%
 Ampicilin
Tr: 669.000 4x500mg
LED: 79  Gentamicim
CRP: 24 (+) 2x100mg
 PCT 3x1/2 tab
BTA I: -
 Cetrizin 1x1 cth
 CTM 2 mg + NAC
200 mg (3x1)

19
Planning
 Cek DL, CRP

Senin, S: sesak (-) batuk (-) demam (-) mual (-) A: TB milier + Efusi masif
15/07/19 penurunan nafsu makan (-) dextra + Destroyed lung
dextra + Anemia
O:
 P:
Kesadaran : Composmentis, GCS
 IVFD D5 ½ NS
E4V5M6
1500 cc/24 jam

TD: 110/60mmHg, HR: x/mnt,kuat  INH 1 x 250 mg
0
angkat, RR: 20 x/mnt, Suhu: 36,6 PO

Ves (↓/+) Rhonki (+/-) Perkusi  Rifampisin 1 x 375
mg PO
redup (+/-)
 Pirazinamid
1x625mg
 Etambutol
1x625mg
Hasil lab :
 Prednison 2-2-1
Hb: 10,0 PO
L: 12.550  Transamin 2 x 250
Ht: 31% mg
 Diet TKTP
Tr: 368.000
 Ampicilin
CRP: 48 (+) 4x500mg
 Gentamicim
2x100mg
 PCT 3x1/2 tab
 Cetrizin 1x1 cth
 CTM 2 mg + NAC
200 mg (3x1)

Selasa, S: sesak (-) batuk (-) demam (-) mual (-) A: TB milier + Efusi masif
16/07/19 penurunan nafsu makan (-) dextra + Destroyed lung
dextra + Anemia
O:
 P:
Kesadaran : Composmentis, GCS
 IVFD D5 ½ NS
E4V5M6
1500 cc/24 jam

TD: 110/70mmHg, HR: x/mnt,kuat  INH 1 x 250 mg
0
angkat, RR: 19 x/mnt, Suhu: 36,6 PO

Ves (↓/+) Rhonki (+/-) Perkusi  Rifampisin 1 x 375

20
redup (+/-) mg PO
 Pirazinamid
1x625mg
 Etambutol
Hasil lab : 1x625mg
CRP: 48 (+)  Prednison 2-2-1
PO
 Ambroxol 3x1
 Transamin 2 x 250
mg
 Diet TKTP
 Ceftriaxon 2x1gr
 PCT 3x1/2 tab
 Cetrizin 1x1 cth
 CTM 2 mg + NAC
200 mg (3x1)
Planning
 Cek CRP,
procalcitonin

Rabu, S: sesak (-) batuk (-) demam (-) mual (-) A: TB milier + Efusi masif
17/07/19 penurunan nafsu makan (-) dextra + Destroyed lung
dextra + Anemia
O:
 P:
Kesadaran : Composmentis, GCS
 Aff infus
E4V5M6

 INH 1 x 250 mg
TD: 110/80mmHg, HR: x/mnt,kuat PO
angkat, RR: 20 x/mnt, Suhu: 36,70  Rifampisin 1 x 375

Ves (↓/+) Rhonki (+/-) Perkusi mg PO
 Pirazinamid
redup (+/-)
1x625mg
 Etambutol
1x625mg
Hasil lab :  Prednison 2-2-1
PO
CRP: 48 (+)
 Transamin 2 x 250
mg
 Diet TKTP
 Cefixime 2x100mg
 PCT 3x1/2 tab

21
 Cetrizin 1x1 cth
 CTM 2 mg + NAC
200 mg (3x1)

Kamis, S: sesak (-) batuk (-) demam (-) mual (-) A: TB milier + Efusi masif
18/07/19 penurunan nafsu makan (-) dextra + Destroyed lung
dextra + Anemia
O:
 P:
Kesadaran : Composmentis, GCS
 INH 1 x 250 mg
E4V5M6
PO

TD: 110/80mmHg, HR: x/mnt,kuat  Rifampisin 1 x 375
0
angkat, RR: 20 x/mnt, Suhu: 36,7 mg PO

Ves (↓/+) Rhonki (+/-) Perkusi  Pirazinamid
1x625mg
redup (+/-)
 Etambutol
1x625mg
 Cefixime 2x100mg
 CTM 2 mg + NAC
200 mg (3x1)
 KRS

22
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Tuberkulosis milier (TB milier) merupakan penyakit limfohematogen
sistemik akibat penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis dari kompleks
primer, yang biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama, setelah infeksi
awal. TB milier dapat mengenai 1 organ (sangat jarang, <5%), namun yang lazim
terjadi pada beberapa organ (seluruh tubuh, >90%), termasuk otak. TB milier
klasik diartikan sebagai kuman basil TB berbentuk millet (padi), ukuran rata-rata
2 mm, lebar 1-5 mm diparu, terlihat pada Rontgen. Pola ini terlihat pada 1-3%
kasus TB (WHO,2006).

3.2 Epidemiologi
Laporan mengenai TB anak jarang di dapatkan. Perkiraan jumlah kasus
TB anak pertahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Angka kejadian TB di
Amerika Serikat dan Kanada mengalami peningkatan pada anak berusia 0-4 tahun
(19%), sedangkan pada usia 5-15 tahun (40%). Angka kejadian TB di Asia
Tenggara selama 10 tahun, di perkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1
juta. Penanggulangan TB Global yang di keluarkan WHO pada tahun 2004,
angka kejadian TB pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000
penduduk). Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan
bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000
penduduk (Rahajoe dkk, 2007).
TB milier mirip dengan banyak penyakit, pada beberapa kasus, hampir
50% kasus tidak dapat didiagnosis semasa hidup. Dari semua pasien TB, 1,5% di
perkirakan merupakan TB milier. Laporan dari Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) Amerika Serikat, dari tahun 1996 menunjukkan bahwa 257
pasien (1,2%) dari 21.337 pasien TB adalah TB milier. Insiden TB milier lebih
tinggi pada orang Afrika Amerika di Amerika Serikat karena pengaruh faktor
sosial ekonomi, laki-laki lebih tinggi insidennya dari wanita. Pada beberapa kasus
di temukan bahwa kulit hitam lebih tinggi insidennya di bandingkan kulit putih
karena pengaruh sosial ekonomi (Kartasasmita & Basir, 2008).

Gambar 1. Insidens TB didunia (WHO, 2004)

Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama
usia < 2 tahun, karena imunitas selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme
lokal pertahanan parunya belum berkembang sempurna, sehingga kuman TB
mudah berkembangbiak dan menyebar ke seluruh tubuh. TB milier juga dapat
terjadi pada anak besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer
sebelumnya yang tidak adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman
yang dorman (Kartasasmita & Basir, 2008).
Terjadinya TB milier di pengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah dan
virulensi kuman Mycobacterium tuberculosis dan status imunologis pasien (non
spesifik dan spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat
memudahkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi
morbili, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan
kortikosteroid jangka lama. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan
penyakit adalah faktor lingkungan, yaitu kurangnya sinar matahari, perumahan

24
yang padat, polusi udara, asap rokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosial
ekonomi (Starke, 2011).
Jumlah penderita TB milier di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM pada
periode tahun Januari 2000 - Desember 2001 yang di diagnosis berdasarkan
gambaran klinis dan foto thorak adalah 19 pasien, laki-laki 11 pasien dan
perempuan 8 pasien dengan rentang usia 2,5-11 bulan, terbanyak berusia 1-6
bulan. Sedangkan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr.M.Djamil pada
tahun 2006-2007 di dapatkan dari 27 pasien TB yang di rawat, di temukan 2
pasien (7%) dengan TB milier.

3.3 Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis adalah penyebab utama penyakit
tuberkulosis pada manusia, berupa basil tidak membentuk spora, tidak bergerak,
panjang 2-4 nm. Obligat aerob yang tumbuh dalam media kultur Loweinstein-
Jensen, tumbuh baik pada suhu 37-410C, dinding sel yang kaya lemak
menyebabkan tahan terhadap efek bakterisidal antibodi dan komplemen, tumbuh
lambat dengan waktu generasi 12-24 jam (Maltezau, Spyridis & Kafetzis, 2000).

3.4 Patogenesis
Paru merupakan port d´entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran
kuman TB sangat kecil (<5µm), sehingga kuman yang terhirup dalam percik renik
(droplet nuclei) dapat mencapai alveolus. Sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik, sedangkan sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh
kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar di
hancurkan. Sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang di namakan fokus
primer Ghon. Penyebaran selanjutnya, kuman TB dari fokus primer Ghon
menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar
limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini

25
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar
limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan
limfadenitis di namakan kompleks primer (primary complex). Waktu yang di
perlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara
lengkap di sebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-
12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi,
sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Penyebaran hematogen secara langsung bisa juga terjadi, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh (gambar 2) (WHO, 2006).
Pada TB milier penyebaran hematogennya adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread) dengan
kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam
perjalanannya di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan
membentuk tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel yang di hasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm ,
sedangkan secara histologik merupakan granuloma. Tuberkulosis diseminata ini
timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak
dibawah 5 tahun (balita) , terutama dibawah 2 tahun (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease, 2003)(Grossman, 1997)(Schlesinger, 2004).

26

Gambar 2. Bagan Patogenesis Tuberkulosis


3.5 Imunopatogenesis TB
Setelah terinhalasi di paru, kuman TB mempunyai beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama, respon imun awal pejamu secara efektif membunuh
semua kuman TB, sehingga TB tidak terjadi. Kedua, segera setelah infeksi terjadi
multiplikasi, pertumbuhan kuman TB dan muncul manifestasi klinis, yang dikenal
sebagai TB primer. Ketiga, kuman TB dalam keadaan dorman, terjadi infeksi
laten dengan uji tuberkulin positif sebagai satu-satunya manifestasi. Keempat,
kuman TB laten tumbuh dan muncul manifestasi klinis, disebut sebagai reaktivasi
TB (TB pasca-primer) (Kartasasmita, 2008).
Pada infeksi TB terjadi respon imunologi berupa imunitas seluler dan
hipersensitivitas tipe lambat. Imunitas seluler menyebabkan proliferasi limposit-T
CD4+ dan memproduksi sitokin lokal. Sebagai respon terhadap antigen yang
dikeluarkan M. TB limposit-T CD4+ mempengaruhi limposit-T Th1 untuk
mengaktifkan makrofag dan limposit-T Th2 untuk memproduksi sitokin lokal TNF
α dan INF γ. Sitokin ini akan menarik monosit darah ke lesi TB dan
mengaktifkannya. Monosit aktif atau makrofag dan limposit-T CD 4+
memproduksi enzim lisosom, oksigen radikal, nitrogen intermediate khususnya
nitrogen oksida dan Interleukin-12. Nitrogen oksida ini selanjutnya diaktifkan oleh

27
TNF α dan INF γ untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh M. TB yang
virulen. Peran imunitas seluler mengaktifkan makrofag dan menghancurkan basil
terutama pada jumlah basil yang sedikit. Kemampuan membunuh M. TB juga
bergantung pada jumlah makrofag setempat yang aktif (Ardiana, Wuryaningum &
Widjaja, 2002)(Kenyorini, Suradi & Surjant0, 2010).

Gambar 3. Hipersensitifitas tipe IV

Hipersensitifitas tipe lambat merupakan bagian dari respon imun seluler,


yaitu terjadinya peningkatan aktifitas limposit-T CD4+ dan limposit-T CD8+
sitotoksik serta sel pembunuh yang memusnahkan makrofag setempat, jaringan
sekitar dan perkijuan. Hipersensitifitas tipe lambat dapat mengisolasi lesi aktif,
menyebabkan M. TB menjadi dorman, kerusakan jaringan, fibrosis dan jaringan
parut. Proses ini dapat merugikan tubuh, dimana M. TB dapat keluar dari bagian
pinggir daerah nekrosis dan membentuk hipersensitifitas tipe lambat kemudian
difagositosis oleh makrofag setempat. Apabila makrofag belum diaktifkan oleh
imunitas seluler, maka M. TB dapat tumbuh dalam makrofag sampai
hipersensitifitas tipe lambat merusak makrofag dan menambah daerah nekrosis.
Saat itu imunitas seluler menstimulasi makrofag setempat untuk membunuh basil
dan mencegah perkembangan penyakit. Hipersensitifitas tipe lambat lebih
berperan pada jumlah basil yang banyak dan menyebabkan nekrosis jaringan.
.Apabila M. TB masuk ke dalam aliran limfe atau darah biasanya akan
dihancurkan di tempat yang baru dengan terbentuknya tuberkel. Adanya reseptor

28
spesifik terhadap antigen yang dihasilkan M. TB pada limposit-T di darah dan
jaringan limfe, menyebabkan pengumpulan dan aktivasi makrofag lebih cepat dan
destruksi M. TB. Tuberkel yang terjadi tetap kecil dengan perkijuan yang
minimal, cepat sembuh dan tidak diikuti oleh terjadinya penyebaran hematogen
atau limfogen ke jaringan lain (Rogelio dkk, 2007).

Gambar 4. Respon imunologis pada infeksi Mycobacterium tuberculosis

3.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung pada
banyaknya kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang sering di jumpai
adalah keluhan kronik yang tidak khas, seperti TB pada umumnya, misalnya
anoreksia dan BB turun atau gagal tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa
demam), demam lama dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak
nafas. TB milier juga dapat di awali dengan serangan akut berupa demam tinggi
yang sering hilang timbul (remittent), pasien tampak sakit berat dalam beberapa
hari, tetapi gejala dan tanda respiratorik belum ada. Lebih kurang 50% pasien,
limfadenopati superfisial, splenomegali, dan hepatomegali akan terjadi dalam
beberapa minggu. Demam kemudian bertambah tinggi dan berlangsung terus-
menerus/kontinu, tanpa disertai gejala respiratorik atau disertai gejala minimal,
dan foto toraks biasanya masih normal. Gejala klinis biasanya timbul akibat

29
gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan sesak nafas di
sertai ronki atau mengi (WHO, 2006).
Anemia bisa terjadi baik akibat penyakit kronik ataupun defisiensi besi.
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan
keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum, namun TIBC (Total Iron
Binding Capacity) pada anemia defisiensi besi meningkat. Rendahnya besi pada
anemia penyakit kronis disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem
retikuloendotelial ke plasma menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin
pada anemia defisiensi besi diakibatkan oleh degradasi transferin yang meningkat
(Barreto, 2005).
Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi menurut WHO adalah : (1) kadar
hemoglobin kurang dari normal sesuai usia, (2) Konsentrasi hemoglobin eritrosit
rata-rata <31% (nilai normal:32%-35%), (3) Kadar fe serum <50µg/dL (nilai
normal:80-180µg/dL), dan (4) Saturasi transferin <15% (nilai normal:20%-25%).
Cara lain untuk menentukan anemia defisiensi besi dapat juga dilakukan uji
percobaan pemberian preparat besi dosis 3-6 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis
selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar hemoglobin 1-2 g/dL maka dapat
dipastikan bahwa penyebabnya adalah anemia defisiensi besi (Gunadi, Lubis &
Rosdiana, 2009).
Gejala lain yang dapat di temukan adalah kelainan kulit berupa
tuberkuloid, papula nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid di temukan
pada 13-87% pasien, dan jika di temukan dini dapat menjadi tanda yang sangat
spesifik dan sangat membantu diagnosis TB milier, sehingga pada TB milier
perlu di lakukan funduskopi untuk menemukan tuberkel koroid (Ardiana,
Wuryaningrum & Widjaja, 2002).
Lesi milier dapat terlihat pada foto thorak dalam waktu 2-3 minggu setelah
penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu berupa
tuberkel halus (millii) yang tersebar merata diseluruh lapangan paru, dengan
bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3mm). Lesi-lesi kecil dapat
bergabung membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang membentuk infiltrat
yang luas. Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya penyakit, pada foto thorak dapat
di lihat lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju (Rogelio dkk, 2007).

30
3.7 Diagnosis
Kendala utama dalam tatalaksana TB pada anak adalah penegakan
diagnosis. Kesulitan menemukan kuman penyebab pada TB anak menyebabkan
penegakan diagnosis TB pada anak memerlukan kombinasi dari gambaran klinis
dan pemeriksaan penunjang yang relevan. Diagnosis pada anak tidak boleh hanya
berdasarkan pada foto rontgen dada.
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada
pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura,
atau pada biopsi jaringan. Kesulitan menegakkan diagnosis pasti pada anak
disebabkan oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan
sulitnya pengambilan spesimen sputum (Roespandi & Nurhamzah, 2016).
Pertimbangkan Tuberkulosis pada anak jika:
Anamnesis:
 Berkurangnya berat badan 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas
atau gagal tumbuh.
 Demam tanpa sebab jelas, terutama jika berlanjut sampai 2 minggu.

 Batuk kronik ≥ 3 minggu, dengan atau tanpa wheeze.

 Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa (Roespandi & Nurhamzah,


2016).

Pemeriksaan fisis
 Pembesaran kelenjar limfe leher, aksila, inguinal.
 Pembengkakan progresif atau deformitas tulang, sendi, lutut, falang.

 Uji tuberkulin. Biasanya positif pada anak dengan TB paru, tetapi bisa
negatif pada anak dengan TB milier atau yang juga menderita HIV/AIDS,
gizi buruk atau baru menderita campak .

 Pengukuran berat badan menurut umur atau lebih baik pengukuran berat
menurut panjang/tinggi badan (Roespandi & Nurhamzah, 2016).

31
Pendekatan diagnosis TB pada Anak menggunakan Sistem Skoring yang
disusun Kementerian Kesehatan bersama dengan IDAI (Ikatan Dokter Anak
Indonesia). Sistem Skoring TB Anak merupakan pembobotan terhadap gejala,
tanda klinis dan pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan di Sarana
Pelayanan Terbatas. Masing-masing gejala pada sistem skoring harus dilakukan
analisis untuk menentukan apakah termasuk dalam parameter sistem scoring
(Roespandi & Nurhamzah, 2016).

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan


penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan
jumlah skor ≥ 6 (sama atau lebih dari 6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB
dan mendapat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT). Bila skor kurang
dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan ke arah TB kuat maka perlu dilakukan

32
pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi
anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-
Scan dan lain-lainnya (yang mungkin tidak dapat dilakukan di rumah sakit ini)
(Roespandi & Nurhamzah, 2016).
Uji tuberkulin tetap merupakan alat bantu diagnosis TB yang penting pada
anak. Uji tuberkulin yang negatif belum tentu menunjukkan tidak adanya infeksi
atau penyakit TB, atau sebaliknya. Uji tuberkulin dapat negatif pada anak dengan
TB berat dengan anergi, yaitu pada keadaan malnutrisi, penyakit sangat berat,
pemberian imunosupresif, infeksi virus (HIV). Jika uji tuberkulin negatif atau
meragukan dilakukan uji ulang (Rahajoe dkk, 2007).
Uji tuberkulin untuk diagnosis imunologik terhadap infeksi M.tb
mempunyai banyak keterbatasan. Uji ini membutuhkan 2 kali kunjungan pasien,
ketrampilan petugas untuk melakukan uji dan pembacaan. Selain itu juga tidak
mampu memisahkan infeksi TB laten dengan vaksinasi BCG atau infeksi oleh
Mycobacteria other than tuberculosis (MOTT). Sekarang ada pemeriksaan baru
secara in vitro yaitu IFN-γ. Pemeriksaan in vitro ini awalnya diteliti di peternakan
sapi, berdasarkan inkubasi darah dengan purified protein derivative (PPD)
selanjutnya dilakukan pemeriksaan imunologi IFN-γ yang dilepaskan sel T
sebagai reaksi terhadap PPD. Pemeriksaan darah in vitro ini akan menghindari
kunjungan kedua untuk menilai hasil uji tuberkulin dan reaksi kulit. Kelebihan
lain adalah kemampuannya untuk membedakan antara reaktivitas terhadap M.tb
dengan MOTT (Subagyo dkk, 2010).
Uji tuberkulin dan pemeriksaan IFN-γ dalam darah tidak menilai komponen
yang sama pada respons imunologi dan tidak saling menggantikan. Black meneliti
hubungan antara kadar IFN-γ dalam darah dengan hasil uji tuberkulin pada 554
orang sehat. Terdapat hubungan yang kuat (P < 0,001) antara median IFN-γ
dengan respon hipersensitifitas tipe lambat. Gold standard (baku emas)
merupakan standar untuk pembuktian ada atau tidaknya penyakit pada pasien dan
merupakan sarana diagnostik terbaik yang ada. Baku emas yang ideal selalu
memberikan nilai positif pada semua subjek dengan penyakit dan selalu
memberikan hasil negatif pada semua subjek tanpa penyakit. Baku emas untuk
infeksi TB laten belum ada maka sulit unuk menilai apakah uji yang baru lebih

33
baik daripada uji tuberkulin. Penilaian secara langsung sensitiviti dan spesitiviti
alat uji baru tidak mungkin dilakukan tanpa referensi uji sebagai baku emas
(Subagyo dkk, 2010).
Pemeriksaan sputum atau bilas lambung dan kultur M.tuberculosis tetap
penting di lakukan. Pemeriksaan M.tuberculosis akan menunjukkan hasil positif
pada 30-50% pasien. Pemeriksaan sputum atau bilas lambung kurang sensitif pada
diagnosis dini di bandingkan dengan pemeriksaan bakteriologis dan histologis
dari biopsi hepar atau sumsum tulang. Untuk menentukan diagnosis meningitis
TB, sebaiknya di lakukan pungsi lumbal pada setiap pasien TB milier walaupun
belum timbul kejang atau penurunan kesadaran (Rahajoe dkk, 2007).

3.8 Tatalaksana
Tujuan utama pengobatan TB adalah :
1. Mengobati penyakit TB itu sendiri
2. Mencegah kematian dari TB aktif atau komplikasi TB
3. Mencegah TB relaps
4. Mencegah resistensi obat karena pemakaian kombinasi obat
5. Mengurangi (menurunkan) penularan TB terhadap orang lain

Alur tatalaksana pasien TB anak dapat dilihat pada skema di bawah ini.

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup


adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun
pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter

34
terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis
yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang
berarti, OAT tetap dihentikan (Roespandi & Nurhamzah, 2016).
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB
adalah minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2 bulan pertama) dan
dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4 bulan, kecuali pada TB
berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun
tahap lanjutan (Roespandi & Nurhamzah, 2016).

Tabel 1. Obat Antituberkulosis yang Biasa Dipakai dan dosisnya

Dosis harian Dosis maksimal


Nama obat Efek samping
(mg/kgBB/hari) (mg per hari)
Isoniazid 5 – 15 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin 10 – 20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,
trombositopenia, peningkatan
enzim hati, cairan tubuh
berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid 15 – 30 2000 toksisitas hati, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15 – 20 1250 Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah
hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersentivitas,
gastrointestinal
Streptomisi 15 – 40 1000 ototoksik, nefrotoksik
n

Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang


relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, paduan OAT disediakan dalam
bentuk Kombinasi Dosis Tetap = KDT (Fixed Dose Combination = FDC). Tablet
KDT untuk anak tersedia dalam 2 macam tablet, yaitu:

35
 Tablet RHZ yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin), H
(Isoniazid) dan Z (Pirazinamid) yang digunakan pada tahap intensif.
 Tablet RH yang merupakan tablet kombinasi dari R (Rifampisin) dan H
(Isoniazid) yang digunakan pada tahap lanjutan (Roespandi & Nurhamzah,
2016).

Jumlah tablet KDT yang diberikan harus disesuaikan dengan berat badan
anak dan komposisi dari tablet KDT tersebut. Tabel berikut ini adalah contoh dari
dosis KDT yang komposisi tablet RHZ adalah R = 75 mg, H = 50 mg, Z = 150 mg
dan komposisi tablet RH adalah R = 75 mg dan H = 50 mg (Roespandi &
Nurhamzah, 2016).

Tabel 2. Dosis KDT (R75/H50/Z150 dan R75/H50) pada anak


2 BULAN TIAP HARI 4 BULAN TIAP HARI
BERAT BADAN (KG)
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
 Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
 Anak dengan BB ≥ 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa
 Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
 OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.

Bila paket KDT belum tersedia, dapat digunakan paket OAT Kombipak
Anak. Dosisnya seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 3. Dosis OAT Kombipak-fase-awal/intensif pada anak
Bb 10-20 kg
Jenis obat Bb<10 kg Bb 20-32 kg
(kombipak)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

36
Tabel 4. Dosis OAT Kombipak-fase-lanjutan pada anak
Bb 10-20 kg
Jenis obat Bb<10 kg Bb 20-32 kg
(kombipak)
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB


milier, meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain:
 Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH, Rifampisin,
Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin).
 Pada tahap lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
 Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1–2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam
3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2–4 minggu dengan dosis
penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu 2–6 minggu. Tujuan
pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah
terjadi perlekatan jaringan (Roespandi & Nurhamzah, 2016).

Hindarkan pemakaian streptomisin pada anak bila memungkinkan, karena


penyuntikan terasa sakit, dapat terjadi kerusakan permanen syaraf pendengaran,
dan terdapat risiko penularan HIV akibat perlakuan yang tidak benar terhadap alat
suntikan (Roespandi & Nurhamzah, 2016).

Tabel 5. Regimen pengobatan TB Milier menurut WHO

Fase intensif Fase lanjutan Referensi


2HRZS 4HR WHO (pedoman terapi)
2HRZ (S or Eth) 7-10HR American Academy of
Pediatrics
6HRZEth Tidak ada (regimen Donald, 1998
total untuk 6 bulan)

37
Semua anak yang diduga atau di diagnosis TB milier seharusnya dirawat
dirumah sakit sampai keadaan klinisnya stabil (Kartasasmita & Basir, 2008).
Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respons pengobatan pasien harus
dievaluasi. Respons pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang,
nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk
berkurang. Apabila respons pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan
sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respons pengobatan kurang atau tidak
baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan sambil mencari penyebabnya. Sistem
skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan
(Roespandi & Nurhamzah, 2016).
Bila anak balita sehat, yang tinggal serumah dengan pasien TB paru BTA
positif, mendapatkan skor < 5 pada evaluasi dengan sistem skoring, maka kepada
anak balita tersebut diberikan isoniazid dengan dosis 5–10 mg/kg BB/hari selama
6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi
BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai (Roespandi & Nurhamzah,
2016).

BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Anamnesis
Teori Kasus
 Anoreksia  Anoreksia
 BB turun atau gagal tumbuh  BB turun
 Demam lama dengan penyebab  Demam 1 bulan

38
yang tak jelas  Batuk 1 bulan
 Batuk > 3 minggu  Sesak nafas 1 hari SMRS
 Sesak nafas  Riwayat kontak
 Limfadenopati  Keringat malam
 Splenomegali
 Hepatomegali
 Pucat
 Riwayat kontak
 Keringat malam
Teori dan Kasus Sesuai

4.2 Pemeriksaan Fisik


Teori Kasus
 Pembesaran kelenjar limfe  Gizi kurang (80%)
leher, aksila, inguinal.  Uji tuberkulin (-)
 Pembengkakan progresif atau  Pembesaran kelenjar limfe (-)
deformitas tulang, sendi, lutut,
falang.

 Uji tuberkulin.

 Pengukuran berat badan


Teori dan kasus sesuai

4.2 Diagnosis
Teori Kasus
Skoring TB pada anak :  Skor TB : 7 (TB)
 Kontak dengan pasien TB
 Uji tuberkulin
 Berat badan/keadaan gizi
 Demam tanpa sebab yang jelas
 Batuk

39
 Pembesaran KGB
 Pembengkakan tulang, sendi
panggul, lutut, falang
 Foto dada
Teori dan kasus sesuai

4.3 Tatalaksana
Teori Kasus
Pada keadaan TB berat, baik  O2 nasal kanul
pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti menggunakan masker 4-6
lpm
TB milier, meningitis TB, TB sendi dan
 IVFD D5 ½ NS 1500 cc/24
tulang, dan lain-lain: jam
 Pada tahap intensif diberikan  PRC 250 ml (2 hari)
minimal 4 macam obat (INH,  Injeksi cefotaxim 4 x 500
mg IV
Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol
 INH 1 x 250 mg PO
atau Streptomisin).  Rifampisin 1 x 375 mg PO
 Pada tahap lanjutan diberikan INH  Pirazinamid 1x625mg
dan Rifampisin selama 10 bulan.  Etambutol 1x625mg
 Prednison 2-2-1 PO
 Untuk kasus TB tertentu yaitu TB
 Ranitidin 2x50 mg
milier, efusi pleura TB, perikarditis  Injeksi Paracetamol 3 x 250
TB, TB endobronkial, meningitis mg IV
TB dan peritonitis TB diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan
dosis 1–2 mg/kg BB/hari, dibagi
dalam 3 dosis. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2–4 minggu
dengan dosis penuh dilanjutkan
tappering off dalam jangka waktu
2–6 minggu. Tujuan pemberian
steroid ini untuk mengurangi proses
inflamasi dan mencegah terjadi
perlekatan jaringan.

40
Teori dan kasus sesuai

BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Telah dilakukan pemeriksaan pada An. R usia 13 tahun 11 bulan dengan
diagnose TB milier, efusi pleura masif dextra, destroyed lung dextra dan anemia
defisiensi besi . Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
karena sesak nafas, batuk lama dan demam lama. Secara umum, penegakan
diagnosis, alur penatalaksanaan sudah sesuai dengan literatur yang ada.

41
42
DAFTAR PUSTAKA

Ardiana D, Wuryaningrum W, Widjaja ES. Skrofuloderma pada Dada.


Disampaikan pada Pertemuan Berkala Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin XIV.
Surabaya. 1 April, 2002.
Barreto ML, et al. Neonatal BCG protection against tuberculosis lasts for
20 years in Brazil. Int Tuberc Lung Dis 2005;10:1171-3.
Cruz AT, Starke JR. Pediatric tuberculosis. Pediatrics in Review
2010;31:13-26.
Departemen kesehatan Republik Indonesia. Dalam: Buku pedoman
nasional penanggulangan tuberkulosis. Edisi ke-2, cetakan I. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006.
Grossman M. Tuberculosis. Dalam: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph
CD, penyunting. Buku ajar Pediatri Rudolph. Edisi ke-20. EGC;1997.h.687-97.
Guidi R, Bolli V, Lanza C, Biagetti C, Osimani P, Benedictis FM.
Macronodular hepatosplenic tuberculosis. Acta Radiologica Short Reports
2012;1:21
Gunadi D, Lubis B, Rosdiana N. Terapi dan suplementasi besi pada anak.
Sari Pediatri 2009;11(3):207-11.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. Diagnostic
ATLAS of intrathoracic tuberculosis in children. Paris;2003.
Kartasasmita CB, Basir D. Tuberkulosis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama. Jakarta.
IDAI;2008.h.162-261.
Kenyorini, Suradi, Surjanto E. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis
Indonesia 2010;3(2):1-5.
Kirks DR. The pediatric ER chest: what every radiologist should know.
Dalam: Nash DH, Petterson H, penyunting. Pediatric Radiology. Edisi pertama.
London: Merit Communications,1992:h.165-75.
Maltezau HO, Spyridis P, Kafetzis DA. Extra-pulmonary tuberculosis in
children. Arch Dis Child. 2000;83:342-46.

43
Muhammad A, Sianipar O. Telaah pustaka. Penentuan defisiensi besi
anemia penyakit kronis menggunakan peran indeks sTfR-F. Indonesian Journal of
Clinical Pathology and Medical Laboratory.2005;12:9-15.
Nelson LJ, Wells CD. Global epidemiology of childhood tuberculosis. Int
J Tuberc Lung Dis 2004;8:636-47.
Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional
tuberkulosis anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI;2007.
Rogelio Hernández-Pando, Rommel Chacón-Salinas, Jeanet Serafín-
López, and Iris Estrada. Immunology, pathogenesis, virulence. In: tuberculosis
2007 from basic science to patient care. 2007:157-205. Diunduh dari
www.tuberculosistextbook.com.
Roespandi H, Nurhamzah W. Buku saku pelayanan kesehatan anak di
rumah sakit. 2016
Roth JG, Baker SK. Miliary tuberculosis. Dalam: Rom WN, Garay SM,
penyunting. Tuberculosis. Edisi ke-2. Philadelphia;2003.h.960-71.
Schlesinger LS. Phagositosis and toll-like receptors in tuberculosis.
Dalam: Rom W, Garay SM, Levitzky, penyunting. Pulmonary pathophysiology.
Edisi ke-5. Volume I;2004.
Starke JR. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, Kliegman R, Jenson HB,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia;
Saunders;2011.h.960-71.
Sterne JA, Rodrigues LC, Guedes. Does the efficacy of BCG decline with
time since vaccination? Int tuberc Lung Dis 1998;3:200-7.
Subagyo A, Aditama TY, Sutoyo DK, Partakusuma LG. Pemeriksaan
Interferon-gamma Dalam Darah Untuk Deteksi Infeksi Tuberkulosis. Jurnal
Tuberkulosis Indonesia 2010;3(2):6-19.
Weir RE. Persistence of the immune response induced by BCG
vaccination. BMC Infectious Diseases 2008;8:1-9.
WHO. Anti tuberculosis treatment in children. Dalam: Guidance for
national tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in children.
Geneva: World Health Organization;2006;1205-11.

44
World Health Organization. Global Tuberculosis Control 2010. WHO,
Geneva, Switzerland,2010.

45

Anda mungkin juga menyukai