Buku Lengkap Pengkajian Keperawatan Jiwa Dengan Pendekatan Spiritual - Meidiana DKK - 082020 PDF
Buku Lengkap Pengkajian Keperawatan Jiwa Dengan Pendekatan Spiritual - Meidiana DKK - 082020 PDF
PENGKAJIAN
KEPERAWATAN JIWA
DENGAN PENDEKATAN
SPIRITUAL
2020
PENGKAJIAN KEPERAWATAN JIWA DENGAN
PENDEKATAN SPIRITUAL
ISBN : 978-602-5669-80-4
Copyright © 2020
Hak Cipta dilindungi Undang - Undang
Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi
buku ini dalam bentuk apapun tanpa seizin penulis dan penerbit.
Penerbit
CV. Tigamedia Pratama
Jl. Bulusan VI No. 42 Tembalang
Semarang 50277
www.tigamedia.id
ii
PRAKATA
Segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha
Penyayang karena dengan karunia-Nya, naskah buku ini dapat terselesaikan. Buku
ini ditulis berdasarkan pengkajian keperawatan jiwa. Pengkajian keperawatan jiwa
merupakan proses untuk menegakan masalah keperawatan jiwa, perencanaan dan
implementasi, serta evaluasi hasil asuhan keperawatann yang telah diberikan
kepada pasien.
iii
Daftar Isi
A. Definisi .................................................................................................. 22
B. Penyebab ............................................................................................... 22
C. Tanda Dan Gejala .................................................................................. 22
D. Patofisiologi .......................................................................................... 23
E. Karakteristik Distress Spiritual Meliputi Empat Hubungan Dasar ........ 24
F. Faktor Yang Berhubungan Dengan Distress Spiritual ........................... 25
G. Proses keperawatan Distress Spiritual ................................................... 25
H. Sumber Koping ...................................................................................... 26
I. Penelitian Terkait ................................................................................... 26
A. Pengertian .............................................................................................. 56
B. Jenis-Jenis Koping ................................................................................. 56
C. Sumber Koping ..................................................................................... 58
iv
D. Defence Mechanism .............................................................................. 58
E. Fungsi Koping ....................................................................................... 60
F. Faktor-faktor Yang mempenyaruhi Koping ........................................... 61
G. Penggolongan Mekanisme Koping ........................................................ 61
v
Daftar Gambar
6.11 Pohon Masalah Harga Diri Rendah Menurut Fitria .................................. 100
vi
BAB I
THERAPEUTIC USE OF SELF
1
Terdapat empat elemen penting dalam proses pembelajaran self awareness
diantaranya adalah (Elfiky, 2009):
a. Inkompetensi tanpa sadar (tidak menyadari ketidakmampuan)
Individu tidak menyadari ketidaktahuannya. Dalam komunikasi banyak orang
tidak mengetahui bahwa dirinya menunjukkan perilaku negative yang akan
menghalangi untuk dapat berkomunikasi selaras dengan orang lain.
b. Inkompetensi sadar (menyadari ketidakmampuan)
Pada elemen dan tahapan ini individu mulai menyadari ketidakmampuannya.
Dalam hal berkomunikasi individu perlu menyadari bahwa perilaku negatif yang
dimiliki dapat menghalangi reaksi positif dari lawan bicaranya. Halangan tersebut
dapat berupa terlalu banyak bicara, kurang tersenyum, terlalu membela diri, dan
suka berdebat. Dengan menyadari halangan-halangan tersebut individu dapat
meningkatkan kemampuannya dalam berkomunikasi dengan orang lain sehingga
dapat terbentuk hubungan yang selaras.
c. Kompetensi sadar (menyadari kemampuan)
Pada tahap dan elemen ini individu mulai bertindak untuk mengembangkan
kompetensi atau kemampuan yang diperlukan untuk membangun komunikasi yang
baik seperti melatih kemampuan untuk mendengarkan.
d. Kompetensi tanpa sadar
Kebiasaan timbul dari upaya mengulang – ulang keterampilan atau perilaku
tertentu. Elemen ini merupakan tahap akhir dari proses pembelajaran self
awareness. Individu yang dulunya cenderung mendominasi pembicaraan dapat
berubah menjadi pendengar yang baik dengan otomatis karena kebiasaan yang
dilakukan terus menerus akan menjadi bagian dari kepribadian seseorang.
2
Inkompetensi tanpa sadar
(tidak menyadari kebodohan, perilaku negatif,
kekurangan)
Inkompetensi Sadar
(menyadari kebodohan, perilaku negatif,
kekurangan)
Kompetensi Sadar
(mengetahui bagaimana dan apa yang harus
dilakukan)
Seorang perawat dengan self awareness yang terbatas akan berada dalam kondisi
denial sehingga mencoba bekerja diluar batasan kompetensi yang dimiliki (Wosket,
2016). Untuk mencapai Self awareness yang tinggi ada beberapa komponen yang harus
diperhatikan, diantaranya adalah:
1. Komponen Psikologi
Komponen Psikologi memandang diri baik dari aspek emosi, motivasi, konsep diri,
dan kepribadian diri sendiri.
2. Komponen Fisik
Komponen fisik memandang diri sendiri dari aspek gambaran diri kita yang
sebenarnya, potensi fisik, dan sensasi tubuh.
3. Komponen Lingkungan
Komponen lingkungan berorientasi pada lingkungan sosiokultural, hubungan
dengan orang lain, dan pengetahuan mengenai hubungan manusia dengan alam
4. Komponen Filosofi
Komponen filosofi mencakup arti hidup atau makna hidup seseorang seperti apa
untuk apa ia hidup, apa tujuan hidup yang individu tersebut ingin dicapai
Berdasarkan keempat komponen yang disebutkan diatas dapat diambil
kesimpulan bahwa untuk mencapai tingkat kesadaran diri yang baik perawat harus
memiliki sensitifitas dan kesadaran mengenai status psikologis yang sedang dialami,
kemampuan dan kemauan yang dimiliki, suasana lingkungan yang ditempati, serta
3
prinsip hidup yang dipegang dan dikendalikan. Semakin sadar dan sensitif individu
terhadap dirinya sendiri maka kemampuan untuk melakukan therapeutic use of self
akan menjadi lebih efektif.
Terdapat beberapa cara untuk meningkatkan self awareness diantaranya adalah
(Stuart, 2013):
1. Bertanya pada diri sendiri, dengan bertanya “siapakah saya?” mencari tau
kelemahan dan kemampuan diri, mimpi serta target perbaikan diri.
2. Mendengarkan orang lain, dengan membiarkan orang menilai tentang diri kita
sehingga kita mendapatkan feedback dari orang lain.
3. Aktif mencari informasi mengenai diri sendiri. Misalnya dengan memaknai
peristiwa yang terjadi untuk memperoleh informasi diri.
4. Melihat sisi diri yang berbeda, yaitu dengan melihat diri dari kacamata orang lain
5. Meningkatkan keterbukaan diri, dengan memaknai setiap interaksi yang diperoleh
2. Melatih kemampuan berkomunikasi
Komunikasi dalam aktivitas keperawatan adalah hal yang paling mendasar Dalam
setiap aktivitasnya, perawat menggunakan komunikasi. Pengetahuan tentang
komunikasi dan komunikasi terapeutik sangat penting terkait dengan tugas-tugas dalam
melakukan asuhan keperawatan dan dalam melakukan hubungan profesional dengan
tim kesehatan lainnya (Anjaswani, 2016).
Komunikasi merupakan proses yang kompleks. Diperlukan suatu instrument untuk
membantu memahami proses komunikasi yang sedemikian komples. Instrumen
tersebut adalah model komunikasi. Model komuniaksi merupakan sebuah konsep untuk
menjelaskan proses komunikasi menjadi lebih sederhana tanpa menghilangkan
komponen yang ada didalamnya (Sarfika, Maisa, & Windy Freska, 2018).
a. Model Komunikasi Stimulus Respon
Model komunikasi ini merupakan model komunikasi yang palig mendasar.
Setiap kejadian yang kita alami selalu terdapat interaksi antara stimulus dengan
respons. Model komunikasi ini secara implisit menyatakan perilaku (respons)
manusia dapat diramalkan. Manusia dianggap berperilaku hanya berdasarkan
stimulus atau rangsang dari luar bukan berdasarkan kehendak, keinginan atau
kemauan bebasnya. Model komunikasi stimulus respons ini tidak terlalu sesuai
apabila diterapkan pada perilaku manusia
4
Gambar 1.2 Model Komunikasi Stimulus Respons
5
Speech
Occasion
6
5) Penerima (Receiver)
Orang yang menerima pesan dan memberikan umpan balik
6) Gangguan (noise)
Gangguan fisik seperti lingkungan, manusia yang mengganngu proses penerimaan
pesan
7
Gambar 1.5 Model Komunikasi Barnlund
Karakteristik dari model komunikasi Barnlund adalah sebagai berikut:
1) Komunikasi bersifat transaksional
2) Digunakan dalam komunikasi interpersonal
3) Pengirim dan penerima pesan dapat bertukar peran
4) Melibatkan peran konteks dan lingkungan
5) Melibatkan gangguan dan hambatan-hambatan komunikasi sebagai faktor.
6) Membahas komunikasi nonverbal.
7) Umpan balik bersifat simultan.
8) Fokus pada pengiriman pesan yang simultan, gangguan serta umpan balik.
9) Dipandang sebagai model komunikasi yang sangat sistematis. Model komunikasi
dipandang sangat kompleks.
10) Pengirim pesan dan penerima pesan harus mengerti kode-kode yang dikirim oleh
masing-masing pihak
Hambatan Proses Komunikasi
Hambatan – hambatan yang biasanya terjadi dalam proses komunikasi diantaranya
yaitu (Sarfika et al., 2018):
a. Hambatan dari proses komunikasi
1) Hambatan dari pengirim pesan
Pesan yang akan disampaikan belum jelas bagi dirinya atau pengirim pesan, hal
ini dipengaruhi oleh perasaan atau situasi emosional
8
2) Hambatan dalam penyediaan atau symbol.
Hal ini dapat terjadi karena bahasa yang dipergunakan tidak jelas sehingga
mempunyai arti lebih dari satu, simbol yang dipergunakan antara pengirim dan
penerima tidak sama atau bahasa yang dipergunakan terlalu sulit
3) Hambatan media
Hambatan yang terjadi dalam penggunaan media komunikasi, misalnya
gangguan suara radio dan aliran listrik sehingga tidak dapat mendengarkan
pesan
4) Hambatan dalam bahasa sandi
Hambatan terjadi dalam menafsirkan sandi oleh si penerima
5) Hambatan dari penerima pesan
Kurangnya perhatian pada saat penerima atau mendengarkan pesan, sikap
prasangka tanggapan yang keliru dan tidak mencari informasi lebih lanjut
6) Hambatan dalam memberikan umpan balik Balikan yang diberikan tidak
menggambarkan apa adanya akan tetapi memberikan interpretatif, tidak tepat
waktu atau tidak jelas dan sebagainya.
b. Hambatan fisik
Cuaca gangguan alat komunikasi, dan lain-lain. Misalnya: gangguan kesehatan,
gangguan alat komunikasi dan sebagainya
c. Hambatan Semantik
Kata-kata yang dipergunakan dalam komunikasi kadang-kadang mempunyai arti
mendua yang berbeda, tidak jelas atau berbelit-belit antara pemberi pesan dan
penerima
d. Hambatan Psikologis
Perbedaan nilai-nilai serta harapan yang berbeda antara pengirim dan penerima
pesan
9
(Sarfika et al., 2018). Tujuan hubungan terapeutik diarahkan untuk mencapai
kesembuhan klien dan beberapa dimensi sebagai berikut:
a. Realisasi diri, penerimaan diri dan menghargai diri sendiri
b. Mengetahui identitas diri dengan jelas dan meningkatkan integritas diri
c. Mampu membentuk hubungan yang hangat, mandiri dalam kapasitas memberi dan
menerima kasih saying
d. Meningkatkan fungsi dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai
tujuan yang realistis
Terdapat beberapa prinsip-prinsip komunikasi terapeutik meliputi:
1) Perawat harus mengenal dirinya sendiri (self awareness) yang berarti
memahami nilai-nilai yang di anut
2) Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, saling percaya dan
saling menghargai
3) Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan klien baik fisik maupun mental
4) Perawat harus menciptakan suasana yang memungkinkan klien bebas
berkembang tanpa rasa takut
5) Perawat harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan klien memiliki
motivasi untuk mengubah dirinya baik sikap, tingkah lakunya sehingga tumbuh
makin matang dan dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapi
6) Perawat harus mampu mengontrol perasaan sendiri secara bertahap untuk
mengetahui dan mengatasi perasaan emosional seperti perasaan gembira, sedih,
marah, keberhasilan, maupun frustasi
7) Perawat harus mampu menentukan batas waktu yang sesuai dan dapat
mempertahankan konsistensinya
8) Perawat harus mampu memahami arti empati dan menggunakannya sebagai
tindakan yang terapeutik, dan mampu memahami arti simpati yang bukan
sebagai tindakan terapeutik
9) Perawat harus mampu memahami bahwa kejujuran dan komunikasi terbuka
merupakan dasar dari hubungan terapeutik
10) Perawat harus mampu menjadi role model agar dapat meyakinkan dan sebagai
contoh kepada orang lain tentang perilaku sehat.
11) Perawat harus mampu mengungkapkan perasaan dan menyatakan sikap yang
jelas
10
12) Perawat mampu memiliki sifat altruisme yang berarti menolong atau membantu
permasalahan klien tanpa mengharapkan imbalan apapun dari klien
13) Perawat harus mampu mengambil keputusan berdasarkan prinsip kesejahteraan
manusia
14) Bertanggung jawab pada setiap sikap dan tindakan yang dilakukan
2. Eksplorasi perasaan kilen dengan empati
Eksplorasi perasaan adalah proses menganalisa, mengkaji atau menggali
perasaan-perasaan yang muncul sebelum dan sesudah berinteraksi dengan orang lain.
Eksplorasi perasaan membantu seseorang untuk mempersiapkan objektif secara
komplit dan sikap yang sangat berpengaruh. Perawat harus mampu mengekspresikan
perasaan secara jujur. Hal ini penting dalam rangka meningkatkan kesadaran kita
terhadap perasaan yang disadari atau tidak yang dapat berpengaruh terhadap
keberhasilan hubungan dengan klien (Anjaswani, 2016).
Perasaan perawat merupakan tujuan penting dalam membantu pasien. Perasaan
merupakan tolak ukur untuk umpan balik dan hubungan dengan orang lain. Perawat
yang kurang memperhatikan kebutuhan pasien, tidak menepati janji akan menyebabkan
pasien mengalami kemunduran dan distress sehingga pasien tidak mau ditemui, marah
dan hilang kepercayaan. Perawat harus memahami bagaimana perasaan pasien dan serta
bagaimana pendekatan yang tepat dengan pasien. Perasaan perawat adalah petunjuk
tentang kemungkinan nilai dari masalah pasien.
Eksplorasi perasaan adalah upaya agar individu atau klien untuk jujur dan berani
mengungkapkan perasaannya, dan ungkapan-ungkapan perasaan tersebut dapat
mengidentifikasi apakah perasaan klien positif atau negatif. Bila perasaan positif, maka
perawat perlu mendukung dan mengembangkan perasaan tersebut. Bila sebaliknya
perasaan negatif pada klien, maka perawat perlu mengarahkan dan memberikan
alternatif agar klien dapat mengelola perasaannya.
Empati merupakan kemampuan intuk memahami perasaan orang lain,
membantu pembentukan hubungan berdasarkan rasa percaya, dan mendorog klien
untuk berbagi informasi yang bersifat pribadi. Untuk menunjukkan empati perawat
harus melakukan penerimaan kepada klien. Penerimaan bukan berarti sependapat atau
tidak sependapat dengan klien, namun perawat menunjukkan usaha untuk tetap
bersikap netral dan tidak menghakimi (Morton, 2005).
11
Gambar 1.6 Sikap Perawat dalam Berkomunikasi dengan Pasien
12
kekuatan yang universal. Spiritualitas meliputi tujuan hidup, menghormati bumi dan orang
lain (Clark, 2004).
Pelayanan kesehatan di abad 21 menuntut berbagai tipe perawat yang memahami
pandangan holistic, Relationship-centered care, strategi perubahan perilaku, promosi
kesehatan, pengelolaan kesehatan, dan pencegahan penyakit. Di Inggris salah satu solusi
yang bersifat aktual untuk mengatasi masalah kesehatan nasional adalah dengan konsep
holistic care untuk perawat dan profesi tenaga kesehatan yang lainnya (Dossey & Keegan,
2013).
Dalam integral dan keperawatan holistik relationship-centered care menyediakan
sebuah model pelayanan yang berdasarkan visi komunitas dimana terdapat tiga jenis
hubungan yaitu (Dossey & Keegan, 2013):
1. Hubungan pasien dan perawat
Hubungan antara pasien dan praktisi kesehatan sangat krusial. Praktisi harus
mampu melaksanakan secara komprehensif pelayanan bioteknologis dengan pelayanan
psiko sosial dan spiritual. Perawat harus mampu membangun pengetahuan yang
spesifik, skill, dan nilai dengan memperluas self awareness, memahami pengalaman
sehat dan sakit klien, membangun dan menjaga hubungan caring dengan pasien, dan
berkomunikasi dengan jelas dan efektif.
Perawat harus mampuberkolaborasi secara aktif dengan pasien dan keluarga
dalam proses pengambilan keputusan, promosi kesehatan, dan pencegahan stress dan
sakit. Hubungan yang sukses melibatkan mendengar secara aktif dan komunikasi yang
efektif, mengintegrasi elemen caring, healing, nilai, dan etik untuk meningkatkan
martabat dan integritas pasien dan keluarga.
2. Hubungan komunitas dan perawat
Dalam integral pelayanan kesehatan pasein dan keluarga secara simultan
berkaitan dengan berbagai tipe komunitas seperti keluarga inti, kerabat, teman, rekan
kerja, agama, dan organisasi komunitas. Pengetahuan, kemampuan, dannilai
dibutuhkan oleh perawat agar dapat berpartisipasi secara efektif dengan berbagai
komunitas meliputi memahami makna komunitas, menyadari berbagai contributor
dalam sehat dan sakit dalam komunitas, membangun dan menjaga hubungan dengan
komunitas, serta berkolaborasi dengan individu lain dan organisasi untuk menciptakan
pelayanan bebrbasis komunitas yang efektif.
Perawat harus sensitive terhadap pengaruh berbagai macam komunitas kepada
pasien dan mencipatkan aktivitas kolaboratif dengan komunitas yang berinteraksi
13
dengan pasien. Perawat harus mampu menghilangkan hambatan masing masing
komunitas yang mampu mempengaruhi kesembuhan pasien.
3. Hubungan antar perawat – perawat
Menciptakan pelayanan berkesinambunagna kepada pasien dan keluarga tentu
tidak dapat dipungkiri harus melibatkan hubungan antara perawat dengan perawat. Hal
ini membutuhkan pengetahuan, kemampuan, dan nilai meliputi membangun self
awareness, memahami keberagaman pengetahuan dan kemampuan, membangun tim
dan komunitas, memahami bekerja kelompok secara dinamisyang dapat menjadi
sumber pelayanan untuk pasien dan keluarga.
Hubungan kolaboratif berbagi perencanaan dan aksi untuk mencapai tujuan.
Pelayanan multidisipliner berisi tentang serangkaian persyaratan atau ketentuan disiplin
pelayanan kesehatan yang spesfik oleh berbagai individu, pelayanan antar cabang ilmu
pengetahuan, dan koordinasi dalam pengambilan keputusan, komunikasi dan berbagi
tanggung jawab serta kewenangan.
14
3. Minta klien menceritakan bagaimana jiwanya pernah terasa hilang atau berkurang,
bagaimana klien merasa tertekan diwaktu tertentu, bagaimana klien mulai menemukan
jiwanya kembali, dan kembali menjadi utuh.
4. identifikasi symbol personal seperti puisi, lagu, hewan, music, kitab suci dan objek
bernilai lainnya
5. Minta klien bercerita bagaimana symbol itu dipilih dan bagaimana symbol itu dapat
mendorong dirinya
6. Minta klien mendeskripsikan makna symbol tersebut baginya
7. Minta klien bercerita bagaimana symbol tersebut dapat digunakan dalam proses
kesembuhannya
8. Minta klien menggambarkan symbol tersebut
9. Biarkan symbol yang sudah digambar berbicara kepada klien bagaimana itu dibentuk
dan bagaimana symbol tersebut berbicara tentangnya
Menurun NANDA, terdapat tiga masalah keperawatan yang memiliki keterkaitan
dengan spiritualitas individu baik yang bersifat actual, resiko, maupun potensial,
diantaranya adalah (Herdman & Kamitsuru, 2018):
1. Distress Spiritual
Definisi:
Sebuah situasi penderitaan terkait terganggunya kemampuan untuk mengalami dan
mengintegrasikan makna hidup melalui hubungan dengan diri sendiri, orang lain, atau
kekuatan yang lebih besar daripada diri sendiri.
Batasan karakteristik:
a. Hubungan dengan diri sendiri
1) Marah
2) Mengungkapkan kurang dapat menerima (kurang pasrah)
3) Mengungkapkan kurangnya motivasi
4) Mengungkapkan kurang dapat memaafkan diri sendiri
5) Mengungkapkan kekurangan harapan
6) Mengungkapkan kekurangan cinta
7) Mengungkapkan kekurangan makna hidup
8) Mengungkapkan kekurangan tujuan hidup
9) Mengunkapkan kurangnya ketenangan (mis, kedamaian)
10) Merasa bersalah
11) Koping tidak efektif
15
b. Hubungan dengan orang lain
1) Mengungkapkan rasa terasing
2) Menolak interaksi dengan orang yang dianggap penting
3) Menolak interaksi dengan pemimpin spiritual
4) Mengungkapkan dengan kata-kata telah terpisah dari system pendukung
c. Hubungan dengan seni, litelatur, music, alam
1) Tidak berminat terhadap alam
2) Tidak berminat membaca litelatur spiritual
3) Ketidakmampuan mengungkapkan kondisi kreativitas sebelumnya (mis,
menyanyi/mendengarkan music/menulis)
d. Hubungan dengan kekuatan yang lebih besar dari pada dirinya sendiri
1) Mengungkapkan kemarahan terhadap kekuatan yang lebih besar dari dirinya
2) Mengungkapkan telah diabaikan
3) Mengungkapkan ketidakberdayaan
4) Mengungkapkan penderitaan
5) Ketidakmampuan berintrospeksi
6) Ketidakmampuan mengalami pengalaman religiositas
7) Ketidakmampuan berpartisipasi dalam aktivitas keagamaan
8) Perubahan yang tiba-tiba dalam praktek spiritual
Faktor Yang Berhubungan
a. Menjelang ajal, Ansietas
b. Sakit kronis, Kematian
c. Perubahan hidup, kesepian
d. Nyeri
e. Keterasingan diri
f. Keterasingan social
g. Gangguan sosiokultural
2. Resiko distress spiritual
Definisi:
Sebuah kerentanan terhadap terganggunya kemampuan untuk mengalami dan
mengintegrasikan makna hidup dan tujuan hidup melalui hubungan dengan diri sendiri,
literature, alam atau kekuatan yang lebih besar daripada diri sendiri, yang mungkin
dapat membahayakan kesehatan.
Faktor resiko:
16
a. Perkembangan
Transisi Kehidupan
b. Lingkungan
1) Perubahan lingkungan
2) Bencana alam
c. Fisik
1) Penyakit kronis
2) Penyakit fisik
3) Penyalahgunaan zat
d. Psikososial
1) kecemasan
2) Berpisah dengan sistem prndukung
3) Depresi
4) Hambatan untuk mengalami cinta
5) Harga diri rendah
6) Hubungan tidak efektif
7) Kehilangan
8) Ketidakmampuan untuk memaafkan
9) Konflik kultural
10) Konflik rasial
11) Perubahan dalam praktik spiritual
12) Perubahan dalam ritual agama
13) stresor
3. Kesiapan untuk meningkatkan kesejahteraan spiritual
Definisi:
Suatu pola mengalami dan mengintegrasikan makna dan tujuan hidup melalui
hubungan dengan diri sendiri, orang lain, seni, musik, literatur, alam, dan/atau kekuatan
yang lebih besar daripada diri sendiri yang dapat di perkuat.
Batasan karakteristik
a. Hubungan dengan diri sendiri
1) Menyatakan keinginan meningkatkan cinta
2) Menyatakan keingina meningkatkan filosofi hidup yang memuaskan
3) Menyatakan keinginan meningkatkan harapan
4) Menyatakan keinginan meningkatkan kemampuan memaafkan diri sendiri
17
5) Menyatakan keinginan meningkatkan kepasrahan
6) Menyatakan keinginan meningkatkan kesenangan
7) Menyatakan keinginan meningkatkan ketentraman/ ketenangan
8) Menyatakan keinginan meningkatkan koping
9) Menyatakan keinginan meningkatkan makna hidup
10) Menyatakan keinginan meningkatkan motifasi atau doropngan
11) Menyatakan keinginan meningkatkan penerimaan
12) Menyatakan keinginan meningkatkan praktik mediasi
13) Menyatakan keinginan meningkatkan tujuan hidup
b. Hubungan dengan orang lain
1) Menyatakan keinginan meningkatkan interaksi dengan orang terdekat.
2) Menyatakan keinginan meningkatkan interaksi dengan pimpinan spriritual
3) Menyatakan keinginan meningkatkan memaafkan orang lain
4) Menyatakan keinginan meningkatkan pelayan kepada orang lain
c. Hubungan dengan seni, musik, literatur dan alam
1) Menyatakan keinginan meningkatkan bacaan spiritual
2) Menyatakan keinginan meningkatkan energi kreatif
3) Menyatakan keinginan meningkatkan waktu diluar ruang
d. Hubungan dengan kekuatan yang lebih besar daripada diri sendiri
1) Menyatakan keinginan meningkatkan berdia
2) Menyatakan keinginan meningkatkan partisipasi dalam aktivitas religious
3) Menyatakan keinginan meningkatkan pengalaman mistis
4) Menyatakan keinginan meningkatkan penghormatan kepada rohaniwan
21
BAB II
KONSEP DISTRESS SPIRITUAL
A. Definisi
Distress spiritual atau krisis spiritual terjadi ketika seseorang tidak dapat menemukan
makna dan tujuan hidup, harapan, cinta, kedamaian atau kekuatan dalam hidup mereka.
Krisis ini bisa terjadi saat seseorang mengalami ketiadaan hubungan dengan hidup, sesama,
alam dan ketika situasi hidup bertentangan dengan keyakinan yang dimilikinya. (Young
dan Koopsen, 2007).
Distress spiritual merupakan suatu keadaan penderitaan yang terkait dengan gangguan
kemampuan untuk mengalami makna dalam hidup melalui hubungan dengan diri sendiri,
orang lain, dunia atau kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri. (Nanda, 2015)
Distress spiritual adalah suatu keadaan menderita yang berhubungan dengan hambatan
kemampuan untuk mengalami makna hidup melalui hubungan diri sendiri, dunia atau
kekuatan yang Maha Tinggi. (Budi Anna, 2019)
B. Penyebab
1. Kehilangan
2. Kematian orang terdekat
3. Menerima berita buruk tentang kesehatan, hubungan sosial
4. Perubahan kehidupan. (Budi Anna, 2019)
D. Patofisiologi
Patofisiologi distress spiritual tidak bisa dilepaskan dari stress dan struktur serta fungsi
otak. Stress adalah realitas kehidupan manusia sehari-hari. Setiap orang tidak dapat dapat
menghindari stres, namun setiap orang diharapkan melakukan penyesuaian terhadap
perubahan akibat stres. Ketika kita mengalami stres, otak kita akan berespon untuk terjadi.
Dalam beberapa literatur menyebutkan respon “melawan atau melarikan diri” sebagai suatu
rangkaian perubahan biokimia didalam otak yang menyiapkan seseorang menghadapi
ancaman yaitu stres. (Kartono, 2013)
Stres akan menyebabkan korteks serebri mengirimkan tanda bahaya ke hipotalamus.
Hipotalamus kemudian akan menstimulus saraf simpatis untuk melakukan perubahan.
Sinyal dari hipotalamus ini kemudian ditangkap oleh sistem limbik dimana salah satu
bagian pentingnya adalah amigdala yang bertanggung jawab terhadap status emosional
seseorang. Gangguan pada sistem limbik menyebabkan perubahan emosional, perilaku dan
kepribadian. Gejalanya adalah perubahan status mental, masalah ingatan, kecemasan dan
perubahan kepribadian termasuk halusinasi, depresi, nyeri (Kaplan et all, 2005)
Kegagalan otak untuk melakukan fungsi kompensasi terhadap stresor akan
menyebabkan seseorang mengalami perilaku maladaptif dan sering dihubungkan dengan
munculnya gangguan jiwa. Kegagalan fungsi kompensasi dapat ditandai dengan
munculnya gangguan pada perilaku sehari-hari baik secara fisik, psikologis, sosial
termasuk spiritual. (David, 2014)
Gangguan pada dimensi spritual atau distres spritual dapat dihubungkan dengan
timbulnya depresi. Tidak diketahui secara pasti bagaimana mekanisme patofisiologi
terjadinya depresi. Namun ada beberapa faktor yang berperan terhadap terjadinya depresi
antara lain faktor genetik, lingkungan dan neurobiologi.
23
Perilaku ini yang diperkirakan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
memenuhi kebutuhan spiritualnya sehingga terjadi distres spiritual karena pada kasus
depresi seseorang telah kehilangan motivasi dalam memenuhi kebutuhannya termasuk
kebutuhan spritual. (Maramis, 2009)
25
kepada pemuka agama, perawat dan pemuka agama dapat bekerja sama untuk
memenuhi kebutuhan spiritual pasien.
5. Evaluasi. Untuk melengkapi siklus proses keperawatan spiritual pasien, perawat harus
melakukan evaluasi yaitu dengan menentukan apakah tujuan telah tercapai. Hal ini sulit
dilakukan karena dimensi spiritual yang bersifat subjektif dan lebih kompleks.
Membahas hasil dengan pasien dari implementasi yang telah dilakukan akan menjadi
cara yang baik untuk mengevaluasi spiritual care pasien (Stuart, 2012).
H. Sumber Koping
Terdapat lima tipe dasar dukungan sosial bagi distres spiritual:
1. Dukungan emosi yang terdiri atas rasa empati, caring, memfokuskan pada kepentingan
orang lain.
2. Dukungan esteem yang terdiri atas ekspresi positif thingking, mendorong atau setuju
dengan pendapat orang lain.
3. Dukungan instrumental yaitu menyediakan pelayanan langsung yang berkaitan dengan
dimensi spiritual.
4. Dukungan informasi yaitu memberikan nasehat, petunjuk dan umpan balik bagaimana
seseorang harus berperilaku berdasarkan keyakinan spiritualnya.
5. Dukungan network menyediakan dukungan kelompok untuk berbagai tentang aktifitas
spiritual. (Kozier, 2007)
Sumber lain menambahkan dukungan apprasial yang membantu seseorang untuk
meningkatkan pemahaman terhadap stresor spiritual dalam mencapai keterampilan
koping yang efektif. (Taylor, 2011)
I. Penelitian terkait
Terdapat beberapa penelitian terkait dengan distress spiritual, diantaranya yaitu:
1. Penelitian yang berjudul Bimbingan Spiritual dalam Mengurangi Tingkat Distress
Pasien di Ruang Penyakit Dalam (Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Ujung
Berung Kota Bandung).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara langsung dalam bimbingan spiritual
di RSUD Ujung Berung Kota Bandung dalam mengurangi tingkat distress pasien di
ruang penyakit dalam pada pasien sebelum dibimbing, proses bimbingan serta hasil
bimbingan spisitual dalam mengurangi tingakt distress pasien di ruang penyakit dalam.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini bertolak pada pengertian bimbingan spiritual
26
yang merupakan proses pemberi bantuan dari seorang pembimbing rohani terhadap
pasien yang sedang mengalami suatu masalah dengan tujuan agar pasien senantiasa
menjalankan nilai-nilai ajaran islam sekalipun dalam kondisi sakit sehingga dapat
mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.
Penelitian ini di lakukan dengan menggunakan metode kualitatif, untuk megetahui
keadaan obyek yang sedang di teliti , dengan mengumpulkan data yang di peroleh
melalui: observasi (mengamati kondisi pasien sebelum bimbingan, bimbingan spiritual
dalam mengirangi tingkat distress pasien); wawancara, (bertanya tentang kondisi pasien
distress dan psoese bimbingan); serta studi pustaka dan dokumentasi yang di dukung
dengan teori-teori yang ada kaitannya dengan bimbingan spiritual terhadap pasien
distress di ruang penyakit dalam.
Dari hasil ini dapat di simpulkan bahwa bimbingan spiritual di RSUD Ujung Berung
Kota Bandung dalam mengurangi tingkat distress pasien dinyatakan cukup baik. Hal
ini terbukti, diantaranya (1) pasien sadar bahwa penyakit itu adalah cobaan dari Allah
SWT; (2) pasien lebih bersabar; (3) pasien lebih optimis; (pasien mengetahui cara-cara
ibadah ketika dalam kondisi sakit; (5) pasien lebih giat beribadah dengan khusyu,
pasien lebih mantap untuk melakukan ibadah. Dan akhirnya mereka disadarkan unutk
menghadapi sebuah penyakit. Faktor yang dapat menyembuhkan pasien pada dasarnya
ada dua macam. Pertama, sentuhan medis yang dilskukan oleh dokter dan perawat, dan
kedua, sentuhan rohani yang dilakukan oleh tim bimbingan rohani, yaitu bimbingan
motivasi, bimbingan ibadah, bimbingan akhak, diskusi/bercerita, dengan demikian
ketenangan lahir dari pasien dengan sendirinya akan disembuhkan oleh energi yang ada
dalam dirinya.
2. Penelitian yang berjudul Bimbingan Keagamaan Islami dalam Mengatasi Distress
Spiritual Pasien Kanker di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti Salatiga
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya penderita kanker yang tidak mampu
mencapai respon adaptif spiritual sehingga mengalami distres spiritual. Kondisi distres
spiritual pada pasien kanker dapat menghambat proses penyembuhan. Maka bimbingan
keagamaan Islami yang diberikan secara intensif oleh seorang pembimbing di RSU &
Holistik Sejahtera Bhakti Salatiga diperkirakan mampu membantu mengatasi
permasalahan tersebut.
Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan distres spiritual pasien kanker dan
mengetahui serta menganalisis pelaksanaan bimbingan keagamaan Islami oleh
pembimbing keagamaan Islami RSU & Holistik Sejahtera Bhakti.
27
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian seluruh
pasien kanker dengan distres spiritual yang dirawat di RSU & Holistik Sejahtera Bhakti
Salatiga. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dokumentasi.
Sedangkan metode analisis data dilakukan dengan mendeskripsikan fenomena,
mengklasifikasikan data yang diperoleh dan melihat bagaimana konsep-konsep yang
muncul saling berkaitan satu dengan lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan pelaksanaan bimbingan keagamaan Islami mampu
membantu mengatasi distres spiritual pasien kanker. Distres spiritual dapat diatasi oleh
pembimbing dengan cara pembimbing berupaya memenuhi kebutuhan spiritual pasien.
Bimbingan dilakukan dengan metode langsung dan dilakukan secara intensif sesuai
kebutuhan pemenuhan spiritual oleh pembimbing. Materi yang diberikan meliputi
materi aqidah melalui ajaran yang berkaitan dengan takdir dan janji Allah terhadap
manusia yang sedang diberikan ujian; materi Syari’at yang berkenaan dengan syari’at
shalat dan do’a; serta materi akhlak yang merupakan aplikasi dari materi aqidah dan
syari’at. Kesadaran awal melalui penanaman pemahaman yang kemudian berkembang
pada tujuan tengah dengan timbulnya perilaku positif berupa pelaksanaan shalat dan
do’a untuk mencapai ketenangan jiwa.
3. Penelitian yang berjudul Penerapan Spiritual Care Pada Pasien Distress Spiritual di
RSJD Dr.Amino Gondhoutomo Semarang
Latar belakang dari penelitian ini adalah permasalahan dengan distress spiritual kerap
terjadi pada klien yang sedang menjalani rawat inap. Akan tetapi hal tersebut kurang
mendapat perhatian dari para kebijakan keperawatan, Sehingga perlu dilakukan sebuah
intervensi keperawatan untuk menanggulangi permasalahan tersebut, dan intervensi
untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu spiritual care.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh spiritual care terhadap nilai
spiritual distress assessment tool (SDAT) pada pasien yang sedang menjalani rawat
inap di ruang 2 RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang. Metode rancangan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu descriptive study dengan desain case study.
Pengelolaan kasus pasien distress spiritual dengan mengaplikasikan spiritual care
berdasarkan hasil pendekatan proses keperawatan.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan tindakan penerapan spiritual care yang
bermanfaat untuk pasien distress spiritual. Responden berjenis kelamin perempuan,
berusia 70 tahun. Nilai tengah SDAT sebelum dilakukan Spiritual Care sebesar 3.
28
Sedangkan sesudah dilakukan Spiritual Care, nilai SDAT sebesar 1 nilai tertinggi
adalah 3. Hal ini menunjukkan terjadi penurunan nilai rerata SDAT sebesar 2 poin.
29
BAB III
PENGKAJIAN DISTRESS SPIRITUAL
32
Perawat berperan sebagai komunikator perantara bila pasien menginginkan
untuk bertemu dengan petugas rohaniawan atau bila menurut perawat memerlukan
bantuan rohaniawan dalam mengatasi masalah spiritualnya. Menurut Bulechek et
al. (2013) dalam Nursing Interventions Classification (NIC), intervensi
keperawatan dari diagnosa distress spiritual salah satunya adalah spiritual support
dengan membantu pasien mencapai keadaan seimbang dan merasa berhubungan
dengan kekuatan Maha Besar.
5. Evaluasi
Untuk mengetahui apakah pasien telah mencapai kriteria hasil yang ditetapkan
pada fase perencanaan, perawat perlu mengumpulkan data terkait dengan
pencapaian tujuan asuhan keperawatan spiritual. Tujuan asuhan keperawatan
spiritual tercapai apabila secara umum pasien:
a. Mampu beristirahat dengan tenang
b. Mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan
c. Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama
d. Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya
e. Menunjukkan afeksi positif, tanpa rasa bersalah, dan kecemasan.
35
diri sendiri? Dapatkah keyakinan saudara mempengaruhi perilaku selama
sakit?
c. C: Community (Apakah saudara bagian dari sebuah komunitas spiritual atau
religius?) Apakah komunitas tersebut mendukung saudara dan bagaimana?
Apakah ada seseorang didalam kelompok tersebut yang benar-benar saudara
cintai atua begini penting bagi saudara.
d. A: Adress bagaimana saudara akan mencintai saya sebagai seorang perawat,
untuk membantu dalam asuhan keperawatan saudara?
6. Pengkajian aktifitas sehari-hari pasian yang mengkarakteristikan distres spiritual,
mendengarkan berbagai pernyataan penting seperti :
a. Perasaan ketika seseorang gagal
b. Perasaan tidak stabil
c. Perasaan ketidakmmapuan mengontrol diri
d. Pertanyaan tentang makna hidup dan hal-hal penting dalam kehidupan
e. Perasaan hampa (Bumulo, M. I., Bidjuni, H., & Bawotong, J. 2017)
7. Diagnosa: Distress Spritual
8. Intervensi :
a. Sp. 1: Bina hubungan saling percaya dengan pasien, kaji faktor penyebab
distress spiritual pada pasien, bantu pasien mengungkapkan perasaan dan
pikiran terhadap agama yang diyakininya, bantu klien mengembangkan
kemampuan untuk mengatasi perubahan spritual dalam kehidupan.
b. Sp. 2: Fasilitasi klien dengan alat-alat ibadah sesuai keyakinan klien, fasilitasi
klien untuk menjalankan ibadah sendiri atau dengan orang lain, bantu pasien
untuk ikut serta dalam kegiatan keagamaan.
B. Faktor Predisposisi
1. Gangguan pada dimensi biologis akan mempengaruhi fungsi kognitif seseorang
sehingga akan mengganggu proses interaksi dimana dalam proses interaksi ini akan
terjadi transfer pengalaman yang penting bagi perkembangan spiritual seseorang.
2. Faktor predisposisi sosiokultural meliputi usia, gender, pendidikan, pendapatan,
okupasi, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman
sosial, tingkatan sosial (Simamora, R. H. 2008).
36
C. Faktor Presipitasi
1. Kejadian Stresful
Mempengaruhi perkembangan spiritual seseorang dapat terjadi karena
perbedaan tujuan hidup, kehilangan hubungan dengan orang yang terdekat karena
kematian, kegagalan dalam menjalin hubungan baik dengan diri sendiri, orang lain,
lingkungan dan zat yang Maha Tinggi.
2. Ketegangan Hidup
Beberapa ketegangan hidup yang berkontribusi terhadap terjadinya distress
spiritual adalah ketegangan dalam menjalankan ritual keagamaan, perbedaan
keyakinan dan ketidakmampuan menjalankan peran spiritual baik dalam keluarga,
kelompok maupun komunitas (Kozier, B., Erb, G., Berman, Snyder, S. 2010).
1. Respon Kognitif
2. Respon Afektif
3. Respon Fisiologis
4. Respon Sosial
5. Respon Perilaku
E. Sumber Koping
Terdapat lima tipe dasar dukungan sosial bagi distres spiritual:
1. Dukungan emosi yang terdiri atas rasa empati, caring, memfokuskan pada
kepentingan orang lain.
2. Tipe yang kedua adalah dukungan esteem yang terdiri atas ekspresi positif thinking,
mendorong atau setuju dengan pendapat orang lain.
4. Tipe keempat adalah dukungan informasi yaitu memberikan nasihat, petunjuk dan
umpan balik bagaimana seseorang harus berperilaku berdasarkan keyakinan
spiritualnya.
37
5. Tipe terakhir atau kelima adalah dukungan network menyediakan dukungan
kelompok untuk berbagai tentang aktifitas spiritual, dukungan apprasial yang
membantu seseorang untuk meningkatkan pemahaman terhadap stresor spiritual
dalam mencapai keterampilan koping yang efektif (Asmadi, 2008).
F. Psikofarmaka
Psikofarmaka pada distres spiritual tidak dijelaskan secara tersendiri. Berdasarkan
dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) di Indonesia
III aspek spiritual tidak digolongkan secara jelas apakah masuk kedalam aksis satu, dua,
tiga, empat atau lima
38
BAB IV
STANDAR PELAYANAN PASIEN DENGAN DISTRESS SPIRITUAL
39
− Rujuk pasien pada perawatan pastoral atau spiritual caregiver yang utama sebagai
penjamin
− Rujuk pasien dalam panduan tambahan dan dukungan dalam hubungan antara
tubuh, pikiran, dan jiwa, dengan tepat.
2. Dukungan spiritual
Membantu klien untuk merasakan keseimbangan dan hubungan dengan kekuatan
yang lebih besar
− Gunakan komunikasi terapeutik dalam membangun hubungan saling percaya dan
caring
− Gunakan alat untuk memantau dan mengevaluasi kesejahtraan spiritual klien
dengan baik
− Dorong individu untuk meninjau ulangmasa lalu dan berfokus pada kejadian dan
hubungan yang memberikan dukungan dan kekuatan spiritual
− Dorong individu untuk meninjau ulang kehidupan dengan mengenangang
kembali
− Dorong partisipsi terkait dengan keterlibatan angota keluarga, teman dan orang
lain
− Berikan privasi dan waktu-waktu yang tenang untuk (dilakukanya) kegiatan
spritual
− Dorong partisipasi ddalam dukungan kelompok
− Ajarkan metode relaksasi, meditasidan imajinasiterbimbing/guided imgery
− Berbagi mengenai keyakinan sendiri mengenai arti dan tujuan hidupdengan baik
− Berbagi mengenai perspektif dengan baik
− Berikan kesempatan untuk mendiskusikan berbagai sistem kepercayaan dan
pandangan dunia mengenai hal tersebut
− Terbukalah terhadap ekspresi kekhawatiran individu
− Atur kunjungan dari penasehat spiritual individu
− Sediakan musik spiritual, literatur, radio maupun program-program spiritual di
telvisi bagi individu
− Terbukalah terhadap ekspresi kesendirian dan keputusasaan individu
− Dorong menghadiri layanan gereja jika diinginkan
− Dorong prnggunaan sumber-sumber spiritual jikadiinginkan
− Berikan artiker-artikel spiritual yang disukai, tergantungpilihan klien
40
− Rujuk pada penasehat spiritual yang dipilih klien
− Gunakan tehnik-tehnik untuk mengklarifikasi nialai untuk membantu individu
mengklarifikasikeyakinan dan nilai dengan baik
− Dengarkan perasaan klien
− Tunjukan empati terhadap ekspresi prasaan klien
− Fasilitasi individu terkait dengan pengguanaan meditasi
3. Bimbingan antisipatif
Mempersiapkan pasien mengantisipasi perkembangan dan situasi krisis
− Bantu klien mengidentifikasi kemungkinan perkembangan situasi krisis yang
akan terjadi dan efek dari krisis yang bisa berdampak pada klien dan keluarga
− Instruksikan klien mengenai perilaku dan perkembangan dengan cara yang tepat
− Berikan informasi mengenai harapan-harapan yang realitas terkait dengan
perilaku pasien
− Pertimbangkan metode yang biasa digunakan klien dalam pemecahan masalah
− Bantu klien untuk memutuskan bagaimana masalah dipecahkan
− Bantu klien untuk memutuskan siapa yang akan memecahkan masalah
− Gunakan contoh kasus untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah
klien dengan cara yang tepat
− Bantu klien mengidentifikasi sumber-sumber yang tersedia dan pilihan yang
tersedia terhadap tindakan yang akan dilakukan dengan cara yang tepat
− Latih teknik yang digunakan untuk menghadapi terhadap perkembangan situasi
krisis, dengan pelayanan secara tepat
− Bantu pasien untuk beradaptasi dengan adanya perubahan peran
− Sediakan bahan rujukan yang tersedia untuk pelayan bahan-bahan pembelajaran
pamflet secara tepat
− Sarankan sumber literatur yang terkomputerisasi untuk bahan bacaan klien secara
tepat
− Rujuk pasien ke komunitas jika diperlukan
− Jadwalkan kunjungan terkait dengan perkembangan situasi dan strategi yang tepat
− Jadwalkan kunjungan ekstra untuk klien yang mengalami kecemasan dan
kesulitan
− Jadwalkan peninjauan kembali melalui telepon untuk mengevaluasi keberhasilan
atau kebutuhan penguatan
41
− Berikan klien nomor telepon untuk meminta bantuan jika diperlukan
− Libatkan keluarga maupun orang-orang terdekat klien Jika memungkinkan
4. Peningkatan koping
Fasilitas usaha kognitif dan perilaku untuk mengelola stressor yang dirasakan,
perubahan, atau ancaman yang mengganggu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
dan peran
− Bantu pasien dalam mengidentifikasi tujuan jangka pendek dan jangka panjang
yang tepat
− Bantu pasien dalam memeriksa sumber-sumber yang tersedia untuk memenuhi
tujuan-tujuan nya
− Bantu pasien untuk mencegah tujuan yang kompleks menjadi lebih kecil, dengan
langkah yang dapat dikelola
− Dukung hubungan pasien dengan orang yang memiliki ketertarikan dan tujuan
yang sama
− Bantu pasien untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang konstruktif
− Berikan penilaian kemampuan penyesuaian pasien terhadap perubahan-
perubahan dalam citra tubuh sesuai dengan indikasi
− Berikan penilaian mengenai dampak dari situasi kehidupan pasien terhadap peran
dan hubungan yang ada
− Dukung pasien untuk mengidentifikasi deskripsi yang realistik terhadap adanya
perubahan dalam peran
− Berikan penilaian dan diskusi respon alternatif terhadap situasi yang ada
− Gunakan pendekatan yang tenang dan memberikan jaminan
− Berikan suasana penerimaan
− Bantu pasien dalam mengembangkan penilaian terkait dengan kejadian dengan
lebih objektif
− Bantu pasien untuk mengidentifikasi informasi yang dia paling tertarik untuk
didapatkan
− Sediakan informasi aktual mengenai diagnosis Penanganan dan prognosis
− Sediakan pasien pilihan-pilihan yang realitas mengenai aspek perawatan
− Dukung sikap pasien terkait dengan harapan yang realistis sebagai upaya untuk
mengatasi perasaan ketidakberdayaan
− Evaluasi kemampuan pasien dan membuat keputusan
42
− Cari jalan untuk memahami perspektif pasien dalam situasi yang penuh stress
− Tidak mendukung pembuatan keputusan saat pasien berada pada situasi yang
berat
− Dukung kemampuan mengatasi situasi secara berangsur-angsur
− Dukung kesabaran dalam mengembangkan suatu hubungan
− Dukung aktivitas aktivitas sosial dan komunitas agar bisa dilakukan
− Dukung kemampuan dalam penerimaan terhadap keterbatasan orang lain
− Kenali latar belakang budaya atau spiritual pasien
− Dukung penggunaan sumber-sumber spiritual, jika diinginkan
− Eksplorasi pencapaian pada sebelumnya
− Eksplorasi alasan pasien mengkritik diri
− Konfrontasi terhadap perasaan ambivalen pasien kemarahan atau ditekan
− Tumbukan cara penyaluran kemarahan dan Tuhan yang konstruktif
− Atur situasi yang mendukung otonomi pasien
− Bantu pasien dalam mengidentifikasi respon positif dari orang lain
− Dukung identifikasi nilai hidup yang spesifik
− Eksplorasi bersama pasien mengenai metode sebelumnya pada saat menghadapi
masalah kehidupan
− Mengenalkan pasien pada seseorang atau kelompok yang telah berhasil melewati
pengalaman yang sama
− Dukung penggunaan mekanisme defensif yang tepat
− Dukung verbalisasi perasaan dan rasa takut
− Diskusikan konsekuensi dari tidak mengatasi rasa bersalah dan malu
− Dukung pasien untuk mengidentifikasi kekuatan dan kemampuan diri
− Turunkan stimulus yang dapat diartikan sebagai suatu ancaman dalam suatu
lingkungan tertentu
− Berikan penilaian terkait dengan kebutuhan atau keinginan pasien terkait dengan
dukungan social
− Bantu pasien untuk mengidentifikasi sistem dukungan yang tersedia
− Pertimbangkan resiko pasien diri sendiri
− Dukung keterlibatan keluarga, dengan cara yang tepat
43
− Bantu pasien untuk mengidentifikasi strategi-strategi positif untuk mengatasi
keterbatasan dan mengelola kebutuhan gaya hidup maupun perubahan peran
instruksikan pasien untuk menggunakan relaksasi sesuai dengan kebutuhan
− Bantu pasien untuk melewati proses berduka dan melewati kondisi kehilangan
karena penyakit kronik dan atau kecacatan dengan tepat
− Bantu pasien untuk mengklarifikasi kesalahpahaman
− Dukung pasien untuk mengevaluasi perilakunya sendiri
5. Konseling
Penggunaan proses membantu interaktif yang berfokus pada kebutuhan, masalah
atau perasaan klien untuk meningkatkan atau mendukung koping penyelesaian masalah
dan hubungan interpersonal
− Bangun hubungan terapeutik yang didasarkan pada rasa saling percaya dan saling
menghormati
− Tunjukkan empati, kehilangan dan ketulusan
− Tetapkan lama hubungan konseling
− Tetapkan tujuan tujuan
− Sediakan privasi dan berikan jaminan kerahasiaan
− Sediakan informasi aktual yang tepat dan sesuai kebutuhan
− Dukung ekspresi perasaan klien
− Bantu pasien untuk mengidentifikasi masalah dan situasi yang menyebabkan
distress
− Gunakan teknik refleksi dan klarifikasi untuk memfasilitasi ekspresi yang
menjadi perhatian
− Minta pasien untuk mengidentifikasi apa yang mereka bisa atau tidak bisa
lakukan terkait dengan peristiwa yang terjadi
− Bantu pasien untuk membuat daftar dan memprioritaskan kemungkinan alternatif
penyelesaian masalah
− Identifikasi adanya perbedaan antara pandangan pasien terhadap situasi dengan
pandangan dari tim tenaga kesehatan
− Tentukan Bagaimana perilaku keluarga mempengaruhi pasien
− Sampaikan secara verbal perbedaan antara perasaan pasien dan perilakunya
44
− Gunakan alat kajian misalnya kertas dan pensil, audio video latihan interaksi
dengan orang lain untuk membantu meningkatkan kesadaran diri pasien dan
pengetahuan konselor terhadap situasi, dengan cara yang tepat
− Tunjukkan aspek-aspek tertentu dari pengalaman seseorang yang mendukung
ketulusan dan rasa percaya, dengan cara yang tepat
− Bantu pasien untuk mengidentifikasi kekuatan dan menguatkan hal tersebut
− Dukung pengembangan keterampilan baru, dengan tepat
− Dukung penggantian kebiasaan yang tidak diinginkan dengan kebiasaan yang
diinginkan
− Dukung keterampilan baru
− Jangan mendukung pembuatan keputusan pada saat pasien berada dalam kondisi
stres beras Jika memungkinkan
6. Dukungan pengambilan keputusan
Menyediakan dan Dukungan bagi pasien terkait dengan pengambilan keputusan
yang berhubungan dengan perawatan kesehatan
− Tentukan apakah terdapat perbedaan antara pandangan pasien dan pandangan
penyedia perawatan kesehatan mengenai kondisi pasien
− Bantu pasien untuk mengklarifikasi nilai dan harapan yang mungkin akan
membantu dalam membuat pilihan yang penting dalam hidupnya
− Informasikan pada pasien mengenai pandangan pandangan atau solusi alternatif
dengan cara yang jelas dan mendukung pasien
− Mengidentifikasi untuk keuntungan dan kerugian dari setiap alternatif pilihan
− Bangun komunikasi dengan pasien sedini mungkin sejak pasien masuk ke Unit
perawatan dan informed consen/ persetujuan tertulis, etika diperlukan
− Fasilitas pengambilan keputusan kolaboratif
− Kenali kebijakan dan prosedur yang ada di institusi
− Hormati hak pasien untuk menerima atau tidak menerima informasi
− Berikan informasi sesuai permintaan pasien
− Bantu pasien menjelaskan keputusan pada orang lain sesuai dengan kebutuhan
− Jadilah sebagai penghubung antara pasien dan keluarga
− Jadilah sebagai penghubung antara pasien dan penyedia layanan kesehatan yang
lain
45
− Gunakan software komputer yang interaktif atau pembuatan keputusan yang
berbasis web sebagai bentuk dukungan professional
− Rujuk pada bantuan formal sesuai dengan kebutuhan
− Rujuk pada kelompok pendukung, sesuai dengan kebutuhan
7. Dukungan emosional
Memberikan kenyamanan, penerimaan dan dukungan selama masa stres
− Diskusikan dengan pasien mengenai pengalaman emosinya
− Eksplorasi apa yang memicu emosi pasien
− Buat pernyataan yang mendukung dan berempati
− Rangkul atau sentuh pasien dengan penuh dukungan
− Dukung penggunaan mekanisme pertahanan yang sesuai
− Bantu pasien untuk mengenali perasaannya seperti adanya cemas, marah atau
sedih
− Dorong pasien untuk mengekspresikan perasaan cemas, marah atau sedih
− Diskusikan konsekuensi dari tidak mengatasi perasaan bersalah dan malu
− Dengarkan atau dorong ekspresi keyakinan dan perasaan
− Fasilitasi pasien untuk mengidentifikasi pola respon yang yang biasa dipakai
ketika menghadapi stres takut
− Berikan dukungan selama fase mengingkari(denial), marah, tawar-menawar dan
fase menerima dalam proses berduka
− Klarifikasi fungsi perasaan bahwa marah prestasi dan kemarahan akan kembali
lagi kepada pasien
− Dorong untuk bicara atau menangis sebagai cara untuk menurunkan respon emosi
− Temani pasien dan berikan jaminan keselamatan dan keamanan selama periode
cemas
− Berikan bantuan dalam pembuatan keputusan
− Kurangi kebutuhan terkait dengan fungsi kognitif apabila pasien dalam kondisi
kesakitan atau kelelahan
− Rujuk untuk konseling sesuai kebutuhan
8. Fasilitasi untuk memaafkan
Membantu individu agar bersedia untuk mengganti Perasaan marah dan dendam
pada orang lain, pada diri sendiri, atau pada kekuatan yang lebih tinggi dan
menggantinya dengan kemurahan hati perasaan empati, dan kemanusiaan
46
− Identifikasi keyakinan pasien yang mungkin tersembunyi untuk mengikhlaskan
masalah
− Nyatakan bahwa marah dan dendam merupakan sesuatu yang bisa dibenarkan
− identifikasi sumber kemarahan dan dendam, Jika memungkinkan
− Dengarkan secara empati tanpa membenarkan atau menawarkan basa-basi
− Eksplorasi memaafkan sebagai sebuah proses
− Bantu pasien mengeksplorasi perasaan kemarahan kepahitan dan dendam
− Hadirkan diri pada pasien, sentuhan dan empati yang tepat, untuk memfasilitasi
proses memaafkan
− Eksplorasi kemungkinan membuat ganti rugi dan Rekonsiliasi terhadap diri orang
lain dan atau kekuatan yang lebih tinggi
− Bantu pasien untuk memeriksa dimensi sehat dan penyembuhan dari perilaku
memaafkan
− Bantu pasien untuk mengatasi penghalang dalam penyembuhan dengan
menggunakan praktek misalnya berdoa, tuntunan, dan kearifan, penyembuhan,
sentuhan, visualisasi, penyembuhan, dan Thanksgiving / bersyukur dengan tepat
− Ajarkan seni melepaskan emosi dan relaksasi
− Bantu klien untuk mencari orang luar yang bertindak sebagai penengah untuk
memfasilitasi proses dari apa yang menjadi perhatian individu atau kelompok
− Persilahkan untuk menggunakan tradisi ritual kepercayaan dengan cepat
(misalnya mengurapi, pengakuan dosa, berdamai)
− Berkomunikasi dengan Tuhan atau zat yang lebih tinggi atau memaafkan diri
sendiri melalui proses sembahyang, kitab suci maupun kitab lainnya, dengan tepat
− Komunikasi penerimaan dalam rangka meningkatkan kemajuan individu
9. Fasilitasi proses berduka
Membantu menyelesaikan kehilangan (sesuatu) yang bermakna (bagi klien)
− Identifikasi kehilangan
− Bantu pasien untuk mengidentifikasi kealamiahan keterkaitan(kilen) dengan
objek atau orang yang hilang
− Bantu pasien untuk mengidentifikasi reaksi awal terhadap Kehilangan
− Dukung (pasien untuk) mengekspresikan perasaan mengenai Kehilangan
− Dengarkan ekspresi berduka
− Dukung (pasien untuk) mendiskusikan pengalaman kehilangan sebelumnya
47
− Dukung pasien untuk memverbalisasikan ingatan mengenai Kehilangan, baik
masa lalu maupun saat ini
− Buat pernyataan empatik mengenai duka cita
− Dukung identifikasi adanya perasaan takut yang paling besar terkait dengan
Kehilangan
− Berikan instruksi dalam proses fase berduka, dengan tepat
− Dukung kemajuan untuk melalui tahap berduka pribadi
− Libatkan orang yang penting (bagi klien)
− Untuk mendiskusikan dan membuat keputusan dengan tepat
− Dukung pasien untuk mengimplementasikan kebiasaan budaya, agama, sosial
yang terkait dengan Kehilangan
− Komunikasikan penerimaan dalam rangka mendiskusikan Kehilangan
− Jawablah pertanyaan anak-anak yang berhubungan dengan Kehilangan yang
dialaminya
− Gunakan bahasa yang jelas misalnya kematian, daripada menggunakan bahasa
kiasan
− Dukung anak-anak untuk (dapat) mendiskusikan perasaan-perasaannya
− Dukung ekspresi dari perasaan yang ada dengan cara cara yang nyaman bagi
anak, misalnya dengan menulis, menggambar atau bermain
− Bantu anak untuk mengklarifikasi kesalahpahaman
− Identifikasi sumber dukungan yang anda di komunitas
− Dukung usaha untuk menyelesaikan konflik yang terjadi sebelumnya, dengan
tepat
− Kuatkan kemajuan yang dibuat dalam proses berduka
− Bantu mengidentifikasi kebutuhan untuk memodifikasikan hidup
10. Fasilitasi perasaan bersalah
Menolong orang lain untuk beradaptasi terhadap adanya perasaan sakit hati oleh
karena tanggung jawab dan telah atau akan diterima
− Pandu klien dan keluarga mengidentifikasi perasaan sakit karena perasaan
bersalah
− Bantu klien dan keluarga mengidentifikasi dan mengkaji situasi di mana perasaan
merasa bersalah muncul
48
− Bantu klien/anggota keluarga mengidentifikasi perilaku dalam menghadapi
perasaan bersalah
− Bantu klien atau anggota keluarga untuk memahami bahwa perasaan bersalah
adalah reaksi yang biasa terjadi pada kasus trauma, kekerasan, berduka, sakit
parah maupun kecelakaan
− Gunakan tes realita untuk membantu klien atau anggota keluarga
mengidentifikasi kemungkinan keyakinan-keyakinan yang bisa menyinggung
perasaan
− Bantu klien atau anggota keluarga mengidentifikasi pengalihan perasaan yang
bersifat destruktif kepada orang lain yang berbagi tanggung jawab yang sama
− Fasilitasi diskusi terkait dampak situasi terhadap hubungan keluarga
− Fasilitas konseling genetik jika diperlukan
− Rujuk klien atau anggota keluarga pada kelompok pendukung trauma kekerasan,
berduka, penyakit kronis, caregiver atau kelompok Survivor untuk mendapatkan
edukasi dan dukungan
− Ajarkan klien untuk menggunakan teknik berhenti berpikir dan berpikir substitusi
dalam hubungannya dengan relaksasi otot yang sengaja Ketika pikiran terus
menerus bersalah memasuki pikiran
− Pandu klien melalui Langkah Demi Langkah untuk memaafkan diri sendiri ketika
perasaan bersalah adalah valid
− Bantu klien atau anggota keluarga untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan untuk
pencegahan, restitusi, penebusan dan revolusi dengan tepat
11. Inspirasi harapan
Meningkatkan kepercayaan mengenai kapasitas seseorang untuk memulai dan
mempertahankan tindakan
− Bantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi area dari harapan dalam hidup
− Informasikan pada pasien mengenai Apakah situasi yang terjadi sekarang bersifat
sementara
− Demonstrasikan harapan dengan menunjukkan bahwa sesuatu dalam diri Pasien
adalah sesuatu yang berharga dan memandang bahwa penyakit Pasien adalah
hanya satu segi dari individu
− Kembangkan daftar mekanisme koping pasien
49
− Ajarkan pengenalan realitas dengan mensurvei situasi dan membuat rencana
kedepan
− Bantu pasien untuk menemukan dan merevisi tujuan berkaitan dengan objek yang
diharapkan
− Bantu pasien mengembangkan spiritualitas diri
− Jangan memasukkan hal yang sebenarnya
− Fasilitasi kaitan antara kehilangan personal pasien dengan gambaran dirinya
− Fasilitasi untuk bisa mengenang dan menikmati prestasi dan pengalaman masa
lalu
− Tekankan pada keberlanjutan hubungan, seperti menyebutkan nama seseorang
yang disukai, (dilakukan) pada pasien yang tidak mau merespon
− Lakukan review (mengenai bagaimana) petunjuk tentang hidup dan atau
(bagaimana) mengenang (sesuatu/ seseorang), dengan cara yang tepat
− Libatkan pasien secara aktif pada perawatannya sendiri
− Mengembangkan rencana perawatan yang melibatkan tujuan bertingkat dari yang
ingin dicapai, dari tujuan sederhana sampai pada tujuan yang kompleks
− dukung hubungan terapeutikdengan orang yang penting bagi pasien
− Ajarkan pasien tentang aspek positif mengenai harapan
12. Menghadirkan diri
Berada bersama seseorang baik secara fisik maupun psikologi pada saat
seseorang membutuhkan kehadiran orang lain
− Tunjukkan perilaku menerima secara verbal
− Mengkomunikasikan empati atau pemahaman mengenai pengalaman pasien
sensitif terhadap tradisi dan kepercayaan pasien
− Bina rasa percaya dan penghargaan positif
− Dengarkan apa yang menjadi perhatian pasien
− Gunakan teknik diam dengan cara yang tepat
− Sentuh pasien dalam rangka mengekspresikan kepedulian dengan cara yang tepat
− Menyediakan diri sebagai penolong secara fisik
− Tetap menghadirkan diri secara fisik tanpa mengharapkan respon interaksi
− Beri jarak bagi pasien dan keluarga sesuai dengan kebutuhan mereka
− Tawarkan untuk tetap bersama pasien selama awal interaksi dengan yang lain di
unit tersebut
50
− Bantu pasien untuk menyadari bahwa anda siap membantu tapi tidak mendorong
ketergantungan tingkah laku
− Temani pasien dengan tujuan untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa
takut pasien
− Yakinkan dan dukung orang tua terkait dengan peran suportif mereka terhadap
anak-anak mereka
− Temani pasien dan berikan jaminan rasa aman selama periode emas
− Tawarkan untuk dilakukannya contact guna mendapatkan dukungan orang lain
Kyai, pendeta, dan lain-lain dengan cara yang tepat
13. Klarifikasi nilai
Membantu orang lain untuk memperjelas nilai-nilai pribadinya dalam rangka
fasilitasi pengambilan keputusan yang efektif
− Pertimbangkan aspek etik legal dari pilihan bebas, berikan situasi tertentu
sebelum memulai intervensi
− Ciptakan atmosfer yang menerima dan tidak menghakimi
− Dorong untuk mempertimbangkan masalah
− Dorong pertimbangan nilai-nilai yang mendasari pilihan dan konsekuensi dari
pilihan
− Gunakan Pertanyaan yang tepat untuk membantu klien dalam merefleksikan
situasi dan apa yang penting secara pribadi
− Bantu klien untuk memprioritaskan nilai-nilai
− Gunakan teknik lembar nilai klarifikas (situasi dan pertanyaan yang ditulis)
dengan tepat
− Kemukakan pertanyaan yang klarifikatif dan reflektif yang memberikan sesuatu
pada klien untuk dipikirkan
− Hindari penggunaan pertanyaan lintas pemeriksaan
− Dorong klien untuk membuat daftar nilai mana yang penting dan mana yang tidak
penting dalam kehidupan dan waktu yang dihabiskan untuk hal-hal tersebut
− Dorong klien untuk membuat daftar nilai untuk memandu perilaku dalam
berbagai situasi
− Kembangkan dan terapkan rencana bersama klien untuk mencoba pilihan-pilihan
− Evaluasi efektivitas rencana bersama klien
− Beri tindakan terkait dengan rencana yang mendukung nilai-nilai klien
51
− Bantu klien menemukan (pilihan) alternatif beserta keunggulan dan
kelemahannya
− Mengevaluasi bagaimana nilai-nilai yang sesuai dengan atau terjadi konflik
dengan orang-orang dari anggota keluarga/ ga orang terdekat
− Dukung klien untuk mengkomunikasikan nilai-nilai pribadi pada orang lain
− Hindari penggunaan intervensi pada orang-orang yang memiliki masalah emosi
yang serius
52
a. Membuat seseorang individu menjadi lebih dekat pada Allah, memehami
eksistensiNya dalam kehidupan manusia, serta memahami makna hidup
yang sebenarnya.
b. Membuat individu menyadari dosa-dosa yang telah lalu dan bertaubat
secara nasuha
c. Membuat individu mampu memaknai sakit yang dialaminya, mampu berfikir
positif pada Allah, manusia dan lingkungannya
d. Membuat individu yakin bahwa yang memberikan penyakit itu adalah Allah
SWT dan Allah SWT lah yang mampu menyembuhkan penyakitnya.
4. Langkah – Langkah Terapi Intervensi Mindfulness Spiritual Islam
Mindfulness spiritual Islam dengan Tazkiyatun Nafs adalah latihan kesadaran
penuh untuk menyadari kondisi yang dialami oleh tubuh, pikiran dan perasaan
dengan menggunakan metode muraqabah, muhasabah, taubat, do‟a, tawakkal
sebagai kekuatan dan semangat jiwa yang dapat memberikan kedamaian dan
ketenangan pada jiwa/naf’s muthmainnah. Berikut ini langkah-langkah prosedur
dalam terapi mindfulness spiritual Islam dengan tazkiyatun Nafs(Meidiana.
Dwidiyanti et al., 2019). Langkah – langkah prosedur tersebut adalah berikut ini:
a. Niat dan muraqabah
Niat diartikan memunculkan keinginan atau dorongan hati sesuai
dengan kebutuhan dirinya yang dipanjatkan kepada Allah SWT. Niat
merupakan energi spiritual dan ruhul ibadah. Muraqabah memiliki arti
melihat, mengamati, memperhatikan dengan penuh perhatian. Jadi niat dan
muraqabah dengan mindfulness adalah memunculkan keinginan atau
dorongan hati dengan sadar penuh tanpa ada paksaan atau intervensi dari
orang lain untuk tujuan yang di inginkan oleh dirinya yang dipanjatkan
kepada Allah SWT dengan disertai keyakinan muraqabahtullah (keyakinan
senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT). Langkah ditahap ini, ada tiga hal
yang dilakukan, yaitu ;
1) Menenangkan diri dengan mencoba merasakan pernapasan dengan
kesadaran penuh sehingga terasa rileks.
2) Mulai memunculkan keinginan atau dorongan hati untuk tujuan yang
diinginkan dan dipanjatkan kepada Allah SWT
53
3) Mulai memunculkan keyakinan muraqabahtullah (keyakinan bahwa
Allah SWT sekarang sedang melihat dan mendengar apa yang kita
lakukan dan inginkan).
b. Muhasabah
Muhasabah merupakan langkah menganalisa masalah yang dialami,
dengan prinsip intropeksi diri bahwa masalah yang dialami datangnya dari
Allah dan hanya kepadanya terdapat penyelesaian.
1) Mengakui kekurangan atau kesalahan yang dimiliki seperti: mudah
marah, dendam, iri, dengki dan hasut atau gejala psikis seperti malas
tidak bergairah, tidak bisa fokus, cemas berlebihan dan lain
sebagainya.
2) Menerima dengan penuh penerimaan tanpa penghakiman bahwa
semua diatas disebabkan oleh dirinya sendiri.
3) Munculkan keinginan untuk memperbaikinya.
c. Taubat
Taubat adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah SWT dari
jalan, perbuatan, amalan yang Allah SWT larang dan menyesatkan. Taubat
dengan mindfulness adalah menyadari dengan penuh kesadaran dari setiap
kesalahan yang pernah dilakukan dengan optimis terhadap keberuntungan
yang Allah SWT janjikan. Ada beberapa syarat-syarat yang dapat individu
lakukan untuk menempuh taubat:
1) Munculkan rasa penyesalan dari kesalahan yang pernah dilakukan
2) Berhenti dari kesalahan atau dosa yang pernah dilakukan
3) Bertekat kuat tidak mengulangi kesalahan atau dosa yang pernah
dilakukan
4) Apabila kesalahan tersebut berhubungan dengan hak orang lain maka
munculkan keinginan untuk memenuhi haknya, minta maaf atau
memaafkan.
d. Rasakan respon qolbiyah dan fisik (Body Scan)
Body scan dilakukan dengan cara fokus merasakan reaksi qolbu (hati)
dan tubuh. Misalnya, merasa sesak/sakit, pusing, tubuh terasa panas,
tengkuk terasa berat dan lain-lain. Reaksi tersebut diterima dengan
sepenuhnya tanpa melakukan penolakan dengan tetap menjaga kesadaran
54
dengan merilekskan tubuh. Melakukan body scan dengan cara fokus
merasakan reaksi qolbu dan tubuh. Seperti jantung berebar-debar, terasa
panas didada atau seluruh tubuh, terasa berat ditengkuk, terasa gemetar dan
bisa juga terasa lain.
e. Doa
Memanjatkan doa kepada Allah SWT dengan menyertakan keyakinan
setiap masalah pasti Allah SWT sertakan pertolongannya. Langkah
selanjutnya adalah bertaubat kepada Allah SWT, memohon ampunan
dengan memanjatkan do’a dan menyertakan keyakinan setiap masalah pasti
Allah SWT akan menolong Memanjatkan permohonan pada Allah SWT
dengan khusuk/kesungguhan untuk memohon pertolongan terhadap
keluhan yang dirasakan.
f. Relaksasi
Relaksasi dapat dilakukan dengan beberapa cara: batuk dengan cara
menarik nafas dalam terlebih dahulu lalu dibatukkan, muntah dan menangis
g. Target sehat mandiri
Kemandirian yang harus di latih oleh pasien untuk mengatasi masalah yang
dialami pasien(Mediana. Dwidiyanti et al., 2018). Contohnya:
1) Kemandirian fisik yaitu kemampuan pasien mengatasi masalah fisik yaitu
minum obat nutrisi, tidur dan olahraga
2) Kemandirian psikologi yaitu kemampuan untuk mengontrol marah,
menghilangkan rasa takut, malu, sedih, gelisah dan pikiran negatif,
kemampuan pasien mengenal gejala stress
3) Kemampuan sosial melakukan aktifitas sosial baik keluarga, masyarakat
dan lingkungan kerja
4) Kemandirian spiritual melakukan aktifitas spiritual seperti berdoa shalat
lima waktu dan keyakinan terhadap Allah.
55
BAB V
MEKANISME KOPING
A. Pengertian
Mekanisme koping adalah upaya yang dilakukan individu untuk mengatasi stress
yang di alami (Stuart, 2012). Mekanisme koping merupakan perubahan dari suatu
kondisi ke lainnya sebagai cara untuk menghadapi situasi tak terduga (Lazarus &
Folkman, 1984). Koping adalah semua kegiatan atau aktivtias motorik dan kognitif yang
dilakukan oleh individu dalam mempertahankan kondisi fisik dan psikologisnya,
memulihkan fungsi tubuh yang terganggu (Lipowski, 1985). Mekanisme koping
merupakan suatu cara yang dilakukan oleh individu sebagai aktivitas motorik ataupun
kognitif dalam menyelesaiakan masalah, menyesuaikan diri terhadap perubahan yang
terjadi, respon terhadam situasi yang mengancam.
B. Jenis-jenis Koping
Ada dua penggolongan jenis koping yaitu (Lazarus & Folkman, 1984).
1. Emotional-Focused Coping
Koping ini memiliki tujuan agar individu mampu mengontrol emosi yang berlebih
pada situasi yang menyebabkan stres, baik dengan pendekatan kognitif
(pengetahuan) ataupun secara behavioral. Individu dapat menggunakan emotional-
focused coping ketika mempunyai persepsi jika stressor yang ada tidak mampu untuk
diselesaikan atau diatasi. Koping ini dibagi menjadi beberapa sub bagian yaitu:
a. Self Control. Self control adalah suatu cara dalam menyelesaiakan problem
dengan cara mengendalikan dri, menahan diri, mengatur perasaan, yang
dimaksudkan adalah individu harus teliti dan tepat dalam mengambil keputusan
dengan pertimbangan yang matang.
b. Seeking Social Support (For Emotional Reason), adalah cara yang dilakukan
oleh individu dalam mengatasi masalah yang sedang dihadapinya dengan cara
mencari dukungan sosial pada keluarga, teman atau lingkungan sekitar, bisa
berupa simpati, empati dan perhatian.
c. Positive Reinterpretation, adalah respon dari seorang individu dalam mengubah
dan mengembangkan kepribadiannya, kemampuan yang dimiliki atau mencoba
mengambil hikmah positif dari masalah yang dihadapi.
56
d. Acceptance, adalah berserah diri, individu dapat menerima dengan lapang dada
terhadap semua yang telah terjadi padanya, karena telah mengganggap bahwa
tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut
e. Denial (avoidance), merupakan suatu cara seseorang yang berusaha
menyanggah dan mengingkari serta melupakan masalah-masalah yang ada pada
dirinya.
2. Problem-Focused Coping,
Koping ini bertujuan untuk meminimalisir dampak dari situasi stres atau
memperluas dukungan dan usaha yang dapat membantu mengatasi stres. Individu
menggunakan Problem Focused Coping ketika mempunyai pemikiran bahwa
stressor yang ada dapat diubah dan diatasi. Beberapa aspek yang dapat digunakan
yaitu:
a. Distancing, adalah suatu bentuk koping yang banyak kita jumpai. Yaitu suatu
bentuk usaha untuk menghindar dari permasalahan dan lebih cenderung
menutupinya dengan pemikiran positif, serta menganggap enteng masalah
tersebut dan mengacuhkannya.
b. Planful Problem Solving atau perencanaan, individu membentuk suatu strategi
dan perencanaan menyelessaikan dan mengatasi stres, dengan bersikap hati-hati
dan waspada serta teliti dalam setiap langkah.
c. Positive Reapraisal, yaitu usaha untuk mencari makna positif dari permasalahan
dengan kemampuan diri, dan strategi ini terkadang melibatkan spiritual.
d. Self Control, adalah suatu bentuk tindakan dalam penyelesaian masalah dengan
cara mengontrol diri, mengatur perasaan, maksudnya selalu teliti dan tidak
tergesa-gesa dalam mengambil tindakan.
e. Escape, adalah bentuk usaha yang dapat menghilangkan stres dengan melarikan
diri dari masalah, dan beralih pada hal-hal lain baik yang berbentuk negative
maupun positif, seperti merokok, narkoba, minuman beralkohol, makan banyak,
berolahraga, jalan-jalan dan lainnya.
57
C. Sumber Koping.
Sumber koping merupakan segala sesuatu yang dimiliki individu bersifat fisik ataupun
non-fisik untuk membangun koping. Sumber koping menurut sebagai berikut (Maryam,
2017).
1. Kondisi kesehatan
Kesehatan sangat diperlukan agar dapat menghadapi atau menyelesaikan masalah
dengan baik supaya individu memiliki koping yangbaik pula
2. Kepribadian
Kepribadian merupakan bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan misalnya
bentukan diri dari keluarganya di masa kecil dan bawaan dari sejak dilahirkan
contohnya orang tua membiasakan anaknya untuk menyelesaikan pekerjaannya
sendiri.
3. Konsep diri
Konsep diri dari individu akan memantu menekan stressor yang dihadapi dan
meningkatkan koping
4. Dukungan sosial
Dukungan emosional yang diberikan keluarga kerabat dan lingkungan dari individu
yang sedang mengalami stres
5. Aset ekonomi
Aset berperan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan individu supaya mudah untuk
melakukan koping.
D. Defence Mechanisms
Setiap orang menggunakan mekanisme pertahanan dan membantu seseorang mengatasi
stres dalam tingkat ringan sampai dengan sedang. Ego oriented reaction dilakukan pada
tingkat tidak sadar (Thoits, 2011).
Mekanisme pertahanan (Cramer, 2015).
1. Psychotic defenses
a. Penyangkalan/denial (dari realitas eksternal)
Menolak masalah dengan mengatakan hal tersebut tidak terjadi pada dirinya.
b. Distorsi
Berfikir secara berlebihan dan tidak rasional mengenai suatu masalah yang
sedang dihadapi
58
c. Immature defenses
1) Agresi pasif
Tindakan permusuhan terhadap seseorang yang di ekpresikan secara tidak
langsung
2) Memberontak (acting out)
Mengutarakan perasaan bila keinginan terhambat
3) Regresi
Sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau bersikap seperti anak kecil.
4) Proyeksi
Menyalahkan orang lain atas kesulitannya sendiri atau melampiaskan
kesalahannya kepada orang lain
5) Fantasi
Tindakan berkhayal untuk memberikan pelarian dari kenyataan
6) Idealisasi
Memunculkan logika rasional yang bisa diterima dari pada alasan yang
sesungguhnya
d. Neurotic (intermediate) defenses
1) Intelektualisasi (disosialisasi)
Fokus pada hal-hal uang dipikirkan dari pada merasakan emosi
2) Isolasi
Individu berusaha menarik diri dari lingkungan atau tidak mau tahu dengan
masalah yang dihadapi.
3) Represi
Masa-masa yang tidak menyenangkan dari ingatannya dan hanya mengingat
waktu-waktu yang menyenangkan.
4) Penyusunan reaksi
Membentuk reaksi yang dianggap baik
5) Pemindahan (displacement)
Reaksi emosi terhadap seseorang kemudian diarahkan kepada seseorang lain
6) Somatisasi
Memiliki kecentrungan dan kesulitan dalam berkomunikasi
7) Pelepasan atau penebusan (undoing)
Tingkah laku untuk menutupi ketidakmampuan dengan menonjolkan sifat
yang baik, karena frustasi dalam suatu bidang maka dicari kepuasan secara
59
berlebihan dalam bidang lain. Kompensasi timbul karena adanya perasaan
kurang mampu.
8) Rasionalisasi
Menggunakan alasan yang dapat diterima oleh akal dan diterima oleh orang
lain untuk menutupi ketidakmampuan dirinya. Dengan rasionalisasi kita tidak
hanya dapat membenarkan apa yang kita lakukan, tetapi juga merasa sudah
selayaknya berbuat demikian secara adil.
e. Mature defenses
1) Suppression (penekanan)
Memaksa melupakan trauma dalam ingatan
2) Altruism
Memperhatikan kesejahtraan orang lain tanpa mempedulikan diri sendiri
3) Humor
Menertawakan peristiwa atau permasalah yang dialami
4) Sublimasi
Mengekspresikan atau menyalurkan perasaan, bakat atau kemampuan dengan
sikap positif.
E. Fungsi Koping
1. Fungsi Koping yang berpusat pada emosi (emotion-focused coping) berguna untuk
mngatur respon emosional terhadap masalah yang tengah dihadapi. Koping sebagian
besar tersusun dari proses-proses kognitif yang ditujukan dalam pengukuran tekanan
emosional dan strategi yang termasuk di dalamnya adalah:
a. Penghindaran atau peminiman jarak
b. Perhatian yang lebih selektif
c. Memberikan penilaian yang positif pada kejadian yang negatif
2. Sedangkan Koping yang berpusat pada masalah (problem-focused coping) digunakan
untuk mengatur dan mengubah penyebab stres. Strategi yang termasuk di dalamnya
adalah:
a. Mengidentifikasikan masalah
b. Mengumpulkan solusi dari pemecahan masalah
c. Mempertimbangkan keuntungan dan nilai-nilai yang terkandung dalam soluasi
alternatif tersebut
d. Memilih alternatif solusi terbaik
60
e. Mengambil keputusan yang tepat dan tindakan yang benar (Lazarus & Folkman,
1984).
61
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan
mencapai tujuan. Perilaku adapti jika sesuai denhan keriteria sebagai berikut:
a. Mampu mengontrol emosi pada dirinya dengan cara berbicara pada orang lain.
b. Melakukan aktifitas yang kontruktif dan bermanfaat
c. Memiliki persepsi yang positif dan luas.
d. Dapat menerima support dari orang lain.
e. Mampu menyelesaikan masalah dengan cara yang efektif.
2. Mekanisme Koping Maladaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Jadi karakteristik
mekanisme koping maladaptif adalah sebagai berikut:
a. Perilaku cenderung merusak dan mengancam atau menciderai diri sendiri
maupun orang lain.
b. Melakukan aktifitas yang kurang sehat seperti konsumsi obat-obatan dan
minum minuman alkohol.
c. Tidak mampu berfikir apa-apa atudisorientasi.
d. Perilaku cenderung menghindar atau menarik diri.
e. Tidak mampu menyelesaikan masalah.
62
BAB VI
DIAGNOSA KEPERAWATAN
63
memelihara kebersihan dan kesehatan individu demi kesejahteraan fisik
dan psikisnya (Poter Perry, 2010)
2. Penyebab
a) Faktor Predisposisi
1) Perkembangan
Keluarga yang terlalu melindungi dan memanjakan klien,
mengakibatkan perkembangan insiatif klien terganggu.
2) Biologis
Penyakit kronis dapat mengakibatkankan klien tidak mampu untuk
melakukan perawatan diri.
3) Kemampuan realitas turun
Klien gangguan jiwa yang mempunyai kemampuan realitas kurang
akan berakibat klien tidak peduli pada diri dan lingkungan,
termasuk perawatan dirinya.
4) Sosial
Kurang adanya dukungan dan latihan pada kemampuan perawatan
diri lingkungannya. Kondisi lingkungan mempengaruhi klien
dalam berlatih meningkatkan kemampuan dalam perawatan diri.
b) Faktor Presipitasi
Menurunnya motivasi, kerusakan pada kognisi atau
perseptual, cemas, lelah/ lemah individu, yang berakibat kurang
mampu dalam perawatan diri.(Tarwoto dan Wartonah, 2010)
3. Tanda dan Gejala
a) Mayor
Subjektif: Objektif:
1) Klien menolak saat 1) Kulit, rambut, gigi, kuku
perawatan diri: kebersihan kotor
diri, berpakaian, makan 2) Pakaian kotor, tidak rapi
dan minum dan eliminasi dan tidak tepat
2) Klien mengatakan tidak 3) Makan dan minum
ingin melakukan berceceran
64
perawatan diri: kebersihan 4) Eliminasi (Buang Air
diri, berpakaian, makan Besar/ BAB dan Buang Air
dan minum dan eliminasi Kecil/ BAK) sembarangan
5) Lingkungan tempat tinggal
yang kotor dan tidak rapi
b) Minor
Subjektif: Objektif:
_ 1) Klien tidak mampu
menyediakan perlengkapan
mandi
2) Klien tidak mampu melepas
dan memakai pakaian
3) Klien tidak mampu
mengambil makan/ minum
sendiri
4) Klien tidak mampu
menggunakan toilet
(Budi anna, 2020)
4. Rentang Respon
5. Pohon Masalah
65
Effect Gangguan Pemeliharaan
Kesehatan
7. Diagnosa Keperawatan
66
Defisit perawatan diri
8. Rencana Asuhan Keperawatan
a) Tujuan Asuhan Keperawatan
1) Kognitif, klien mampu:
− Menjelaskan tentang perawatan diri
− Mengidentifikasi masalah perawatan diri yang dialaminya
− Mengetahui bagaimana cara perawatan diri: kebersihan diri,
berpakaian, makan dan minum, eliminasi dan lingkungan
2) Psikomotor, klien mampu:
− Melakukan kebersihan pada diri: mandi, keramas, sikat gigi,
berpakaian, berdandan
− Memenuhi kebutuhan makan dan minumnya
− Melakukan eliminasi BAB dan BAK
− Menciptakan lingkungan rumah bersih dan aman
3) Afektif, klien mampu:
− Merasa nyaman pada perawatan diri
− Merasakan manfaat dari perawatan diri
− Mempertahankan perawatan dirinya
b) Tindakan Keperawatan
1) Tindakan pada klien
Tindakan Keperawatan Ners
(a) Melatih kebersihan diri: mandi, keramas, sikat gigi,
berpakaian, berhias dan gunting kuku
(1) Mandi
− Diskusikan manfaat mandi
− Diskusikan alat-alat yang diperlukan untuk mandi
− Diskusikan jadwal mandi
− Diskusikan langkah-langkah mandi
− Latih mandi sesuai dengan langkah yang telah dijelaskan.
Bantu jika klien belum dapat melakukan
67
− Jadwalkan mandi dengan teratur
− Berikan pujian pada klien
(2) Berpakaian
− Diskusikan manfaat pakaian yang bersih dan rapi
− Diskusikan macam-macam pakaian: pakaian tidur,
pakaian di rumah, dan pakaian bepergian
− Latih memilih pakaian
− Latih berpakaian, bantu jika klien belum dapat melakukan
secara mandiri
− Jadwalkan ganti pakaian secara teratur
− Berikan pujian pada klien
(3) Keramas
− Diskusikan manfaat keramas
− Diskusikan alat-alat untuk keramas
− Latih klien keramas. Bantu jika klien belum dapat
melakukan secara mandiri
− Jadwalkan keramas dua hari sekali
− Berikan pujian pada klien
(4) Sikat gigi
− Diskusikan manfaat sikat gigi
− Diskusikan alat yang diperlukan untuk sikat gigi
− Latih klien sikat gigi. Bantu jika klien belum dapat
melakukannya secara mandiri
− Jadwalkan sikat gigi 2 kali sehari
− Berikan pujian pada klien
(5) Berdandan
Berdandan perempuan:
− Diskusikan manfaat berdandan
− Diskusikan alat untuk berdandan
− Latih menyisir rambut dengan rapi
68
− Latih pakai bedak dengan rapi
− Latih pakai lipstik dan pensil alis
− Jadwalkan berdandan setiap selesai mandi
− Beri pujian pada klien
Berdandan laki-laki:
− Diskusikan manfaat berdandan
− Diskusikan alat untuk berdandan
− Latih menyisir rambut
− Latih cukur rambut
− Jadwalkan cukur 1 kali per minggu
− Beri pujian pada klien
(6) Gunting kuku
− Diskusikan manfaat gunting kuku
− Diskusikan alat untuk gunting kuku
− Latih menggunting kuku
− Jadwalkan gunting kuku 1 kali per minggu
− Beri pujian pada klien
(b) Melatih makan dan minum
(1) Diskusikan manfaat makan dan minum yang baik dan
teratur
(2) Diskusikan alat, tempat makan dan minum
(3) Diskusikan kebutuhan makan dan minum setiap hari
(4) Latih cara makan dan minum yang baik: cuci tangan,
berdo’a, makan di meja makan
(c) Melatih BAB dan BAK
(1) Diskusikan manfaat BAB dan BAK yang baik
(2) Diskusikan tempat, cara menggunakan, cara
membersihkan tempat dan cara membersihkan diri
(3) Latih BAB dan BAK yang baik
− BAB dan BAK di WC
69
− Menggunakan WC dengan tepat
− Membersihkan diri setelah BAB dan BAK
− Membersihkan tempat BAB dan BAK
− Cuci tangan yang benar (6 langkah cuci tangan pakai
sabun)
− Berikan pujian pada klien
(d) Melatih kebersihan dan kerapihan lingkungan di rumah: klien
dilatih membersihkan dan merapikan lingkungan rumah, yaitu
kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dapur, kamar mandi
dan halaman
(1) Melatih membersihkan dan merapikan kamar tidur
− Diskusikan manfaat kebersihan dan kerapian kamar tidur
− Diskusikan kegiatan dalam membersihkan dan merapikan
kamar tidur: tempat tidur, lemari pakaian dan lantai
− Diskusikan alat yang diperlukan untuk tiap kegiatan
− Latih membersihkan dan merapikan tempat tidur:
merapikan tempat tidur, mengganti sprei dan sarung
bantal, menjemur kasur
− Latihan membersihkan dan merapikan lemari pakaian:
melipat pakaian dan menata pakaian
− Latihan menyapu dan mengepel lantai kamar tidur
− Jadwalkan dan beri pujian
(2) Melatih membersihkan dan merapikan ruang tamu
− Diskusikan manfaat kebersihan dan kerapian ruang tamu
− Diskusikan kegiatan membersihkan dan merapikan ruang
tamu: meja/ kursi/ kaca, menyapu dan mengepel lantai
− Diskusikan alat yang diperlukan pada tiap kegiatan
− Latih klien membersihkan dan merapikan meja, kursi dan
kaca
− Latihan menyapu dan mengepel lantai
70
− Jadwalkan dan beri pujian
(3) Melatih membersihkan dan merapikan ruang makan
− Diskusikan manfaat kebersihan dan kerapian ruang makan
− Diskusikan kegiatan membersihkan dan merapikan ruang
makan: menata meja makan, menyajikan makanan, makan
dengan baik, mencuci alat-alat makan, merapikan meja
makan, menyapu dan mengepel ruang makan
− Diskusikan alat-alat yang diperlukan untuk tiap kegiatan
− Latih membersihkan dan menata meja makan:
membersihkan meja makan, menata alat makan,
menyajikan makanan dan minuman
− Latihan makan yang baik: cuci tangan, berdo’a, makan
dengan rapi, membawa alat makan dan minum ke tempat
cuci piring, merapikan meja makan kembali
− Latihan mencuci piring, membuang sisa makanan ke
tempat yang tersedia, mencuci alat-alat makan dan
minum, menyimpannya pada tempat dengan rapi
− Latihan menyapu dan mengepel ruang makan: siapkan
alat-alat kebersihan, menyapu lantai dengan baik,
membuang sampah dan kotoran di tempat yang tersedia,
mengepel lantai dengan baik
− Jadwalkan dan beri pujian pada klien
(4) Melatih kebersihan dan merapikan dapur
− Diskusikan manfaat kebersihan dan kerapian dapur
− Diskusikan kegiatan membersihkan dan merapikan dapur:
kompor dan mejanya, sampah dan memasak
− Latih membersihkan kompor dan mejanya:
membersihkan kompor dan mejanya, memastikan kompor
mati saat ditinggal, memastikan slang tidak bocor
71
− Latihan membuang sampah: menyediakan minimal dua
tempat sampah (sampah basah dan kering), membuang
sampah pada tempatnya, membuang sampah yang telah
terkumpul ke pembuangan sampah umum
− Latihan memasak: minimal masak air. Latih cara
menghidupkan kompor, meletakkan ceret air, mengangkat
saat telah mendidih dan mematikan kompor
(5) Melatih kebersihan dan kerapian kamar mandi dan WC
− Diskusikan gunanya kebersihan dan kerapian kamar
mandi
− Diskusikan kegiatan membersihkan dan merapikan kamar
mandi dan WC: tempat air (jika ada), WC, lantai dan
dinding, perlengkapan mandi dan buang air
− Latih cara membersihkan tempat air, WC, lantai dan
dinding
− Latihan cara membersihkan dan merapikan perlengkapan
mandi dan buang air: tempat sabun, pasta gigi, sikat gigi
dan lain-lain
(6) Melatih kebersihan dan kerapian halaman
− Diskusikan manfaat kebersihan dan kerapian halaman
− Diskusikan kegiatan membersihkan dan merapikan
halaman: menyapu, membuang sampah, menanam bunga
dan sayuran
− Diskusikan alat yang diperlukan untuk tiap kegiatan
− Latih menyapu dan membersihkan halaman
− Latihan membuang sampah dan menghindari air
tergenang
− Latihan menanam bunga dan tanaman
− Jadwalkan dan beri pujian pada klien
Tindakan Keperawatan Spesialis: Terapi perilaku
72
(a) Sesi 1 : Mengidentifikasi peristiwa yang
menimbulkan perilaku negatif
(b) Sesi 2 : Latih mengubah perilaku negatif menjadi
positif
(c) Sesi 3 : Memanfaatkan sistem pendukung yang ada
(d) Sesi 4 : Mengevaluasi manfaat latihan mengubah
perilaku negatif
2) Tindakan pada keluarga
Tindakan Keperawatan Ners
(a) Kaji masalah klien, yang dirasakan keluarga dalam
merawat klien
(b) Menjelaskan proses terjadinya defisit perawatan diri yang
dialami klien
(c) Mendiskusikan cara merawat defisit perawatan diri dan
memutuskan cara merawat yang sesuai dengan kondisi
klien
(e) Melatih keluarga untuk merawat defisit perawatan diri seperti
yang telah dilatih perawat pada klien
(1) Menyediakan alat yang diperlukan dalam menjaga
kebersihan diri
(2) Membimbing klien melakukan perawatan diri: kebersihan
diri, makan dan minum, BAB dan BAK, kebersihan dan
kerapian rumah dan lingkungan
(3) Membuat jadwal harian
(4) Memberi pujian atas keberhasilan klien
(f) Melibatkan seluruh anggota keluarga menciptakan suasana
keluarga yang mendukung: mengingatkan klien, melakukan
kegiatan bersama-sama, memberi motivasi dan pujian
(g) Menjelaskan tanda dan gejala defisit perawatan diri yang
memerlukan rujukan segera serta melakukan follow up ke
pelayanan kesehatan secara teratur.
73
Tindakan Keperawatan Spesialis
(a) Sesi 1 : Mengidentifikasi masalah kesehatan yang dialami klien
dan masalah keluarga (care giver) dalam merawat klien
(b) Sesi 2 : Merawat masalah kesehatan klien
(c) Sesi 3 : Manajemen stres untuk keluarga
(d) Sesi 4 : Manajemen beban untuk keluarga
(e) Sesi 5 : Memanfaatkan sistem pendukung yang ada
(f) Sesi 6 : Mengevaluasi manfaat psikoedukasi keluarga
3) Tindakan pada kelompok klien
Tindakan Keperawatan Ners: TAK Defisit Perawatan Diri
(a) Sesi 1 : Mampu mengenal defisit perawatan diri
(b) Sesi 2 : Mampu melakukan perawatan diri dan kebersihan diri
(mandi, keramas, sikat gigi, potong kuku, berpakaian, berdandan)
(c) Sesi 3 : Mampu melakukan perawatan diri (makan dan minum)
(d) Sesi 4 : Mampu melakukan BAB dan BAK dengan cara yang baik
Tindakan Keperawatan Spesialis: Terapi Suportif
(a) Sesi 1 : Identifikasi masalah dan sumber pendukung di dalam dan
di luar keluarga
(b) Sesi 2 : Latihan menggunakan sistem pendukung yang ada dalam
keluarga
(c) Sesi 3 : Latihan menggunakan sistem pendukung luar keluarga
(d) Sesi 4 : Evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber
pendukung
B. Waham
1. Pengertian
Waham merupakan keyakinan yang salah, didasarkan pada
kesimpulan yang salah tentang realita eksternal dan dipertahankan dengan
kuat (Keliat, 2020)
2. Jenis waham, antara lain:
74
a) Waham kebesaran
Keyakinan secara berlebihan bahwa dirinya memiliki kekuatan
khusus atau kelebihan yang berbeda dengan orang lain dan diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
b) Waham agama
Keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan dan diucapkan
berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
c) Waham curiga
Keyakinan seseorang atau sekelompok orang yang berusaha
merugikan atau menciderai dirinya, diucapkan berulang-ulang tetapi
tidak sesuai dengan kenyataan.
d) Waham somatik
Keyakinan seseorang bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu
atau terserang penyakit, diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan.
e) Waham nihilistik
Keyakinan seseorang bahwa dirinya sudah meninggal dunia,
diucapkan berulang-ulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
(Direja, 2011)
3. Penyebab
a) Faktor Predisposisi
1) Faktor Perkembangan
Hambatan pada perkembangan akan mengganggu hubungan
interpersonal seseorang. Hal ini dapat meningkatkan stress dan
ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien menekan
perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi
tidak efektif.
2) Faktor Sosial Budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian akan berakibat
timbulnya waham.
3) Faktor Psikologis
75
Hubungan tidak harmonis, peran ganda/bertentangan,
menimbulkan ansietas dan akan berakhir dengan pengingkaran
terhadap kenyataan.
4) Faktor Biologis
Waham diyakini terjadi akibat dari atrofi otak, pembesaran
ventrikel di otak, atau perubahan pada sel kortikal dan limbik.
5) Faktor Genetik
b) Faktor Presipitasi
1) Faktor Sosial Budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang
berarti atau diasingkan dari kelompok.
2) Faktor Biokimia
Dopamine, norepineprin dan zat halusinogen lainnya diduga dapat
menjadi penyebab waham pada seseorang.
3) Faktor Psikologis
Kecemasan dalam memandang dan terbatasnya kemampuan
mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang menyenangkan.
(Direja, 2011)
4. Tanda dan Gejala
a) Mayor
Subjektif: Objektif:
1) Mengatakan bahwa dirinya 1) Mudah tersinggung
adalah artis, nabi, presiden, 2) Marah
wali dan lainnya yang tidak 3) Waspada
sesuai dengan kenyataan 4) Menarik diri
2) Curiga dan waspada berlebih 5) Inkoheren
pada orang tertentu 6) Berperilaku seperti isi
3) Merasa diintai dan akan wahamnya
membahayakan dirinya
76
4) Merasa yakin menderita
penyakit fisik
b) Minor
Subjektif: Objektif:
1) Tidak mampu mengambil 1) Bingung
keputusan 2) Perubahan pola tidur
2) Merasa khawatir sampai 3) Kehilangan selera makan
panic
(Budi anna, 2020)
5. Rentang Respon
6. Pohon Masalah
Causa 77
Harga Diri Rendah
6.5 Pohon Masalah Waham
78
(b) Merasa nyaman dan tenang
b. Tindakan Keperawatan
1) Tindakan pada klien
Tindakan Keperawatan Ners
(a) Sikap perawat: kalem, lembut, netral, jujur, hindari
pertentangan, bicara jelas dan simpel
(b) Tidak mendukung dan tidak membantah waham klien
(c) Yakinkan klien berada pada lingkungan yang aman
(d) Bantu klien untuk orientasi realitas (orang, tempat dan
waktu)
(e) Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi
(f) Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan yang realistis
(g) Diskusikan kemampuan/ aspek positif yang dimiliki klien
(h) Latih klien dalam melakukan kemampuan/ aspek positif yang
dimiliki
c. Tindakan Keperawatan Spesialis: Terapi Kognitif Perilaku
(a) Sesi 1 : Mengidentifikasi pengalaman yang tidak
menyenangkan dan menimbulkan pikiran otomatis negatif dan
perilaku negatif
(b) Sesi 2 : Melawan perilaku negatif menjadi positif
(c) Sesi 3 : Mengubah perilaku negatif menjadi positif
(d) Sesi 4 : Memanfaatkan sistem pendukung
(e) Sesi 5 : Mengevaluasi manfaat melawan pikiran
negatif dan mengubah perilaku negatif
d. Tindakan pada keluarga
Tindakan Keperawatan Ners
(a) Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
(b) Menjelaskan pengertian, penyebab, tanda dan gejala, serta proses
terjadinya waham yang dialami klien
(c) Mendiskusikan cara merawat waham dan memutuskan cara
merawat yang sesuai dengan kondisi klien
79
(d) Melatih keluarga cara merawat waham
(1) Tidak mendukung dan tidak membantah waham klien
(bersikap netral)
(2) Membimbing klien melakukan latihan cara mengendalikan
waham sesuai dengan yang dilatih perawat kepada klien
(3) Memberi pujian atas keberhasilan klien
(e) Melibatkan seluruh anggota keluarga dalam membimbing
orientasi realita (orang, tempat dan waktu), memenuhi kebutuhan
klien yang tidak terpenuhi, memotivasi melakukan kemampuan/
aspek positif yang dimiliki. Memberi pujian atas keberhasilannya
(f) Menjelaskan tanda dan gejala yang memerlukan rujukan serta
melakukan follow up ke pelayanan kesehatan secara teratur
e. Tindakan Keperawatan Spesialis: Psikoedukasi Keluarga
(a) Sesi 1 : Mengidentifikasi masalah kesehatan yang dihadapi
klien dan masalah kesehatan keluarga dalam merawat klien
(b) Sesi 2 : Merawat masalah kesehatan klien
(c) Sesi 3 : Manajemen stres untuk keluarga
(d) Sesi 4 : Manajemen beban untuk keluarga
(e) Sesi 5 : Memanfaatkan sistem pendukung
(f) Sesi 6 : Mengevaluasi manfaat psikoedukasi keluarga
f. Tindakan Keperawatan Ners: TAK Orientasi Realita
(a) Sesi 1 : Pengenalan orang
(b) Sesi 2 : Pengenalan tempat
(c) Sesi 3 : Pengenalan waktu
g. Tindakan Keperawatan Spesialis: Terapi Suportif
(a) Sesi 1 : Identifikasi masalah dan sumber pendukung di
dalam dan di luar keluarga
(b) Sesi 2 : Latihan menggunakan sistem pendukung dalam
keluarga
(c) Sesi 3 : Latihan menggunakan sistem pendukung luar
keluarga
80
(d) Sesi 4 : Evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber
pendukung
81
sudah aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri, minum racun,
memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat tinggi.
(Damayanti, 2012)
2. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
1) Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri memiliki riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan
jiwa yang dapat membuat individu beresiko untuk melakukan
tindakan bunuh diri yaitu gangguan afektif, penyalahgunaan zat
dan skizofrenia.
2) Sifat Kepribadian
Tiga tipe keribadian yang erat hubungannya dengan besarnya
resiko bunuh diri adalah antipasti, impulsif dan depresi.
3) Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, antara lain:
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan atau
bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial sangat penting
dalam menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih
dahulu mengetahui penyebab masalah, respon seseorang dalam
menghadapi masalah tertentu, dan lain-lain.
4) Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
5) Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan resiko bunuh diri
terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak,
seperti serotonin, adrenalin dan dopamine. Peningkatan zat
82
tersebut dapat dilihat melalui rekaman gelombang otak Electro
Encephalo Graph (EEG).
b. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stres berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup
yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan
bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya
labil, hal tersebut menjadi sangat rentan (Damayanti, 2012).
3. Tanda dan Gejala
a) Mayor
Subjektif: Objektif:
1) Mengungkapkan kata-kata 1) Murung, tak bergairah
seperti “Tolong jaga anak- 2) Banyak diam
anak karena saya akan pergi 3) Menyiapkan alat untuk
jauh!” atau “Segala sesuatu melakukan bunuh diri
akan lebih baik tanpa saya” 4) Membenturkan kepala
2) Mengungkapkan kata-kata 5) Menjatuhkan kepala dari
“Saya mau mati”, “Jangan tempat yang tinggi
tolong saya”, “Biarkan saya”, 6) Melakukan percobaan bunuh
“Saya tidak mau ditolong” diri secara aktif dengan
3) Memberikan ancaman akan berusaha memotong nadi,
melakukan bunuh diri menggantung diri, meminum
4) Mengungkapkan ingin mati racun
5) Mengungkapkan rencana
ingin mengakhiri hidup
b) Minor
Subjektif: Objektif:
1) Mengungkapkan isyarat untuk 1) Kontak mata kurang
melakukan bunuh diri, tetapi 2) Tidur kurang
tidak disertai dengan ancaman 3) Mondar-mandir
83
melakukan bunuh diri ataupun 4) Banyak melamun
percobaan bunuh diri 5) Terlihat sedih
2) Mengungkapkan perasaan 6) Menangis terus-menerus
bersalah, sedih, marah, putus
asa atau tidak berdaya
3) Mengungkapkan hal-hal
negatif tentang diri sendiri
yang menggambarkan harga
diri rendah
(Budi anna, 2020)
4. Rentang Respon
5. Pohon Masalah
84
− Menyampaikan keinginan untuk mati
7. Menyampaikan rasa bersalah dan keputusasaan
− Ada riwayat berulang percobaan bunuh diri sebelumnya dari keluarga
− Berbicara tentang kematian, menanyakan tentang dosis obat yang
mematikan
− Menyampaikan adanya konflik interpersonal
− Menyampaikan telah menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil
Objektif :
− Impulsif
− Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat
patuh)
− Ada riwayat penyakit mental (depresi, psikosis dan penyalahgunaan
alkohol)
− Ada Riwayat penyakit fisik (penyakit kronis atau penyakit terminal)
− Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan atau kegagalan dalam
karir)
− Status perkawinan yang tidak harmonis.
(Direja, 2011)
8. Diagnosa Keperawatan
Resiko Bunuh Diri
9. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Tujuan Asuhan Keperawatan
1) Kognitif, klien mampu:
(a) Menyebutkan penyebab resiko bunuh diri
(b) Menyebutkan tanda dan gejala resiko bunuh diri
(c) Menyebutkan akibat yang ditimbulkan bunuh diri
(d) Menetapkan harapan dan masa depan
(e) Menyebutkan aspek positif dan kemampuan diri sendiri, keluarga
dan kelompok
85
2) Psikomotor, klien mampu:
(a) Mengendalikan lingkungan yang aman
(b) Melatih diri untuk berfikir positif dan afirmasi positif
(c) Menggunakan kelompok untuk bercakap-cakap dalam
menyelesaikan masalah
(d) Melakukan aspek positif dalam mencapai harapan dan masa
depan
3) Afektif, klien mampu:
(a) Merasakan manfaat diri sendiri
(b) Membedakan perasaan sebelum dan sesudah latihan
(c) Merasa hidup lebih optimis
b. Tindakan Keperawatan
1) Tindakan Pada Klien
Tindakan Keperawatan Ners
(a) Mengamankan lingkungan dari resiko bunuh diri (lingkungan
aman)
(b) Membangun harapan dan masa depan
(1) Diskusikan tujuan dari kehidupan
(2) Diskusikan dalam membangun harapan terkait diri sendiri,
orang yang berarti dalam kehidupan
(3) Diskusikan cara dan tekad dalam mencapai harapan dan masa
depan
(4) Latih untuk mencapai harapan dan masa depan
(c) Latih cara mengendalikan dorongan bunuh diri
(1) Diskusikan dan buat daftar aspek positif diri dan lakukan
afirmasi positif
(2) Diskusikan dan buat daftar aspek positif dari orang yang
berarti dalam hidup dan lakukan afirmasi positif
(3) Diskusikan dan buat daftar aspek positif dari lingkungan dan
lakukan afirmasi positif
86
(4) Latih semua aspek positif yang dimiliki: dari diri sendiri,
orang yang berarti dan
(5) Latih mengevaluasi perasaan dan pikiran atas keberhasilan
latihan
(d) Berikan motivasi untuk membangun harapan dan mengendalikan
dorongan bunuh diri
(e) Minta klien menghubungi care giver (keluarga) dan tenaga
kesehatan jika tidak dapat mengendalikan dorongan bunuh diri
(f) Berikan pengawasan ketat dan terkendali jika klien tidak dapat
mengendalikan dorongan bunuh diri (perawatan intensif)
Tindakan Keperawatan Spesialis
(a) Terapi Kognitif
(1) Sesi 1 : Mengidentifikasi pengalaman yang tidak
menyenangkan dan menimbulkan pikiran otomatis negatif
(2) Sesi 2 : Melawan pikiran otomatis negatif
(3) Sesi 3 : Memanfaatkan sistem pendukung
(4) Sesi 4 : Mengevaluasi manfaat melawan pikiran negatif
(b) Terapi Kognitif Perilaku
(1) Sesi 1 : Mengidentifikasi pengalaman yang tidak
menyenangkan dan menimbulkan pikiran otomatis negatif
(2) Sesi 2 : Melawan pikiran otomatis negatif
(3) Sesi 3 : Mengubah perilaku negatif
(4) Sesi 4 : Memanfaatkan sistem pendukung
(5) Sesi 5 : Mengevaluasi manfaat melawan pikiran negatif dan
mengubah perilaku negatif
2) Tindakan Pada Keluarga
Tindakan Keperawatan Ners
(a) Kaji masalah klien yang dirasakan keluarga dalam merawat klien
(b) Menjelaskan proses terjadinya resiko bunuh diri pada klien
(c) Mendiskusikan cara merawat resiko bunuh diri dan memutuskan
cara merawat sesuai dengan kondisi klien
87
(d) Melatih keluarga cara merawat resiko bunuh diri
(1) Menyediakan lingkungan yang aman dari resiko bunuh diri
antara lain menjauhkan alat-alat yang berbahaya yang dapat
melukai diri
(2) Memberi pujian atas semua aspek positif klien, hindari
menyampaikan aspek negatif atau kekurangan
(3) Berdiskusi tentang harapan dan masa depan
(4) Memotivasi dan membimbing klien melakukan kegiatan
sesuai dengan asuhan yang telah diberikan perawat
(5) Mendampingi klien sampai melakukan kegiatan positif
(e) Melibatkan seluruh anggota keluarga menciptakan suasana positif:
saling memuji, mendukung dan peduli
(f) Menjelaskan tanda dan gejala resiko bunuh diri (tidak dapat
mengendalikan dorongan bunuh diri) yang memerlukan rujukan
segera serta melakukan follow up ke pelayanan kesehatan secara
teratur
Tindakan Keperawatan Spesialis
(a) Sesi 1 : Mengidentifikasi masalah kesehatan yang dialami
klien dan masalah keluarga dalam merawat klien
(b) Sesi 2 : Merawat masalah kesehatan klien
(c) Sesi 3 : Melatih manajemen stres untuk keluarga
(d) Sesi 4 : Melatih manajemen beban untuk keluarga
(e) Sesi 5 : Memanfaatkan sistem pendukung
(f) Sesi 6 : Mengevaluasi manfaat psikoedukasi keluarga
3) Tindakan Pada Kelompok
Tindakan Keperawatan Ners
(a) Terapi aktivitas kelompok
(b) Kelompok swabantu (self-help group)
Tindakan Keperawatan Spesialis
(a) Terapi suportif
88
D. Halusinasi
1. Pengertian Halusinasi
Persepsi didefinisikan sebagai suatu proses diterimanya rangsang
sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh penginderaan atau
sensasi: proses penerimaan rangsang (Stuart, 2007).
Halusinasi adalah penyerapan tanpa adanya rangsang apapun pada
panca indra sesorang pasien yang terjadi dalam keadaan sadar atau bangun,
dasarnya mungkin organik, psikotik ataupun histerik. Halusinasi
merupakan gangguan atau perubahan persepsi dimana klien
mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penerapan
panca indra tanpa ada rangsangan dari luar. Suatu penghayatan yang
dialami suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimulus eksteren:
persepsi palsu (Maramis, 2005).
2. Jenis-Jenis Halusinasi
Jenis-jenis halusinasi menurut stuart dan laria (2005)
a. Halusinasi pendengaran atau auditori
Halusinasi yang seolah olah mendengar suara,palingsering suara
orang,suara dapat berkisar dari suara yang sederhana sampai suara
orang berbicara mengenai klien.klien mendengar orang sedang
membicaraa untuk melakukan sesuatu dan kadan melakukan hal
berbahaya.
b. Halusinasi gambar geometris,al
Halusinasi yang merupakan stimuls penglihatan dalam bentuk
pancaran cahaya,gambar geometris,gambar kartun atau panorama
yang luar dan kompleks,penglihatan berupa sesuatu yang
menyenangkan.
c. Halusinasi penciuman
Halusinasi yang seolah olah mencium bau busuk ,amis atau bau yang
menjijikan seperti darah urin fases
89
d. Halusinasi pengecap
Halusinasi yang seolah olah mersakan sesuatu yang busuk,amis dan
menjijikan seperti darah urin fases.
e. Halusinasi perabaan atau taktil
Halusinasi yang seolah olah mengalami rasa sakit atau tidak enak
tampak stimulus yang terlihat merasakan sensasi listrik datan dari
tanah,benda mati /orang lain.
3. Fase Fase Halusinasi
Fase fase halusinasi menurut(stuart & laria 2005 )
a. fase pertama /comforting/menyenngka
Pada fase ini klien mengalami kecemasan, stress, perasaan gelisah,
kesepian. Klien mungkin melamun atau memfokukan pikiran pada hal
yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan dan stress.
Cara ini menolong untuk sementara. Klien masih mampu mengotrol
kesadarnnya dan mengenal pikirannya, namun intensitas persepsi
meningkat.
Perilaku klien: tersenyum atau tertawa yang tidak sesuai,
menggerakkan bibir tanpa bersuara, pergerakan mata cepat, respon
verbal yang lambat jika sedang asyik dengan halusinasinya dan suka
menyendiri.
b. Fase Kedua / comdemming
Kecemasan meningkat dan berhubungan dengan pengalaman internal
dan eksternal, klien berada pada tingkat “listening” pada halusinasi.
Pemikiran internal menjadi menonjol, gambaran suara dan sensasi
halusinasi dapat berupa bisikan yang tidak jelas klien takut apabila
orang lain mendengar dan klien merasa tak mampu mengontrolnya.
Klien membuat jarak antara dirinya dan halusinasi dengan
memproyeksikan seolah-olah halusinasi datang dari orang lain.
Perilaku klien: meningkatnya tanda-tanda sistem saraf otonom seperti
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Klien asyik dengan
halusinasinya dan tidak bisa membedakan dengan realitas.
90
c. Fase Ketiga / controlling
Halusinasi lebih menonjol, menguasai dan mengontrol klien menjadi
terbiasa dan tak berdaya pada halusinasinya. Termasuk dalam
gangguan psikotik.
Karakteristik: bisikan, suara, isi halusinasi semakin menonjol,
menguasai dan mengontrol klien. Klien menjadi terbiasa dan tidak
berdaya terhadap halusinasinya.
Perilaku klien: kemauan dikendalikan halusinasi, rentang perhatian
hanya beberapa menit atau detik. Tanda-tanda fisik berupa klien
berkeringat, tremor dan tidak mampu mematuhi perintah.
d. Fase Keempat / conquering/ panik
Klien merasa terpaku dan tak berdaya melepaskan diri dari kontrol
halusinasinya. Halusinasi yang sebelumnya menyenangkan berubah
menjadi mengancam, memerintah dan memarahi klien tidak dapat
berhubungan dengan orang lain karena terlalu sibuk dengan
halusinasinya klien berada dalam dunia yang menakutkan dalam
waktu singkat, beberapa jam atau selamanya. Proses ini menjadi
kronik jika tidak dilakukan intervensi.
Perilaku klien : perilaku teror akibat panik, potensi bunuh diri,
perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonik, tidak mampu
merespon terhadap perintah kompleks dan tidak mampu berespon
lebih dari satu orang.
4. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2007), faktor penyebab terjadinya halusinasi adalah:
1) Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan
dengan respon neurobiologis yang maladaptif Psikologis
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi
respon dan kondisi psikologis klien. Salah satu sikap atau
keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas
91
adalah penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup
klien.
2) Sosial Budaya
Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stress.
b. Faktor Presipitasi
Menurut Stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan
halusinasi adalah:
1) Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang
mengatur proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme
pintu masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan
untuk secara selektif menanggapi stimulus yang diterima oleh
otak untuk diinterpretasikan.
2) Stress lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress yang berinteraksi terhadap
stressor lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan
perilaku.
3) Sumber koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam
menanggapi stressor.
5. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala seseorang yang mengalami halusinasi adalah:
a. Tahap 1 (comforting)
1) Tertawa tidak sesuai dengan situasi
2) Menggerakkan bibir tanpa bicara
3) Bicara lambat
4) Diam dan pikiranya dipenuhi pikiran yang menyenangkan
b. Tahap 2 (condemning)
1) Cemas
92
2) Konsentrasi menurun
3) Ketidakmampuan membedakan realita
c. Tahap 3
1) Pasien cenderung mengikuti halusinasi
2) Kesulitan berhubungan dgn orla
3) Perhatian dan konsentrasi menurut
4) Afek labil
5) Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti
petunjuk)
d. Tahap 4 (controlling)
1) Pasien mengikuti halusinasi
2) Pasien tidak mampu mengendalikan diri
3) Tidak mampu mengikuti perintah nyata
4) Beresiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
93
7. Rentang Respon
Respons Adaptif Respon Maladaptif
94
- Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu, menutup
hidung
- Sering meludah, muntah.
- Menggaruk-garuk permukaan kulit
9. Rencana Asuhan Keperawatan
Tujuan asuhan keperawatan
a. Kognitif, klien mampu
1) Menyebutkan penyebab halusinasi
2) Menyebutkan karateristik halusinasi yang di rasakan, jenis, isi,
frekuensi, durasi, waktu, situasi yang menyebabkan respon
3) Menyebutkan akibat yang ditimbulkan halusinasi
4) Menyebutkan cara yang selama inidigunakan untuk
mengendalikan halusinasi
5) Menyebutkan cara mengendalikan halusinasi yang tepat
b. Psikomotor klien mampu
1) Melawan halusinasi dengan menghardik
2) Mengabaikan halusinasi dengan bersikap cuek
3) Mengalihkan halusinasi dengan cara distraksi yaitu bercakap-
cakap dan melakukan aktivitas
c. Afektif
1) Meraskan manfaat cara cara mengatasi halusinasi
2) Membedakan perasaan sebelum dan sesudah latihan
10. Tindakan keperawatan
Tindakan pada klien
1. Tindakan keperawatan ners
a. Pengkajian : kaji tanda dan gejala halusinasi, penyebab dan
kemampuanklien mengatsinya
b. Diagnostic : jelaskan proses terjadinya halusinasi
c. Tindakan keperawatam
1) Tidak mendukung dan tidak membantah halusinasi klien
2) Latih klien melawan halusinasi dengan menghardik
95
3) Latih klien mengabaikan halusinasi dengan bersikap cuek
4) Latih klien mengabaikan halusinasi dengan bercakap cakap
2. Tindakan keperawatan spesialis
d. Terapi kognitif perilaku
1) Sesi 1 : mengidentifikasi pengalaman yang tidak
menyenangkan dan menimbulkan pikiran otomatis
2) Sesi 2 : melawan pikiran otomatis negative
3) Sesi 3 : mengubah perilaku negative menjadi positif
4) Sesi 4 : memanfaatkan system pendukung
e. Terapi penerimaan komitment
1) Sesi 1 : mengidentifikasi pengalaman atau kejadian yang
tidak menyenangkan
2) Sesi 2 : mengenali keadaan saat ini dan dan menemukan
nilai nilai terkait pengalaman yang tidak menyenangkan
3) Sesi 3 : berlatih menerima pengalaman atau kejadian tidak
menyenangkan menggunakan nilai nilai yg dipilih klien
11. Tindakan pada keluarga
a. Tindakan keperawatan ners
1) Kaji masalah klien yang di rasakan keluarga dalam merawat klien
2) Jelaskan pengertian, tanda dan gejala, serta proses terjadinya
halusinasi pda klien
3) Diskusikan cara merawat halusinasi dan memutuskan cara
merawat yang sesuai dengan kondisi klien
4) Melatih keluarga cara merawat halusinasi
a) Menghindari situasi yang menyebabkan halusinasi
b) Membimbing klien melakukan latihan cara mengendalikan
halusinasi
c) Member pujian atas keberhasilan klien
5) Melibatkan seluruh anggota keluarga untuk bercakap cakap
secara bergantian, memotivasi klien melakukan latihan dan
member pujian atas keberhasilannya
96
6) Menjelaskan tanda dan gejala halusinasi
7) Tindakan keperawatan spesialis : psikoedukasi keluarga
a. Sesi 1 : mengidentifikasi masalah kesehatan
b. Sesi 2 : merawat masalah kesehatan klien
c. Sesi 3 : manajemen stress untuk keluarga
d. Sesi 4 : manajemen beban untuk keluarga
e. Sesi 5 : memanfaatkan system pendukung
97
1) Perkembangan individu yang meliputi :
a. Adanya penolakan dari orang tua, sehingga anak merasa tidak
dicintai kemudian dampaknya anak gagal mencintai dirinya dan
akan gagal pula untuk mencintai orang lain.
b. Kurangnya pujian dan kurangnya pengakuan dari orang –
orang tuanya atau orang tua yang penting/ dekat dengan individu
yang bersangkutan.
c. Sikap orang tua over protecting, anak merasa tidak berguna, orang
tua atau orang terdekat sering mengkritik serta merevidasikan
individu.
d. Anak menjadi frustasi, putus asa merasa tidak berguna dan merasa
rendah diri.
2) Ideal diri
a. Individu selalu dituntut untuk berhasil.
b. Tidak mempunyai hak untuk gagal dan berbuat salah.
c. Anak dapat menghakimi dirinya sendiri dan hilangnya rasa percaya
diri.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah
hilangnya sebagian anggota tubuh, penampilan atau bentuk tubuh,
mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas. Gangguan
konsep diri : harga diri rendah kronis ini dapat terjadi secara situasional
atau kronik. Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah kronis adalah
hilangnya sebagian anggota tubuh, berubahnya penampilan atau bentuk
tubuh, mengalami kegagalan, serta menurunnya produktivitas (Fitria,
2009).
1. Situasional
Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis yang terjadi
secara situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara
tiba – tiba, misalnya harus dioperasi, mengalami kecelakaan,
menjadi korban pemerkosaan atau menjadi narapidana sehingga
98
harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah sakit juga bisa
menyebabkan rendanya harga diri seseorang di karenakan penyakit
fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman,
harapan yang tidak tercapai akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh,
serta perlakuan petugas kesehatan yang kurang menghargai klien
dan keluarga.
2. Kronik
Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis biasanya sudah
berlangsung sejak lama yang dirasakan klien sebelum sakit atau
sebelum dirawat. Klien sudah memiliki pikiran negatif sebelum
dirawat dan menjadi semakin meningkat saat dirawat.
Baik faktor predisposisi maupun presipitasi diatas apabila
telah mempengaruhi seseorang baik dalam berfikir, bersikap
maupun bertindak, maka dianggap telah mempengaruhi koping
individu tersebut sehingga menjdai tidak efektif (mekanisme koping
tidak efektif). Bila kondisi klien dibiarkan tanpa adanya intervensi
lebih lanjut dapat menyebabkan kondisi dimana klien tidak memiliki
kemauan untuk bergaul dengan orang lain (isolasi sosial). Klien yang
mengalami isolasi sosial dapat membuat klien asik dengan dunia dan
pikirannya sendiri sehingga dapat muncul resiko perilaku kekerasan.
4. Rentang Respon
Respons Adaptif Respons Maladaptif
99
5. Pohon Masalah Harga Diri Rendah
Isolasi Sosial
100
7. Asuhan keperawatan
Tujuan asuhan keperawatan
a. Kognitif, klien mampu :
1) Mengenal aspek positif dan kemampuan yang dimiliki
2) Menilai aspek positif dan kemampuan yang dapat di lakukan
3) Memilih aspek positif dan kemampuan yang ingin di lakukan
b. Psikomotor, klien mampu:
1) Melakukan aspek positif dan kemamppuan yang dipilih
2) Berperilaku aktif
3) Menceritakan keberhasilan pada orang lain
c. Afektif, klien mampu :
1) Merasakan manfaat latihan yang dilakukan
2) Menghargai kemampuan diri
3) Meningkatkan harga diri
8. Tindakan keperawtan
a. Tindakan pada klien
1) Pengkajian : kaji tanda dan gejala serta penyebab harga diri
rendah
2) Diagnosis : jelaskan proses terjadinya harga diri rendah
3) Tindakan keperawatan :
a) Diskusikan aspek positif dan kemampuan yang pernah dan
masih dimiliki klien
b) Bantu klien menilai aspek positif dan kemampuan yang masih
dimiliki
c) Latih aspek positif atau kemampuan yang dipilih dengan
motivasi yang positif
d) Latih aspek positif atau kemampuan yang dipilih dengan
motivasi yang positif
e) Berikan pujian untuk setiap tindakan yang di lakukan dengan
baik
f) Fasilitas klien bercerita tentang keberhasilannya
101
g) Bantu klien menilai manfaat latihan yang di lakukan
4) Tindakan keperawatan spesialis
a. Terapi kognitif
1) Sesi 1 : mengidentifikasi pengalaman yang tidak
menyenangkan dan menimbulkan pikiran otomatis negative
2) Sesi 2 : melawan pikiran otomatis negative
3) Sesi 3 : memanfaatkan system pendukung
4) Sesi 4 : mengevaluasi manfaat melawan pikiran negative
b. Terapi kognitif perilaku
1) Sesi 1 : mengidentifikasi pengalaman yang tidak
menyenangkan dan menimbulkan pikiran otomatis
2) Sesi 2 : melawan pikiran otomatis negative
3) Sesi 3 : mengubah perilaku negative menjadi positif
4) Sesi 4 : memanfaatkan system pendukung
5) Sesi 5 : mengevaluasi manfaat melawan pikiran negative
dan mengubah perilaku negative
c. Logoterapi : medical ministry
1) Sesi 1 : identifikasi masalah yang di hadapi
2) Sesi 2 : identifikasi respons terhadap masalah psikososial
dan cara mengatasinya
3) Sesi 3 : logoterapi dengan tekhnik medical ministry
4) Sesi 4 : evaluasi
b. Tindakan pada keluarga
1. Tindakan keperawatan ners
a) Kaji masalah klien yang di rasakan keluarga dalam merawat
klien
b) Menjelaskan proses terjadinya harga diri rendah
c) Mendiskusikan cara merawat harga diri rendah
d) Melatih keluarga merawat harga diri rendah
1) Mendiskusikan aspek positifdan kemampuan yang dimiliki
klien
102
2) Membimbing klien melakukan aspek positif
3) Melibatkan keluarga untuk menciptakan suasana yang
nyaman
e) Menjelaskan tanda dan gejala harga diri rendah kronik
2. Tindakan keperawatan spesialis : psikoedukasi keluarga
a. Sesi 1 : mengidentifikasi masalah kesehatan yang dialami
klien
b. Sesi 2 : merawat masalah kesehatan klien
c. Sesi 3 : manajemen stress keluarga
d. Sesi 4 : manajemen beban keluarga
e. Sesi 5 : memanfaatkan system pendukung
f. Sesi 6 : mengevaluasi manfaat psikoedukasi keluarga
3. Tindakan pada kelompok lain
a. Tindakan keperawatan ners : tak stimulasi persepsi untuk
harga diri rendah
1) Sesi 1 : identifikasi kemampuan dan aspek positif pada
diri
2) Sesi 2 : menilai kemampuan dan aspek positif pada diri
klien yang dapat di lakukan
3) Sesi 3 : memilih aspek positif atau kemampuan yang akan
di latih
4) Sesi 4 : melatih kemampuan atau aspek positif pada diri
5) Sesi 5 : menilai manfaat latihan terhadap harga diri
103
F. Isolasi Sosial
1. Pengertian Isolasi Sosial
Suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan
bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan
tidak mampu membina hubungan yang berarti dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain. (Budi Anna Kelliat, 2006)
2. Penyebab
a. Factor predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:
1) Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini
tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan
selanjutnya
2) Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi
untuk mengembangkan gangguan tingkah laku
3) Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan
merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan.
Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang
dianut oleh satu keluarga. seperti anggota tidak produktif
diasingkan dari lingkungan sosial.
4) Factor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan
jiwa. Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang
anggota keluarga yang menderita skizofrenia.
b. Factor presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh
faktor internal maupun eksternal, meliputi:
104
1) Stressor Sosial Budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian,
berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada
usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau
dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
2) Stressor Biologik dan Lingkungan Sosial
Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering
terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun
biologis.
3) Stressor Psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya
kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain.
Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai
terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan
menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe
psikotik.
3. Rentang respon
Menyendiri
Menarik diri Manipulasi
Otonomi
Dependensi Impulsif
Bekerjasama
Curiga Narcissisme
Interdependen
105
4. Pohon masalah
106
j. Kontak mata klien kurang.
7. Diagnose Keperawatan Utama
Isolasi Sosial
8. Asuhan Keperawatan
Tujuan asuhan keperawatan
a. Kognitif, klien mampu :
1) Mengidentifikasi keuntungan berinteraksi dengan orang lain
2) Mengidentifikasi kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
3) Memiliki keberanian berinteraksi
4) Memiliki inisiatif berinteraksi
b. Psikomotor, klien mampu :
1) Melakukan interaksi dengan orang lain
2) Melakukaan kegiatan bersama dengan orang lain
3) Melakukan kegiatan sosial
c. Afektif, klien mampu :
1) Merasakan manfaat dari latihan bersosialisasi
2) Merasa nyaman berinteraksi dengan orang lain
9. Tindakan keperawatan
a. Tindakan pada klien
1. Tindakan keperawatan ners
a) Pengkajian : kaji tanda dan gejala isolasi sosial serta penyebabnya
b) Diagnosis : jelaskan proses terjadinya isolasi sosial
c) Tindakan keperawatan ners
1) Diskusikan keuntungan berinteraksi dengan orang lain
2) Diskusikan keuntungan melakukan kegiatan bersama orang lain
3) Latih klien berkenalan
4) Latih klien bercakap cakap saat melakukan kegiatan sehari hari
5) Latih klien kegiatan social : berbelanja kerumah ibadah, ke
arisan dan lain lain.
2. Tindakan keperawatan spesialis
a. Latihan keterampilan sosial
107
1) Sesi 1 : latihan bersosialisasi
2) Sesi 2 : latihan menjalin persahabatan
3) Sesi 3 : latihan bekerja sama dalam kelompok
4) Sesi 4 : latihan menghadapi situasi sulit
5) Sesi 5 : evaluasi kemampuan sosialisasi
b. Terapi perilaku
1) Sesi 1 : mengidentifikasi peristiwa yang tidak
menyenangkan dan menimbulkan perilaku negative
2) Sesi 2 : mengubah perilaku negative menjadi positif
3) Sesi 3 : memanfaatkan system pendukung
4) Sesi 4 : mengevaluasi manfaat melawan perilaku negative
b. Tindakan pada keluarga
1. Tindakan keperawatan ners
a. Kaji masalah klien yang di rasakan keluarga dalam merawat
klien
b. Menjelaskan proses terjadinya isolasi sosial yang dalami
pasien
c. Mendiskusikan cara merawat isolasi sosial dan memutuskan
cara merawat yang sesuai dengan kondisi klien
d. Melatih keluarga cara merawat isolasi sosial
1) Membuat jadwal bercakap cakap dengan klien
2) Membantu klien berkenalan dengan ornag baru
3) Melibatkan klien melakukan kegitatan rumah tangga
4) Melibatkan klien melakukan kegiatan sosial
5) Memberikan dukungan,kesempatan terlibat dan pujian
pada klien
2. Tindakan keperawatan spesialis : psikoedukasi keluaarga
a. Sesi 1 : mengidentifikasi masalah klien
b. Sesi 2 : merawat masalah kesehatan klien
c. Sesi 3 : manajemn setres untuk keluarga
d. Sesi 4 : manajemen beban untuk keluarga
108
e. Sesi 5 : manfaatkan system pendukung
f. Sesi 6 : mengevaluasi manfaat psikoedukasi keluarga
c. Tindakan pada kelompok klien
1. Tindakan keperawatan ners :TAK sosialisasi
a. Sesi 1 : memperkenalkan diri
b. Sesi 2 : berkenalan
c. Sesi 3 : bercakap cakap topic umum
d. Sesi 4 : bercakap cakap topic tertentu
e. Sesi 5 : bercakap cakap masalah pribadi
f. Sesi 6 : bekerja sama
g. Sesi 7 : evaluasi kemampuan sosialisasi
2. Tindakan keperawatan spesialis : terapi suportif
a. Sesi 1 : identifikasi masalah dan sumber pendukung di dalam
dan di luar keluarga
b. Sesi 2 : latihan menggunakan system pendukung dalam
keluarga
c. Sesi 3 : latihan mengguanakan system pendukung luar
keluarga
d. Sesi 4 : evaluasi hasil dan hambatan penggunaan sumber
pendukung.
e.
G. Perilaku Kekerasan
1. Definisi Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap
diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Fitria, 2009). Perilaku
kekerasan adalah tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah
laku tersebut (Purba dkk, 2008).
109
2. Penyebab
a. Faktor Predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku
kekerasan menurut teori biologik, teori psikologi, dan teori
sosiokultural yang dijelaskan oleh (Purba dkk, 2008) adalah:
1) Teori Biologik
Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh
terhadap perilaku :
a) Neurobiologik
b) Biokimia
c) Genetik
d) Gangguan Otak
2) Teori Psikologik
a) Psikoanalitik
Teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kebutuhan untuk
mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan
tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah.
Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan
prestise yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan
arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif dan perilaku
kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap
rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri.
b) Pembelajaran
Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran
mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran
tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestise atau
berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian
yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua
mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan
perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola
perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya
110
ketika masih kanak-kanak atau mempunyai orang tua yang
mendisiplinkan anak mereka dengan hukuman fisik akan
cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa.
3) Teori Sosiokultural
Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan
struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial
yang secara umum menerima perilaku kekerasan sebagai cara
untuk menyelesaikan masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh
pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari
bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi
secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan
yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan. Adanya
keterbatasan sosial dapat menimbulkan kekerasan dalam hidup
individu.
b. Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali
berkaitan dengan (Yosep, 2009) :
1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol
solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola,
geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi
sosial ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga
serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah
cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan
obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya
pada saat menghadapi rasa frustasi.
111
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan
pekerjaan, perubahan tahap
3. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala perilaku kekerasan adalah sebagai berikut (Yoseph,
2009):
a. Fisik
1) Muka merah dan tegang
2) Mata melotot/ pandangan tajam
3) Tangan mengepal
4) Rahang mengatup
5) Postur tubuh kaku
6) Jalan mondar-mandir
b. Verbal
1) Bicara kasar
2) Suara tinggi, membentak atau berteriak
3) Mengancam secara verbal atau fisik
4) Mengumpat dengan kata-kata kotor
5) Suara keras
6) Ketus
c. Perilaku
1) Melempar atau memukul benda/orang lain
2) Menyerang orang lain
3) Melukai diri sendiri/orang lain
4) Merusak lingkungan
5) Mengamuk/agresif
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.
112
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang
lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak perduli dan kasar.
g. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
4. Rentang Respon Marah
5. Pohon masalah
Perilaku Kekerasan/amuk
Core Problem
Data Subyektif :
113
▪ Klien suka membentak dan menyerang orang yang mengusiknya jika
sedang kesal atau marah.
▪ Riwayat perilaku kekerasan atau gangguan jiwa lainnya.
Data Objektif :
114
1. Pengkajian : kaji tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan,penyebab
kemampuan mengatasinya
2. Diagnosis : jelaskan proses terjadinya risiko perilaku kekerasan
3. Tindakan keperawatan
a. Latih klien untuk melakukan relaksasi
b. Latih klien untuk bicara dengan baik
c. Latih deskalasi secara verbal maupun tertulis
d. Latih klien untuk melakukan kegiatan ibadah
e. Bantu klien dalam mengendalikan risiko perilaku kekerasan
f. Diskusikan manfaat yang di dapatkan setelah mempraktikan
latihan mengendalikan resiko perilaku kekerasan
Tindakan keperawatan ners spesialis
1. Terapi kognitif
a. Sesi 1 : mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan dan
menimbulkan pikiran otomatis negative
b. Sesi 2 : melawan pikiran otomatis negative
c. Sesi 3 : memanfaatkan system pendukung
d. Sesi 4 : mengevaluasi manfaat melawan pikiran negative
2. Terapi perilaaku
a. Sesi 1 : mengidentifikasi peristiwa yang tidak menyenangkan dan
menimbulkan perilaku negative
b. Sesi 2 : mengubah perilaku negative menjadi positif
c. Sesi 3 : memanfaatkan system pendukung
d. Sesi 4 : mengevaluasi manfaat melawan perilaku negative
3. Terapi kognitif perilaku
a. Sesi 1 : mengidentifikasi pengalaman yang tidak menyenangkan
yang menimbulkan pikiran otomatis
b. Sesi 2 : melawan pikiran otomatis negative
c. Sesi 3: mengubah perilaku negative menjadi positif
d. Sesi 4 : memanfaatkan system pendukung
4. Latihan asertif
115
a. Sesi 1 : mengidentifikasi peristiwa yang menyebabkan marahdan
sikap saat marah
b. Sesi 2 : mengungkapkan keinginan dan kebutuhan secara asertif
c. Sesi 3 : mengatakan tidak untuk permintaan yang irasional
d. Sesi 4 : menerima dan mengungkapkanperbedaan pendapat secara
asertif
e. Sesi 5 ; mengevaluasi manfaat latihan asertif
5. Terapi penerimaan komitmen
a. Sesi 1: mengidentifikasi pengalaman atau kejadian yang tidak
menyenangkan
b. Sesi 2: mengenali keadaan saat ini dan menemukan nilai niali
berkaitan pengalaman yang tidak menyenangkan
c. Sesi 3 : berlatih menerima pengalaman atau kejadian tidak
menyenangkan
d. Sesi 4 : berkomitmen menggunakan nilai nilai yang dipilihuntuk
mencegah kehamilan
Tindakan pada keluarga
1. tindakan keperawatan ners
a. Kaji masalah klien yang di rasakan keluarga dalam merawat klien
b. Menjelaskan pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta proses
terjadinya resiko perilaku kekerasan
c. Mendiskusikan cara merawat risiko perilaku kekerasan
116
Daftar Pustaka
Bumulo, M. I., Bidjuni, H., & Bawotong, J. (2017). Pengaruh Manajemen Model
Asuhan Keperawatan Profesional Tim terhadap Kualitas Pelayanan
Keperawatan di Bangsal Pria RSUD Datoe Binangkang Kabupaten Bolang
Mongondow. e-Jurnal Keperawatan (e-Kp), 5, 1-6.
117
Damhudi, dedi, dkk. Efektivitas metode NIHSS dan ESS dalam membuat diagnosa
keperawatan aktual pada pasien stroke berat fase akut. Vol (15). No (1). Hal 7-
12.
Dossey, B. M., & Keegan, L. (2013). HOLISTIC A Handbook for Practice.
Retrieved from http://gen.lib.rus.ec.
Dwidiyanti, Mediana., Wiguna, Reza, I., & Ningsih, Hasanah, Eka, W. (2018).
minfulness dengan self-care. UNDIP Press.
Dwidiyanti, Meidiana., Akhmad, Yanuar Fahmi., Hasanah, E. W. ., Ningsih.,
Reza, I. W., & Badrul, M. (2019). The art of Mindfulness Spiritul Islam (Ed
1). UNDIP Press.
Elfiky, I. (2009). Terapi Komunikasi Efektif. Jakarta: PT Mizan Publika.
Farida, U. (2018). Penerapan Spiritual Care pada Pasien Distress Spiritual di RSJD
dr. Amino Gondohutomo Semarang. Universitas Islam Sultan Agung.
Freshwater, D. (2006). Therapeutic Nursing. India: SAGE Publications.
Gail, Stuart W. (2012). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Hamid, A.Y.S. (2008) Buku Ajar Aspek Spiritual dalam Keperawatan. Jakarta:
Widya Medika.
Harahap, R. A., & Putra, F. E. (2019). Buku Ajar Komunikasi Kesehatan. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Hawari, D. (2002). Dimensi Religi dalam Praktik Psikiatri dan Psikologis. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Henderson, C., Jones, K. (2006). Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC.
Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2018). Nursing Diagnoses Definitions adn
Classifications (11th ed.). newyork: Thieme.
Hidayat, A.A. (2004). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.
IKESMA Simamora, R. H. (2009). Dokumentasi Proses Keperawatan. Jember.
University Press.
Kaplan, H. I & Saddock, B. J. (2005). Sinopsis Psikiatri Edisi 8. Jakarta: Bina
Aksara Rupa.
118
Kartono. (2013). Patologi Sosial Gangguan- Gangguan Kejiwaan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Keliat budi anna.2020. Asuhan Keperawatan jiwa.FIK.UI: Jakarta
Keliat, Budi Anna. (2006) Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Knight, C. (2012). Therapeutic Use of Self: Theoretical and Evidence-Based
Considerations for Clinical Practice and Supervision. Clinical Supervisor,
31(1), 1–24. https://doi.org/10.1080/07325223.2012.676370
Kozier, et al. (2007). Fundamental of Nursing : Concept, Process and Practice 8th
Edition. USA: Pearson Education, inc.
Kozier, B., Erb, G., Berman, Snyder, S. (2010). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan : Konsep, Proses,& Praktik, Volume 2, Edisi 7. Jakarta : EGC.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. Springer
Publishing Company, Inc.
https://libgen.is/book/index.php?md5=7965CDC5D7F7DD5143146B6B5346
B5B5.
Lipowski, Z. J. (1985). Psychosomatic Medicine and Liaison Psychiatry: Selected
Papers. Plenum Publishing Corporation. https://doi.org/10.1007/978-1-4613-
2509-3.
Maramis, W.f. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Ed. 9 Surabaya: Airlangga
University Press.
Maramis, W.F. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Surabaya: Airlangga
University Press.
Maryam, S. (2017). Strategi Coping: Teori Dan Sumberdayanya. JURKAM: Jurnal
Konseling Andi Matappa, 1(2), 101. https://doi.org/10.31100/jurkam.v1i2.12.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Sanson, E. (2013). Nursing Outcomes
Classification (NOC) Pengukuran Outcome Kesehatan (5th ed.; I. Nurjannah
& R. D. Tumanggor, eds.). London: Elsevier.
Morton, P. G. (2005). Panduan Pemeriksaan Kesehatan dengan Dokumentasi
SOAPIE (2nd ed.). Jakarta: EGC.
119
Muhith, A., & Siyoto, S. (2018). Aplikasi Komunikasi Terapeutik Nursing &
Health. Yogyakarta: CV. Andi Offset.
NANDA. (2006). Panduan Diagnosa Keperawatan North American Nursing
Diagnosis Association (NANDA): Definisi dan Klasifikasi. Editor: Budi
Sentosa. Jakarta : Prima Medika.
Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10
editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.
Neimeyer, R. A., & Burke, L. A. (2017). Spiritual Distress and Depression in
Bereavement: A Meaning-Oriented Contribution. Journal of Rational -
Emotive and Cognitive - Behavior Therapy, 35(1), 38–59.
https://doi.org/10.1007/s10942-017-0262-6.Nevid, J. S. (2017). Essentials of
Psychology: Concepts and Applications (5 ed). Cengage Learning.
https://libgen.is/book/index.php?md5=6E1C7E313BAA41C2035DBEFB63B8826F.
Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan
Jiwa Berat. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, S. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.
Purba, dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial
dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press.
Potter dan Perry. (2005). .Fundamental Keperawatan Konsep Proses dan
Praktik,Volume 1, Edisi 4. Jakarta : EGC.
Rieg, L.S., Mason, C.H., Preston, K. (2006) Spiritual care: practical guidelines for
rehabilitation nurses. Rehabilitation Nursing Journal. 31(6):249-256. Available
at https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/17133926.
Saharuddin, dkk. (2018). Penerapan model pelayanan keperawatan berbasis
spiritual ditinjau dari aspek proses asuhan keperawatan spiritual di rumah sakit
islam Faisal Makassar. Vol (10). No (1).
Sarfika, N. R., Maisa, E. A., & Windy Freska. (2018). Keperawatan Dasar Dasar
Komunikasi Terapeutik Dalam Keperawatan.
Simamora, R. H. (2008). Peran Manajer Perawat Dalam Pembinaan Etika Perawat
Pelaksana Dalam Peningkatan Kualitas Asuhan Keperawatan.
120
Simamora, R. H. (2010). Komunikasi Dalam Keperawatan. Jember: University
Press Tuhareal, N.A. dkk. (2017). Sistem komputerisasi untuk pencatatan
laporan asuhan keperawatan untuk mahasiswa ilmu keperawatan.
Solman, B., & Clouston, T. (2016). Occupational therapy and the therapeutic use
of self. British Journal of Occupational Therapy, 79(8), 514–516.
https://doi.org/10.1177/0308022616638675
Stuart, G. W. (2013). Principle and Practice of Psychiatric Nursing (10th ed.).
Mosby: Elsevier.
Stuart, G.W & Sundeen, S.J. 2007. Buku Saku Keperawatan
Jiwa(Terjemahan). Jakarta: EGC.
Stuart, G. W. (2012). Principles and Practice of Psychiatric Nursing (10 ed.).
Mosby.
https://libgen.is/book/index.php?md5=90F8B3A99BB67E1A7A513FC45095
B3AB.
Taylor, et al. (2011). Fundamental of Nursing : The Art and Science of Nursing
Care 7th edition. China: Lippincott University.
Taylor, S. E. (2015). Healt Psychology (9 ed.). Mcgraw-Hill Education.
https://libgen.is/book/index.php?md5=08601DE294FADD5D0BEDC05D627
FA86E.
Thoits, P. A. (2011). Mechanisms linking social ties and support to physical and
mental health. Journal of Health and Social Behavior, 52(2), 145–161.
https://doi.org/10.1177/0022146510395592
Tomb, David A. (2014). Buku Saku Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC.
Wosket, V. (2016). The therapeutic use of self: Counselling practice, research and
supervision: Classic Edition. In The Therapeutic Use of Self: Counselling
Practice, Research and Supervision: Classic Edition.
https://doi.org/10.4324/9780203772263.
Yarid, A. (2014). Bimbingan Spiritual dalam Mengurangi Tingkat Distress Pasien
di Ruang Penyakit Dalam (Penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Ujung
Berung Kota Bandung). UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Yosep, Iyus. 2009. Keperawatan Jiwa. cetakan kedua (edisi revisi). Bandung: PT
121
Refrika Aditama.
Young & Koopsen. (2007), Spiritualitas, Kesehatan dan Penyembuhan. Medan:
Bina Media Perintis.
122