Anda di halaman 1dari 4

Parasetamol adalah suatu metabolit aktif dari fenasetin yang berkhasiat sebagai analgesik-

antipiretik. yang juga sudah lazim digunakan sejak tahun 1893 parasetamol telah banyak
beredar sebagai obat bebas dengan berbagai nama dagang. Depkes RI menganjurkan
parasetamol sebagai pilihan utama untuk pengobatan demam Meskiaun tergolong obat yang
sudah lama digunakan, namun karena efek sampingnya yang relatif sedikit, sifatnya yang tidak
mengiritasi lambung dan aman untuk digunakan pada anak-anak, membuat obat ini masih
tetap menjadi disukai dan digunakan hingga sekarang(AMA, 1994; Hardam, Gilman&Limbird,
1996).

Farmakokinetika adalah suatu Farmakologi didefinisikan sebagai ilmu yang organisme hidup
dan segala aspek dari maupun organisme hidup dapat saling mempengaruhi. dikhususkan
untuk mempelajari bagian organisme hidup. farmakokinetika didefinisikan matematika dari
waktu proses absorsi, distribusi, (ADME) dari obat didalam tubuh. Faktor biologi, dapat
mempengaruhi proses perpindahan mempengaruhi tingkat dan kecepatan ADME (Makoid dan
Cobby 2002).

Parameter farmakokinetika didefinisikan sebagai besaran yang diturunkan secara matematik


dari hasil pengukuran kadar obat atau metabolitnya didalam darah atau urin dimana parameter
ini akan menjadi acuan bagi keefektifan perubahan fisiologi pada tahap farmakokinetika
Parameter farmakokinetika primer vaitu parameter vang nilainya dipengaruhi secara langsung
oleh perubahan fisiolog Tennasukdalam parameter ini adalah tetapan laju absorpsi (k) fraksi
obat vang diabsorpsĩ (f), volume distribusi (Vd). sedangkan pembersihan renal (Cla ) dan
pembersihan hepatik (Clg) (Suryawati & Donatus, 1998).

Volume distribusi (Vd) Volume distribusi (Vd) adalah suatu model hipotetik yang digunakan
untuk memperkirakan jumlah obat yang terdistribusi di dalam cairan tubuh. Vd bukan
merupakan volume yang mewakili volume pada anatomi yang sebenarnya, melainkan hanya
mewakili dinamika distribusi obat antara plasma danjaringan serta menerangkan
kesetimbangan massa obat dalam tubuh. Sifat Vd ini spesifik untuk tiap individu. Vd., hanya
salah satu bentuk untuk menyatakan

Darah adalah bagian kompleks dari cairan tubuh. Darah memiliki volume kurang lebih
seperduabelas berat badan, 55% adalah bagian cair (plasma terbuffer yang mengandung
protein dam lemak terlarut) dan 45% bagian padat(sel darah tersusupensi). Beruntung bahan
penyusun utama yaitu sel darah merah atau eritrosit dapat dipisahkan dari plasma dengan
sentrifugasi sederhana. Nemun perlakuannya harus hati-hati karena sel darah merah dapat
pecah dan menyulitkan pemisahan komponen yang tidak diinginkan (Chamberlain, 1995;
Pearce, 2002).
Jika darah dibiarkan mengendap tanpa penambahan antikoagulan, sel darah merah biasanya
akan menggumpal (membeku) dan menghasilkan cairan yang disebut serum yang dapat
didekantasi. Serum dalam banyak hal serupa dengan plasma kecuali bahwa serum tidak lagi
mengandung faktor pembekuan karena sudah digunakan pada proses pembekuan (Murray,
Granner, Mayes & Rodwell, 2000; Chamberlain, 1995).

Plasma dan serum, ciri utamanya adalah adanya sejumlah besar protein Seringkali protein
memiliki afinitas yang besar dengan obat namun sifat ikatanya reversibel. Penghilangan protein
secara langsung dengan ultrafiltrasi ataupun dialisis dapat ikut menghilangkan pula sebagian
besar fraksi obat. Meskipun ada pendapat bahwa obat dalam bentuk bebaslah yang penting
secara fisiologi, namun karena obat- obatan tersebut biasanya terikat protein sehingga kadar
dalam bentuk bebas sangat rendah, maka adalah hal yang biasa mengukur total obat dalam
plasma atau serum (Chamberlain, 1995).

Metode denaturasi adalah bagian dari deproteinisasi plasma guna menyiapkan plasma untuk
dianalisis. Denaturasi dilakukan untuk memecah ikatan obat-protein sehingga protein dapat
mengendap dan filtratnya diisolasi. Pada denaturasi terjadi proses modifikasi struktur sekunder,
tersier dan kuartener protein sehingga dapat digunakan untuk merusak kemampuan berikatan
dengan dan mengendapkan protein (Bruice 1998; Chamberlain, 1995).

Urin digunakan bila jika tidak terdapat metode penetapan kadar obat dalam darah, atau bila
kadar obat pada dosis nomal sangat rendah untuk ditetapkan dengan tepat Penggunaan urin
akan lebih baik daripada darah bila obat diekskresikan secara sempuma dalam bentuk tak
berubah di dalam urin. Keterbatasan urin adalah pengosongan kandung kemih sulit dilakukan,
dekomposisi selama periyimpanan dan kemungkinan terhidrolisisnya konjugat metabolit tak
stabil dalam urin(Bruice 1998; Chamberlain, 1995).

Interaksi pada metabolisme obat. Meski beberapa obat diekskesikan melaui urin secara
sederhana dalam bentuk tak berubah, sejumlah besar obat mengalami perubahan dalam tubuh
menjadi kurang larut lemak sehingga lebih mudah diekskresikan melalui ginjal. Hal ini terjadi
agar obat tidak tinggal lama di dalam tubuh sehingga tidak memperpanjang efeknya.
Perubahan kimia ini sering disebut metabolisme, biotransfortmasi, degradasi biokima atau
detoksifikasi. Metabolisme tersebut terjadi pada serum, ginjal, kulit dan saluran cema namun
sebagian besar dilakukan oleh enzim pada retikulum endoplasma pada sel hati (Stockely, 1994).

Perubahan aliran darahyang melalui hati. Setalah absorpsi, sirkulasi portal membawa obat
langsung menuju hati sebelum didistribusikan oleh aliran darah keselurah bagian tubuh lainnya
Obat yang cukup larut lemak mengalami metabolisme yang cukup signifikan melalui first pass
effect ini. Simetidin (namum tidak dengan ranitidin) mengurangi aliran darah hepatik sehingga
ketersediaan hayati propanolol meningkat. Propanolol juga mengurangi klirennya sendiri juga
obat lain seperti lidokain. Beberapa obat yang lain memiliki efek meningkatkan aliran darah
hepatik sehingga metabolismenya meningkat (Stockely, 1994)

Antarkasi karena perubahan ekskresi. Dengan pengecualian pada anestesi inhalasi, sebagian
besar obat diekskresi melalui empedu maupun urin. Darah masuk ke ginjal sepanjang arteri
ginjal, pertama obat dihantarkan ke dalam glomerolus dari tubulus dimana molekul-molekul
kecil yang dapat melewati pori dari membran glomerular (misal air, garam, beberapa obat-
obatan) disaring ke dalam lumen dari tubulus. Sementara molekul yang lebih besar, seperti
protein plasma, dan sel darah ditahan Aliran darah kemudian membawa bagian yang tersisa
pada tubulus ginjal dan digunakan transport aktif untuk memindahkan dan metabolitnya dari
darah dan mensekresinya ke dalam filtrat tubular Sel tubulus memiliki sistem transpor aktif
maupuh pasif untuk mereabsorsi obat Gangguan oleh obat pada pH cairan tubulus dengan
sistem transpor aktif dengan darah menuju ginjal dapat mengubah ekskresi obat lain (Stockely
1994).

Perubahan pH urin, Reabsorpsi pasif obat tergantung jumlah obat yang terdapat pada bentuk
tidak terion, bentuk larut lemak yang dalam hal ini tergantung pada pK, dan pHurin. Perubahan
pH yang mengurangi jumlah obat tidak terion (urin basa untuk obat asam dan urin asam untuk
obat basa) meningkatkan ekskresi obat. Makna klinis dari interaksi ini kecil karena sebagian
besar obat baik asam lemah maupun basa lemah dimetabolisme oleh hati menjadi bentuk
inaktif dan sedikit yang dickskresi dalam bentuk utuh. Prakteknya hanya sedikit obat yang
mengalami interaksi ini (perkecualian temasuk pada perubahan ekskresi quinidin dan salisilat
karena perubahan pH urin oleh antasida) dalam kasus overdosis perubahan pH digunakan
untuk meningkatkan ekskresi obat seperti fenobarbital dan salisilat (Stockely, 1994).

Perubahan aliran darah pada ginjal. Aliran darah yang melalui ginjal sebagian dikontrol dengan
produksi prostaglandin sebagai vasodilator ginjal. Jika sintesis prostaglandin dihambat, misalnya
dengan indometasin maka ekskresi renal litium berkurang dan kadamya dalam serum
meningkat (Stockely, 1994).

Interaksi farmakokinetika memiliki kemungkinan terjadi pada tahap manapun dalam fase
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi Faktor-faktor yang menjadi perantara terjadinya
interaksi farmakokinetika pada masing-masing fase berbeda-beda, namun kaitannya dengan
parameter farmakokinetika primer sangat erat. Penjelasannya adalah bahwa terdapat
ketergantungan yang erat antara parameter famakokinetika primer dengan ubahan fisiologi
seperti tampak pada tabel IV (Rowland&Tozer, 1995).

Parasetamol (asetaminofen, N-asetil-p-aminophenol) merupakan metabolit aktif dari fenasetin.


Dimana fenasetin kini tidak lagi digunakan di USA karena diimplikasikan sebagai penyebab
nefropati Parasetamol juga merupakan altematif yang efektif untuk aspirin sebagai suatu
analgesik-antipiretik namun aktifitas anti- inflamasinya lemah Biasanya digunakan pada pasien
pasien yang tidak dapat mentoleransi aspirin karena kelainan koagulasi, pasien dengan riwayat
tukak peptik atau refluks gastroesofagal (AMA, 1994; Hardam, Gilman & Limbird, 1996).

Absorpsi Parasetamol diabsorpsi dengan cepat dan hampir sempurna pada saluran cerna pada
pemberian secara oral. Kadarnya di dalam plasma mencapai puncaknya (Cp-aki) dalam waktu
30 sampai 120 menit (Lacy, Armstrong Goldman & Lance, 2003). Mekanisme absorpsi
parasetamol berlangsung secara transpor pasif pada seluruh bagian saluran cerna terutama
usus halus (Bagnall, Kelleher, Walker & Losowaky, 1979).

Pada manusia dewasa sehat, kira-kira 80% dosis dapat ditemukan kembali dalam urin dalam 24
jam (Clements, Chritchley & Prescott., 1974) Karena absorpsinya di usus halus maka segala hal
yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung dapat pula mempengaruhi keefektifan
absorpsi dari parasetamol (Whitehouse, 1981).

Pemberian parasetamol N-asetiıl-sistein atau bersama propanthelin dimana keduanya


menghambat pengosongan lambung. menyebabkan penurunan pada kada puncak parasetamol
(Gibaldi, 1984, Notari, 1980, Stockley, 1994 Whitchouse, 1981) Makanan dapat pula
mengurangi laju absorpsi parasetamol namun tidak berpengaruh terhadap jumlähnya (Gibaldi,
1984)

Ginjal dan lambung juga merupakan tempat terjadinya metabolisme parasetamol, metabolisme
yang terjadi pada di lambung menunjukkan adanya suatau efek lintas pertama (first pass effect/
first pass metabolism) yang diartikan sebagai fenomena biotrasformasi/metabolisme obat yang
terjadi di antara tempat absorpsi dengan sirkulasi sitemik (Ritschel, 1980).

Seperti yang dilaporkan oleh Cohen et al,. (1974) bahwa pada tikus fenomena first-pass effect
ini nyata. Buktinya ditunjukkan dengan fraksi parasetamol yang diabsorpsi pada sirkulasi
sistemik setelah pemberian secara intraperitoneal hanya 34% bila dibandingkan dengan
pemberian secara intravena. Penelitian tersebut juga menegasan kembali penelitian Heading et
al, (cit Cobhen, 1974) yang menyatakan bahwa kecepatan pengosongan lambung selain
mempengaruhi laju absorpsi dan kadar puncak parasetamol dalam plasma. Selanjutnya Cohen
et al, (1974) menegaskan bahwa hal tersebut juga mempengaruhi jumlah obat yang mengalami
first-pass effect dalam hati.

Anda mungkin juga menyukai