Anda di halaman 1dari 10

I HEAR WHAT YOU THINK

Akan menjadi horor apabila yang ku dengar adalah suara dari pikiranmu.

Mungkin, di luar galaxi Bima Sakti yang kita tempati, ada orang yang seperti Nawa,
bisa mendengarkan beberapa hal dari yang orang lain pikirkan. Akan tetapi, bukan tidak
mungkin hubungan yang dialami Nawa juga di alami oleh mahkluk di galaxi ini. Berhati-hati
lah, bisa jadi diri kita sendiri.

“Jauh amat penggambarannya galaksi kenapa nggak bumi aja?” Hatters said.
“Terus lo pikir para astronot yang nggak di bumi tapi masih di galaksi kita yang
menyimpan banyak misteri ini nggak boleh ngerasain sahabat jadi cinta gitu?”
Nawle said.
Sexy Brain
Kenyatannya, tidak semua hal yang terjadi saat reuni membuat semua orang senang.
Ingatanku kembali pada kejadian kemarin malam. Tepatnya pada saat aku makan bersama
dengan keluargaku, ada sekilas suara dari ingatan seseorang yang duduk di seberang depan
meja ku. Terlihat bahwa meja itu penuh dengan makanan dengan pemesan yang cukup
glamour, kecuali seorang wanita mungkin usianya 40an, sedang duduk di kursi paling ujung.
Ia terus saja memakan makanannya disaat teman-temannya yang lain asik berfoto selfie.
Terlintas di pikirannya yang cukup membuatku penasaran. Ia terus saja memikirkan
dandanannya yang mungkin tidak sekelas dengan teman-temannya yang lain, memikirkan
wajahnya yang mungkin saja tak secantik mereka yang dandan untuk sekedar foto selfie, ia
juga cepat-cepat makan karena tak terbiasa sholat di jam-jam akhir, tak lupa juga memikirkan
berapa biaya yang sekiranya habis untuk buka bersama kali ini. Jauh di dalam pikirannya, ia
terus mengatakan, “Ini demi keluargaku, dan masa depan anakku.” Aku tak ingin
mendengarkannya lebih lanjut. Kalimat yang ia lontarkan dalam serebumnya barusan cukup
membuatku tercengang. “Memangnya apa hal yang dia dapatkan dari kepura-puraan yang
ia lakoni saat ini?” Pikirku.
“Woy!”.
“Na, Nawa?”.
“Ni anak kenapa diem mulu dari tadi?”
Ah, aku dipanggil teman-temanku. Aku pun melempar senyum ke arah mereka.
“Merenungkan nasibnya yang tiap PDKT cuma berakhir memeperluas silaturahmi,
bukannya membentuk komitmen.”
Sontak saja aku melayangkan pukulan di lengannya. “Apaan sih Ko! Iri banget kalau
gua punya gebetan banyak.” Sahut ku. “Udah lah Ko. Cemburuan amat. Suka langsung lamar
sono.” Sahut Anya yang malah membuatku dan Ziko melotot ke arahnya. “Kelamaan nyatain
perasaan, gua makan semua nih. Kebanyakan drama lo pada.” Yang tak lain adalah Randi,
sahabatku semenjak aku kecil. Sampai terkadang aku bosan bertemu dengannya setiap hari.
“Dih, mending juga gua nunggu Soe Yeon. Selera cewek gua tinggi. Gak kayak ni
bocah dekil yang sok tebar pesona. Heran juga kenapa banyak yang mau jadi pacarnya.”
“Gebetan! Siapa sih yang pacaran. Kan lo sendiri yang buka aib gua. Ngaco lo!”
“Ran, makanannya bagi dong. Ga seru liat drama gak ada konsumsi.”
Ok, baiklah. Sindirian dari Anya cukup membuatku menahan diri. Kali ini saatnya
kita makan. Debat dengan rival seperti Ziko memang membutuhkan tenaga yang lebih besar
dibandingkan turnamen Karate dan Badminton yang sering aku ikuti. Ziko akan tetap jadi
rival bagiku kecuali pada saat badminton. Karena entah bagaimana, ia menjadi partnerku
dalam ganda campuran. Hanya ada 2 hal yang membuatku tak berdebat dengannya. Ketika
dalam sesi badminton dan sesi curhat ketika senang maupun down.
“Gua sama Anya ke toilet dulu.” Kataku.
“Ke toilet aja minta ditemenin. Segitu banyaknya ya musuh lo?” Helaan nafas cukup
menggambarkan ekspresiku dari ocehan Ziko.
“Ko, temenin ke kamar mandi yuk!” Sahut ku sambil tersenyum semanis mungkin.
Randi yang sedang meminum jusnya pun ku buat tersedak. Sedangkan Anya menahan
tawanya. “Gila kali lu. Belum juga gua temenin itu satpam udah hajar gua duluan.” Jawab
Ziko sambil melirik satpam di dekat kasir dan pintu kamar mandi. Aku terbahak dibuatnya.
Kemudian aku berjalan melewati kasir sambil memberikan sepucuk kertas bertuliskan
“Kue yang kemarin saya titipkan, dikasih ke meja no 10 jam 10 ya mbak/mas. Jangan lupa
lilinnya dikasih nyala sekalian. Terimakasih. – Nawa.”
“Udah lo kasih ke pelayannya belum Na?” Tanya Anya.
“Udah kok. 5 menit lagi jam 10. Udah, lo udah kelihatan cantik di depan Randi.”
Sindirku pada Anya yang menyukai Randi. Aku sudah tahu sejak lama. Sejak perkenalanku
di waktu SMA, pikirannya sudah mengatakan bahwa tertarik dengan Randi. Seandainya saja
Anya tahu yang sebenarnya.
“Apaan sih, ah. Udah balik yuk.”

“Na, tadi ibu lo telepon di HP lo. Katanya mau pulang suruh beliin tepung roti sama
selai cokelat.” Kata Randi.
“Ok. Berarti entar lo sekalian nemenin gua belanja.”
“Ini nih yang gak gua suka keluar sama lo. Semacam jadi supir pribadi.”
“Supir? emang lo udah punya mobil?” Sahut Anya.
“Meski pakek montor, gua yang bonceng namanya supir lah.”
‘Tuh kan lo ngaku sendiri. Ha ha ha.”
“Bukan supir, abang ojek.” Celetuk Ziko.
Tak lama kemudian, kue yang sudah kita pesan datang.
“Happy birthday, Randi!”
“Selamat ulang tahun.”
“Saengil chukae hammida, saengil chukae hammida.”
Kemudian Randi menepuk bahuku dan berjabat tangan dengan Ziko dan Anya.
“Aduh, makasih banget. Gua nggak minta diginiin astaga kayak anak kecil aja.”
“Udah, tiup sono. Pengen nyicip nih.” Ucap ku.
Kemudian setelah Randi meniup lilin, Ziko mencolekkan krim kue ke hidungku. “Nih
makan.”
“Jahat banget lo asli.”
“Foto dulu dong. 1.. 2.. 3” Anya si ratu selfie siap mengabadikan kenangan dengan
DSLR milik Ziko.
Ini adalah foto kita yang ke-5 saat ulang tahun Randi semenjak kita SMA kelas 10.

“Hati-hati di jalan ya?”


“Iya Ran. Bawa motor jangan ngebut kasihan Nawa.”
Hati-hati Randi. – Anya.
Dih, sudah jelas yang dia khawatirkan Randi. Kenapa membawa-bawa nama ku juga.
“Thanks, An. Salam ke Bang Aris, ya? Dari Nawa yang cantik”. Sahut ku.
Beneran suka sama Aris ? -
Astaga, suara ini lagi. Keluhku sambil memejamkan mata.
“Ziko juga hati-hati. Awas aja lo bikin gua besok gak menang dipertandingan.” Jawab
ku.

“Ran, lo kan udah 19 th, nih. Masa belum ada yang lo suka?” Tanyaku di jalan
menuju supermarket.
“Ada lah. Gua juga normal.”
“Siapa dong yang lo suka?”
“Ada deh. Tumben banget lo tanya kayak gitu.”
Kalo gua bisa denger yang lo pikirin tentang cewek yang lo suka. Ya gak usah tanya
lah.
“Ya mau tahu aja sih.”
“Pokoknya dia harus pengertian. Kalau bisa udah kenal lama banget sama gua.
Jadinya gak canggung.”
Aku menatapnya dari kaca spion dan melihatnya menerawang sesuatu yang tak bisa
aku tebak.
“Na, lo ambil kunci gua?”
“Dih, gua lagi, gua lagi. Terus aja, Ko. Apa-apa kalo hilang masa gua yang ngambil.”
“Kan emang lo suka jahil, makanya gua nanya elu. Sini balikin! Kunci motor ilang
bisa-bisa gua dihajar teteh.”
“Emang gua gak bawa Koooo, Ya ampun. Gua musti ngomong gimana sih biar lo
percaya.” Seketika Ziko mendekatiku dengan tatapan intensnya yang secara otomatis
membuat tubuhku semakin mundur dibuatnya. “K..Ko, Ko, lo ngapain sih? Jangan deket-
deket gitu dong!” Keluhku kesal. Hap... “Yeah, dapet. Tuh kan kayak gini nih hobi lo,
makanya gua curiganya cuman sama lo.” Aduh dasar, aku kecolongan. Ia berhasil
mendapatkan kunci motornya yang aku sembunyikan di dalam saku tasku paling luar. “He..
he.. kok lo makin pinter, sih.” Dia hanya mendelik ke arah ku.
“Nah, tuh. Udah ditunggui bodyguard lo.” Sambil menunjuk ke arah Randi.
“Apaan sih. Jangan cemburuan dong.”
“Cemburu darimana muka cemong kayak lu di cemburuin.” Sontak aku memukul
lengannya dengan keras.
“Aduh, sakit Na. Astaga! Lo cewek bukan sih.”
“Gitu aja sakit. Lo nya aja yang cowok apa bukan.”
“Btw lo mimpi apaan tadi malam? Biasanya kalo menang gini lo ada mimpi sesuatu
kan?” Tiba-tiba ia berbisik sambil mengusap-usap lengannya yang kesakitan.
“Sesuatu pokoknya. Eh, gua nebeng lo ya?”
“Siap deh. Jangan lupa bintang lima ya?” Aku tertawa dibuatnya.
“Selamat gaes, udah menang!” Ucap Anya sembari memelukku erat.
“Habis ini makan yuk. Laper gua. Tadi pagi belum sarapan.”

“Bakso 2, soto ayam 2 yang satu nggak pakek kacang ya pak? Sama minumnya es
campur 2, kelapa muda 2 gak pakek es ya pak?” Aku memesan makanan dan minuman yang
memang biasa di pesan teman-temanku. Sudah sejak jaman SMA, tempat ini menjadi
langganan sepulang sekolah. Saat seperti inilah yang paling ku rindukan saat pekan kuliah
dimulai.
“Eh, 2 minggu lagi jadi naik gunung kan?” Tanya Anya.
“Jadi dong. Mumpung lagi libur 3 bulan nih.” Jawab Ziko.
Bisa ketemu calon kakak ipar. –
Ngetrip bareng temen-temen, upload di sosmed. – Anya.
Akhirnya liburan gua berguna. – Ziko.
Semoga bukan wacana. – Randi.
“Tapi temennya bang Arphan asik-asik gak tuh orangnya?” Tanya Randi.
“Jangan-jangan ntar pada krik.. krik.. aja di jalan.” Seru Ziko.
“Nggak kok. Orang-orangnya enak. Cowoknya ganteng-ganteng. Hahaha..” Jawabku
sambil cikikan bersama Anya. Ya normal saja bila kami kaum perempuan bahagia kalau
ketemu cowok-cowok yang tampan.

Hari ini adalah hari dimana aku dan ketiga temanku mau mendaki gunung. Niatnya,
nanti bisa melihat sun rise dan sun set sekaligus. Semua persiapan telah siap di dua mobil.
Mobil pertama ada grupku, bang Arphan dan sang kekasih. Sisanya di mobil kedua. Sialnya
di dalam mobil, aku harus bersandingan dengan Ziko. Rasanya sangat aneh selama 2 minggu
ini tidak bertemu dengannya. Rasa senang terus-terusan terpancar dari semburat pipiku, maka
dari itu aku menutupinya dengan masker. Rasa kesal juga diakibatkan oleh Ziko. Mengapa
pula 2 minggu ini dia tidak aktif di grup chat dan video call bersama teman-teman. Selama 2
minggu kemarin, hubungan baru antara Anya dan Randi berubah menjadi sepasang kekasih.
Aku tak heran akan hal itu. Memang sedari dulu Anya menyukai Randi dan pada akhirnya
Randi menjadikan Anya pacar karena ia juga sudah kenal Anya sewaktu ia kecil di Bandung.
Meninggalkan sebagian kenangan masa kecilku di Jogja. Selama 2 minggu pula aku tidak
merasakan keusilan yang dibuat Ziko, ya katakanlah aku merindukannya, terkadang.
Kemudian tadi pagi tanpa rasa bersalahnya, dia datang paling awal di rumah ku, dengan gaya
rambut yang tidak berubah, dan astaga! Kenapa dia menjadi tampan. Aku rasa terus-terusan
disampingnya aku bisa gila.
Kami pun memulai pendakian sekitar pukul 1 siang. Hampir pukul 5 sore sudah
sampai ke tempat perkemahan. Kata mereka, kawasan ini sejuk dan dingin. Cocok untuk
mengistirahatkan diri sebelum perjalanan menuju puncak besok pagi. Tapi lain dengan apa
yang aku rasakan. Aku merasa pernah bermimpi di tempat ini. Hawanya memang dingin.
Tapi jauh di hati kecilku seperti tergelitik, cukup tercekat dengan suasana bising para pendaki
yang berkemah lainnya, benar-benar tidak asing. Lama kelamaan aku kedinginan, padahal
aku baru makan dan posisiku yang paling dekat dengan api unggun. Yang lain masih asyik
bernyanyi, makan cemilan, dan bercanda ria. Tapi aku merasa tak kuat untuk menahan
dingin. Akhirnya kuputuskan untuk kembali ke tenda. “Kamu kenapa?” –
Ketika berjalan di tenda, aku sedikit oleng, hingga sepasang tangan menahanku.
“Lo kenapa sih?” Tanya Randi.
“Gak kenapa-kenapa, cuman ngantuk.” Jawab ku. Sungguh aku benar-benar ingin
langsung tidur saja.
“Gua kirain kenapa. Mana dari tadi lo diem mulu. Ziko sampek bingung tuh,
leluconnya garing gara-gara lo.” Keluhnya.
Lalu Randi pun mengantarku ke tenda. Aku terlelap dibalik selimut yang ku kenakan.
Alam mimpiku bekerja seperti biasanya.

Aku memimpikan berada di tengah hutan dengan seorang pria. Aku hanya tahu ia pria
dari pakaiannya, tetapi aku tidak dapat melihat wajahnya. Suasana disini cukup mencekam,
hawa dingin yang ku rasakan sebelum ke tenda tadi masih kalah jauh dengan keadaanku
sekarang. Namun ketika orang itu menggenggam tangan ku erat, entah mengapa aku merasa
lebih tenang. Hingga pada akhirnya aku bisa melihat seekor naga besar dari mata kepalaku
sendiri. Takut. Mendadak yang ku pikirkan hanya melarikan diri. Aku menarik tangan pria
disampingku tadi. Menjauh dari naga itu. Melewati semak-semak yang semakin tinggi dan
aku semakin merasa jauh dari perkemahan. Hingga aku sadar bahwa aku telah salah langkah.
Siapa pula yang meletakkan batu besar disana. Langkahku terhenti. Aku menangis pasrah.
Aku melihat wajah pria yang sedari tadi menemaniku. Tidak.. tidak mungkin.. mengapa dia
orangnya?
Naga itu berhasil membuat kami terperangkap. Dia terus saja bertingkah seolah
melindungiku padahal aku tahu benar ia sedang ketakutan. Hingga pada akhirnya, naga
tersebut mengepung kami dan berbicara : “Sudah cukup. Diam atau kumakan. Aku hanya
ingin mengatakan bahwa kemampuanmu tidak hanya dimiliki oleh mu. Tetapi juga salah
seorang keluargamu. Kau memiliki kemampuan itu karena sewaktu kau kecil, kau pernah
menyelamatkan anakku yang hendak dibunuh oleh klan naga musuh ku. Kau tidak
mengingatnya. Karena orangtuamu memintaku untuk menghapus sedikit ingatan masa
kecilmu, jika tidak, kamu akan terus-menerus mimpi buruk. Aku mengikuti keinginan
mereka. Kelebihan yang kau miliki juga termasuk rasa terima kasiku. Tapi ternyata ketika
kau menginjak waktu remaja, kau semakin tak nyaman dengan kemampuan ini dan ada
bahaya yang menantimu. Maka kuberitahu cara menghilangkannya. Ketika kamu
membacakan pikiran seseorang dan dia membenarkan apa yang kau katakan, kemampuanmu
akan hilang. Selanjutnya, setelah ini, kau harus pergi ke sekumpulan kunang-kunang, jika
sampai matahari terbit kau tak kembali ke tempat perkemahan, kau bisa dihabisi oleh
rakyatku atau klan naga lain.
Aku mendadak terbangun. Ketika aku terbangun, aku melihat gelembung berisi
cahaya, sangat apik. Aku mengikutinya. Hingga aku tersadar. Ini jebakan. Kemudian
tanganku dicekal, seketika tubuhku meremang.
“Na, lo mau kemana sih? Daritadi gua manggil lo, lo nyelonong aja. Mana ini di hutan
lagi.”
Tidak. Mimpiku nyata. Aku langsung mencari dimana naga itu. Tapi tak kunjung ku
temukan. Hanya suara samar yang kudengar “Lari! Lari secepat yang kau bisa! Ingat
pesanku, atau kau mau kakakmu menemukan tulangmu saja.”
Aku langsung berlari ke arah kunang-kunang sambil menggandeng erat tangannya.
Kunang-kunang yang bergerombol itu semakin aku mendekat, mereka semakin menjauh.
Aku tak henti-hentinya menangis.
“Na, lo yakin ini jalannya?” Aku mengabaikannya. Aku terus merapalkan berbagai
doa dan ayat suci yang kuhapal. Setidaknya aku terus berdzikir. Tuhan tidak tidur. Tuhan
Maha Tahu.
Kemudian di ujung sana aku bisa melihat Bang Arphan duduk bersila sambil
menengadahkan kedua tangannya.
“BANG !” Teriakku bahagia. Ia langsung terbangun, mengejarku, dan memelukku.
Dia juga memeluk Ziko dan berkali-kali berkata “Terimakasih.... sungguh terimakasih!” Baru
kali ini aku bisa merasakan besarnya rasa sayang yang dimiliki kakakku ini.

“Jadi seperti itu ceritanya?” Kata abangku. Aku baru saja bercerita tentang hal-hal
yang baru kualami. Aku menyiapkan diri untuk dikatai ‘gila’ oleh kakakku.
“Aku dulu sama sepertimu. Maaf belum menceritakannya. Abang sudah menutup
cerita yang dulu abang alami dan berharap tidak akan terulang. Maaf, abang gagal
menjagamu dik. Tapi syukurlah kamu selamat. Jangan segan untuk menceritakan apapun lagi
kepada abang maupun keluarga kita ya?” Aku tahu benar raut wajah senangnya sedikit
tertutup rasa kecewa. “Untung Ziko tadi langsung teriak membangunkan abang ketika
mengejarmu ke hutan. Sebenarnya Ziko selalu menceritakan perihal kamu ke abang, bunda,
dan ayah. Makanya abang langsung bernegosiasi dengan naga tersebut untuk
menyelamatkanmu. Syukurlah abang berhasil.” Cerita kakakku. Aku memeluknya erat, “Iya
bang. Nawa janji untuk lebih terbuka lagi dengan keluarga. Nawa sayang kalian. Nawa gak
ingin kalian khawatir. Tapi ternyata Nawa malah salah, menghindarinya jauh membuat kalian
terlibat sebegitu rumitnya. Terima kasih karena abang selalu ada buat Nawa.”
Kami melanjutkan langkah untuk mencapai puncak gunung. Kejadian dini hari
tersebut hanya diketahui oleh ku, bang Arphan dan Ziko.
Selama 1,5 jam perjalanan yang kami lalui, akhirnya kami mencapai puncak gunung.
Setelah puas menikmati dan mengabadikan momen. Aku mengajak Ziko berbicara.
“Ko, gua pengin lo tahu. Kalau selama ini, gua selalu dengar suara pikiran lo. Suara
pikiran lo yang paling jelas gua dengar dari siapapun. Tapi saat ini gua cuman pengin bahas
hal ini doang. Gua tahu lo pernah berpikir gua suka sama kak Aris, dan jawabannya adalah
nggak. Gua sebatas ngefans aja sama kak Aris. Lo anggap acara kita muncak ini biar bisa
ketemu calon kakak ipar dan yang lo maksud adalah abang gua. Lo juga pernah mikir gua
kenapa pas gua pergi ke tenda duluan tadi malam karena gua udah ngerasa gak enak badan.
Pas diperjalanan tadi lo mikir gua cantik, terima kasih. Terus tadi kaki gua terkilir waktu
dipijakan batu, lo mikir gua ceroboh, emang gua yang salah kurang hati-hati dan yang
terakhir, waktu gua ngajak lo ngomong pas kita baru sampek di puncak, lo mikir gak
mungkin gua bahas ini, dan yeah, gua bahas ini sekarang. Gua udah tahu Ko. Gua tahu yang
lo pikirin.” Ucapku panjang lebar. Kemudian aku membuang wajah ke arah yang lain
memastikan tak ada orang yang kami kenal yang bisa mendengar apa yang barusan ku
katakan.
“Iya. Lo bener. Dari yang lo ucapin gak ada yang salah. Sekarang, lo udah tahu semua
yang gua pikirin, terutama tentang lo. Jadi gua mau ngomong, lo mau nggak jadi pacar gua?
Ya gua pikir, udah gak ada alasan lagi buat nutupin perasaan gua 5 tahun ini.” Terangnya.
Aku hanya tersenyum, tersipu, dan kemudian aku menjawab “Ko, lo tahu kan kalau kita
temen? Lo juga tahu kalau gua suka hubungan yang serius dan bagi gua pacaran bukan hal
yang bisa diseriusin.” Kelakarku. “OK. Gimana kalau kita komitmen setelah lulus S1 kita
nikah. Gua bakal ngelamar lo. Gimana?” Tanyanya penuh harap. “Aku setuju.” Jawabku
mantap.
Inilah kisah cinta ku. Dia tahu kelebihan yang ku miliki dan kekuranganku untuk
mengontrolnya. Aku pun tahu apa yang ada dipikirannya tapi tidak dengan apa yang ada
dihatinya. Perasaan memang suara hati. Untuk itu harus diutarakan. Dari pria-pria yang
pernah dekat dengaku nyatanya tak ada yang mampu membuat hatiku menetap. Yang mampu
membuatku menetap adalah Ziko. Baginya, cinta bukan alasan untuk tidak berfikir secara
logika. Katanya, logikanya berkata, banggakan dulu orangtua masing-masing, sebelum
bersama dan membahagiakan tanpa ada lagi perasaan asing.

TAMAT

Penulis cerita fiksi ini adalah Lenny Aditya Nurlisnawati. Alamat penulis terletak di
RT 001 RW 002 Desa Soko, Kecamatan Bandung, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.
Saat ini penulis sedang mengikuti program S1 jurusan kimia di Universitas Negeri Malang,
dimana ia sedang berada di tahun kedua. Penulis memiliki hobi membaca, menulis, dan
menonton film yang lebih berkaitan dengan tema fiksi. Ia menyukai karangan J.K. Rowling
sebagai penulis buku Harry Potter dan pengarang komik populer Aoyama Gosho.

Anda mungkin juga menyukai