Anda di halaman 1dari 17

JENIS – JENIS SHOCK

NAMA : ERZAFIRA ARDAINI PUTRI

NIM : PO.71.20.3.18.019

SEMESTER : V.A

DOSEN PEMBIMBING : Sapondra Wijaya S.Kep.Ns.M.Kep

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES PALEMBANG
PRODI DIII KEPERAWATAN LUBUKLINGGAU
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
JENIS – JENIS SHOCK

1. HYPOVOLEMIC SHOCK
A. DEFINISI

adalah kondisi tidak adekuatnya perfusi organ yang disebabkan oleh


hilangnya volume intravaskular yang biasanya bersifat akut. Keadaan ini
menyebabkan turunnya kardiak preload dan mengurangi mikro dan makrosirkulasi,
dengan konsekuensi negatif bagi metabolisme jaringan dan memicu terjadinya
reaksi inflamasi.

B. ETIOLOGI

Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akibat berkurangnya


volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat
(hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang
tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar
dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paling sering ditemukan
disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hebat dapat disebabkan oleh berbagai
trauma hebat pada organ- organ tubuh atau fraktur yang disertai dengan luka
ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama.

C. PATOFISIOLOGI
Perarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata- rata
dan menurunkan alirah darah balik ke jantung. Hal inilah yang menimbulkan
penurunan curah jantung. Curah jantung yang endah di bawah normal akan
menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ :

1. MIKROSIRKULASI
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan beusaha untuk
meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi
jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus
gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk pelaksanaan metabolisme dijantung
dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan
cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan
oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk
waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan
arterial rata- rata (mean arterial pressure / MAP) jatuh hingga 60 mmHg, maka
aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan
terganggu.

2
2. NEUROENDOKRIN
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan
kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonanm
tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain.

3. KARDIOVASKULAR

Tiga variabel seperti: pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi)


ventrikel dan kontraktiloitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol voluma
sekuncup. Curah perfusi jaringan, adalah hasil kali volume sekuncup dan
freuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel
sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun
memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah
jantung.

4. GASTROINTESTINAL
Akibat aliran darah yang menurun ke jarigan intestinal, maka terjadi
peningkatan absorbsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatifyang
mati di dalam usu. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan
metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi
jantung.

5. GINJAL
Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi
terjadinya sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti.Yang
banyak terjadi kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok,
sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media
kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan
mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang,
tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus,
yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab
terhadap menurunnya produksi urin.

D. PENATALAKSANAAN
Ketika mendapati seseorang yang menunjukan gejala –gejala hipovolemia
maka yang pertama harus dilakukan adalah mencari bantuan medis, sembari
menunggu bantuan medis datang berikan pertolongan pertama pada penderita
hipovolemia, perlu digaris bawahi bahwa penanganan pertama yang tepat pada
penderita hipovolemia sangat dibutuhkan karena dapat menghindari kematian pada
penderita . Berikut hal – hal atau langkah-langkah untuk memberi pertolongan
pertama pada penderita :

1. Jangan memberi cairan apapun pada mulut penderitan contoh memberi minum.
2. Periksa ABC (airway, breathing,circulation).
3. Buat pasien merasa nyaman dan hangat, hal ini dilakukan agar mencegah
hipotermia pada pasien.

3
4. Bila ditemukan adanya cedera pada kepala, leher atau punggung jangan
memindahkan posisinya.
5. Apabila tampak adanya perdarahan eksternal maka segera lakukan penekanan
padda lokasi perdarahan dengan menggunakan kain atau handuk, hal ini dilakukan
untuk meminimalisir volume darah yang terbuang. Jika dirasa perlu kain atau
handuk dapat diikatkan.
6. Jika ditemukan benda tajam masih menancap pada tubuh penderita jangan dicabut
hal ini ditakutkan akan menyebabkan perdarahan hebat.
7. Beri sanggaan pada kaki 45 derajat atau 30cm untuk meningkatkan perdarahan
darah. Saat akan dipindahkan ke dalam ambulans usahakan posisi kaki tetap sama.
8. Jika adanya cedera pada kepala atau leher saat akan dinaikan menuju ambulan
barulah penyangga khusus terlebih dahulu.

2. CARDIOGENIC SHOCK
A. DEFINISI
Syok kardiogenik adalah suatu keadaan kegawatdaruratan di mana terjadi
penurunan curah jantung dan hipoksia jaringan, walaupun volume intravaskular
adekuat. Kondisi ini disebabkan oleh disfungsi kardiak primer, terutama
sistolik, sehingga jantung tidak bisa mempertahankan curah jantung yang
adekuat.

B. ETIOLOGI
Terdapat beberapa penyebab dari terjadinya shock kardiogenik, diantaranya:

1. Gangguan kontraktilitas miokardium.


2. Disfungsi ventrikel kiri yang berat yang memicu terjadinya kongesti paru dan /
atau hipoperfusi iskemik.
3. Infark miokard akut (AMI).
4. Komplikasi dari infark miokard akut, seperti: ruptur otot papillary, ruptur
septum, atau infark ventrikel kanan, dapat mempresipitasi
(menimbulkan/mempercepat) syok kardiogenik pada pasien dengan infark
yang lebih baik.
5. Valvular stenosis.
6. Myokarditis (Inflamasi miokardium,peradangan otot jantung).
7. Cardiomyopathy (myocardiopathy, gangguan otot jantung yang tidak
diketahui penyebabnya).
8. Trauma jantung.
9. Temponade jantung akut.

C. PATOFISIOLOGI
Syok kardiogenik merupakan kondisi yang terjadi sebagai serangan jantung
pada fase terminal dari berbagai penyakit jantung. Berkurangnya ke aliran
darah koroner berdampak pada supply O2 kejaringan  khususnya pada otot
jantung yang semakin berkurang, hal ini akan menyababkan iscemik miokard

4
pada fase awal, namun bila berkelanjutan  akan menimbulkan injuri sampai
infark miokard. Bila kondisi tersebut tidak tertangani dengan baik akan
menyebabkan kondisi yang dinamakan syok kardiogenik. Pada kondisi syok,
metabolisme yang  pada fase awal sudah mengalami perubahan pada kondisi
anaerob akan semakin memburuk sehingga produksi asam laktat terus
meningkat dan memicu timbulnya nyeri hebat seperti terbakar maupun  tertekan
yang menjalar sampai leher dan lengan kiri, kelemahan fisik juga terjadi
sebagai akibat dari penimbunan asam laktat yang tinggi pada darah. Semakin
Menurunnya kondisi pada fase syok otot jantung semakin kehilangan
kemampuan untuk berkontraksi utuk memompa darah. Penurunan jumlah strok
volume mengakibatkan berkurangnnya cardiac output atau berhenti sama
sekali.  Hal tersebut menyebakkan suplay darah maupun O 2 sangatlah menurun
kejaringan, sehingga menimbulkan kondisi penurunan kesadaran dengan akral
dinging pada ektrimitas, Kompensasi dari otot jantung dengan meningkatkan
denyut nadi  yang berdampak pada penurunan tekanan darah Juga tidak
memperbaiki kondisi penurunan kesadaran. Aktifitas ginjal juga terganggu pada
penurunan cardiac output,yang berdampak pada penurunan laju filtrasi
glomerulus (GFR ). Pada kondisi ini pengaktifan system rennin, angiotensin
dan aldostreron akan , menambah retensi air dan natrium menyebabkan
produksi  urine  berkurang( Oliguri < 30ml/ jam).
Penurunan kontraktilitas miokard pada fase syok yang menyebabkan
adanya  peningkatan residu darah di ventrikel, yang mana  kondisi ini akan
semakin memburuk pada keadaan regurgitasi maupun stenosis valvular .Hal
tersebut dapat menyebabkan bendungan vena pulmonalis oleh akumulasi cairan
maupun refluk aliran darah  dan akhirnya memperberat kondisi edema paru.

D. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis syok kardiogenik:
- Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan
intubasi.
- Berikan oksigen 8-15 liter/ menit dengan menggunakan masker untuk
mempertahankan PO2 70-120mmHg.
- Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang ada
harus diatasi dengan pemberian morfin.

5
- Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang
terjadi.
- Bila mungkin pasang CVP.
- Pemasangan kateter swans Ganz untuk meneliti hemodinamik.
2. Medikamentosa
- Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri
- Ansietas, bila cemas.
- Digitalis atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit.
- Dopamin dan dobutamin (inotropik dan kronotropik), bila perfusi jantung
tidak adekuat. Dosis dopamin 2-15 mikrogram/kg/m.
- Dabutamin 2,5-10 mikrogram/kg/m; bila ada dapat juga diberikan
amrinom IV.
- Norepinefrin 2-20 mikrogram/kg/m.
- Diuretik/furosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan oksigenasi jaringan.
Digitalis bila ada fibrilasi atrial atau takikardi supraventrikel.

3. SEPTIC SHOCK
A. DEFINISI
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang
menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu
metabolisme sel/jaringan. Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi
penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau penurunan tekanan darah
sistolik > 40mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah
dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor untuk
mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ (Chen dan Pohan, 2007).

B. ETIOLOGI
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang
berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS), yang
merupakan komponen terluar dari bakteri gram negatif. LPS merupakan
penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung mengaktifkan sistem imun
seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak
toksik, namun merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri gram positif, jamur, dan virus,

6
dapat juga menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih sedikit.
Peptidoglikan yang merupakan komponen dinding sel dair semua kuman,
dapat menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas
membran sel imun secara langsung (Hermawan, 2007).

C. PATOFISIOLOGI

Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses


inflamasi yang melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin,
neutrofil, komplemen, NO, dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi
pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana terjadi keseimbangan
antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi
kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif,
sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian
menimbulkan gangguan pada tingkat sesluler pada berbagai organ.

Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang


menyebabkan maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi
jaringan dan syok. Pengaruh mediator juga menyebabkan disfungsi miokard
sehingga terjadi penurunan curah jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai
organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF).
Proses MOF merupakan kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi
endotel), gangguan perfusi jaringan, iskemia reperfusi, dan mikrotrombus.
Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya
faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance),
malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit,
dan efek samping dari terapi yang diberikan (Chen dan Pohan, 2007).

D. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan
resusitasi yang perlu dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan
secara intensif dalam 6 jam pertama, dimulai sejak pasien tiba di unit gawat
darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b) circulation; c)
oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila

7
diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan
untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri
rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kgBB/jam.
1. Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat
disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun
perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat keadaan
hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan curah jantung.
Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya
angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi
juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan
gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan
saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki
utilisasi oksigen di jaringan.
2. Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian
cairan baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu
dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis
respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan
darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan
ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena
jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
3. Vasopresor dan inotropik
Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik
teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih
mengalami hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah
secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90
mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8
mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8
mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat
digunakan adalah dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8

8
mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase
(amrinon dan milrinon).
4. Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum
bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan
hemodinamik.
5. Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration).
Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi
substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan
hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan
bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.

6. Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak,
cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan
pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan
secara parenteral.
7. Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi
insufisiensi adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan
keadaan tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali
selama 7 hari pada pasien renjatan septik menunjukkan penurunan
mortalitas dibanding kontrol. (Chen dan Pohan, 2007).

4. NEUROGENIC SHOCK
A. DEFINISI
merupakan penyakit kegawatdaruratan berupa syok distributif yang
menyebabkan penurunan tekanan darah, kegagalan perfusi, dan hipoksia
jaringan. Syok neurogenik terjadi akibat hilangnya tonus otonom oleh
kerusakan medula spinalis di atas level T6, tepatnya pada jalur-jalur
simpatetik desenden yang menyebabkan penurunan resistensi vaskular dan
vasodilatasi vaskular. Kondisi ini umumnya terjadi setelah cedera pada

9
sistem saraf pusat, misalnya cedera medula spinalis atau cedera otak
traumatik.

B. ETIOLOGI

Syok neurogenik disebabkan oleh gangguan susunan saraf simpatis,


yang menyebabkan dilatasi arteriola dan kenaikan kapasitas vakular.
Tekanan darah sistolik biasanya akan turun hingga dibawah 80-90 mm Hg
walaupun curah jantung normal atau meningkat. Pingsan yang biasa
merupakan contoh syok neurogenik sementara. Kerusakan medula spinalis
servikalis merupakan sebab tersering syok neurogenik traumatik. (Boswick,
1997).

Syok neurogenik disebabkan oleh kerusakan alur simpatik di spinal


cord. Alur system saraf simpatik keluar dari torakal vertebrae pada daerah
T6. Kondisi pasien dengan syok neurogenik : Nadi normal, tekanan darah
rendah , keadaan kulit hangat, normal, lembab. Kerusakan alur simpatik
dapat menyebabkan perubahan fungsi autonom normal (elaine cole, 2009).

C. PATOFISIOLOGI

Syok neurogenik disebabkan oleh cedera pada medulla spinalis yang


menyebabkan gangguan aliran keluar otonom simpatis. Sinyal-sinyal
tersebut berasal dari kornu grisea lateralis medulla spinalis antara T1 dan
L2. Konsekuensi penurunan tonus adrenergic adalah ketidakmampuan
meningkatkan kerja inotopik jantung secara tepat dan konstriksi buruk
vaskularisasi perifer sebagai respon terhadap stimulasi eksitasional.

Tonus vagal yang tidak mengalami perlawanan menyebabkan


hipotensi dan bradikardia. Vasodilatasi perifer menyebabkan kulit menjadi
hangat dan kemerahan. Hipotermia dapat disebabkan oleh tidak adanya
vasokontriksi pengatur otonomik pada redistribusi darah ke inti tubuh.
Lebih tinggi tingkat cedera medulla spinalis karena lebih banyak massa
tubuh terpotong dari regulasi simpatisnya. Syok neurogenik biasanya tidak
terjadi cedera dibawah T6 (Greenberg, dkk. 2007).

10
D. PENATALAKSANAAN
1. Imobilisasi pasien untuk mencegah semakin beratnya cedera medulla
spinalis atau kerusakan tambahan
2. Kolaborasi tindakan pembedahan untuk mengurangi tekanan pada medulla
spinalis akibat terjadinya trauma yang dapat mengurangi disabilitas jangka
panjang.
3. Pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (satu jam pertama) untuk
mengurangi pembengkakan dan inflamasi medulla spinalis serta
mengurangi luas kerusakan permanen.
4. Fiksasi kolumna vertebralis melalui tindakan pembedahan untuk
mempercepat dan mendukung proses pemulihan.
5. Terapi fisik diberikan setelah kondisi pasien stabil.
6. Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka panjang seperti
komplikasi pada kulit, system reproduksi, dan system perkemihan dengan
melibatkan anggota keluarga (Corwin, 2009).

5. ANAPILHACTIC SHOCK
A. DEFINISI
Anafilaktik merupakan jenis syok distributif adalah hasil dari reaksi
hipersensitivitas segera. Ini adalah peristiwa hidup yang mengancam yang
memerlukan intervensi secepatnya. Respon antibodi antigen yang parah
menyebabkan penurunan perfusi jaringan dan inisiasi respon syok umum.
(critical care nursing, 986).
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang
disebabkan oleh reasi alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat
Darurat (Critical Care), Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu
oleh respon hipersensivitas generalisata yang diperantai oleh IgE
menyebabkan vasodilatasi sistemik dan peningkatan permeabilitas vascular.
(Robbins & Cotrain (Dasar Patologi Penyakit Edisi 7).

B. ETIOLOGI
1. Karena obat-obatan terjadi reaksi histamine tak langsung yang berat
biasanya mengikuti suntikan obat, serum,media kontrasfotorontgen.

11
2. 2. Makanantertentu,gigitan serangga.
3. Reaksi kadang dapat idiopatik / manifestasi abnormalitas immunologis.

C. PATOFISIOLOGI
Bila suatu alergen spesifik disuntikkan langsung kedalam sirkulasi
darah maka alergen dapat bereaksi pada tempat yang luas diseluruh tubuh
dengan adanya basofil dalam darah dan sel mast yang segera berlokasi
diluar pembuluh darah kecil, jika telah disensitisasi oleh perlekatan reagin
Ig E menyebabkan terjadi anafilaksis.
Histamin yang dilepaskan dalam sirkulasi menimbulkan vasodilatasi
perifer menyeluruh, peningkatan permebilitas kapiler menyebabkan terjadi
kehilangan banyak plasma dari sirkulasi maka dalam beberapa menit dapat
meninggal akibat syok sirkulasi.
Histamin yang dilepaskan akan menimbulkan vasodilatasi yang
menginduksi timbulnya red flare (kemerahan) dan peningkatan
permeabilitas kapiler setempat sehingga terjadi pembengkakan pada area
yang berbatas jelas (disebut hives). Urtikaria muncul akibat masuknya
antigen kearea kulit yang spesifik dan menimbulkan reaksi setempat.
Histamin yang dilepaskan sebagai respon terhadap reaksi
menyebabkan dilatasi pembuluh darah setempat terjadi peningkatan tekanan
kapiler dan peningkatan permeabilitas kapiler menimbulkan kebocoran
cairan yang cepat dalam hidug menyebabkan dinding mukosa hidung
bengkak dan bersekresi.

D. PENATALAKSANAAN
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi,
penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi
epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi
absorbsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat
suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat dilepas bila
keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal penting yang harus segera di
perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu
mengusahakan :
1. Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.

12
2. Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi
jaringan memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan
kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau
diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada
anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok
anafilaksis.

1. Sistem pernapasan
- Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering
kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik
karena edema laring atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus,
suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan
tersebut. Tetapi pada edema laring kadang-kadang diperlukan
tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan
edema larings tidak saja sulit tetapi juga sering menambah beratnya
obstruksi. Karena pipa endotrakeal sering mengiritasi larings. Bila
saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit
untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter
ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yamg dapat dilakukan
dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid
dengan jarum besar. Kemudian pasien segera dirujuk ke rumah
sakit.
- Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan
pernapasan maupun pada kardiovaskular.
- Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian
bawah seperti pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal
ini dapat diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2 lainnya
0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui
nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam
20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahanlahan
sekitar 15 menit.
-

13
2. Sistem Kardiovaskular 1
- Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasil dengan pemberian
epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan
intravaskular. Pasien ini membutuhkan cairan intravena secara
cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9 %) atau koloid
(plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-
1 L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini
tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar
pembuluh darah atau yang terkumpul di jaringan splangnikus,
tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke
intravaskular.
- Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem
kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi
asidosis metabolik.
- Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure).
Pemasangan CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan
menghindari kelebihan pemberian cairan, juga dapat dipakai untuk
pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan
sekitarnya.
- Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan,
para ahli sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan
infus intravena. Dengan cara melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000
dalam 250 ml dekstrosa ( konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan
infus 1 – 4 mg/menit atau 15-60 mikrodip/menit (dengan infus
mikridip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum
10 mg/ml. Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada
keadaann anafilaksis yang berat, American Heart Association,
menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal dengan dosis
10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau
kateter melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin
1:10.000 ).
Tindakan diatas kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk
menjamin absorbsi obat yang cepat.

14
Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan :
 Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat
penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar
diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk
karena stimulasi reseptor adrenergik alfa tidak terhambat.
Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas
atropine akan memberikan manfaat disamping pemberian
amiofilin dan kortikosteroid secara intravena.
 Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 dangan AH2
bekerja secara kinergistik terhadap reseptor yang ada di
pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit, AH dapat
diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2 seperti simetidin
(300 mg) atau ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20
ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien
mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus
dihindari sebagai gantiya dipakai ranitidin.
 Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang
mengalami gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular.
Memang kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi
anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah
reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika
pasien sadar bisa diberikan tablet prednisone tetapi lebih
disukai memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB
hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini diberikan
setiap 4-6 jam.(Aruh. W. Sudoyo, IPD, Hal.190-192).

15
REFERENSI

Wang, J et al. Hypovolemic Shock Complex in the Trauma Setting: A Pictorial Review.
CAR Journal. May 2013Volume 64, Issue 2, Pages 156–163.

Thiele H, Ohman EM, Desch S, Eitel I, de Waha S. Management of cardiogenic shock. Eur
Heart J. 2015;36.

16
Mack, E.H., Neurogenic shock. The Open Pediatric Medicine Journal, 2013.

Hardisman. 2013. Memahami Patofisiologi dan Aspek Klinis Syok Hipovolemik:

Update dan Penyegar. Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3)

Fitria, Cemy Nur. 2010. SYOK DAN PENANGANANNYA. GASTER, Vol.7 No.2 Agustus
2010

https;//dokumen.tips/download/link/laporan-pendahuluan-syok-septik diakses pad tanggal


14 september pukul 20.00 WIB

https://www.academia.edu/38246921/LP_Syok_Hivopolemik diakses pada tanggal 14


sepetember 2020 pukul 20.20WIB

https://www.academia.edu/19304314/ISI_MAKALAH_SYOK_NEUROGENIK diakses
pada tanggal 14 sepetember pukul 20.45 WIB.

17

Anda mungkin juga menyukai