Anda di halaman 1dari 11

PENGENDALIAN TERPADU HAMA PENYAKIT TANAMAN

[EMPAT PRINSIP DASAR DALAM PHT]

Disusun Oleh:

Angger Dimas Sholikin 1703015069

JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2020
A. PENDAHULUAN

1. Definisi PHT

Pengelolaan hama terpadu (PHT) adalah suatu upaya cara pengendalikan tingkat
populasi atau tingkat serangan organisme terhadap tanaman dengan menggunakan dua atau lebih
teknik pengendalian dalam satu kesatuan untuk mencegah atau mengurangi kerugian secara
ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Ada 3 kegiatan Perlindungan tanaman yang
dilakukan yaitu melalui kegiatan pencegahan, pengendalian dan eradikasi. Dalam
pengembangannya, arti kata pengendalian berubah menjadi pengelolaan untuk lebih menekankan
pada usaha untuk mengurangi populasi OPT yang harus ditangani sejak dari penanaman,
misalnya dengan menentukan jenis tanaman, cara pembukaan lahan , penggarapan lahan dan
jarak tanam. Oleh karena itu, penyebutan pengelolaan hama terpadu di anggap jauh lebih tepat
dibanding dengan pengendalian hama terpadu (Safuan dalam Fanani, 2008).

pada Hakikatnya pengertian dari pengelolaan hama terpadu (PHT) adalah suatu cara
berfikir tentang pengendalian hama atau OPT lainnya yang didasarkan oleh prinsip ekologi dan
efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan.
Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua teknik atau metode pengendalian
berdasarkan asas ekologi dan ekonomi (Untung, 1993). pada awalnya konsepan PHT hanya
menempatkan dua metode pengendalian namun dikembangkan dengan menggabungkan semua
metode pengendalian hama, termasuk di dalamnya pengendalian fisik, pengendalian mekanik,
pengendalian secara bercocok tanam, pengendalian hayati, pengendalian kimiawi dan
pengendalian hama lainnya (Untung, 1993).

Secara umum, pengertian pengendalian hama terpadu (PHT) adalah sistem pengendalian
hama yang memadukan beberapa cara dan teknik pengendalian dengan penyesuaian dilapangan
untuk menurunkan populasi dan mempertahankannya pada suatu tingkat di bawah tingkat
kerusakan ekonomi. Selanjutnya Metcalf dan Luckmann (1982) mendefinisikan PHT untuk lebih
mempertimbangkan konsekuensi ekologi, ekonomi, dan sosiologi.

2. Tuntutan Terhadap Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Secara peraturan hukum di Indonesia, PHT merupakan satu- satunya kebijakan


Pemerintah dalam kegiatan perlindungan tanaman seperti yang tertera pada UU No 12 Tahun
1992 yang berisikan tentang sistem budidaya tanaman. Dalam era globalisasi ekonomi, PHT
mendapat dukungan kuat dari komunikas elite dan pasar global. Namun antusiasme masyarakat
Indonesia akan PHT dirasakan masih kurang, diduga terdapat pihak ketiga terkait yang masih
belum memahami alasan mengapa penerapan pengendalian hama terpadu (PHT)ini sangat
penting dilakukan. Banyak faktor internal dan eksternal yang menjadi pendorong penerapan PHT
secara nasional terutama dalam rangka menerapkan prinsip dan program pembangunan nasional
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Beberapa alasan yang mendorong penerapan PHT,
diantaranya adalah:
a. Kegagalan Pemberantasan Hama Konvensional.

Sampai saat ini masih banyak petani dan masyarakat yang mengartikan penegendalian
hama sama dengan penggunaan pestisida kimia. Pestisida seolah-olah merupakan alat satu-
satunya untuk mengendalikan hama dan berhasil menekan populasi hama. Kekhawatiran
akan datangnya serangan hama mendorong petani melakukan tindakan pencegahan dengan
penyemprotan pes- tisida secara berjadwal. Namun karena pemanfaat- an pestisida secara terus
menerus tanpa dilandasi pengetahuan cara aplikasi (dosis, konsentrasi), bahan aktif, efek
samping terhadap hama, musuh alami dan lingkungan akhirnya menjadi petaka, hama menjadi
resisten, populasi hama semakin me- ningkat, timbulnya hama sekunder (resurgensi),
terbunuhnya musuh alami, pencemaran terhadap lingkungan. Praktek pengendalian hama
yang tergantung pada pestisida kimia disebut pem- berantasan hama konvensional. Istilah
pemberantas- an hama atau pembasmian hama masih lazim digunakan oleh masyarakat
petani. Hal ini me- nunjukkan bahwa PHT masih belum banyak dikenal. Petani berkeinginan
membasmi seluruh populasi di pertanaman dengan pestisida. Pemberantasan hama konvensional
tersebut ternyata tidak efektif dan efisien dalam mengendalikan hama sasaran dan juga
menimbulkan risiko besar bagi kesehatan dan lingkungan hidup.

b. Dampak Negatif Terhadap Lingkungan


Pestisida kimia sebagai bahan beracun termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi
lingkungan dan kesehatan masyarakat. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten
di lingkungan, residu pestisida yang ditinggalkan dapat menjadi masalah. Berdasarkan hasil
monitoring residu yang dilaksanakan oleh para peneliti dari laboratorium lembaga-lembaga
penelitian dan direktorat me- nunjukkan bahwa saat ini residu pestisida hampir ditemukan di
setiap tempat di lingkungan sekitar kita. Residu pestisida telah dapat di deteksi di dalam tanah,
air minum, air sungai, air sumur, udara. Residu juga ditemukan di makanan yang sehari- hari
kita konsumsi seperti sayuran dan buah-buahan. Joni Munarso et al. (2009) melaporkan bahwa
bahan aktif endosulfan dominan ditemukan pada contoh kubis baik yang berasal dari Malang
maupun Cianjur, dengan kandungan residu pestisida tertinggi 7,4 ppb yang dianalisis dari
contoh yang diambil dari petani di Cianjur. Residu lain yang terdeteksi antara lain pestisida yang
mengandung bahan aktif klorpirifos, metidation, malation, dan karbaril. Contoh wortel yang
dianalisis menunjukkan bahwa bahan aktif endosulfan juga dominan pada contoh wortel baik
yang diambil dari Malang maupun Cianjur dengan kadar tertinggi 10,6 ppb. Sedangkan bahan
aktif lain yang terdeteksi antara lain klorpirfos, metidation, dan karbofuran. Pada sampel tomat
menunjukkan bahwa bahan aktif profenofos dominan digunakan di dua lokasi pengambilan
sampel (Malang dan Cianjur). Residu profenofos yang terdeteksi dengan kadar tertinggi 7,9 ppb
yang dideteksi pada sampel tomat yang diperoleh dari petani Cianjur. Residu metidation dan
karbofuran juga terdeteksi pada sampel tomat dari dua lokasi pengambilan sampel. Residu
pestisida yang diamati pada komoditas kubis, wortel, dan tomat yang diperoleh dari Malang
dan Cianjur masih berada pada nilai di bawah ambang batas yang dipersyarat- kan. Beberapa
bahan aktif golongan organoposfat, ditemukan pada biji kering kedelai dari Kabupaten Bantul
DIY. Residu pestisida organoposfat ditemukan dengan bahan aktif diazinon, malation dan
profenofos pada berbagai konsentrasi. Berdasarkan SNI 7313: 2008, dalam biji kering kedelai
ditemukan bahan aktif malation yang masih di bawah ambang batas. Profenofos ditemukan
dalam biji kering kedelai dengan nilai yang sudah berada di atas ambang batas menurut SNI
7313: 2008. (Anshori et al. 2016). Namun sebaliknya, kandungan residu pes- tisida klorpirifos,
sipermetrin, dan lamda sihalotrin yang biasa disemprotkan petani kedelai Desa Sukorejo
Kecamatan Bangsalsari, Jember tidak terdeteksi pada sampel tanah yang biasa ditanami
kedelai (Kurniawan, 2014). Meskipun beberapa kadar residu pestisida yang ditemukan masih
dibawah batas maksimum residu, temuan-temuan tersebut merupakan indikasi bahwa
penggunaan pestisida perlu di batasi.
Kesadaran masyarakat nasional dan global akan perlunya perlindungan terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan hidup semakin mendorong pe- nerapan dan
pengembangan PHT, Dengan penerapan PHT penggunaan pestisida kimia dapat ditekan
serendah-rendahnya.
c. Kebijakan Pemerintah
Pemerintah telah menetapkan PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program
perlindungan tanaman. Kebijakan ini telah menjadi program pemerintah sejak PELITA III
sampai sekarang. Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia adalah
Instruksi Presiden no 3 Tahun 1986 dan UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman serta peraturan No 6 Tahun 1995 tentang perlindungan tanaman. Oleh karena itu
kebijakan pemerintah tentang PHT harus diikuti dan diterapkan oleh semua petani dan
pengusaha pertanian di Indonesia.

d. Peningkatan Daya Saing


Dalam era globalisasi lingkungan saat ini, para konsumen hijau dan hasil produk
pertanian organik semakin menguasai pasar global maupun domestik. Konsumen hijau adalah
konsumen produk pertanian yang menghendaki produk pangan yang aman bagi kesehatan dan
lingkungan termasuk bebas dari residu pestisida kimia. Konsumen hijau akan berani membeli
produk yang diinginkan dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada produk-produk non PHT.
Dengan demikian petani yang menerapkan PHT mampu menghasilkan produk-produk PHT
yang memilikki daya saing dalam hal kualitas produk serta keamanan bagi kesehatan dan
lingkungan di bandingkan dengan petani yang tidak menerapkan PHT. Petani dapat memilikki
nilai tambah dari produk-produk PHT yang meraka hasilkan.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Penerapan pengendalian hama melalui pendekatan PHT terus berkembang hingga saat
ini karena dilandasi dari kenyataan yang ada dan keberhasilan penerapan PHT untuk
mengendalikan hama, dan oleh karena itu pengertian prinsip dasar penerapan PHT harus
dipahami. Berikut ini empat prinsip dasar dalam penerapan PHT :
1. Pemahaman Agroekosistem Pertanian
Agroekosistem budidaya tanaman pertanian merupakan salah satu bentuk ekosistem
buatan manusia yang ditujukan untuk memperoleh produksi pertanian dengan kualitas dan
kuantitas tertentu. Agroekosistem buatan manusia pada umumnya mempunyai keaneragaman
biotik dan genetik yang rendah dan cenderung semakin seragam. Keadaan demikian merupakan
ekosistem yang tidak stabil dan rawan terhadap peningkatan populasi spesies hama.
Agroekosistem merupakan sistem yang dinamik bervariasi dari satu waktu ke waktu lainnya dan
dari satu tempat ke tempat lainnya. Ekosistem pertanian sangat peka terhadap berbagai
perubahan baik yang terjadi di dalam maupun yang terjadi di luar ekosistem. Dengan
mempelajari struktur ekosistem seperti komposisi jenis-jenis tanaman, hama, musuh alami, dan
kelompok biotik lainnya, serta interaksi dinamis antar komponen biotik, dapat ditetapkan
strategi pengelolaan yang mampu mempertahakan populasi hama pada suatu aras yang tidak
merugikan.
Pada PHT selayaknya diterapkan berdasarkan evaluasi fakta-fakta mengapa suatu
agroekosistem menjadi rentan terhadap eksplosi hama dan bagaimana membuat suatu
agroekosistem menjadi lebih tahan terhadap eksplosi hama. Pemikiran ini merubah konsep PHT
dari suatu hubungan linier antara hama sasaran dan suatu strategi pengelolaan hama, menjadi
suatu hubungan yang berupa jaringan (web) antara serangga hama, musuh alami dan keragaman
tanaman (Altieri dan Altieri, 2004). Penekanan dari konsep ini adalah pencegahan timbulnya
masalah hama, dengan meningkatkan ‘keke- balan’ agroekosistem dengan memadukan teknik-
teknik pengelolaan hama melalui aktivitas-aktivitas budidaya yang lain, sehingga produktivitas
lahan dan kesehatan tanaman dapat terjaga, serta mendapatkan keuntungan ekonomi. Konsep ini
menekankan pada pen- carian faktor-faktor penyebab suatu agro- ekosistem menjadi rentan
terhadap hama.
a. Faktor-faktor penyebab kerentanan agroekosistem terhadap eksplosi hama
Gangguan-gangguan terhadap agroeko- sistem tersebut dapat diatasi karena telah ada
sistem yang dapat mengatasi atau mentoleransi adanya cekaman biotik dan abiotik yang ada.
Saat terjadinya gangguan yang disebabkan oleh serangga, hama atau degradasi lahan, maka
untuk mencegah terjadinya kerentanan pada agroekosistem tersebut perlu dilakukan
pengembalian keseimbangan, yaitu dengan mengembalikan fungsi dari masing-masing
komponen yang ada dalam agroekositem tersebut.
Beberapa praktek budidaya yang dapat meningkatkan kerentanan suatu agroekosistem
terhadap hama adalah:
1) Penurunan Keragaman Lanskap
Pengembangan pertanian di negara industri secara besar-besaran mengakibatkan
perubahan terhadap keragaman lanskap, karena adanya penyederhanaan agroekosistem melalui
perluasan lahan, penambahan kepadatan tanaman, peningkatan keseragaman tanaman dalam
umur dan kualitas fisik. Terdapat fenomena bahwa serangga herbivora masuk dalam pertanaman
dan memencar secara bersamaan pada suatu pertanaman, sedangkan musuh alaminya masuk
mulai dari tepi pertanaman dan menyebar ke tengah dengan selang waktu 3 minggu (Price,
1976). Kondisi ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara hama dan musuh alaminya.
Dengan demikian, perluasan lahan pertanaman monokultur akan semakin merentankan
agroekosistem tersebut terhadap eksplosi hama.
2) Penurunan keragaman tanaman
Menurut (Andow, 1991) Sistem monokultur dapat membatasi efektivitas musuh alami
karena keterbatasan sumber pakan, seperti nektar dan mangsa ataupun inang alternatif yang
diperlukan oleh musuh alami untuk makan, bereproduksi, serta tempat untuk refugia untuk
bertahan pada suatu ekosistem (Jervis et al, 2004). Sebaliknya, bagi serangga herbivora,
pertanaman monokultur merupakan sumber pakan yang terkonsentrasi dalam jumlah banyak,
sehingga herbivora tersebut dapat bereproduksi dan bertahan dengan baik. Beberapa serangga
herbivora di informasikan dapat berkembang biak dengan baik pada tanaman dengan sistem
monokultur yang di pupuk, di siang dan di alirkan secara intensif (Price, 1991). Dengan kondisi
seperti ini secara tidak langsung akan menyebabkan agroekosistem menjadi rawan terhadap
eksplosi hama.
3) Penggunaan pestisida
Dampak negatif dari penggunaan insektisida kimia secara intensif dalam jangka panjang
telah banyak dilaporkan, yaitu timbulnya resistensi, resurgensi, munculnya serangga sekunder,
dan polusi. Telah dilaporkan adanya 50 spesies arthropoda yang telah resisten atau kebal
terhadap insektisida dan akarisida (van Driesche dan Bellows, 1996).
4) Pemupukan yang tidak berimbang
Pemupukan Nitrogen (N) dengan dosis yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada
tanaman oleh herbivora. Beberapa studi mengatakan bahwa dengan memberi beberapa tingkat
pupuk N dapat mengakibatkan timbal balik yang positif dengan peningkatan populasi herbivora,
karena adanya peningkatan kapasitas reproduksinya (Brodbeck et al, 2001; Luna, 1988; Altieri
dan Nicholls, 2003).
5) Iklim
Cuaca dapat menjadi faktor abiotik penting pemicu peledakan populasi hama. Hal ini
tidak terlepas dari faktor fisiologis herbivora. Komponen iklim yang paling berpengaruh
terhadap perkembangan populasi serangga adalah suhu dan kelembaban udara. Guiterez et al.
(1974) melaporkan bahwa beberapa kondisi suhu dan kelembaban udara dapat menyebabkan
perubahan pada populasi kutu daun, karena adanya perubahan pada perkembangan fisiologi,
migrasi dan pemencaran, sehingga menyebabkan peledakan populasi lokal.
b. Pengelolaan Agroekosistem
Faktor – faktor penyebab di atas dapat diatasi dengan melakukan pengelolaan
agroekosistem. Tujuan pengelolaan agroekosistem adalah untuk menciptakan keseimbangan
dalam lingkungan, hasil yang berkelanjutan, kesuburan tanah yang dikelola secara biologis dan
mengatur tingkat populasi hama melalui keragaman hayati serta penggunaan input yang rendah
(Altieri, 1994).
Agroekosistem mempunyai struktur dan fungsi yang kompleks dan luas, yang
mengakibatkan adanya kesulitan di dalam pembahasannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu
metode analisis yang mudah dipahami, namun informasi yang dihasilkan metode tersebut tetap
dapat dipercaya. Salah satu metode penyelidikan ekosistem adalah melalui pendekatan sistem
kehidupan (life system), yaitu penyelidikan tentang pengaruh faktor lingkungan terhadap sistem
kehidupan (perkembangbiakan, ketakatan / survivorship, pemencaran) suatu makhluk hidup
tertentu yang menjadi subjek penyelidikan. Pendekatan ini menghasilkan informasi yang rinci
namun cakupannya sempit, sehingga kurang dapat menggambarkan keadaan agroekosistem
secara keseluruhan (Price et al., 2011; Krebs, 1985).
Makhluk hidup (misalnya tumbuhan) yang dapat memanfaatkan dan mengubah energi
matahari menjadi energi biokimia melalui proses fotosintesis dikenal sebagai autotrof (self-
nourishing, pembuat makanan sendiri). Selain itu, tumbuhan juga dikenal sebagai produsen (aras
trofi 1) karena organisme tersebut menghasilkan bahan organik (sebagai sumber energi
biokimia) yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup. Sedangkan organisme yang
mengkonsusmsi autotrof adalah konsumen, dan karena makanannya berasal dari makhluk lain
disebut heterotrof. Herbivora yang bisa juga dikatakan hama yang memakan tumbuhan dan
memanfaatkannya untuk pertumbuhannya dikenal dengan konsumen pertama (aras trofi 2).
Musuh alami yang mengambil energinya dari herbivora tersebut dikenal dengan konsumen
kedua (aras trofi 3). Sedangkan organisme yang memakan musuh alami disebut konsumen ketiga
(aras trofi 4). Akhirnya, organisme konsumen maupun produsen yang mati akan dihancurkan
oleh organisme pengurai (saprofag) (Price, 1987; Price et al., 2011).

Gambar1. Piramida dan jenjang antara produsen dan konsumen dan hubungan
trofik di antara fungsi ekologi pada suatu ekosistem (Mc Ginley, 2011)
Dalam piramida hubungan trofik, aras trofik I (produsen) diletakkan sebagai dasar
piramida, kemudian diatasnya adalah aras-aras trofik yang berikutnya (herbivora, karnivora)
sebagai konsumen primer, sekunder, tertier, dan seterusnya sampai ke tingkat yang tertinggi
(Gambar 1). Jumlah materi dan energy yang ada dalam tiap tingkatan rantai makanan, mulai dari
produsen sampai konsumen I, konsumen II, sampai konsumen puncak mempunyai proporsi dan
perbandingan yang berbeda (McGinley, 2011; Cohen, 1978; Morin, 1985; Pimm, 1982; Odum,
1953; Begon et al., 2009).

Semua makhluk hidup pasti membutuhkan energi untuk menjalankan aktivitas. Energi
tersebut dapat diperoleh dari makanan. Proses konsumsi makanan merupakan proses transfer
atau perpindahan energi. Dalam tingkat perpindahan energi dari produsen sampai konsumen
puncak akan terjadi pengurangan makanan, hal ini menunjukan bahwa sumber makanan dan
energi pada suatu rantai makanan maupun jarring-jaring makanan hanya berasal dari produsen.
Dengan demikian, perolehan energi lebih banyak pada konsumen tingkat I. Piramida energy dan
materi bahan makanan menunjukan perbandingan jumlah produsen, konsumen I, sampai
konsumen puncak suatu ekosistem. Secara umum, aliran energi dalam suatu struktur trofik
adalah perpindahan energi dari produsen ke konsumen (Mc Ginley, 2011; Cohen 1978; Pimm,
1982; Begon et al. 2009). (Gambar 1)
Jika ingin melihat aliran energi yang terdapat dalam suatu ekosistem dapat digambarkan
dengan rantai makanan dan jaring makanan. Lindeman (1942) menekankan pentingnya makanan
pada organisme yang hidup di muka bumi ini Rangkaian proses dalam produksi bahan organik
dalam ekosistem disebut rantai makanan (food chain). Rantai makanan dimulai dari organisme
autotrof dengan mengubah energi cahaya dari matahari menjadi energi kimia (Price et al., 2011;
Krebs, 1985). Energi kimia ini akan dilanjutkan pada konsumen tingkat pertama , tingkat kedua ,
dan seterusnya sampai kelompok organisme pengurai. Jalur di sepanjang perpindahan makanan
dari tingkat trofik satu ke yang lainnya dikenal sebagai rantai makanan. Dalam rantai makanan,
peristiwa makan dan dimakan dalam rantai makanan terjadi dengan urutan dan arah yang linier.
Misalnya rantai makanan pada ekosistem persawahan , dengan empat tingkat trofik : produser
(tanaman) padi menempati tingkat trofik I, belalang konsumer I menempati trofik II, konsumer II
(kadal) menempati trofik III, dan konsumer III (burung) menempati trofik IV (Gambar 2)

Gambar 2. Contoh suatu rantai makanan dengan empat tingkat (produsen dan
tiga tingkat konsumen) pada ekosistem persawahan (Cohen 1978).
Dalam konsep rantai makanan (food chain), setiap organisme hanya memakan atau
dimakan oleh satu organisme lain saja dalam hubungan yang linier. Namun dalam kenyataannya,
tiap organisme dapat memakan atau dimakan lebih dari satu organisme dalam satu rantai
makanan yang sama atau makan dari rantai makanan lain. Sehingga hubungan makan memakan
yang terjadi tidaklah suatu proses ekologi yang sederhana. Dalam hal ini, hubungan trofik yang
terjadi di ekosistem adalah saling kait mengait dan bertautan sedemikian rupa dalam hubungan
yang lebih kompleks sehingga membentuk suatu susunan jaringan yang sebagai jarring-jaring
makanan (food webs).

Pada tahun (1942), Lindeman dalam publikasinya yang berjudul The Trophic- Dynamic
Aspect of Ecology menyatakan bahwa peristiwa makan-memakan dalam tingkat trofik terjadi
secara dinamis yang menjelaskan pola hubungan makan-memakan dari suatu tingkat trofik akan
berubah menurut ruang dan waktu. Oleh karena itu, dalam suatu jaring- jaring makanan akan
terdapat beberapa rantai makanan dan membentuk suatu sistem jaringan makanan yang
kompleks dan dinamis (Price et al., 2011; Pimm, 1982).

Sedangkan keseluruhan rantai makanan disebut jaring-jaring makanan (food web), yaitu
deretan hubungan trofik (makan-memakan) antara organisme dalam ekosistem. Sedangkan aras
trofi adalah deretan organisme yang berada dalam satu rantai makanan (Price, 1987).
Berpindahnya energi dari satu makhluk hidup ke yang lain melalui hubungan trofik dalam
ekosistem dikenal dengan alir energi (energy flow). Namun, ketika energi bergerak melalui
jaring-jaring makanan, energi potential yang ada dalam makanan tersebut akan berkurang
secara bertahap sampai akhirnya keluar dari sistem berupa panas (Mc Ginley, 2011;).

Gambar 3. Jaring-jaring makanan yang terbentuk dari beberapa spesies


artropoda yang hidup berasosiasi dengan tanaman kubis (Root, 1973)
Konsep ekologi dalam PHT, merupakan konsep dari proses alami dan interaksi-interaksi
biologi yang dapat mengoptimalkan sinergi fungsi dari komponen-komponennya. Dengan
demikian, lahan dengan keragaman hayati yang tinggi, mempunyai peluang tinggi untuk terjaga
kesuburan tanahnya melalui aktivasi biota tanah. Selain itu, tumbuh kembang populasi herbivora
dapat terjaga dengan peningkatan peran arthropoda baik dan antagonis. Pengelolaan
agroekosistem untuk mendapatkan produksi yang berkelanjutan dan sekecil mungkin berdampak
negatif terhadap lingkungan dan sosial, serta input rendah bisa sangat mungkin dengan
menerapkan prinsip-prinsip ekologi sebagai berikut (Reijntes et al., 1992):
1. Meningkatkan daur ulang dan optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan alur hara. Prinsip
ini dapat dilakukan dengan melaku- kan rotasi dengan tanaman-tanaman pupuk hijau.
2. Memantapkan kondisi tanah untuk per- tumbuhan tanaman dengan mengelola bahan organik
dan meningkatkan biota tanah.
3. Meminimalkan kehilangan karena keter- batasan ketersediaan air melalui pengelolaan air.
Air dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal, sehingga ketersediaan- nya pada
waktu dan jumlah yang cukup, sangat berpengaruh terhadap produktivitas lahan.
Pengelolaan air dapat dilakukan dengan teknik-teknik pengawetan air tanah.
4. Meningkatkan jenis spesies dan keragaman dalam agroekosistem, sehingga terwujudnya
proses yang alami dan menguntungkan serta sinergi dari komponen-komponen
agroekosistem melalui keragaman hayati.
Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan melalui berbagai teknik budidaya. Tujuan utama
analisis agroekosistem adalah untuk menentukan unsur-unsur agroekosistem yang utama
(misalnya, makanan, musuh alami, temperatur, kelembaban, dan hama lain) yang mempengaruhi
perkembangbiakan hama. Unsur utama yang menjadi titik tumpu penyelidikan adalah faktor
mortalitas (penyebab kematian hama). Apabila faktor ekologi kritis yang menyebabkan
kematian hama tadi dapat diketahui secara dini dan tepat, maka usaha pengendalian hama dapat
bekerja secara efektif (Price et al., 2011;Krebs, 1985).
c. Pengendalian hama melalui pengelolaan agroekosistem
Pengendalian hama merupakan salah satu aktivitas dari budidaya tanaman. Kegiatan ini
dapat dilakukan melalui perancangan agro- ekosistem yang stabil. Adapun informasi yang telah
diuraikan di atas, rancangan suatu agroekosistem yang stabil melibatkan pengelolaan komponen-
komponen dalam agroekosistem tersebut. Rancangan tersebut dapat dilakukan melalui
pengeloaan habitat yang targetnya adalah:
1. Meningkatkan keragaman vegetasi melalui sistem tanam polikultur.
2. Meningkatkan jenis keragaman genetik melalui penggunaan varietas dengan ketahanan
horizontal yang dirakit dari plasma nutfah lokal.
3. Memperbaiki pola tanam dan menerapkan sistem rotasi tanaman kacang-kacangan, pupuk
hijau, tanaman penutup tanah dan dipadukan dengan ternak.
4. Mempertahankan keragaman lanskap dengan meningkatkan koridor-koridor biologis.
Penambahan keragaman tanaman dalam program pengendalian hama telah banyak
dilakukan. Penambahan keragaman tersebut ditujukan untuk meningkatkan populasi predator,
misalnya tata cara tanam dengan teknik strip cropping kapas dengan sorgum (Slosser et al.,
2000). Tanaman kedelai yang ditumpangsarikan dengan kapas dilaporkan dapat menarik
predator, seperti Kepik Mirid (Nabis spp.), kepik bermata besar (Geocoris spp.) dan laba-laba
(Anderson dan Yeargan, 1998).
Dalam program pengendalian hama, teknik- teknik pengendalian hama yang
penekanannya adalah pengendalian ramah lingkungan dengan memanfaatan sumberdaya alam
yang menuju sistem pertanian yang berkelanjutan yang perlu dikembangkan. Teknik tersebut
ditujukan pada pengoptimalan peran musuh alami sebagai faktor mortalitas biotik bagi serangga
hama dan sebagai penghambat perkembangan patogen penyakit. Salah satu teknik
pengendalian hama dan penyakit yang ramah lingkungan adalah penggunaan pestisida botani.
Insektisida botani yang diciptakan adalah berasal dari ekstrak piretrum atau mimba. Insektisida
botani dari ekstrak biji mimba yang bersamaan dengan pelepasan predator dapat menyebabkan
99% mortalitas thrips Frankinella accidentalis pada kacang hijau (Thoeming dan Poehling,
2006).

Anda mungkin juga menyukai