Anda di halaman 1dari 22

PENGENDALIAN TERPADU HAMA PENYAKIT TANAMAN

[EMPAT PRINSIP DASAR DALAM PHT]

Disusun Oleh:

Angger Dimas Sholikin 1703015069

JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2020
A. PENDAHULUAN

1. Definisi PHT

Pengelolaan hama terpadu (PHT) adalah suatu upaya cara pengendalikan tingkat
populasi atau tingkat serangan organisme terhadap tanaman dengan menggunakan dua atau lebih
teknik pengendalian dalam satu kesatuan untuk mencegah atau mengurangi kerugian secara
ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup. Ada 3 kegiatan Perlindungan tanaman yang
dilakukan yaitu melalui kegiatan pencegahan, pengendalian dan eradikasi. Dalam
pengembangannya, arti kata pengendalian berubah menjadi pengelolaan untuk lebih menekankan
pada usaha untuk mengurangi populasi OPT yang harus ditangani sejak dari penanaman,
misalnya dengan menentukan jenis tanaman, cara pembukaan lahan , penggarapan lahan dan
jarak tanam. Oleh karena itu, penyebutan pengelolaan hama terpadu di anggap jauh lebih tepat
dibanding dengan pengendalian hama terpadu (Safuan dalam Fanani, 2008).

Pada Hakikatnya pengertian dari pengelolaan hama terpadu (PHT) adalah suatu cara
berfikir tentang pengendalian hama atau OPT lainnya yang didasarkan oleh prinsip ekologi dan
efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan.
Strategi PHT adalah memadukan secara kompatibel semua teknik atau metode pengendalian
berdasarkan asas ekologi dan ekonomi (Untung, 1993). pada awalnya konsepan PHT hanya
menempatkan dua metode pengendalian namun dikembangkan dengan menggabungkan semua
metode pengendalian hama, termasuk di dalamnya pengendalian fisik, pengendalian mekanik,
pengendalian secara bercocok tanam, pengendalian hayati, pengendalian kimiawi dan
pengendalian hama lainnya (Untung, 1993).

Secara umum, pengertian pengendalian hama terpadu (PHT) adalah sistem pengendalian
hama yang memadukan beberapa cara dan teknik pengendalian dengan penyesuaian dilapangan
untuk menurunkan populasi dan mempertahankannya pada suatu tingkat di bawah tingkat
kerusakan ekonomi. Selanjutnya Metcalf dan Luckmann (1982) mendefinisikan PHT untuk lebih
mempertimbangkan konsekuensi ekologi, ekonomi, dan sosiologi.
2. Tuntutan Terhadap Pengendalian Hama Terpadu (PHT)

Secara peraturan hukum di Indonesia, PHT merupakan satu- satunya kebijakan


Pemerintah dalam kegiatan perlindungan tanaman seperti yang tertera pada UU No 12 Tahun
1992 yang berisikan tentang sistem budidaya tanaman. Dalam era globalisasi ekonomi, PHT
mendapat dukungan kuat dari komunikas elite dan pasar global. Namun antusiasme masyarakat
Indonesia akan PHT dirasakan masih kurang, diduga terdapat pihak ketiga terkait yang masih
belum memahami alasan mengapa penerapan pengendalian hama terpadu (PHT)ini sangat
penting dilakukan. Banyak faktor internal dan eksternal yang menjadi pendorong penerapan PHT
secara nasional terutama dalam rangka menerapkan prinsip dan program pembangunan nasional
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Beberapa alasan yang mendorong penerapan PHT,
diantaranya adalah:

a. Kegagalan Pemberantasan Hama Konvensional.


Sampai saat ini masih banyak petani dan masyarakat yang mengartikan penegendalian
hama sama dengan penggunaan pestisida kimia. Pestisida seolah-olah merupakan alat satu-
satunya untuk mengendalikan hama dan berhasil menekan populasi hama. Kekhawatiran
akan datangnya serangan hama mendorong petani melakukan tindakan pencegahan dengan
penyemprotan pes- tisida secara berjadwal. Namun karena pemanfaat- an pestisida secara terus
menerus tanpa dilandasi pengetahuan cara aplikasi (dosis, konsentrasi), bahan aktif, efek
samping terhadap hama, musuh alami dan lingkungan akhirnya menjadi petaka, hama menjadi
resisten, populasi hama semakin me- ningkat, timbulnya hama sekunder (resurgensi),
terbunuhnya musuh alami, pencemaran terhadap lingkungan. Praktek pengendalian hama
yang tergantung pada pestisida kimia disebut pem- berantasan hama konvensional. Istilah
pemberantas- an hama atau pembasmian hama masih lazim digunakan oleh masyarakat
petani. Hal ini me- nunjukkan bahwa PHT masih belum banyak dikenal. Petani berkeinginan
membasmi seluruh populasi di pertanaman dengan pestisida. Pemberantasan hama konvensional
tersebut ternyata tidak efektif dan efisien dalam mengendalikan hama sasaran dan juga
menimbulkan risiko besar bagi kesehatan dan lingkungan hidup.

b. Dampak Negatif Terhadap Lingkungan

Pestisida kimia sebagai bahan beracun termasuk bahan pencemar yang berbahaya bagi
lingkungan dan kesehatan masyarakat. Oleh karena sifatnya yang beracun serta relatif persisten
di lingkungan, residu pestisida yang ditinggalkan dapat menjadi masalah. Berdasarkan hasil
monitoring residu yang dilaksanakan oleh para peneliti dari laboratorium lembaga-lembaga
penelitian dan direktorat me- nunjukkan bahwa saat ini residu pestisida hampir ditemukan di
setiap tempat di lingkungan sekitar kita. Residu pestisida telah dapat di deteksi di dalam tanah,
air minum, air sungai, air sumur, udara. Residu juga ditemukan di makanan yang sehari- hari
kita konsumsi seperti sayuran dan buah-buahan. Joni Munarso et al. (2009) melaporkan bahwa
bahan aktif endosulfan dominan ditemukan pada contoh kubis baik yang berasal dari Malang
maupun Cianjur, dengan kandungan residu pestisida tertinggi 7,4 ppb yang dianalisis dari
contoh yang diambil dari petani di Cianjur. Residu lain yang terdeteksi antara lain pestisida yang
mengandung bahan aktif klorpirifos, metidation, malation, dan karbaril. Contoh wortel yang
dianalisis menunjukkan bahwa bahan aktif endosulfan juga dominan pada contoh wortel baik
yang diambil dari Malang maupun Cianjur dengan kadar tertinggi 10,6 ppb. Sedangkan bahan
aktif lain yang terdeteksi antara lain klorpirfos, metidation, dan karbofuran. Pada sampel tomat
menunjukkan bahwa bahan aktif profenofos dominan digunakan di dua lokasi pengambilan
sampel (Malang dan Cianjur). Residu profenofos yang terdeteksi dengan kadar tertinggi 7,9 ppb
yang dideteksi pada sampel tomat yang diperoleh dari petani Cianjur. Residu metidation dan
karbofuran juga terdeteksi pada sampel tomat dari dua lokasi pengambilan sampel. Residu
pestisida yang diamati pada komoditas kubis, wortel, dan tomat yang diperoleh dari Malang
dan Cianjur masih berada pada nilai di bawah ambang batas yang dipersyarat- kan. Beberapa
bahan aktif golongan organoposfat, ditemukan pada biji kering kedelai dari Kabupaten Bantul
DIY. Residu pestisida organoposfat ditemukan dengan bahan aktif diazinon, malation dan
profenofos pada berbagai konsentrasi. Berdasarkan SNI 7313: 2008, dalam biji kering kedelai
ditemukan bahan aktif malation yang masih di bawah ambang batas. Profenofos ditemukan
dalam biji kering kedelai dengan nilai yang sudah berada di atas ambang batas menurut SNI
7313: 2008. (Anshori et al. 2016). Namun sebaliknya, kandungan residu pes- tisida klorpirifos,
sipermetrin, dan lamda sihalotrin yang biasa disemprotkan petani kedelai Desa Sukorejo
Kecamatan Bangsalsari, Jember tidak terdeteksi pada sampel tanah yang biasa ditanami
kedelai (Kurniawan, 2014). Meskipun beberapa kadar residu pestisida yang ditemukan masih
dibawah batas maksimum residu, temuan-temuan tersebut merupakan indikasi bahwa
penggunaan pestisida perlu di batasi.
Kesadaran masyarakat nasional dan global akan perlunya perlindungan terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan hidup semakin mendorong pe- nerapan dan
pengembangan PHT, Dengan penerapan PHT penggunaan pestisida kimia dapat ditekan
serendah-rendahnya.

c. Kebijakan Pemerintah

Pemerintah telah menetapkan PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program
perlindungan tanaman. Kebijakan ini telah menjadi program pemerintah sejak PELITA III
sampai sekarang. Dasar hukum penerapan dan pengembangan PHT di Indonesia adalah
Instruksi Presiden no 3 Tahun 1986 dan UU No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman serta peraturan No 6 Tahun 1995 tentang perlindungan tanaman. Oleh karena itu
kebijakan pemerintah tentang PHT harus diikuti dan diterapkan oleh semua petani dan
pengusaha pertanian di Indonesia.

d. Peningkatan Daya Saing

Dalam era globalisasi lingkungan saat ini, para konsumen hijau dan hasil produk
pertanian organik semakin menguasai pasar global maupun domestik. Konsumen hijau adalah
konsumen produk pertanian yang menghendaki produk pangan yang aman bagi kesehatan dan
lingkungan termasuk bebas dari residu pestisida kimia. Konsumen hijau akan berani membeli
produk yang diinginkan dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada produk-produk non PHT.
Dengan demikian petani yang menerapkan PHT mampu menghasilkan produk-produk PHT
yang memilikki daya saing dalam hal kualitas produk serta keamanan bagi kesehatan dan
lingkungan di bandingkan dengan petani yang tidak menerapkan PHT. Petani dapat memilikki
nilai tambah dari produk-produk PHT yang meraka hasilkan.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Penerapan pengendalian hama melalui pendekatan PHT terus berkembang hingga saat
ini karena dilandasi dari kenyataan yang ada dan keberhasilan penerapan PHT untuk
mengendalikan hama, dan oleh karena itu pengertian prinsip dasar penerapan PHT harus
dipahami. Berikut ini empat prinsip dasar dalam penerapan PHT :
1. Pemahaman Agroekosistem Pertanian

Agroekosistem budidaya tanaman pertanian merupakan salah satu bentuk ekosistem


buatan manusia yang ditujukan untuk memperoleh produksi pertanian dengan kualitas dan
kuantitas tertentu. Agroekosistem buatan manusia pada umumnya mempunyai keaneragaman
biotik dan genetik yang rendah dan cenderung semakin seragam. Keadaan demikian merupakan
ekosistem yang tidak stabil dan rawan terhadap peningkatan populasi spesies hama.
Agroekosistem merupakan sistem yang dinamik bervariasi dari satu waktu ke waktu lainnya dan
dari satu tempat ke tempat lainnya. Ekosistem pertanian sangat peka terhadap berbagai
perubahan baik yang terjadi di dalam maupun yang terjadi di luar ekosistem. Dengan
mempelajari struktur ekosistem seperti komposisi jenis-jenis tanaman, hama, musuh alami, dan
kelompok biotik lainnya, serta interaksi dinamis antar komponen biotik, dapat ditetapkan
strategi pengelolaan yang mampu mempertahakan populasi hama pada suatu aras yang tidak
merugikan.

Pada PHT selayaknya diterapkan berdasarkan evaluasi fakta-fakta mengapa suatu


agroekosistem menjadi rentan terhadap eksplosi hama dan bagaimana membuat suatu
agroekosistem menjadi lebih tahan terhadap eksplosi hama. Pemikiran ini merubah konsep PHT
dari suatu hubungan linier antara hama sasaran dan suatu strategi pengelolaan hama, menjadi
suatu hubungan yang berupa jaringan (web) antara serangga hama, musuh alami dan keragaman
tanaman (Altieri dan Altieri, 2004). Penekanan dari konsep ini adalah pencegahan timbulnya
masalah hama, dengan meningkatkan ‘kekebalan’ agroekosistem dengan memadukan teknik-
teknik pengelolaan hama melalui aktivitas-aktivitas budidaya yang lain, sehingga produktivitas
lahan dan kesehatan tanaman dapat terjaga, serta mendapatkan keuntungan ekonomi. Konsep ini
menekankan pada pen- carian faktor-faktor penyebab suatu agro- ekosistem menjadi rentan
terhadap hama.

a. Faktor-faktor penyebab kerentanan agroekosistem terhadap eksplosi hama

Gangguan-gangguan terhadap agroeko- sistem tersebut dapat diatasi karena telah ada
sistem yang dapat mengatasi atau mentoleransi adanya cekaman biotik dan abiotik yang ada.
Saat terjadinya gangguan yang disebabkan oleh serangga, hama atau degradasi lahan, maka
untuk mencegah terjadinya kerentanan pada agroekosistem tersebut perlu dilakukan
pengembalian keseimbangan, yaitu dengan mengembalikan fungsi dari masing-masing
komponen yang ada dalam agroekositem tersebut.

Beberapa praktek budidaya yang dapat meningkatkan kerentanan suatu agroekosistem


terhadap hama adalah:

1) Penurunan Keragaman Lanskap

Pengembangan pertanian di negara industri secara besar-besaran mengakibatkan


perubahan terhadap keragaman lanskap, karena adanya penyederhanaan agroekosistem melalui
perluasan lahan, penambahan kepadatan tanaman, peningkatan keseragaman tanaman dalam
umur dan kualitas fisik. Terdapat fenomena bahwa serangga herbivora masuk dalam pertanaman
dan memencar secara bersamaan pada suatu pertanaman, sedangkan musuh alaminya masuk
mulai dari tepi pertanaman dan menyebar ke tengah dengan selang waktu 3 minggu (Price,
1976). Kondisi ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara hama dan musuh alaminya.
Dengan demikian, perluasan lahan pertanaman monokultur akan semakin merentankan
agroekosistem tersebut terhadap eksplosi hama.

2) Penurunan keragaman tanaman

Menurut (Andow, 1991) Sistem monokultur dapat membatasi efektivitas musuh alami
karena keterbatasan sumber pakan, seperti nektar dan mangsa ataupun inang alternatif yang
diperlukan oleh musuh alami untuk makan, bereproduksi, serta tempat untuk refugia untuk
bertahan pada suatu ekosistem (Jervis et al, 2004). Sebaliknya, bagi serangga herbivora,
pertanaman monokultur merupakan sumber pakan yang terkonsentrasi dalam jumlah banyak,
sehingga herbivora tersebut dapat bereproduksi dan bertahan dengan baik. Beberapa serangga
herbivora di informasikan dapat berkembang biak dengan baik pada tanaman dengan sistem
monokultur yang di pupuk, di siang dan di alirkan secara intensif (Price, 1991). Dengan kondisi
seperti ini secara tidak langsung akan menyebabkan agroekosistem menjadi rawan terhadap
eksplosi hama.

3) Penggunaan pestisida

Dampak negatif dari penggunaan insektisida kimia secara intensif dalam jangka panjang
telah banyak dilaporkan, yaitu timbulnya resistensi, resurgensi, munculnya serangga sekunder,
dan polusi. Telah dilaporkan adanya 50 spesies arthropoda yang telah resisten atau kebal
terhadap insektisida dan akarisida (van Driesche dan Bellows, 1996).
4) Pemupukan yang tidak berimbang

Pemupukan Nitrogen (N) dengan dosis yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada
tanaman oleh herbivora. Beberapa studi mengatakan bahwa dengan memberi beberapa tingkat
pupuk N dapat mengakibatkan timbal balik yang positif dengan peningkatan populasi herbivora,
karena adanya peningkatan kapasitas reproduksinya (Brodbeck et al, 2001; Luna, 1988; Altieri
dan Nicholls, 2003).

5) Iklim

Cuaca dapat menjadi faktor abiotik penting pemicu peledakan populasi hama. Hal ini
tidak terlepas dari faktor fisiologis herbivora. Komponen iklim yang paling berpengaruh
terhadap perkembangan populasi serangga adalah suhu dan kelembaban udara. Guiterez et al.
(1974) melaporkan bahwa beberapa kondisi suhu dan kelembaban udara dapat menyebabkan
perubahan pada populasi kutu daun, karena adanya perubahan pada perkembangan fisiologi,
migrasi dan pemencaran, sehingga menyebabkan peledakan populasi lokal.

b. Pengelolaan Agroekosistem

Faktor – faktor penyebab di atas dapat diatasi dengan melakukan pengelolaan


agroekosistem. Tujuan pengelolaan agroekosistem adalah untuk menciptakan keseimbangan
dalam lingkungan, hasil yang berkelanjutan, kesuburan tanah yang dikelola secara biologis dan
mengatur tingkat populasi hama melalui keragaman hayati serta penggunaan input yang rendah
(Altieri, 1994).

Agroekosistem mempunyai struktur dan fungsi yang kompleks dan luas, yang
mengakibatkan adanya kesulitan di dalam pembahasannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu
metode analisis yang mudah dipahami, namun informasi yang dihasilkan metode tersebut tetap
dapat dipercaya. Salah satu metode penyelidikan ekosistem adalah melalui pendekatan sistem
kehidupan (life system), yaitu penyelidikan tentang pengaruh faktor lingkungan terhadap sistem
kehidupan (perkembangbiakan, ketakatan / survivorship, pemencaran) suatu makhluk hidup
tertentu yang menjadi subjek penyelidikan. Pendekatan ini menghasilkan informasi yang rinci
namun cakupannya sempit, sehingga kurang dapat menggambarkan keadaan agroekosistem
secara keseluruhan (Price et al., 2011; Krebs, 1985).

Makhluk hidup (misalnya tumbuhan) yang dapat memanfaatkan dan mengubah energi
matahari menjadi energi biokimia melalui proses fotosintesis dikenal sebagai autotrof (self-
nourishing, pembuat makanan sendiri). Selain itu, tumbuhan juga dikenal sebagai produsen (aras
trofi 1) karena organisme tersebut menghasilkan bahan organik (sebagai sumber energi
biokimia) yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup. Sedangkan organisme yang
mengkonsusmsi autotrof adalah konsumen, dan karena makanannya berasal dari makhluk lain
disebut heterotrof. Herbivora yang bisa juga dikatakan hama yang memakan tumbuhan dan
memanfaatkannya untuk pertumbuhannya dikenal dengan konsumen pertama (aras trofi 2).
Musuh alami yang mengambil energinya dari herbivora tersebut dikenal dengan konsumen
kedua (aras trofi 3). Sedangkan organisme yang memakan musuh alami disebut konsumen ketiga
(aras trofi 4). Akhirnya, organisme konsumen maupun produsen yang mati akan dihancurkan
oleh organisme pengurai (saprofag) (Price, 1987; Price et al., 2011).
Gambar1. Piramida dan jenjang antara produsen dan konsumen dan hubungan
trofik di antara fungsi ekologi pada suatu ekosistem (Mc Ginley, 2011)

Dalam piramida hubungan trofik, aras trofik I (produsen) diletakkan sebagai dasar
piramida, kemudian diatasnya adalah aras-aras trofik yang berikutnya (herbivora, karnivora)
sebagai konsumen primer, sekunder, tertier, dan seterusnya sampai ke tingkat yang tertinggi
(Gambar 1). Jumlah materi dan energy yang ada dalam tiap tingkatan rantai makanan, mulai dari
produsen sampai konsumen I, konsumen II, sampai konsumen puncak mempunyai proporsi dan
perbandingan yang berbeda (McGinley, 2011; Cohen, 1978; Morin, 1985; Pimm, 1982; Odum,
1953; Begon et al., 2009).

Semua makhluk hidup pasti membutuhkan energi untuk menjalankan aktivitas. Energi
tersebut dapat diperoleh dari makanan. Proses konsumsi makanan merupakan proses transfer
atau perpindahan energi. Dalam tingkat perpindahan energi dari produsen sampai konsumen
puncak akan terjadi pengurangan makanan, hal ini menunjukan bahwa sumber makanan dan
energi pada suatu rantai makanan maupun jarring-jaring makanan hanya berasal dari produsen.
Dengan demikian, perolehan energi lebih banyak pada konsumen tingkat I. Piramida energy dan
materi bahan makanan menunjukan perbandingan jumlah produsen, konsumen I, sampai
konsumen puncak suatu ekosistem. Secara umum, aliran energi dalam suatu struktur trofik
adalah perpindahan energi dari produsen ke konsumen (Mc Ginley, 2011; Cohen 1978; Pimm,
1982; Begon et al. 2009). (Gambar 1)
Jika ingin melihat aliran energi yang terdapat dalam suatu ekosistem dapat digambarkan
dengan rantai makanan dan jaring makanan. Lindeman (1942) menekankan pentingnya makanan
pada organisme yang hidup di muka bumi ini Rangkaian proses dalam produksi bahan organik
dalam ekosistem disebut rantai makanan (food chain). Rantai makanan dimulai dari organisme
autotrof dengan mengubah energi cahaya dari matahari menjadi energi kimia (Price et al., 2011;
Krebs, 1985). Energi kimia ini akan dilanjutkan pada konsumen tingkat pertama , tingkat kedua ,
dan seterusnya sampai kelompok organisme pengurai. Jalur di sepanjang perpindahan makanan
dari tingkat trofik satu ke yang lainnya dikenal sebagai rantai makanan. Dalam rantai makanan,
peristiwa makan dan dimakan dalam rantai makanan terjadi dengan urutan dan arah yang linier.
Misalnya rantai makanan pada ekosistem persawahan , dengan empat tingkat trofik : produser
(tanaman) padi menempati tingkat trofik I, belalang konsumer I menempati trofik II, konsumer II
(kadal) menempati trofik III, dan konsumer III (burung) menempati trofik IV (Gambar 2)

Gambar 2. Contoh suatu rantai makanan dengan empat tingkat (produsen dan
tiga tingkat konsumen) pada ekosistem persawahan (Cohen 1978).
Dalam konsep rantai makanan (food chain), setiap organisme hanya memakan atau
dimakan oleh satu organisme lain saja dalam hubungan yang linier. Namun dalam kenyataannya,
tiap organisme dapat memakan atau dimakan lebih dari satu organisme dalam satu rantai
makanan yang sama atau makan dari rantai makanan lain. Sehingga hubungan makan memakan
yang terjadi tidaklah suatu proses ekologi yang sederhana. Dalam hal ini, hubungan trofik yang
terjadi di ekosistem adalah saling kait mengait dan bertautan sedemikian rupa dalam hubungan
yang lebih kompleks sehingga membentuk suatu susunan jaringan yang sebagai jarring-jaring
makanan (food webs).

Pada tahun (1942), Lindeman dalam publikasinya yang berjudul The Trophic- Dynamic
Aspect of Ecology menyatakan bahwa peristiwa makan-memakan dalam tingkat trofik terjadi
secara dinamis yang menjelaskan pola hubungan makan-memakan dari suatu tingkat trofik akan
berubah menurut ruang dan waktu. Oleh karena itu, dalam suatu jaring- jaring makanan akan
terdapat beberapa rantai makanan dan membentuk suatu sistem jaringan makanan yang
kompleks dan dinamis (Price et al., 2011; Pimm, 1982).Sedangkan keseluruhan rantai makanan
disebut jaring-jaring makanan (food web), yaitu deretan hubungan trofik (makan-memakan)
antara organisme dalam ekosistem. Sedangkan aras trofi adalah deretan organisme yang berada
dalam satu rantai makanan (Price, 1987). Berpindahnya energi dari satu makhluk hidup ke yang
lain melalui hubungan trofik dalam ekosistem dikenal dengan alir energi (energy flow). Namun,
ketika energi bergerak melalui jaring-jaring makanan, energi potential yang ada dalam
makanan tersebut akan berkurang secara bertahap sampai akhirnya keluar dari sistem berupa
panas (Mc Ginley, 2011;).

Gambar 3. Jaring-jaring makanan yang terbentuk dari beberapa spesies


artropoda yang hidup berasosiasi dengan tanaman kubis (Root, 1973)

Konsep ekologi dalam PHT, merupakan konsep dari proses alami dan interaksi-interaksi
biologi yang dapat mengoptimalkan sinergi fungsi dari komponen-komponennya. Dengan
demikian, lahan dengan keragaman hayati yang tinggi, mempunyai peluang tinggi untuk terjaga
kesuburan tanahnya melalui aktivasi biota tanah. Selain itu, tumbuh kembang populasi herbivora
dapat terjaga dengan peningkatan peran arthropoda baik dan antagonis. Pengelolaan
agroekosistem untuk mendapatkan produksi yang berkelanjutan dan sekecil mungkin berdampak
negatif terhadap lingkungan dan sosial, serta input rendah bisa sangat mungkin dengan
menerapkan prinsip-prinsip ekologi sebagai berikut (Reijntes et al., 1992):

1. Meningkatkan daur ulang dan optimalisasi ketersediaan dan keseimbangan alur hara. Prinsip
ini dapat dilakukan dengan melaku- kan rotasi dengan tanaman-tanaman pupuk hijau.

2. Memantapkan kondisi tanah untuk per- tumbuhan tanaman dengan mengelola bahan organik
dan meningkatkan biota tanah.

3. Meminimalkan kehilangan karena keter- batasan ketersediaan air melalui pengelolaan air.
Air dibutuhkan tanaman untuk dapat berproduksi optimal, sehingga ketersediaan- nya pada
waktu dan jumlah yang cukup, sangat berpengaruh terhadap produktivitas lahan.
Pengelolaan air dapat dilakukan dengan teknik-teknik pengawetan air tanah.

4. Meningkatkan jenis spesies dan keragaman dalam agroekosistem, sehingga terwujudnya


proses yang alami dan menguntungkan serta sinergi dari komponen-komponen
agroekosistem melalui keragaman hayati.

Prinsip-prinsip ini dapat diterapkan melalui berbagai teknik budidaya. Tujuan utama
analisis agroekosistem adalah untuk menentukan unsur-unsur agroekosistem yang utama
(misalnya, makanan, musuh alami, temperatur, kelembaban, dan hama lain) yang mempengaruhi
perkembangbiakan hama. Unsur utama yang menjadi titik tumpu penyelidikan adalah faktor
mortalitas (penyebab kematian hama). Apabila faktor ekologi kritis yang menyebabkan
kematian hama tadi dapat diketahui secara dini dan tepat, maka usaha pengendalian hama dapat
bekerja secara efektif (Price et al., 2011;Krebs, 1985).

c. Pengendalian hama melalui pengelolaan agroekosistem

Pengendalian hama merupakan salah satu aktivitas dari budidaya tanaman. Kegiatan ini
dapat dilakukan melalui perancangan agro- ekosistem yang stabil. Adapun informasi yang telah
diuraikan di atas, rancangan suatu agroekosistem yang stabil melibatkan pengelolaan komponen-
komponen dalam agroekosistem tersebut. Rancangan tersebut dapat dilakukan melalui
pengeloaan habitat yang targetnya adalah:

1. Meningkatkan keragaman vegetasi melalui sistem tanam polikultur.

2. Meningkatkan jenis keragaman genetik melalui penggunaan varietas dengan ketahanan


horizontal yang dirakit dari plasma nutfah lokal.

3. Memperbaiki pola tanam dan menerapkan sistem rotasi tanaman kacang-kacangan, pupuk
hijau, tanaman penutup tanah dan dipadukan dengan ternak.
4. Mempertahankan keragaman lanskap dengan meningkatkan koridor-koridor biologis.

Penambahan keragaman tanaman dalam program pengendalian hama telah banyak


dilakukan. Penambahan keragaman tersebut ditujukan untuk meningkatkan populasi predator,
misalnya tata cara tanam dengan teknik strip cropping kapas dengan sorgum (Slosser et al.,
2000). Tanaman kedelai yang ditumpangsarikan dengan kapas dilaporkan dapat menarik
predator, seperti Kepik Mirid (Nabis spp.), kepik bermata besar (Geocoris spp.) dan laba-laba
(Anderson dan Yeargan, 1998).

Dalam program pengendalian hama, teknik- teknik pengendalian hama yang


penekanannya adalah pengendalian ramah lingkungan dengan memanfaatan sumberdaya alam
yang menuju sistem pertanian yang berkelanjutan yang perlu dikembangkan. Teknik tersebut
ditujukan pada pengoptimalan peran musuh alami sebagai faktor mortalitas biotik bagi serangga
hama dan sebagai penghambat perkembangan patogen penyakit. Salah satu teknik
pengendalian hama dan penyakit yang ramah lingkungan adalah penggunaan pestisida botani.
Insektisida botani yang diciptakan adalah berasal dari ekstrak piretrum atau mimba. Insektisida
botani dari ekstrak biji mimba yang bersamaan dengan pelepasan predator dapat menyebabkan
99% mortalitas thrips Frankinella accidentalis pada kacang hijau (Thoeming dan Poehling,
2006).

2. Budidaya tanaman sehat

Tanaman yang sehat dan kuat serta lingkungan yang bersih menjadi bagian yang penting
dalam program pengendalian hama. Tanaman yang sehat memperoleh cukup hara, pengairan,
bebas gulma, waktu tanam yang tepat dan bersamaan adalah dasar bagi pencapaian hasil
produksi yang tinggi. Tanaman yang sehat dapat mengatasi kerusakan daun karena serangan
hama dengan membentuk daun atau cabang atau dengan pertumbuhan yang lebih kokoh dari
cabang yang tidak rusak. Mengusahakan tanaman sehat, banyak jenis kegiatan budidaya yang
mengarah kepada mengusahakan tanaman sehat, sesuai materi pelatihan teridentifikasi lima
kegiatan utama, yaitu penggunaan bibit varietas unggul, penyiangan/dangir, pemberian pupuk
berimbang, dan kegiatan pemangkasan.

Menciptakan tanaman yang tumbuh sehat dan kuat merupakan bagian penting dalam
program pengendalian hama terpadu. Tanaman yang sehat akan lebih tahan terhadap serangan
hama, dan bila terjadi kerusakan, akan lebih mampu mengatasinya, misalnya dengan membentuk
daun-daun baru, tunas baru, anakan baru, dan lain-lain, sehingga tanaman akan tetap tumbuh
normal dengan produktivitas tinggi.

Tanaman budidaya yang sehat dan kuat menjadi bagian yang penting dalam program
pengendalian hama terpadu (PHT) meliputi :

a. Pengolahan lahan, yang dianjurkan dalam penerapan PHT yaitu pencangkulan untuk
membuat bedengan/media tanam, pembersihan gulma, pemberian pupuk dasar (kompos)
dan pupuk kedua, jika lahan yang kering, tanah dibajak atau dicangkul sedalam 20-30
cm, kemudian dibuat bedenganbedengan dengan lebar 1 - 1,2 m, tinggi 25 cm,
panjangnya tergantung kondisi lahan.

b. Penggunaan benih/bibit, Benih/bibit yang seharusnya digunakan oleh responden dalam


tanaman sayuran meliputi bersertifikat dan berlabel LSO, varietas taham hama dan bebas
kimia. Menurut UU no. 48 tahun 2009 bahwa benih dan bibit yang baik yaitu benih yang
bersertifikat, bermutu dan berlabel tanpa perlakukan kimia secara berlebihan. Jadi peran
instansi terkait dalam memberikan pelatihan pada petani cara menghasilkan benih dan
bibit unggulan tanpa adanya tambahan zat kimia yaitu bebas hama penyakit, sudah cukup
umur, sudah bertunas 1, berat rata-rata 30-60 gr dan jelas asal-usul generasinya.

c. Penggunaan pupuk, Pupuk merupakan zat utama untuk meningkatkan dan menjaga
kesuburan unsur hara tanah. Pupuk yang digunakan dapat berupa pupuk organik
(kompos, pupuk hijau dan pupuk daun) dan pupuk anorganik/kimia (urea, NPK dll).
Penggunaan pupuk yang dilihat dalam penerapan PHT yaitu menggunakan pupuk
organik sebagai pupuk utama dalam usahatani sayuran. Pupuk organik dapat berupa
pupuk kompos, pupuk hijau bahkan pupuk nabati yang diolah. Penggunaan pupuk
anorganik/ kimia/majemuk hanya digunakan dalam skala kecil sesuai dengan luas lahan
ushatani yang dikelola.

d. Pemeliharaan, Pemeliharaan dalam tanaman sayuran berupa pembersihan gulma di


sekitar bedengan dan penyulaman. Pemeliharaan sayuran baik dari sisi pemberiaan
pupuk, pembersihan gulma, penyiraman dan penyulaman. Konsep PHT dari komponen
budidaya tahapan pemeliharaan bertujuan agar pertumbuhan tanaman dapat terkontrol
hingga masa panen.
e. Pengendalian organisme penganggu tanaman (OPT), Pengendalian OPT dengan konsep
PHT yaitu memanfaatkan musuh alami sebagai pengendali OPT dan pestisida nabati
sebagai penganti pestisida kimiawi. Konsep PHT merupakan bagian dari sistem
pertanian organik. Dalam PHT petani tidak harus menghilangkan penggunaan pestisida
tetapi lebih menimalisir penggunaan pestisida. Pestisida dianggap sebagai pengendali
utama karena aplikasi mudah dan cepat. Tetapi, dibalik sisi kemudahan akan berdampak
negatif bagi petani sendiri, salah satunya peledakan hama di mana penyemprotan
menggunakan pestisida kimia akan mengakibatkan hama penyakit resiten (kebal).

f. Panen/pascapanen, Penanganan panen/pascapanen merupakan kegiatan akhir dari suatu


aspek budidaya tanaman dalam menanggani produksi sayuran yang dihasilkan. Sisi
penanganan panen/pascapenen yang baik yaitu memisahkan hasil tanaman PHT dengan
tanaman non PHT, menggunakan wadah yang bersih/ bebas kimiawi, menggunakan alat
untuk memanen tanaman PHT yang tidak terkontaminasi bahan kimiawi dan tidak
menggunakan bahan pengawet tanaman.

3. Pelestarian Dan Pendayagunaan Musuh Alami

Adanya pembelajaran mengenai struktur ekosistem yang meliputi komposisi jenis


tanaman, hama, musuh alami, dan kelompok biotik yang lain serta interaksi dinamik antar
komponen biotik maka dapat ditetapkan strategi pengelolaan yang mampu mempertahankan
populasi hama pada tingkat yang tidak merugikan. Petani akan memperoleh keuntungan
yang maksimal dengan berusaha untuk meningkatkan produksi dan menekan biaya
pengendalian dengan cara melakukan pengendalian hama apabila populasi musuh alami lebih
rendah bila dibandingkan populasi hama. Adanya sedikit populasi hama di tanaman yang
merupakan makanan/mangsa bagi musuh alami sehingga keberadaan musuh alami dapat
dipertahankan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.

Pada pertanaman kedelai, beberapa jenis musuh alam seperti laba laba, kumbang kubah,
Paederus sp yang merupakan penentu keseimbangan populasi hama kedelai harus diberi
peluang untuk berfungsi semaksimal mungkin agar mampu menekan populasi hama kedelai
pada aras keseimbangan populasi yang aman.

Pengendalian secara hayati adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk
mengendalikan hama. Pengendalian hayati dilandasi oleh pengetahuan dasar ekologi
terutama teori pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan dinamis ekosistem.
Musuh alami yang terdiri dari parasitoid, predator dan patogen serangga hama merupakan
pengendali alami utama hama yang bekerja secara “tergantung kepadatan”. Keberadaan musuh
alami tidak dapat dilepaskan dari kehidupan dan perkembangan hama. Peningkatan populasi hama
yang dapat mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani antara lain disebabkan oleh keadaan
lingkungan yang kurang memberikan kesempatan kompleks musuh alami menjalankan
fungsinya.

1. Parasitoid
Pemanfaatan parasitoid Trichogramma efektif mengendalikan hama penggerek polong
Etiella. Spesies parasitoid Trichogramma untuk pengendalian hama penggerek polong
kedelai adalah Trichogrammatoidea bactrae-bactrae. Waktu pelepasan yang efektif pada pagi
hari jam 06.00 WIB, letak pias 20 cm di atas kanopi daun kedelai. Dengan cara pelepasan
seperti itu, daya sebar parasitoid dapat mencapai radius 50 m ( Marwoto et al. 2002). Jumlah
parasitoid yang efektif adalah 250.000 ekor/ha yang dilepas sebanyak tiga kali pada saat
pertumbuhan tanaman fase generatif (Marwoto dan Saleh. 2003).

2. Nuclear Polyhedrosis Virus (NPV)


Spodoptera litura Nuclear Polyhedrosis Virus (SlNPV) merupakan salah satu
entomopatogen pada ulat grayak. Hasil beberapa tahap penelitian menunjukkan bahwa
SlNPV berpotensi dikembang- kan untuk mengendalikan ulat grayak. SlNPV sebagai agens
hayati terbukti efektif dapat diformulasikan dan SlNPV dapat diproduksi secara in vivo
(dengan menginfeksi ulat grayak) maka SlNPV layak dikembangkan sebagai bioinsektisida
(Arifin 2012). SlNPV telah berhasil diformulasikan dalam bentuk powder di laboratorium
hama dan penyakit Balitkabi. Isolat JTM 97C efektif mengendalikan ulat grayak, hama
penggulung daun Lamprosema, penggerek polong kedelai Etiella dengan tingkat mortalitas
72 - 100% (Bejo, 2012). Kombinasi MaviMNPV dan minyak botani menghasilkan efek aditif
atau sinergis. Tidak ada bukti efek antagonis yang dicatat. Dalam percobaan lapangan,
penerapan insektisida botani dan MaviMNPV (MARUCA vitrata multi-nucleopoly-
hedrovirus) baik sendiri atau kombinasi keduanya efektif dalam mengurangi kelimpahan
serangga selama empat minggu, dan mencegah hilangnya hasil kacang tunggak (Sokame et
al. 2015)
3. Cendawan entomopatogen

Cendawan entomopatogen adalah cendawan yang dapat digunakan sebagai agens


pengendalian hayati untuk mengendalikan serangga hama. Beberapa cendawan
entomopatogen yang banyak dikembangkan dan diproduksi secara massal untuk
pengendalian hama antara lain; Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, Lecanicillium
lecanii, Hirsutella thompsoni, Spicaria sp., Nomuraea rileyi, Paecilomyces Fumosoroseus,
Fusarium parasiticus, Entomophthora thripium, Lagenidium giganteum, Cordyceps sp.
(Zurek et al., 2002; Jagdale et al., 2002; Toledo et al., 2006; Mahmoud, 2009; Kryukov et
al., 2012; Jaber dan Salem 2014; Araujo dan Hyghes, 2016).

Cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii mampu menginfeksi beberapa jenis


serangga inang, meliputi ordo Orthoptera, Hemiptera, Lepidoptera, Thysanoptera,
Coleoptera, dan Lepidoptera dengan tingkat mortalitas yang sangat bervariasi (Quesada-
Moraga et al., 2006). Cendawan ini mampu menginfeksi Aphis dan kutu dengan mortalitas
mencapai 50% (Kim et al., 2001). Efikasi L. lecanii terhadap Thrips di atas 90% (Prayogo,
2012) dan telah berhasil diformulasikan di laboratorium dalam bentuk tepung dan siap untuk
dikembangkan, sebagai bioinsektisida dari kelompok cendawan entomopatogen (Prayogo,
2010).

Selain pengendalian pada tanaman kedelai, pada tanaman kubis juga dapat dikendalikan
dengan hayati atau penggunaan musuh alami. Kubis merupakan tanaman yang rentan terhadap
serangan hama, oleh karena itu dibutuhkan penerapan teknik pengendalian musuh alami agar
ekosistem tetap terjaga dan juga petani diuntungkan dari segi prekonomiannya yang cukup
terjangkau.

Penggunaan tanaman perangkap (trap crop) secara kultur untuk mengatasi adanya
serangan hama yang menyerang tanaman kubis jarang dilaporkan di Sulawesi Utara. Perangkap
tanam adalah penanaman tanaman perangkap untuk melindungi tanaman budidaya utama dari
hama atau beberapa hama tertentu. Tanaman perangkap dapat berasal dari kelompok keluarga
yang sama atau berbeda dari tanaman utama. Serangga hama lebih menyukai tanaman
perangkap dari pada tanaman utama.

Ada dua jenis penanaman tanaman perangkap yaitu perimeter perangkap dan baris tanam
dengan tumpangsari. Perimeter perangkap tanam (perangkap perbatasan tanam) adalah
penanaman tanaman perangkap sepenuhnya di sekitar tanaman yang dibudidayakan ( tanaman
utama). Ini mencegah serangan hama yang berasal dari sisi luar lahan pertanaman. Hama hama
sejenis yang berada diluar lahan pertanian akan tertarik pada tanaman perangkap dibandingkan
dengan tanaman utama. Tumpangsari dalam Baris Tanaman adalah penanaman tanaman
perangkap di baris dalam tanaman utama. Campuran adalah menggabungkan kedua parimeter
perangkap ( Perangkap perbatasan dan Row tumpangsari ). Kristanto Dkk (2013) mengamati
pengendalian hama pada tanaman kubis dengan sistem tumpangsari beberapa tanaman yakni
cabai, kenikir, selasih, terung dan tomat. Tanaman caisin efektif digunakan dalam mengatasi
penyakit akar gada dan mengembalikan kehilangan hasil kubis secara berarti (Hadiwiyono, Dkk,
2013). Keuntungan menggunakan metode tanaman perangkap adalah :

1. Ramah lingkungan dan yang paling utama adalah mengurangi kerusakan tanaman utama dari
serangan serangga hama sampai 75 %.

2. Dapat melestarikan musuh alami serangga hama sehingga keseimbangan ekosistem di lahan
akan selalu terjaga

3. Kualitas hasil panen semakin lebih baik karena sedikit residu pestisida yang melekat pada
hasil panen

4. Mengurangi penggunaan pestisida

5. Mengurangi biaya produksi dan tenaga

6. Tingkat efektifitas tanaman perangkap untuk mengendalikan serangga hama tinggi

4. Pemantauan Lahan Secara Rutin

Pengamatan lahan lebih diutamakan untuk mengamati perkembangan intensitas


gangguan HPT, kesuburan pertumbuhan tanaman, dan perkembangan populasi musuh alami.
Masalah hama timbul karena kombinasi faktor- faktor lingkungan yang mendukung
pertumbuhan populasinya. Pemantauan terhadap perkembangan populasi hama, peranan musuh
alami, iklim dan lingkungan harus dilakukan untuk mengetahui keadaan ekosistem lahan yang
selalu berubah dan berkembang. Keadaan pertanaman dari musim ke musim menunjukkan
bahwa tidak setiap saat tanaman terserang hama. Dalam keadaan tanaman tidak terserang, alam
dapat mempertahankan keseimbangan sehingga populasi hama tidak tinggi dan tidak
menyebabkan kerugian. Keadaan keseimbangan demikian disebut dengan keseimbangan hayati.

Faktor pengendali seperti cuaca/iklim, makanan dan hayati (parasit, predator dan
patogen) setiap saat dapat berubah dan keseimbanganpun akan berubah pula. Oleh karena itu,
keseimbangan hayati bukanlah hal yang statis tetapi dinamis dan selalu bergerak. Keseimbangan
populasi hama dapat berubah pula dengan adanya campur tangan manusia dalam mengelola
tanaman. Pemakaian pestisida kimia sebagai alat pengendali hama, apabila tidak selektif dan
tidak tepat dosis dapat membunuh musuh alami dan menyebabkan timbulnya resurgensi dan
hama semakin tinggi populasinya. Hal tersebut mengakibatkan faktor pengubah hayati tidak
dapat bekerja secara maksimal. Pengendalian hama secara terpadu dengan sengaja
mendayagunakan dan memperkuat peranan musuh alami yang menjadi jaminan pengendalian
ledakan populasi hama. Pengelolaan waktu tanam yang tumpang tindih sepanjang tahun akan
menyebabkan tersedianya makanan bagi hama sepanjang tahun. Keadaan demikian akan
mempercepat pertumbuhan dan perkembangan populasi hama.

Pengaruh iklim dan kelembaban dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan


populasi hama. Di dalam keadaan lingkungan dengan suhu optimum, kecepatan proses
metabolisme serangga berbanding lurus dengan kenaikan suhu lingkungannya. Proses
metabolisme yang semakin cepat menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
perkembangannya semakin pendek dan populasi hama berkembang semakin cepat. Setiap lahan
memiliki ekosistem dengan ciri khas tersendiri, sehingga setiap petani perlu memiliki
ketrampilan untuk memantau perkembangan populasi hama dan lingkungan dan mengambil
tindakan pengendalian hama yang tepat, praktis serta menguntungkan. Oleh karena itu,
pentingnya pengawasan lahan secara visual di lapangan, membuat kinerja petani jauhlebih
efisien.

C. KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa dalam PHT terhadap 4 (empat) prinsip dasar yang wajib kita ketahui:

1. Pemahaman Agroekosistem pertanian, paham akan budidaya agrosistem yang mendasar


pada aspek ekologi lingkungan. Penekanan dari konsep ini adalah pencegahan timbulnya
masalah hama, dengan meningkatkan ‘kekebalan’ agroekosistem dengan memadukan
teknik-teknik pengelolaan hama melalui aktivitas-aktivitas budidaya yang lain, sehingga
produktivitas lahan dan kesehatan tanaman dapat terjaga, serta mendapatkan keuntungan
ekonomi.

2. Budidaya tanaman sehat, tanaman yang sehat dapat mengatasi kerusakan daun karena
serangan hama dengan membentuk daun atau cabang atau dengan pertumbuhan yang
lebih kokoh dari cabang yang tidak rusak. Selain itu, adapun aspek pendukung dari
program budidaya tanaman sehat pada PHT ini meliputi, pengelolaan lahan yang baik;
penggunaan bibi/benih yang unggul bersertifikat; penggunaan pupuk alami seperti
organik; pemeliharaan dengan pembersihan gulma; pengendalian OPT menggunakan
musuh alami dan pestisida nabati; penanganan panen/pasca panen yang baik dengan
memisahkan hasil panen tanaman PHT dan tanaman non PHT.

3. Pelestarian dan pendayagunaan musuh alami, pemanfaatan musuh alami tidak lain untuk
menjaga ekosistem lingkungan. Contoh untuk musuh alami seperti laba laba, kumbang
kubah, Paederus sp yang berungsi sebagai menekan tingkat populasi hama pada
tanaman. Selain dengan serangga, musuh alami juga terdapat pada tanaman seperti,
Penggunaan tanaman perangkap (trap crop) secara kultur untuk mengatasi adanya
serangan hama yang menyerang tanaman. Ada dua jenis penanaman tanaman perangkap
yaitu perimeter perangkap dan baris tanam dengan tumpangsari.

4. Pemantauan lahan secara rutin, dilapangan kita tidak akan pernah tau apa yang akan
terjadi, dengan pemantauan secara rutin petani akan tau permasalahan dan penyebabnya.
Di setiap lahan memang memiliki ekosistem yang berbeda dan mempunyai ciri khas
tersendiri. Oleh karna itu, petani memiliki strategi khusus dan daya keterampilan yang
baik untuk melaukan pemantauan perkembangan populasi hama dan lingkungan dan
mengambil tindakan pengendalian hama yang tepat, praktis serta menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA

Altieri, N and Altieri, M. A. 2004. Agroecological bases of ecological engineering for pest
management. In: G. M. Gurr, S. D. Wratten dan M. A. Altieri (Eds.), Eco- logical
Engineering for Pest Mana- gement. Comstock Publishing Associates, New York.

Andow, D.A. 1991. Vegational diversity and arthropod population response. Annual Review of
Entomology 36: 561 – 586.

Anshori A, Prasetiyono C. 2016. Pestisida pada budidaya kedelai di Kabupaten Bantul D. I.


Yogyakarta. Caraka Tani – Journal of Sustainable Agriculture 31(1): 38- 44.
Araujo JPM, Hughes DP. 2016. Diversity of Entomopathogenic fungi which
groups corquered the insect body. Advances in Genetics 24. Penn. State
University, University Park, PA. Unitied States.

Begon M, Mortimer M, and Thompson D.J. 2009. Population Ecology: A Unified


Study of Animals and Plants . MA: Blackwell Publishing

Bejo. 2012. Peningkatan efektivitas Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus dengan
beberapa bahan pembawa untuk mengendalikan hama polong kedelai. Buletin
Palawija 23: 38–43.

Brodbeck, B., Stavisky, J., Funderburk, J., Andersen, P. dan Olson, S. 2001. Flower nitrogen
status and populations of Frankinella occidentalis feeding on Lycopersicon escullentum.
Entomologia Experimentalis et Applicata 99 (2): 165 –172.

Cohen, J.E. 1978. Food webs and Niche space. Princeton Univ. Press, Princeton, NJ

Fanani A. 2008. Pengaruh Penerapan Teknologi PHT Terhadap Populasi Thrips sp. Pada
Tanaman Stroberi di Kusuma Agrowisata. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya. 48 hlm.

Guiterez, A.P., Havenstein, D.E., Nix, H. A. and Moore, P.A. 1974. The ecology of Aphis
cracivora Koch and subteranean clover stunt virus in South East Australia. II. A model
of cowpea aphid population in temperate pastures. Journal of Applied Ecology. 11: 1 –
20.

Jervis, M.A., Lee, J. C., dan Heimpel, G. E. 2004. Use of behavioural and life-history studies
to understand the effects of habitat manipulation. In: G. M. Gurr, S. D. Wratten and M.
A. Altieri (Eds.), Ecological Engineering for Pest Management. Comstock Publishing
Associates, New York. p. 65 – 100.

Kurniawan MA. 2014. Penggunaan pestisida dan kandungan residu pada tanah Pertanian
kedelai (Studi di Kelompok Tani Sumber Rejeki Desa Sukoreko Kecamatan Bangsalsari
Kabupaten Jember). Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Jember. 109
Hal.

Krebs, C.J, 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper
& Row, Publsh. New York. 800 pp

Luckman, W.H. and R.L. Metcalf. 1982. The Pest Management Concept. In:
Introduction to Insect Pest Management (R.L. Metcalf & W.L. Luckmann,
eds.) p:1 - 32. A Wiley Interscience Publ, New York

McGinley, M. 2011. Ecological pyramids. Encyclopedia of Earth. National Council


for Science and the Environment

Metcalf, R.L. 1982. Insecticides in Pest Management. In: Introduction to Insect


Pest Management (R.L. Metcalf & W.L. Luckmann, eds.) p:217 - 278. A
Wiley Interscience Publ., New York.

Morin, P. J. 1985. Community Ecology. New Scientist

Munarso SJ, Miskiyah, Broto W. 2009. Studi kandungan residu pestisida pada kubis,
tomat, danwortel di Malang dan Cianjur. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian 5:
27-32.

Odum, E. P. 1953. Fundamentals of Ecology. Philadelphia, Saunders

Prayogo Y. 2010. Lecanillium lecanii sebagai bioinsektisida untuk pengendalian telur hama
kepik coklat pada kedelai. Iptek Tanaman Pangan. Puslitbangtan 5(2): 169-182.

Price, P. W. 1976. Colonization of crops by arthropods: non-equilibrium commu- nities in


soybean fields. Environmental Entomology. 5: 605 – 612.

Price, P. W. 1991. The plant vigor hypothesis and herbivore attack. Oikos, 62: 244 – 251.

Sokame BM, Tounou AK, Datinon B, Dannon EA, Agboton C, Srinivasan R, Pittendrigh BR,
Tamo M. 2015. Combined activity of Maruca vitrata multi- nucleopolyhedrovirus,
MaviMNPV, and oil from neem, Azadirachta indica Juss and Jatropha curcas L., for the
control of cowpea pests. Crop Protection 72: 150-157.

Untung, K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Gajah Mada University Press. 273
hlm

van Driesche, R.G. and Bellows, T.S. Jr. 1996. Biological Control. Chapman and Hall, New
York.

Anda mungkin juga menyukai