Created: Monday, 23 February 2015 02:48 Written by Humas Balitsa Hits: 41056
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah suatu konsepsi atau cara berpikir mengenai
pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dengan pendekatan ekologi yang bersifat
multidisiplin untuk mengelola populasi hama dan penyakit dengan memanfaatkan beragam
taktik pengendalian yang kompatibel dalam suatu kesatuan koordinasi pengelolaan. Karena PHT
merupakan suatu sistem pengendalian yang menggunakan pendekatan ekologi, maka
pemahaman tentang biologi dan ekologi hama dan penyakit menjadi sangat penting.
Ada empat prinsip dasar yang mendorong penerapan PHT secara nasional,terutama dalam
rangka program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Beberapa prinsip
yang mengharuskannya PHT pada tanaman sayuran adalah seperti dinyatakan dalam uraian
berikut ini.
Budidaya tanaman yang sehat dan kuat menjadi bagian penting dalam program pengendalian
hama dan penyakit. Tanaman yang sehat akan mampu bertahan terhadap serangan hama dan
penyakit dan lebih cepat mengatasi kerusakan akibat serangan hama dan penyakit tersebut. Oleh
karena itu, setiap usaha dalam budidaya tanaman paprika seperti pemilihan varietas,
penyemaian, pemeliharaan tanaman sampai penanganan hasil panen perlu diperhatikan agar
diperoleh pertanaman yang sehat, kuat dan produktif, serta hasil panen yang tinggi.
Pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami yang potensial merupakan tulang
punggung PHT. Dengan adanya musuh alami yang mampu menekan populasi hama, diharapkan
di dalam agroekosistem terjadi keseimbangan populasi antara hama dengan musuh alaminya,
sehingga populasi hama tidak melampaui ambang toleransi tanaman.
Agroekosistem bersifat dinamis, karena banyak faktor di dalamnya yang saling mempengaruhi
satu sama lain. Untuk dapat mengikuti perkembangan populasi hama dan musuh alaminya serta
untuk mengetahui kondisi tanaman, harus dilakukan pengamatan secara rutin. Informasi yang
diperoleh digunakan sebagai dasar tindakan yang akan dilakukan.
4. Petani sebagai ahli PHT
Penerapan PHT harus disesuaikan dengan keadaan ekosistem setempat. Rekomendasi PHT
hendaknya dikembangkan oleh petani sendiri. Agar petani mampu menerapkan PHT, diperlukan
usaha pemasyarakatan PHT melalui pelatihan baik secara formal maupun informal.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan, maka untuk penerapan PHT diperlukan
komponen teknologi, sistem pemantauan yang tepat, dan petugas atau petani yang terampil
dalam penerapan komponen teknologi PHT.
A. Pengertian
Adadua istilah yang sering ditemukan dari PHT, yaitu Pengendalian Hama Terpadu (Integrated
Pest Control=IPC) dan Pengelolaan Hama Terpadu (Integrated Pest Management=IPM). Secara
praktik pengertian dan penerapan dari kedua istilah tersebut sama, meskipun secara hakiki
pengertian dari kedua istilah tersebut berbeda. IPM merupakan perkembangan lebih lanjut dari
IPC, dan dalam pergaulan ilmiah IPC telah ditinggalkan, dan selalu menggunakan IPM. Di
Indonesia dianjurkan menggunakan istilah Pengelolaan Hama Terpadu meskipun keduanya
pelaksanaan dan tujuannya sama.
Pada awalnya PHT merupakan perpaduan antara dua taktik pengendalianhama, yaitu taktik
biologis atau hayati dengan taktik pestisida. Perpaduan antara kedua taktik tersebut
diperkenalkan oleh Barlett pada tahun 1956. Selanjutnya pada tahun 1959, Stern dan kawan-
kawan memperkenalkan PHT, menurut mereka taktik pestisida hanya boleh digunakan apabila
populasihamasudah berada pada suatu batas yang telah ditetapkan, yang dikenal sebagai
Ambang Ekonomi atau Ambang Kendali. Apabila populasi hama masih berada di bawah batas
tersebut maka cukup menggunakan taktik biologis, yaitu memanfaatkan peran parasitoid,
predator, atau patogen serangga. Dengan adanya batas populasi tersebut maka perpaduan
antara kedua taktik tersebut dapat diterapkan di lapangan.
Perkembangan selanjutnya PHT merupakan perpaduan antara taktik-taktik non pestisida (banyak
taktik) dengan taktik pestisida. Taktik-taktik non pestisida secara harmonis dipadukan, dan
perpaduan tersebut diharapkan mampu menekan populasihamaselalu di bawah Ambang
Ekonomi sehingga keberadaanhamapada pertanaman tidak mengakibatkan kerusakan dan
kerugian ekonomik. Tetapi apabila taktik-taktik non pestisida tidak mampu mengatasi laju
populasihama, sehingga populasihamasampai pada batas Ambang Ekonomi, maka taktik
pestisida perlu segera dilakukan. Untuk mengetahui dinamika populasihamadi lapangan, maka
perlu dilakukan monitoring (pemantauan) secara rutin dan cermat. Dengan demikian diharapkan
petani yang biasanya hanya mengandalkan taktik pestisida sebagai andalan utamanya berangsur-
angsur mulai mengurangi aplikasi pestisida, dan mendahulukan taktik non pestisida. PHT adalah
perlindungan tanaman yang bersifat ramah lingkungan, dari aspek ekonomik menguntungkan,
dan dari aspek sosial dapat diterima dan diterapkan oleh petani.
Difinisi PHT dalam pustaka-pustaka sangat beragam, namun kesemuanya tidak jauh
perbedaannya, masing-masing pakar menentukan penekanannya pada aspek-aspek tertentu.
Misalnya Smith (1978) menyatakan PHT adalah pendekatan ekologi yang bersifat multidisipliner
untuk pengelolaan populasihamadengan memanfaatkan beraneka ragam taktik pengendalian
yang kompatibel dalam suatu kesatuan koordinasi pengelolaan. Bottrell (1979) menekankan
bahwa PHT adalah pemilihan, perpaduan, dan penerapan pengendalianhamayang didasarkan
pada perhitungan dan penaksiran konsekuensi-konsekuensi ekonomi, ekologi, dan sosiologi.
Difinisi paling singkat dikemukakan olehKenmore(1989) bahwa PHT sebagai perpaduan yang
terbaik. Perpaduan yang terbaik diartikan perpaduan berbagai penerapan taktik
pengendalianhamaakan diperoleh hasil yang terbaik, yaitu stabilitas produksi pertanian,
kerugian ditekan seminimum mungkin bagi manusia dan lingkungan, serta petani memperoleh
penghasilan maksimum dari usaha taninya.
Perencanaan dan penerapan PHT harus selalu memperhitungkan dampaknya terhadap ekologis,
ekonomis, dan sosiologis, sehingga secara keseluruhan akan diperoleh hasil perpaduan yang
terbaik. Perencanaan, penerapan, dan evaluasi hasil PHT harus mengikuti suatu system
pengelolaan yang terkoordinasi dengan baik dari tingkat pusat sampai ke tingkat petani.
Di Indonesia pestisida dikemas dalam paket teknologi BIMAS pada tanaman padi pada tahun
1970-an, dan penggunaan pestisida merupakan keharusan bagi petani padi. Petani tergiur
terhadap pestisida karena selain efektif dan cepat dirasakan hasilnya, juga harga pestisida pada
saat itu sangat murah dan terjangkau karena petani memperoleh subsidi pemerintah sebesar
80%. Karena pestisida di pasaran sangat melimpah dan relatif terjangkau, maka penggunaan
pestisidapun sangat berlomba tidak hanya terbatas pada komoditi padi, melainkan telah
menjalar ke berbagai komoditi baik tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan hortikultura.
Sejak tahun 1973 penggunaan pestisida terus meningkat dari tahun ke tahun, dan baru terlihat
menurun pada tahun 1987. Penurunan penggunaan pestisida tersebut merupakan dampak dari
kebijakan pemerintah, yang isinya antara lain pemerintah mencabut subsidi pestisida dan
melarang penggunaan 57 jenis insektisida untuk pertanaman padi, serta pemerintah merintis
penerapan PHT padi yang dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 1986.
Tidak menutup mata bahwa pestisida sangat berperan penting dalam menyelamatkan produksi
pertanian terutama tanaman pangan, sehingga dapat mengantarkan bangsaIndonesiamenuju
swasembada beras. Namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa pestisida memiliki dampak negatif
yang merugikan. Oleh karena itu penggunaan pestisida harus dibatasi seminimum mungkin, bila
perlu tidak usah menggunakan pestisida. Tetapi bila terpaksa harus menggunakan pestisida
karena populasihamatelah mencapai Ambang Ekonomi yang telah ditetapkan, maka harus dipilih
pestisida yang selektif fisiologis dan ekologis. Untuk mengoptimumkan manfaat pestisida maka
harus digunakan secara rasional dan bijaksana melalui prinsip PHT.
Smith (1969) cit. Metcalf dan Luckmann (1975) bahwa terdapat 5 fase (tahap) pola perlindungan
tanaman yang terjadi pada budidaya tanaman kapas di Kalifornia, dan 5 fase tersebut dapat
diaplikasikan untuk komoditi lain. Adapun ke 5 fase tersebut adalah :
Fase Subsisten. Pada fase ini tanaman dibudidayakan secara sederhana, belum ada irigasi.
Program perlindungan tanaman belum terorganisasi, masih mengandalkan pada pengendalian
alami, menanam tanaman yang relatif tahan hama, mengambil hama langsung dengan tangan,
praktik kultur teknis, dan jarang menggunakan pestisida. Hasil pertanian saat tersebut rendah,
sehingga belum dipasarkan secara luas, hanya untuk dikonsumsi di desa itu atau ditukar (barter)
di pasar dengan hasil pertanian lain.
Fase Eksploitasi. Pada fase ini telah terjadi perluasan lahan pertanian, program perlindungan
tanaman telah terbentuk, telah memasukkan varietas baru, juga telah terbentuk pasar baru.
Petani telah menggunakan insektisida sintetik untuk memberantas seranggahama. Pestisida
merupakan satu-satunya taktik yang diandalkan. Penggunaan pestisida secara berlebihan baik
ada OPT ataupun tidak. Pestisida digunakan secara luas dan maksimum. Pada awalnya program
tersebut berhasil baik yang ditandai dengan meningkatnya produksi pertanian, baik pangan
maupun serat-seratan. Keberhasilan tersebut mendorong petani untuk menggunakan pestisida
lebih intensif.
Fase Kritis. Setelah beberapa tahun memasuki fase eksploitasi, dirasakan dengan semakin
sering menggunakan pestisida dengan dosis yang semakin ditingkatkan, maka biaya
pemberantasanhamasemakin dirasakan berat. Ditambah adanya ketahananhamaterhadap
insektisida, terjadinya resurjensi, dan ledakanhamakedua. Upaya petani mengganti pestisida
yang telah diaplikasikan dengan jenis baru semakin besar. Keuntungan riil yang diperoleh oleh
petani semakin rendah, bahkan tidak memperoleh keuntungan sama sekali.
Fase Bencana. Apabila penggunaan pestisida pada fase kritis tersebut berlanjut, maka petani
atau pengusaha akan sampai pada fase bencana. Peningkatan frekuensi penyemprotan pestisida,
dibarengi dengan peningkatan dosis, pemakaian pestisida baru, pencampuran dua atau lebih
jenis pestisida, tetap tidak mampu mengatasi permasalahanhama. Biaya penyemprotan pestisida
semakin besar, sedang produksi pertanian rendah, mengakibatkan keuntungan semakin kecil.
Ditambah masalah residu pestisida terutama dalam hasil tanaman, mengakibatkan produk
pertanian tersebut tidak laku di pasaran, karena akan mengganggu kesehatan manusia.
Fase PengelolaanHamaTerpadu. Agar sasaran produksi dapat tercapai dan penghasilan petani
tercapai, dan mau belajar pengalaman pahit di atas, maka petani akan mau menerima dan
menerapkan PHT. Dengan menerapkan PHT biaya produksi dapat ditekan sampai minimum,
produksi pertanian dibuat optimum, dan keuntungan petani atau pengusaha diupayakan
maksimum. Menurut Smith fase-fase tersebut belum tentu dilalui secara tegas, bahkan dua
fase mungkin berlangsung bersamaan. Untuk Negara berkembang Smith menganjurkan untuk
tidak usah melalui fase kritis dan bahaya, tetapi langsung saja ke fase kelima yaitu PHT.
3. Tuntutan Akan Lingkungan Hidup Sehat
Pestisida adalah bahan racun dan apabila penggunaannya tidak terkendali maka akan
mencemari lingkungan hidup, dan sangat membahayakan kelestarian daya dukung lingkungan
maupun kesehatan masyarakat. Hasil penelitian tentang residu pestisida diIndonesiaoleh
Perguruan Tinggi, Lembaga-Lembaga Penelitian, maupun Dinas-Dinas menunjukkan bahwa
residu pestisida telah ada dimana-mana. Residu pestisida telah mencemari tanah, air sungai, air
sumur, air minum, bahkan ada pada bagian tanaman yang dikonsumsi misalnya hasil hortikultura
dan buah-buahan. Meskipun residu tersebut masih di bawah batas toleransi yang ditetapkan
oleh WHO, namun penggunaan pestisida tersebut perlu dikendalikan agar tidak mencapai pada
kadar yang membahayakan.
Dengan menerapkan PHT maka pencemaran lingkungan hidup oleh pestisida dapat ditekan
serendah-rendahnya. Kebijakan pemerintah untuk menerapkan PHT secara nasional pada tahun
1986 mendapat penghargaan dan dukungan dari dunia internasional.
4. Kebijakan Pemerintah
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Inpres No. 3 tahun 1986 yang merupakan dasar
hukum berlakunya penerapan PHT secara nasional, dan Undang-Undang No. 12 tentang system
budidaya tanaman. Dengan keluarnya kebijakan pemerintah tersebut maka penerapan dan
pengembangan PHT di Indonesia harus berjalan lanjut karena telah memperoleh dukungan
politik dan hukum dari pemerintah.
C. Konsep PengelolaanHamaTerpadu
Ekosistem adalah suatu habitat dimana organisme hidup dan faktor abiotik mengadakan
interaksi sehingga mampu membentuk energi dan pola dalam siklus yang berjalan secara
kontinyu (NAS, 1969 cit. Metcalf dan Luckmann, 1975). Ekosistem pertanian atau juga
dinamakan agroecosystem memiliki keragaman tanaman maupun binatang sangat terbatas, jauh
berbeda dengan ekosistem alami yang memiliki keragaman flora dan fauna sangat beragam
seperti terlihat dalam ekosistem hutan belantara. Pada umumnya ekosistem pertanian hanya
terdiri dari beberapa spesies tanaman dan hanya ada satu atau beberapa spesieshamamayor,
sehingga terjadinya ledakanhamasangat dimungkinkan. Praktik budidaya tanaman mengarah ke
pola monokultur dan dalam satu hamparan luas hanya terdapat 1-4 spesies tanaman dan 4-5
spesies hama mayor.
Manusia telah memanipulasi ekosistem pertanian secara intensif, baik cara bercocok tanam,
maupun memasukkan bahan energi tinggi seperti pupuk dan pestisida. Akibatnya ekosistem
pertanian menjadi peka oleh seranganhama, sehingga memungkinkan terjadinya
ledakanhamamengingat tersedianya sumber pakan berlimpah dalam kurun waktu lama.
Memahami sifat ekosistem pertanian di atas maka dalam PHT ditekankan adanya keaneka
ragaman (deversifikasi) tanaman, menghindari pola tanam monokultur dan terus-menerus, serta
mengurangi masukan bahan energi tinggi (pupuk buatan dan pestisida sintetik).
Perbandingan (Nisbah) Manfaat dan Biaya Pengendalian Hama
Manfaat pengendalian adalah besarnya nilai tambah yang diperoleh dari hasil
pengendalianhama. Biaya pengendalianhamaadalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka
menanggulangi masalahhamadengan tujuan mempertahankan produksi atau hasil pertanian.
Nisbah manfaat (benefit) dan biaya (cost) paling tidak bernilai 1, artinya dalam setiap kali
melakukan pengendalianhama maka manfaat yang diperoleh nilainya paling tidak sama dengan
biaya pengendalianhama yang telah dikeluarkan. Apabila terjadi biaya pengendalianhama lebih
besar disbanding manfaat yang diperoleh maka usaha tersebut akan rugi ditinjau dari segi
ekonomik, oleh karena itu Stern dan kawan-kawan saat itu menganjurkan untuk tidak perlu
melakukan tindakan pengendalian. Namun meskipun secara ekonomik dinilai tidak
menguntungkan, kadang-kadang pemerintah, pengusaha, atau petani tetap melakukan tindakan
pengendalianhama dengan pertimbangan lain yaitu pertimbangan politis seperti stabilitas
nasional terhadap kebutuhan pangan secara nasional atau mempertahankan swasembada
pangan.
Risiko adalah dampak negatif yang dirasakan akibat penggunaan pestisida yang tidak rasional
dan bijaksana. Risiko ini dapat berupa berkurang atau hilangnya serangga bermanfaat seperti
musuh alamihamadan serangga penyerbuk, dekompositor, dan lebah madu. Risiko dapat juga
berupa kecelakaan pada petani yang bersifat akut sehingga menyebabkan sakit atau kematian
sebelum waktunya, menurunnya kesehatan petani atau tenaga penyemprot, atau konsumen.
Risiko pestisida yang bersifat khronis dirasakan setelah beberapa tahun atau beberapa puluh
tahun setelah itu seperti timbulnya penyakit “aneh” pada petani atau masyarakat misalnya
badan gemetar berkepanjangan (tremor), rabun mata, kanker, dan penyakit lain.
Risiko tersebut merupakan biaya eksternal (external cost) yang sangat sulit dinilai dengan uang.
Kalaupun dapat hanya pendekatan secara kasar, dengan pendekatan biaya pengganti
(opportunity cost). Risiko pestisida banyak dirasakan pada lingkungan hidup baik yang bersifat
hidup (biotik) maupun abiotik.
PHT mengupayakan risiko pengendalian taktik pestisida sekecil mungkin, melalui berbagai
tindakan antara lain : pengendalian dengan pestisida dilakukan sebagai alternatif terakhir bila
taktik non pestisida tidak mampu menekan populasi hama, dengan batasan Ambang Ekonomi.
Idealnya PHT tidak menggunakan pestisida, tetapi bila terpaksa menggunakan maka harus dipilih
pestisida yang efektif fisiologis dan ekologis, tidak bersifat persisten, memiliki daya racun
(residual effect) pendek, saat aplikasi tidak boleh makan/minum/ merokok, menggunakan
peralatan lengkap (celana panjang, baju/kaos panjang, kaos tangan plastik/karet, sepatu boot,
topi, masker hidung/ mulut), setelah selesai badan dan alat-alat segera dibersihkan dengan
sabun berulang-ulang sampai bersih. Pestisida dan alat-alat aplikasi disimpan digudang jauh dari
anak-anak, hewan piaraan, dan makanan.
PHT merupakan upaya pengelolaan populasihamasampai batas yang tidak merugikan ditinjau
dari segi ekonomis, sekaligus pengelolaan dan pelestarian ekologis. Oleh karena itu PHT selalu
menggunakan batas Ambang Ekonomi sebagai aras populasi dimana pada aras tersebut
penggunaan pestisida dibenarkan, ini mengandung arti bahwa PHT tidak menekan populasi
sampai habis (nol) tetapi masih menerima adanya populasi hama di lapangan selama populasi
tersebut masih dalam batas toleransi. Hal ini sangatlah penting dalam rangka menjaga
keseimbangan alami, memberi kesempatan musuh alamihamauntuk memperoleh pakan dari
populasihamayang berada di bawah AE.
PHT melakukan budidaya tanaman sehat, mulai dari pengolahan lahan, pemilihan benih/bibit
unggul dan tahan terhadap hama/penyakit, penyiapan pembibitan, penanaman, pemeliharaan
(pengairan/ pengeringan lahan, pemupukan berimbang, sanitasi selektif, pemantauan populasi
hama/penyakit/gulma/musuh alami), pemanenan dan pengelolaan pasca panen. Semua upaya
tersebut bertujuan agar tanaman budidaya relatif lebih sehat, sehingga mampu menahan
seranganhama/ penyakit, dan gulma.
Kondisi lingkungan perlu pula dipantau mengingat faktor lingkungan sangat berperan terhadap
naik turunnya populasihama/ penyakit/gulma. Faktor lingkungan tersebut misalnya suhu,
kelembaban, curah hujan, intensitas penyinaran matahari, serta arah dan kecepatan angin.
Pemantauan harus dilakukan secara rutin dan cermat. Rutin artinya pemantauan dilakukan
secara terus-menerus selama satu musim tanam dalam interval tertentu misalnya satu minggu
sekali. Interval pemantauan akan diperpendek apabila populasi hama/penyakit/gulma telah
mendekati AE. Cermat artinya pemantauan tersebut dilakukan secara teliti dan serius, dengan
metode pengamatan yangbakudan benar.
PHT merupakan suatu konsep yang penerapannya masih perlu menyesuaikan dengan kondisi
lingkungan setempat, mengingat tiap-tiap daerah memiliki agroecosystem yang khas yang
kadang berbeda dengan daerah lain. Konsep PHT secara nasional sama, namun penerapan di
lapangan perlu pengembangan dan penyesuaian dengan kondisi setempat (lokal).
Pada saat merintis penerapan PHT memerlukan percontohan konkrit, dalam bentuk demonstrasi
plot maupun demonstrasi area. Kemudian pemerintah mengadakan SL PHT (Sekolah Lapangan
Pengelolaan Hama Terpadu) bagi kelompok tani atau petani maju. Upaya ini dilakukan dalam
rangka mengenalkan PHT secara luas kepada petani agar para petani mau dan mampu
melaksanakan PHT tersebut dengan penuh kesadaran, bukan paksaan. PHT dilaksanakan secara
koordinasi dari tingkat pusat sampai daerah. Jaringan PHT melalui dua jalur, yaitu jalur pusat ke
daerah dan dari daerah ke pusat. Secara yuridis penerapan PHT memiliki dasar hukum, yaitu
Inpres No. 3 tahun 1986. Untuk mempercepat informasi tentang PHT kepada petani perlu
dilakukan sosialisasi kepada masyarakat luas, menyelenggarakan pelatihan-pelatihan, kursus-
kursus singkat, dan memperluas penyelenggaraan SL PHT.
Unsur-unsur dasar harus ada setiap kali menerapkan PHT, sedang taktik PHT perlu dicari taktik-
taktik yang kompatibel agar dapat bekerja secara optimal dengan mempertimbangkan kondisi
agroecosystem setempat. Selanjutnya kedua kelompok tersebut dapat digambarkan sebagai
suatu bangunan yang disangga oleh empat pilar dari unsur-unsur dasar, dan diberi atap dari
taktik-taktik PHT. Kesemuanya itu bermuara untuk melindungi dan melestarikan agroecosystem
dari pencemaran pestisida.
Penerapan PHT melalui model sengkelit tertutup (closed loop system), terdiri dari tiga anasir
yaitu anasir monitoring, anasir penentu keputusan, dan anasir pelaksana (tindakan). Masing-
masing anasir mempunyai tugas dan fungsi sendiri-sendiri. Anasir monitoring bertugas
mengumpulkan data populasihama atau tingkat kerusakan tanaman, populasi musuh alami,
serta kondisi lingkungan kawasan yang dikelola. Data yang telah diperoleh dipasokkan kepada
anasir penentu keputusan, yang bertugas mengolah data tersebut, dan mengambil keputusan
tentang pengelolaanhama. Hasil olahan data tersebut disampaikan kepada anasir pelaksana
(tindakan) dalam bentuk rekomendasi tentang pengelolaanhama terpadu. Selanjutnya anasir
pelaksana menerapkan rekomendasi tersebut pada tanaman budidayanya dalam agro-
ekosistem. Setelah rekomendasi dijalankan, maka anasir monitoring melakukan evaluasi tentang
efektivitas PHT tersebut di lapangan. Data hasil evaluasi disampaikan kepada anasir penentu
keputusan, untuk dianalisis dan diolah kembali, hasil olahan tersebut ke luar sebagai
rekomendasi baru yang sarat dengan perbaikan-perbaikan. Kemudian anasir pelaksana
menerapkan rekomendasi baru tersebut pada lahan pertaniannya. Kembali anasir monitoring
mengevaluasi hasil pelaksanaan PHT tersebut, kemudian diserahkan kepada anasir penentu
keputusan untuk kembali dianalisis, selanjutnya keluar rekomendasi baru lagi, demikian
seterusnya sehingga program tersebut berlangsung dengan alur tertutup yang berjalan terus
menerus.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pada satu jenis komoditi selalu diserang oleh
banyak jenis hama. Misalnya pada komoditi padi banyak hama yang ditemukan menyerang
tanaman tersebut, antara lain : nematoda puru akar padi (Meloidogyne graminicola), penggerek
batang padi (Scirpophaga innotata, Scirpophaga incertulas, Chilo suppressalis, Sesamia inferens,
C. polychrysus), Kepinding tanah (Podops vermiculata), walang sangit (Leptocorisa oratorius),
wereng coklat (Nilaparvata lugens), wereng hijau (Nephotettix virescens), belalang (Valanga
nigricornis, Oxia chinensis), ulat grayak (Spodoptera mauritia), hama putih (Cnaphalocrosis
medinalis), hama putih palsu (Nymphula depunctalis), tikus sawah (Rattus rattus argentiventer),
burung pemakan biji, dan masih banyak lagi. Kemudian muncul pertanyaan hama mana yang
akan menjadi sasaran PHT ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan tepat, maka perlu
hama-hama tersebut dikelompokkan berdasarkan pada status hama. Status hama dibedakan
menjadi lima, yaitu : (1) Hama utama atau hama kunci (Main Pest atau Key Pest), (2) Hama kedua
atau hama kadang-kadang (Secondary Pest atau Occationally Pest), (3) Hama potensial
(Potentially Pest), (4) Hama migran (Migrant Pest), (5) Bukan hama (Non Pest). Sasaran PHT
adalahhama utama atauhama kunci, tetapi statushama lain sepertihama kedua,hama potensial,
danhama migran perlu diperhatikan dan diwaspadai karena statushama tersebut sangat peka
terhadap pengendalian dan perubahan kondisi lingkungan.
Aras Ekonomik penting dalam PHT meliputi AE (Ambang Ekonomi) dan ALE (Aras Luka Ekonomi).
Pada prinsipnya AE adalah batas populasihamayang memerlukan tindakan pengendalian dengan
taktik pestisida. Taktik pestisida perlu dilakukan untuk mencegah agar populasi tidak pernah
sampai ke ALE. Apabila populasihamasampai ke ALE berarti petani atau pengusaha akan
menderita kerugian sebagai dampak seranganhama. PHT bertujuan mengupayakan
populasihamasasaran selalu berada di bawah garis AE melalui berbagai taktik pengendalian non
pestisida yang kompatibel. Gambar di bawah menunjukkan penerapan taktik-taktik
pengendalianhamadalam PHT dalam kaitannya dengan AE dan ALE.