Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH KELOMPOK 8

COMPOUNDING & DISPENSING

“MEDICATION AND DISPENSING ERROR”

NAMA KELOMPOK :

1. Ardhista Shabrina Fitri 2008020085


2. Kharista Khasanyzulaikhah
2008020086
3. Intan Umari
2008020087
4. Filza Nugraheni Ramadhan
2008020088
5. Nurlika Maharani
2008020089
6. Febiana Melisa Fitri
2008020090
7. Afifah Chaerunnisa
2008020091
8. Mia Annida Amalia
2008020092
9. Dimas surya pratama
2008020093

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2020

1.1 Latar Belakang

Obat merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses penyembuhan


penyakit, pemulihan kesehatan dan pencegahan terhadap suatu penyakit.Keputusan
penggunaan obat selalu mengandung pertimbangan antara manfaat dan risiko. Fokus
pelayanan kefarmasian bergeser dari kepedulian terhadap obat (drug oriented) menuju
pelayanan optimal setiap individu pasien tentang penggunaan obat (patient oriented).
Untuk mewujudkan pharmaceutical care dengan risiko yang minimal pada pasien dan
petugas kesehatan perlu penerapan manajemen risiko.

Keselamatan pasien merupakan suatu disiplin baru dalam pelayanan kesehatan


yang mengutamakan pelaporan, analisis, dan pencegahan medical error yang sering
menimbulkan Kejadian Tak Diharapkan (KTD) dalam pelayanan kesehatan. Kegiatan
skrining resep yang dilakukan tenaga kefarmasian untuk mencegah terjadinya
keselahan pengobatan (Medication error) (Depkes RI, 2008). Medical error adalah
kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama dalam penanganan
tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah (KepMenKes No 1027, 2004).

Medication Error (ME) adalah kejadian yang merugihkan pasien


akibatpemakaian obat, tindakan, dan perawatan selama dalam penanganan
tenagakesehatan yang sebetulnya dapat dicegah (MENKES, 2004). Data tentang
kejadian medication error terutama di indonesia tidak banyak diketahui. Haltersebut
kemungkinan karena tidak teridentifikasi secara nyata, tidak dapatdibuktikan, atau
tidak dilaporkan (Siregar, dkk. 2006).

Salah satu faktor penyebab terjadinya medication error adalah kegagalan


komunikasi (salah interpretasi) antara prescriber (penulis resep) dengan dispenser
(pembaca resep) (Rahmawati dan Oetari, 2002). Menurut Cohen (1999) salah satu
faktor yang meningkatkan resiko kesalahan dalam pengobatan adalah resep.
Kelengkapan resep merupakan aspek yang sangat penting dalam peresepan karena
dapat membantu mengurangi terjadinya medication error.

Kesalahan pengobatan ini dapat menyebabkan efek yang merugikan serta


berpotensi menimbulkan resiko fatal dari suatu penyakit (Perwitasari, 2010).
Medication error dapat terjadi pada setiap tahap proses pengobatan yang kompleks
sehingga tingkat prevalensinya perlu diperkirakan pada setiap fase pengobatan:
prescribing dan dispensing sesuai dengan dampak klinisnya (Belenn et al., 2010).
Meskipun kesalahan pengobatan terkadang serius, namun hal tersebut sering tidak
terperhatikan. Penting untuk mendeteksinya, karena kegagalan sistem yang awalnya
mengakibatkan kesalahan kecil dapat menyebabkan kesalahan serius. Kesalahan yang
terjadi ditetapkan melalui standar tertentu, dimana kesalahan dapat dinilai. Semua
orang yang terlibat dengan obat-obatan harus menetapkan atau terbiasa dengan standar
tersebut dan mengamati setiap langkah yang dilakukan untuk memastikan bahwa
kegagalan untuk memenuhi standar tidak terjadi atau mungkin terjadi. Semua orang
yang terlibat dalam proses pengobatan bertanggung jawab atas bagian prosesnya
(Aronson, 2009).

1.2 Epidemiologi

Prevalensi medication error di indonesia Berdasarkan Laporan Peta Nasional


Insiden Keselamatan Pasien (PERSI, 2007) kesalahan pemberian obat menduduki
peringkat pertama yaitu sebesar 24,8% dari 10 besar insiden di rumah sakit yang
pernah dilaporkan. Kejadian tidak diinginkan yang berhubungan dengan medication
error pada penggunaan obat paling sering terjadi pada fase administrasi (81,32%),
praescribing (15,88%) dan transcribing (2,8%).
Berdasarkan penelitian Anny Victor Purba dkk (2007) pada 4 rumah sakit dan
16 apotek komunitas di kota Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya menyatakan
bahwa kesalahan pengobatan terjadi pada dokter yang tidak mencantumkan usia pasien
(86%), tidak ada berat badan (14,4%), kesalahan menuliskan aturan pakai (7,4%),
menuliskan obat dengan dosis berlebih (1,9%), kesalahan perhitungan jumlah obat
(3,9%), kesalahan pembagian puyer (4,9%), kekeliruan nama pasien (2,4%), kesalahan
nama obat (5,4%), dan tidak memberitahukan atau mengingatkan efek samping obat
(3,4%).
Kesalahan pemberian obat dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
dengan presentase sebanyak 22%, informasi tentang pasien yang tidak cukup seperti
data uji laboratorium (10%), kesalahan dosis yang mungkin disebabkan tidak sesuai
dengan SOP (9%), kesalahan dalam membaca resep yang disebabkan tulisan tidak
terbaca jelas, interpretasi perintah dan singkatan dalam resep yang tidak benar, blok
dari penyimpanan obat yang tidak baik, adanya masalah dengan standar dan distribusi,
kegagalan komunikasi antara dokter penulis resep dengan petugas farmasi (Ramawati,
2002). Beberapa faktor penyebab tidak lengkapnya pemberian informasi obat ke pasien
diantaranya beban kerja yang tinggi, petugas kurang kompeten, pasien tidak sabar dan
tidak antri, jumlah pasien yang banyak di waktu tertentu, kondisi yang tidak kondusif
(Hestriani dkk., 2017)
1.3 Definisi Medication Errors

Medication errors adalah suatu kesalahan maupun kegagalan yang terjadi


selama proses pengobatan yang memiliki potensi membahayakan dalam proses
pengobatan dan perawatan terhadap pasien (Aronson, 2009). Kesalahan pengobatan
tersebut dapat menimbulkan efek yang merugikan serta berpotensi terjadi risiko yang
fatal dari suatu penyakit (Perwitasari, 2010). Medication error dapat terjadi pada tahap
proses pengobatan namun masih bisa dicegah sehingga tingkat prevalensinya perlu
diperkirakan pada setiap fase pengobatan prescribing dan dispensing sesuai dengan
dampak klinisnya (Belen et al., 2010)

1.4 Dasar hukum Medication Error

Dasar hukum bagi kejadian medication error dalam pelayanan kefarmasian


klinis telah diatur oleh pemerintah yaitu dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72
tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit, yang menyebutkan
bahwa pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan obat,
pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur
pelayanan resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat
(medication error) (Kemenkes RI, 2016). Medication error juga di atur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 73 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di
apotek, yang menyebutkan bahwa Apoteker harus memahami dan menyadari
kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses
pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait Obat (drug
related problems), masalah farmakoekonomi, dan farmasi sosial
(sociopharmacoeconomy). Untuk menghindari hal tersebut, Apoteker harus
menjalankan praktik sesuai standar pelayanan (Kemenkes RI, 2016). Selain itu
medication error juga diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2016
tentang standar pelayanan kefarmasian di puskesmas yang tertuang dalam bab
pengendalian mutu pelayanan kefarmasian yaitu berbunyi Pengendalian mutu
Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan untuk mencegah terjadinya masalah
terkait Obat atau mencegah terjadinya kesalahan pengobatan atau kesalahan
pengobatan/medikasi (medication error), yang bertujuan untuk keselamatan pasien
(patient safety) (Kemenkes RI, 2016).

1.5 Klasifikasi Medication Eror


Kejadian medication error  dibagi dalam 4 fase, yaitu fase prescribing,
fase transcribing, fase dispensing, dan fase administrasion oleh pasien (Cohen,1991).
a. Prescribing Error
Medication error pada fase prescribing adalah error yang terjadi pada fase
penulisan resep. Fase ini meliputi:
 Kesalahan resep
Seleksi obat (didasarkan pada indikasi, kontraindikasi, alergi yang diketahui,
terapi obat yang ada, dan faktor lain), dosis, bentuk sediaan, mutu, rute,
konsentrasi, kecepatan pemberian, atau instruksi untuk menggunakan suatu obat
yang diorder atau diotorisasi oleh dokter (atau penulis lain yang sah) yang tidak
benar. Seleksi obat yang tidak benar misalnya seorang pasien dengan infeksi
bakteri yang resisten terhadap obat yang ditulis untuk pasien tersebut.
 Resep atau order obat yang tidak terbaca yang menyebabkan kesalahan yang
sampai pada pasien.
 Kesalahan karena yang tidak diotorisasi
Pemberian kepada pasien, obat yang tidak diotorisasi oleh seorang penulis resep
yang sah untuk pasien. Mencakup suatu obat yang keliru, suatu dosis diberikan
kepada pasien yang keliru, obat yang tidak diorder, duplikasi dosis, dosis
diberikan di luar pedoman atau protokol klinik yang telah ditetapkan, misalnya
obat diberikan hanya bila tekanan darah pasien turun di bawah suatu tingkat
tekanan yang ditetapkan sebelumnya.
 Kesalahan karena dosis tidak benar
Pemberian kepada pasien suatu dosis yang lebih besar atau lebih kecil dari
jumlah yang diorder oleh dokter penulis resep atau pemberian dosis duplikat
kepada pasien, yaitu satu atau lebih unit dosis sebagai tambahan pada dosis obat
yang diorder.
 Kesalahan karena indikasi tidak diobati
Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat tetapi tidak menerima suatu obat
untuk indikasi tersebut. Misalnya seorang pasien hipertensi atau glukoma tetapi
tidak menggunakan obat untuk masalah ini.
 Kesalahan karena penggunaan obat yang tidak diperlukan
Pasien menerima suatu obat untuk suatu kondisi medis yang tidak memerlukan
terapi obat.
b. Transcription Errors
Pada fase transcribing, kesalahan terjadi pada saat pembacaan resep untuk proses
dispensing, antara lain salah membaca resep karena tulisan yang tidak jelas. Salah
dalam menterjemahkan order pembuatan resep dan signature  juga dapat terjadi
pada fase ini. Jenis kesalahan obat yang termasuk transcription errors, yaitu:
1) Kesalahan karena pemantauan yang keliru
  Gagal mengkaji suatu regimen tertulis untuk ketepatan dan pendeteksian
masalah, atau gagal menggunakan data klinik atau data laboratorium untuk
pengkajian respon pasien yang memadai terhadap terapi yang ditulis.
2) Kesalahan karena ROM (Reaksi Obat Merugikan)
Pasien mengalami suatu masalah medis sebagai akibat dari ROM atau efek
samping.
Reaksi diharapkan atau tidak diharapkan, seperti ruam dengan suatu antibiotik,
pasien memerlukan perhatian pelayanan medis.
3) Kesalahan karena interaksi obat
Pasien mengalami masalah medis, sebagai akibat dari interaksi obat-obat, obat-
makanan, atau obat-prosedur laboratorium.
c. Administration Error
Kesalahan pada fase administration  adalah kesalahan yang terjadi pada proses
penggunaan obat. Fase ini dapat melibatkan petugas apotek dan pasien atau
keluarganya. Kesalahan yang terjadi misalnya pasien salah menggunakan
supositoria yang seharusnya melalui dubur tapi dimakan dengan bubur, salah
waktu minum obatnya seharusnya 1 jam sebelum makan tetapi diminum
bersama makan.
Jenis kesalahan obat yang termasuk administration errors yaitu:
1) Kesalahan karena lalai memberikan obat
Gagal memberikan satu dosis yang diorder untuk seorang pasien, sebelum dosis
terjadwal berikutnya.
2) Kesalahan karena waktu pemberian yang keliru
Pemberian obat di luar suatu jarak waktu yang ditentukan sebelumnya dari waktu
pemberian obat terjadwal.
3) Kesalahan karena teknik pemberian yang keliru
Prosedur yang tidak tepat atau teknik yang tidak benar dalam pemberian suatu obat.
Kesalahan rute pemberian yang keliru berbeda dengan yang ditulis; melalui rute
yang benar, tetapi tempat yang keliru (misalnya mata kiri sebagai ganti mata kanan),
kesalahan karena kecepatan pemberian yang keliru.
4) Kesalahan karena tidak patuh
 Perilaku pasien yang tidak tepat berkenaan dengan ketaatan pada suatu regimen
obat yang ditulis. Misalnya paling umum tidak patuh menggunakan terapi obat
antihipertensi.
5) Kesalahan karena rute pemberian tidak benar
Pemberian suatu obat melalui rute yang lain dari yang diorder oleh dokter, juga
termasuk dosis yang diberikan melalui rute yang benar, tetapi pada tempat yang
keliru (misalnya mata kiri, seharusnya mata kanan).
6) Kesalahan karena gagal menerima obat
Kondisi medis pasien memerlukan terapi obat, tetapi untuk alasan farmasetik,
psikologis, sosiologis, atau ekonomis, pasien tidak menerima atau tidak
menggunakan obat.
d. Dispensing Error
Kesalahan pada fase dispensing terjadi pada saat penyiapan hingga penyerahan
resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan terjadinya error  adalah salah
dalam mengambil obat dari rak penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang
mirip atau dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya. Selain itu, salah dalam
menghitung jumlah tablet yang akan diracik, ataupun salah dalam pemberian
informasi. Jenis kesalahan obat yang termasuk Dispensing errors  yaitu :
1) Kesalahan karena bentuk sediaan
Pemberian kepada pasien suatu sediaan obat dalam bentuk berbeda dari yang
diorder oleh dokter penulis. Penggerusan tablet lepas lambat, termasuk kesalahan.
2) Kesalahan karena pembuatan/penyiapan obat yang keliru
Sediaan obat diformulasi atau disiapkan tidak benar sebelum pemberian. Misalnya,
pengenceran yang tidak benar, atau rekonstitusi suatu sediaan yang tidak benar.
Tidak mengocok suspensi. Mencampur obat-obat yang secara fisik atau kimia
inkompatibel. Penggunaan obat kadaluarsa, tidak melindungi obat terhadap
pemaparan cahaya.
3) Kesalahan karena pemberian obat yang rusak
Pemberian suatu obat yang telah kadaluarsa atau keutuhan fisik atau kimia bentuk
sediaan telah membahayakan. Termasuk obat-obat yang disimpan secara tidak
tepat.
2.1 Definisi Dispensing
Dispensing obat adalah melakukan kegiatan untuk memeriksa kelengkapan resep
meliputi kelengkapan permintaan, ketepatan etiket, aturan pakai, pemeriksaan
kesesuain resep terhadap obat dan kesesuaian resep terhadap isi etiket ( Depkes RI,
2008 ). Praktek dispensing yang baik adalah suatu praktek yang memastikan suatu
bentuk yang efektif dari obat yang benar ditujukan kepada pasien yang benar dalam
dosis dan kuantitas sesuai instruksi yang jelas dan dalam kemasan yang memelihara
potensi obat.
Dispensing Error adalah ketidaksesuaian antara obat yang diresepkan dan obat
yang dikeluarkan oleh apotek kepada pasien. Dispensing Error termasuk
penyimpangan dari resep, seperti obat yang tidakbenar, dosis, kekuatan sediaan, jumlah
yang salah, atau tidak memadai pelabelan.Penggunaan yang membingungkan,
persiapan yang tidak benar atau tidak tepat, pengemasan, atau penyimpanan sebelum
obat diserahkan sering terjadi kesalahan. Kasus yang sering terjadi pada dispending
error pelayanan kefarmasiaan adalah salah obat, salah kekuatan obat dan salah
kuantitas. Salah obat adalah jenis kesalahan yang paling umum di layanan farmasi
adapun dispending error yang lain adalah kekeliruan dosis, kekuatan obat dan jumlah
obat (Aldhwaihi et al, 2016). Kesalahan pengeluaran obat umum terjadi di apotek dan
rumah sakit. Studi kasus di Amerika menemukan bahwa kesalahan pengeluaran obat
perhari 250 resep di 50 apotek (Flynn, 2003). Faktor- faktor yang berkaitan dengan
terjadinya dispencing error adalah beban kerja yang tinggi, kemiripan kemasan, kondisi
lingkungan, sistem penyimpanan obat dan komunikasi (Aldhwaihi et al, 2016).
2.2 Prosedur dispensing
Prosedur dispensing secara umum meliputi :

1. Penerimaan resep
2. Pemeriksaan keberadaan obat
3. Interpretasi resep
4. Pengambilan obat
5. Preparasi dan proses pemberian
6. Komunikasi dengan pasien
7. Pemastian pasien mengerti penggunaan obat
8. Monitoring kepatuhan pasien
9. Pencatatan atau dokumentasi
2.3 Proses dispensing
Proses Dispensing Good Pharmacy Practice menurut Direktorat Jendral Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dengan
pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (2011) adalah :
1. Tahap pertama: Menerima dan memvalidasi order atau resep dengan mengidentifikasi
penderita dan menegaskan nama penderita.
2. Tahap kedua: Mengkaji order atau resep untuk kelengkapan resep meliputi:
- Nama penderita
- Ruang, kamar, nomor penderita
- nama obat, kekuatan, bentuk sediaan, kuantitas, aturan pakai
- Tanggal dan jam penulisan order atau resep
- Tanda tangan dokter penulis dan Jika perlu, instruksi lain dari dokter.
3. Tahap ketiga: Mengerti dan menginterpretasi order atau resep. Harus dilakukan oleh
apoteker atau asisten apoteker senior yang telah terlatih untuk tahap ini:
a. Membaca order atau resep
b. Menginterpretasi setiap singkatan yang digunakan dokter penulis resep secara benar.
c. Menegaskan bahwa dosis yang ditulis berada dalam rentang yang normal bagi penderita
(jenis kelamin dan umur perlu diperhatikan).
d. Melakukan perhitungan dosis dan kuantitas secara benar
e. Mengkaji ketidak tepatan yang tertera pada resep, antara lain kontra indikasi, interaksi,
duplikasi dan inkompatibilitas. Order obat secara lisan hanya diberikan dalam situasi luar
biasa dan darurat.
4. Tahap keempat : Menapis profil pengobatan penderita. Apoteker memasukkan semua data
obat yang tertulis pada order atau resep formula kedalam profil formulir pengobatan
penderita (terkomputerisasi). Suatu profil pengobatan penderita (p-3) mengandung dua jenis
informasi, yaitu pertama informasi khusus penderita atau disebut juga data base yaitu umur
dan bobot tubuh dihubungkan dengan kesesuaian dosis yang ditulis dokter dan kedua
informasi terapi penderita.
5. Tahap kelima: Menyiapkan, membuat, atau meracik sediaan obat. Beberapa langkah dalam
penyiapan atau peracikan sediaan obat yang diminta dokter yaitu:
a. Menemukan atau memilih wadah obat persediaan
b. Formula (membuat, menghitung, mengukur dan menuang)
c. Proses memberikan etiket
d. Penghantaran atau distribusi
6. Tahap keenam: Menyampaikan atau mendistribusikan obat kepada penderita. Untuk rawat
jalan obat harus diberikan kepada penderita yang namanya tertera pada resep atau
perwakilannya. Untuk penderita rawat inap, obat didistribusikan sesuai dengan sistem
distribusi obat untuk penderita rawat tinggal di RS.
2.4 Kategori kesalahan dispending
Jenis kesalahan obat yang termasuk Dispensing errors  yaitu :

1) Kesalahan karena bentuk sediaan


Pemberian kepada pasien suatu sediaan obat dalam bentuk berbeda dari yang diorder
oleh dokter penulis.Selain itu, penggerusan tablet lepas lambat, termasuk kesalahan.
2) Kesalahan karena pembuatan/penyiapan obat yang keliru
Sediaan obat diformulasi atau disiapkan tidak benar sebelum pemberian. Misalnya,
pengenceran yang tidak benar, atau rekonstitusi suatu sediaan yang tidak benar. Tidak
mengocok suspensi. Mencampur obat-obat yang secara fisik atau kimia inkompatibel.
Penggunaan obat kadaluarsa, tidak melindungi obat terhadap pemaparan cahaya.

3) Kesalahan karena pemberian obat yang rusak


Pemberian suatu obat yang telah kadaluarsa atau keutuhan fisik atau kimia bentuk
sediaan telah membahayakan. Termasuk obat-obat yang disimpan secara tidak tepat.
Kategori dispensing error menurut Hartati(2014) adalah :
1) Rata-rata waktu pemberian informasi obat.
2) Kesalahan pengambilan obat.
3) Kesalahan pemberian etiket/label obat.
4) Kesalahan peracikan obat.
5) Kesalahan penyerahan obat pasien.
6) Kesalahan penulisan copy resep/salinan resep.
7) Obat yang terlanjur diserahkan kepada pasien yang bukan diresepkan oleh dokter
yang berwenang.
8) Dosis, kekuatan atau jumlah obat yang diserahkan tidak sesuai dengan yang
dimaksud dalam resep.
9) Pemberian obat yang telah kadaluarsa atau integritas obat secara fisik atau kimia telah
menurun
2.5 Prevalensi Medication Errors pada Dispensing
Jenis kasus medication error yang terjadi pada tahap dispensing di layanan farmasi
meliputi salah obat, salah dosis, salah kekuatan obat, salah jumlah obat dan salah
perumusan obat. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada saat obat diberikan kepada pasien,
saat pelabelan obat dan ketika pasien tidak menerima informasi obat. Selaras dengan
penelitian yang dilakukan Sard BE (2008) prevalensi kesalahan pada tahap dispensing
sebesar (3,66%) terjadi saat persiapan obat yang tidak tepat dan tidak lengkap atau tidak
ada informasi obat. Dalam penelitian Hartati dkk (2014) membandingkan prevalensi
medication error di ICU RSUD Kota Baubau pada tahap dispensing error dengan 119
kejadian sebesar (38,76%), dan pada pasien ICU di RS Santa Anna Kendari, yaitu dengan
38 kejadian sebesar (20%). Hal hal yang turut mempengaruhi ialah persoalan sistem
karena minimnya kelengkapan fasilitas di rumah sakit, kemudian profesionalitas dari
sumber daya manusia, meliputi dokter, tenaga farmasis, serta perawat, dan dokumentasi.
Pada penelitian yang dilakukan (Terrie, 2004) menyatakan bahwa efek samping obat
terjadi 6% pada pasien yang mendapat 2 macam obat, meningkat 50% pada pasien yang
mengonsumsi 5 macam obat, dan 100% ketika lebih dari 8 obat yang digunakan.
Berdasarkan laporan yang diterima Tim Kesehatan Pasien RS (KP-RS) R.K. Charitas
kejadian tidak diinginkan yang terjadi selama lima tahun terakhir, yang berkaitan dengan
obat (ME) sebanyak 76 kasus (26%) dari seluruh kejadian yang tidak diinginkan yang
terjadi. Meskipun sebagian besar kasus tidak terjadi dampak yang fatal, beberapa
diantaranya termasuk kategori bermakna secara klinis (Simamora, dkk. 2011).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Timbongol (2016), persentase medication error
yang terjadi pada tahap prescribing di Poli Interna RSUD Bitung yaitu tidak ada bentuk
sediaan (74,53%), tidak ada dosis sediaan (20,87%), tidak ada umur pasien (62,87%),
tulisan resep tidak terbaca atau tidak jelas (6,50%) sehingga berpotensi terjadinya
medication error.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Salmani (2016), kesalahan dengan insidensi
tinggi terjadi pada pengobatan non injeksi adalah salah pasien (1,6%), salah obat (7,9%),
pemberian obat tanpa pemintaan dokter(1,6%), sedangkan dalam pengobatan injeksi
meliputi salah dosis (7,9%), salah perhitungan obat (6,4%) dan salah infus (9,5%).
Penyebab yang paling umum adalah komunikasi, kemasan, transkripsi, kondisi kerja dan
kondisi apotek.

2.6 KASUS

1. Prescription Error/Medication error


“Ny. Sakura, 44 tahun (nama samaran) datang ke puskesmas dengan keluhan
penglihatan kabur dan sakit kepala, ketika dipuskesmas beliau diperiksa seorang dokter
yang baru bertugas beberapa pecan di puskesmas tersebut. Dokter meresepkan
Gentamisin ointment salep kulit dan untuk keluhannya. Kemudian pasien menebus
obat diinstalasi farmasi puskesmas tersebut dan berdasarkan tulisan diresep AA yang
bertugas menganjurkan untuk dioleskan pada bagian yang sakit, kemudian pasien
mengoleskan salep tersebut pada matanya dan setelah menggunakan obat tersebut
pasien menjerit kesakitan dan harus dilarikan ke IGD”.
Berikut ilustrasi resep :
a. Permasalahan
Pada kasus medication error diatas yaitu pasien yang harusnya menerima obat
salep mata ternyata mendapatkan salep kulit. Pada resep tidak tertulis jelas spesifik
jenis salepnya, apakah untuk mata atau kulit. Selain itu pada aturan pakai hanya
dituliskan “applic loc dol (oleskan pada daerah yang sakit)”, karena salep
Gentamicin selain untuk kulit, ternyata ada juga yang sediaannya untuk infeksi pada
mata sehingga AA yang bertugas hanya menganjurkan pemakaian yang tertulis di
resep tanpa mengassesment atau mempertanyakan keluhan pasien dibagian mana.
Jadi, pada kasus diatas AA lalai dalam mengiliminir kesalahan penulisan dari dokter
dan ironisnya itu terjadi masih di satu tempat yaitu puskesmas.

b. Penyelesaian
Berdasarkan permasalahan di atas maka dapat dilakukan langkah-langkah
berikut dalam menangani masalah tersebut yaitu:

- Ketika menerima resep yang ambigu baik signa maupun yang lainnya AA yang
bertugas seharusnya mengkonfirmasi kepada dokter di tempat itu, namun
karena AA kurang peka terhadap masalah sehingga hal sepele tersebut
diabaikan dan berakibat fatal bagi pasien tersebut
- Resep yang diterima AA seharusnya diassesment terlebih dahulu apabila
terlihat gejanggalan sehingga dapat diketahui apakah resep yang diberikan
sesuai dengan keluhan yang diderita pasien tersebut
- KIE menjadi filter terakhir untuk mengeliminasi kesalahan resep tersebut,
ketika KIE yang diberikan AA tidak sesuai dengan keluhan pasien maka pasien
atau AA akan melakukan klarifikasi dan memperbaiki kesalahan tersebut.
2. Dispending error
“Seorang Kostumer datang ke apotek membawa resep untuk anaknya, dokter
meresepkan Gentamycin dengan dosis 7,8 mg (0,78 ml dari sediaan 10 mg/ml)
untuk pasien ABD (tanpa keterangan usia). AA yang bertugas langsung
mengambilkan Gentamicin 40 mg/ml (yang notabene untuk pasien dewasa) dan
memberikannya kepada kostumer tersebut. Beberapa jam kemudian dokter yang
bertugas di RS pasien ABD dirawat menghubungi apotek dan menanyakan obat
yang diberika kepada pasiennya salah dan hampir disuntikkan oleh perawat yang
bertugas”

a. Permasalahan
Dari kasus tersebut, medication error yang terjadi adalah kesalahan
pemberian obat karena konsentrasi yang diinginkan dan yang diberikan tidak
sesuai dan konsentrasi yang diberikan adalah untuk pasien dewasa karena yang
menebus resep adalah orang tua pasien tersebut bukan untuk pediatrik.
Untungnya, permasalahan diketahui ketika perawat yang berjaga dan mau
menyuntikkan bingung dan mempertanyakan dosis yang diberikan dengan
konsentrasi obat karena perhitungan yang sulit.

b. Penyelesaian
Permasalahan tersebut maka yang harus dilakukan untuk mengatasi atau
mencegah kesalahan tersebut adalah:

- Apoteker penanggung jawab seharusnya ada ditempat dan mengassesment


resep yang dibawa tersebut apakah sudah valid karena dari kasus tersebut
tidak tercantum usia pasien
- Apoteker seharusnya mengidentifikasi kejanggalan resep tersebut karena
yang dimintas tidak sesuai dengan sediaan yang tersedia sehingga mungkin
dokter keliru menuliskan dosis dengan konsentrasi yang diinginkan
- Karena obat tersebut untuk penggunaan injeksi yang dilakukan di RS
sehingga apoteker tidak memberikan KIE dan kesalahan baru diketahui
setelah perawat yang mau mengnjeksikan obat tersebut mengalami kesulitan
menghitung pengambilan obat karena apoteker klinis yang seharusnya
menghitung dosis tersebut tidak ada.

DAFTAR PUSTAKA

Aronson, J.K. 2006. Medication Errors:Definitions and Classification. British Journal of


Clinical Pharmacology. 67:559-604.

Belen, Ana et al.. 2010. Medication Error Prevalence. International Journal of Health Care
Quality Assurance. Vol. 23.

Cochen, michael R. 1991. Medication Error. American: Pharmacist Acociation.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan Departemen kesehatan RI. 2008. Tanggung Jawab Apoteker Terhadap
Keselamatan Pasien (Patient Safety ).
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1027 MenKes/SK/IX/2004. Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek. Jakarta.

Perwitasari, Dyah Aryani et al., 2010. Medication Errors in Outpatients of a Goverment


Hospital in Yogyakarta Indonesia. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review
and Research Page 8 Vol. 1.

Rahmawati, Fita & Oetari, R.A. 2002. Kajian Penulisan Resep:Tinjauan Aspek Legalitas
dan Kelengkapan Resep di Apotek-Apotek. Yogyakarta : Majalah Farmasi Indonesia.13.
Siregar, Charles, J.P., dan Kumolosasi, E, 2006. Farmasi Klinik Teori danPenerapan.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Hestarini V., Amalia L., Margayan E., 2017, Studi observasi kesalahan pengobatan di depo
farmasi rawat jalan RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung, Jurnal ilmu kefarmasian indonesia
vol. 15 (2)
Persatuan Rumah Sakit Indonesia. 2007. Laporan Peta Nasional Keselamatan
PasienKonggresPERSI. Jakarta.
Purba, A.V., Soleha, M. dan Sari, I.D., 2007, Kesalahan dalam Pelayanan Obat (medication
error) dan Usaha Pencegahannya, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, Volume I0

Rahmawati, F., dan Oetari, R.A, 2002. Kajian penulisan resep: “Tinjauan AspekLegalitas
dan Kelengkapan Resep di Apotek-apotek Kotamadya Yogyakarta”. Majalah Farmasi
Indonesia. 13:86-94. Yogyakarta
Aldhwaihi et.al,. 2016. A systematic review of the nature of dispensing error in hospital
pharmacies.United Kingdom. Departement of Pharmacy University of Hertordshire

Depkes, RI. 2008. Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien. Jakarta.
Ditjen Bina Kefarmasiaan dan Alat Kesehatan

Flynn EA, Barker KN, Carnahan BJ. 2003. National observational study of prescription
dispensing accuracy and safety in 50 pharmacies. J Am Pharm Assoc (Wash.)

Kementerian Kesehatan RI, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Apotek, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI, 2016, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Puskesmas, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai