Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Definisi Teori Keperawatan Virginia Henderson

Harmer dan Henderson (1995, dalam Potter, 2005 : 274) mengemukakan teori
keperawatan Virginia Henderson mencakup seluruh kebutuhan dasar seorang manusia.
Henderson (1964, dalam Potter, 2005 : 274) mendefinisikan keperawatan sebagai
membantu individu yang sakit dan yang sehat dalam melaksanakan aktivitas yang
memiliki kontribusi terhadap kesehatan dan penyembuhannya, dimana individu tersebut
akan mampu mengerjakanya tanpa bantuan bila ia memiliki kekuatan, kemauan, dan
pengetahuan yang dibutuhkan. Hal ini dilakukan dengan cara membantu mendapatkan
kembali kemandiriannya secepat mungkin.

Virginia Henderson mendefinisikan keperawatan sebagai “penolong individu,


saat sakit atau sehat, dalam melakukan kegiatan tersebut yang bertujuan untuk
kesehatan, pemulihan , atau kematian yang damai dan individu akan dapat
melakukannya sendiri jika mereka mempunyai kakuatan, keinginan, atau
pengetahuan”(Harmer dan Henderson, 1955; Henderson, 1996). Proses
keperawatan mencoba melakukan hal tersebut dan tujuannya adalah kebebasan.

Henderson dalam teorinya mengategorikan empat belas kebutuhan dasar


semua orang dan mengikutsertakan fenomena dari ruang lingkup klien berikut ini :
fisiologis, psikologis, sosiokultural, spiritual, dan perkembangan. Bersama perawat
dan klien bekerjasama untuk mendapatkan semua kebutuhan dan mencampai
tujuannya, tujuan keperawatan menurut Virginia Henderson 1955 bekerja secara
bebas dengan pekerja pelayan kesehatan lainnya (Tomey dan Alligood, 2006),
membantu klien mendapatkan kekuatannya lagi. Dan latar belakang untuk praktik
menurut Henderson yaitu perawat membantu klien melaksanakan empat belas
dasar kebutuhan Henderson, 1966.

Model konsep keperawatan dijelasakan oleh Virginia Henderson adalah model


konsep aktivitas sehari-hari dengan memberikan gambaran tugas perawat yaitu
mengkaji individu baik yang sakit ataupun sehat dengan memberikan dukungan
kepada kesehatan, penyembuhan serta agar meninggal dengan damai.

Pemahaman konsep tersebut dengan didasari kepada keyakinan dan nilai


yang dimilikinya diantaranya : pertama, manusia akan mengalami perkembangan
mulai dari pertumbuhan dan perkembangan dalam rentang kehidupan; kedua,
dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari individu akan mengalami
ketergantungan sejak lahir hingga menjadi mandiri pada dewasa yang dapat
dipengaruhi oleh polah asuh, lingkungan dan kesehatan; ketiga, dalam
melaksanakan aktivitas sehari-hari individu dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok diantaranya terhambat dalam melakukan aktivitas, belum dapat
melaksanakan aktivitas dan tidak dapat melakukan aktivitas.

2.2 Model Keperawatan Virginia Henderson

1. Autoritarian dan struktur hierarki di rumah sakit

2. Sering terdapat fokus satu pihak yaitu pada penyembuhan gangguan fungsi
fisik semata.

3. Fakta bahwa mempertahankan kontak pribadi dengan pasien merupakan


hal yang tidak     mungkin dilakukan pada masa itu

4. Adanya keanekaragaman pengalaman yang ia miliki selama karier


keperawatannya di Amerika Serikat di berbagai bidang layanan kesehatan

2.3 Hubungan Model dengan Paradigma Keperawatan

1. Manusia
Individu sebagai kesatuan yang tidak dapat dipisahkan: jiwa dan raga
adalah satu kesatuan. Lebih lanjut lagi, indifidu dan keluarganya dipandang
sebagai unit tunggal. Setiap manusia harus berupaya untuk
memepertahankan keseimbangan fisiologis dan emosional.
2. Lingkungan

Henderson mendefinisikan lingkungan sebagai seluruh faktor eksternal


dan kondisi yang memengaruhi kehidupan dan perkembangan manusia.
3. Sehat dan Sakit
Sehat adalah kualitas hidup tertentu, yang oleh Henderson dihubungkan
dengan kemandirian. Karakteristik utama dari sakit, adalah ketergantungan
dan berbagai tingkat inkapasitas individu (sekarang pasien) untuk
memuaskan kebutuhan manusianya. Menganggap bahwa sehat adalah
kemandirian dan sakit adalah ketergantungan dapat dipandang sebagai
simplifikasi. Dapat juga dikatakan bahwa sakit adalah keterbatasan
kemandirian.
4. Keperawatan
Fungsi unik dari perawat adalah untuk membantu individu, baik apakah
ia sakit atau sehat, dalam peran tambahan atau peran pendukung. Tujuan
dari keperawatan adalah untuk membantu individu memperoleh kembali
kemandiriannya sesegera mungkin. Namun demikian, keputusan
Henderson untuk meningkatkan kemandirian dan hanya melakukan
sesuatu untuk pasien jika ia tidak dapat melakukannya sendiri tidak
disetujui oleh profesi sebagai prinsip dasar asuhan keperawatan sebelum
Henderson menjelaskannya lebih lanjut.
2.4 Kebutuhan Dasar Manusia Menurut Virginia Henderson

1. Bernafas secara normal.

2. Makan dan minum dengan cukup.

3. Membuang kotoran tubuh.

4. Bergerak dan menjaga posisi yang diinginkan.

5. Tidur dan istirahat.

6. Memilih pakaian yang sesuai

7. Menjaga suhu tubuh tetap dalam batas normal dengan menyesuaikan pakaian dan
mengubah lingkungan.

8. Menjaga tubuh tetap bersih dan terawat serta melindungi integumen.

9. Menghindari bahaya lingkungan yang bisa melukai.

10. Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengungkapkan emosi, kebutuhan, rasa
takut atau pendapat.

11. Beribadah sesuai dengan keyakinan.

12. Bekerja dengan tata cara yang mengandung unsur prestasi.

13. Bermain atau terlibat dalam berbagai kegiatan rekreasi.

14. Belajar mengetahui atau memuaskan rasa penasaran yang menuntun pada
perkembangan normal dan kesehatan serta menggunakan fasilitas kesehatan yang
tersedia.
Henderson (1964, dalam Potter, 2005) menyebutkan keempat belas kebutuhan dasar
manusia diatas dapat diklasifikasikan menjadi empat komponen, yaitu komponen
biologis, psikologis, sosiologis dan spiritual. Kebutuhan dasar pada poin 1-9 termasuk
komponen kebutuhan biologis. Pada poin 10 dan 14 termasuk komponen kebutuhan
psikologis. Lalu pada poin 11 termasuk komponen spiritual. Sedangkan poin 12 dan 13
termasuk komponen kebutuhan sosiologis. Berdasarkan teori diatas serta judul dari
penelitian ini, peneliti hanya menggunakan kebutuhan dasar pada poin 11 yang
merupakan komponen spiritual. Spiritualitas, agama, dan existential concerns juga
menjadi komponen utama health related quality of life (HRQOL). Pada HRQOL ini
terdapat kuisioner yang berisi delapan segi spiritualitas, agama, dan keyakinan pribadi
(berhubungan dengan spiritual atau kekuatan, arti hidup, kekaguman, keutuhan dan integrasi,
kekuatan spiritual, kedamaian batin/ ketenangan/ harmoni, harapan dan optimisme, dan
iman) (Krageloh et al., 2015). Koenig et al (dalam Moeini et al, 2016) percaya bahwa
spiritualitas dapat mempengaruhi fungsi sosial seseorang dan emosi seseorang serta pada
gilirannya juga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan kelenjar endokrin. Oleh karena itu,
keyakinan dan praktik spiritual dikaitkan dengan perilaku sehat, fungsi kekebalan tubuh yang
lebih kuat, kondisi kardiovaskular yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih panjang. Model
keperawatan diatas juga menjelaskan bahwa tugas perawat adalah membantu individu dengan
meningkatkan kemandiriannya secepat mungkin serta membantu individu yang sehat maupun
sakit melaksanakan berbagai aktivitas guna mendukung kesehatan dan penyembuhan individu
(Harmer dan Henderson (1995, dalam Potter, 2005 : 274).

2.5 Konsep Utama Teori Henderson

Konsep utama dalam teori Henderson mencakup manusia, keperawatan,


kesehatan, dan lingkungan.
1. Manusia.
Henderson melihat manusia sebagai individu yang membutuhkan
bantuan untuk meraih kesehatan, kebebasan, atau kematian yang damai,
serta bantuan untuk meraih kemandirian. Menurut Henderson, kebutuhan
dasar manusia terdiri atas 14 komponen yang merupakan komponen
penanganan perawatan. Keempatbelas kebutuhan tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Bernapas secara normal
b. Makan dan minum dengan cukup.
c. Membuang kotoran tubuh.
d. Bergerak dan menjaga posisi yang diinginkan.
e. Tidur dan istirahat.
f. Memilih pakaian yang sesuai.
g. Menjaga suhu tubuh tetab dalam batas normal dengan menyesuaikan
pakaian dan   mengubah lingkungan.
h. Menjaga tubuh tetap bersih dan terawat serta serta melindungi
integumen.
i. Menghindari bahaya lingkungan yang bisa melukai.
j. Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengungkapkan emosi,
kebutuhan, rasa takut, atau pendapat.
k. Beribadah sesuai dengan keyakinan.
l. Bekerja dengan tata cara yang mengandung unsur prestasi.
m. Bermain atau terlibat dalam berbagai kegiatan rekreasi.
n. Belajar mengetahui atau memuaskan rasa penasaran yang menuntun
pada perkembangan normal dan kesehatan serta menggunakan fasilitas
kesehatan yang tersedia.

Keempat belas kebutuhan dasar manudia di atas dapat di klarifikasikan


menjadi empat kategori, yaitu komponen kebutuhan biologis, psikologis,
sosiologis, dan spiritual.

2. Keperawatan.

Perawat mempunyai fungsi unik untuk membantu individu, baik


dalamkeadaan sehat maupun sakit. Sebagai anggota tim kesehatan, perawat
mempunyai fungsi independence di dalam penanganan perawatan
berdasarkan kebutuhan dasar manusia (14 komponen di atas). Untuk
menjalankan fungsinya, perawat harus memiliki pengetahuan biologis
maupun sosial.

3. Kesehatan.

Sehat adalah kualitas hidup yang menjadi dasar seseorang dapat


berfungsi bagi kemanusiaan. Memperoleh kesehatan lebih penting daripada
mengobati penyakit. Untuk mencapai kondisi sehat, diperlukan kemandirian
dan saling ketergantungan. Individu akan meraih atau mempertahankan
kesehatan bila mereka memiliki kekuatan, kehendak, serta pengetahuan
yang cukup.
4. Lingkungan.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan aspek lingkungan

a. Individu yang sehat mampu mengontrol lingkungan mereka, namun


kondisi sakit akan menghambat kemampuan tersebut.
b. Perawat harus mampu melindungi pasien dari cedera mekanis.
c. Perawat harus memiliki pengetahuan tentang keamanan lingkungan.
d. Dokter menggunakan hasil observasi dan penilaian perawat sebagai
dasar dalam memberikan resep.
e. Perawat harus meminimalkan peluang terjadinya luka melalui saran-
saran tentang konstruksi bangunan dan pemeliharaannya.
f. Perawat harus tahu tentang kebiasaan sosial dan praktik keagamaan
untuk memperkirakan adanya bahaya.

Dalam pemberian layanan kepada klien, terjalin hubungan antara perawat


dan klien. Menurut Henderson, hubungan perawat-klien terbagi dalam tiga
tingkatan, mulai dari hubungan sangat bergantung hingga hubungan sangat
mandiri.

1. Perawat sebagai pengganti (subtitute) bagi pasien.


2. Perawat sebagai penolong (helper) bagi pasien.
3. Perawat sebagai mitra (partner) bagi pasien.

2.6 Hubungan Perawat-Pasien-Dokter


1.      Hubungan Perawat Pasien

Tiga tingkatan hubungan perawat pasien dapat di kenali :

a. Perawat sebagai substitute (pengganti) bagi pasien.


b. Perawat sebagai helper (penolong).
c. Perawat sebagai partner (rekan) dengan pasien.
Pada saat-saat penyakitnya gawat, perawat kelihatan seperti pengganti apa-
apa yang pasien kekurangan untuk membuatnya menjadi lengkap, utuh,
atau bebas karena berkurangnya kekuatan fisik, kemauan atau pengatahuan.
Selama kondisi pemulihan (convalescence), perawat membantu pasien
meraihatau mendapatkan kembali kemandiriannya. Henderson menyatakan
kemandirian adalah yang relatif.

2.      Hubungan Perawat Dokter

Henderson menuntut tugas unik yang di miliki perawat dari para dokter.
Rencana perawatan, yang di rumuskan oleh perawt dan pasien bersama-
sama, harus di jalankan dengan suatu cara untuk mengusulkan rencana
pengobatan yang di tentukan dokter.

2.7 Aplikasi Teori Henderson dalam Proses Keperawatan


Definisi ilmu keperawatan Henderson dalam kaitannya dengan praktik
keperawatan  menunjukkan bahwa perawat memiliki tugas utama sebagai
pemberi asuhan keperawatan langsung kepada pasien. Manfaat asuhan
keperawatan ini terlihat dari kemajuan kondisi pasien, yang semula bergantung
pada orang lain menjadi mandiri. Perawat dapat membantu pasien beralih dari
kondisi bergantung (dependent) menjadi mandiri (independent) dengan mengkaji,
merencanakan, mengimplementasikan, serta mengevaluasi 14 komponen
penanganan perawatan dasar.

Pada tahap penilaian (pengkajian), perawat menilai kebutuhan dasar pasien


berdasarkan 14 komponen di atas. Dalam mengumpulkan data, perawat
menggunakan metode observasi, indra penciuman, peraba, dan pendengaran.
Setalah data terkumpul, perawat menganalisis data tersebut dan
membandingkannya dengan pengetahuan dasar tentang sehat-sakit. Hasil analisis
tersebut menentukan diagnosis keperawatan yang akan muncul. Diagnosis
keperawatan, menurut Henderson, dibuat dengan mengenali kemampuan
individu dalam memenuhi kebutuhannya-dengan atau tanpa bantuan-serta
dengan mempertimbangkan kekuatan atau pengetahuan yang dimiliki individu.

Tahap perencanaan, menurut Henderson, meliputi aktivitas penyusunan


rencana perawatan sesuai kebutuhan individu-termasuk di dalamnya perbaikan
rencana jika ditemukan adanya perubahan-serta dokumentasi bagaimana perawat
membantu individu dalam keadaan sakit atau sehat. Selanjutnya, pada tahap
implementasi, perawat membantu individu memenuhi kebutuhan dasar yang
telah disusun dalam rencana perawatan guna memelihara kesehatan individu,
memulihkannya dari kondisi sakit, atau membantunya meninggal dalam damai.
Intervensi yang diberikan perawat sifatnya individual, bergantung pada prinsip
fisiologis, usia, latar belakang budaya, keseimbangan emosional, dan kemampuan
intelektual serta fisik individu. Tarakhir, perawat mengevaluasi pencapaian kriteria
yang diharapkan dengan menilai kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas
sehari-hari.

2.8 Tujuan Keperawatan Menurut Henderson


Dari penjelasan tersebut tujuan keperawatan yang dikemukakan oleh
Handerson adalah untuk bekerja secara mandiri dengan tenaga pemberi
pelayanan kesehatan dan membantu klien untuk mendapatkan kembali
kemandiriannya secepat mungkin. Dimana pasien merupakan mahluk sempurna
yang dipandang sebagai komponen bio, psiko, cultural, dan spiritual yang
mempunyai empat belas kebutuhan dasar. (Aplikasi model konseptual
keperawatan, Meidiana D). Menurut Handerson peran perawat adalah
menyempurnakan dan membantu mencapai kemampuan untuk mempertahankan
atau memperoleh kemandirian dalam memenuhi empat belas kebutuhan dasar
pasien.
2.9 Konsep Hipertensi

Hipertensi (HTN) adalah faktor resiko utama penyakit jantung (Tailakh et al, 2013).

Hipertensi adalah keadaan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg dan
tekanan sistolik lebih tinggi dari 140 mmHg (Mujahidullah, 2012). Penyakit darah
tinggi atau hipertensi ini adalah suatu keadaan seseorang mengalami peningkatan
tekanan darah sistolik dan diastolik jauh diatas normal yang dapat diketahui
dengan pemeriksaan tekanan darah mengunakan alat pengukur tekanan darah
yang biasa disebut sphygmomanometer atau juga bisa dengan alat digital lain
(Rudianto 2013).
Penyakit tekanan darah ini sering terjadi karena penderita tidak mengetahui
bahwa ia mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya atau
yang biasa disebut dengan the silent disease atau gangguan yang terjadi secara
diam-diam (Rudianto, 2013). Penyebab hipertensi sendiri bermacam-macam
termasuk kelelahan, faktor keturunan, stres, proses penuaan pada seseorang,
serta diet yang tidak seimbang (Mujahidullah, 2012). Tekanan darah yang optimal
didefinisikan jika tekanan sistolik kurang dari 120 mmHg dan tekanan diastolik
kurang dari 80 mmHg. Sedangkan dikatakan pra hipertensi jika tekanan sistolik
lebih dari sama dengan 120 mmHg dan kurang dari 140 mmHg serta tekanan
diastolik lebih dari sama dengan 80 mmHg dan kurang dari 90 mmHg. Hipertensi
diartikan apabila tekanan sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg dan tekanan
diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg (Wu et al, 2015). Tanda dan gejala
hipertensi juga bermacam-macam mulai dari sakit kepala yang berkepanjangan,
perubahan pada sistem pengelihatan, nyeri dada, dan bisa juga mual muntah pada
seseorang (Mujahidullah, 2012).

Pengklasifikasian hipertensi terdapat dua macam yaitu hipertensi primary yang


mana merupakan kondisi tekanan darah tinggi sebagai akibat dari gaya hidup dan
juga faktor lingkungan individu. Individu yang pola makan tidak terkontrol yang
dapat menyebabkan kelebihan berat badan hingga obesitas merupakan pencetus
awal terjadinya penyakit tekanan darah tinggi. Seseorang yang berada atau tinggal
dalam lingkungan dengan kondisi stressor yang tinggi juga dapat terkena penyakit
tekanan darah tinggi termasuk individu yang juga kurang berolahraga dan
menggerakkan badan juga bisa meningkatkan resiko hipertensi (Rudianto, 2013).
Klasifikasi selanjutnya adalah hipertensi secondary yang mana kondisi peningkatan
tekanan darah sebagai akibat individu tersebut menderita penyakit lain yang
berhubungan dengan kardiovaskuler, gagal ginjal, atau kerusakan sistem hormon
tubuh (Rudianto, 2013). Pengobatan yang efektif untuk mengendalikan tekanan
darah sudah tersedia namun tindakan lebih lanjut perlu dilakukan untuk
memastikan penggunaannya dimaksimalkan pada kelompok individu yang
membutuhkan (Kjeldsen et al, 2014). Penyembuhan dan penanganan hipertensi
dapat dibagi menjadi dua golongan (farmakologis dan non farmakologis).
Pengobatan farmakologis memiliki beberapa golongan obat hipertensi yang
memang pada dasarnya menurukan tekanan darah dengan cara mempengaruhi
kerja jantung dan pembuluh darah (Rudianto, 2013). Pengobatan non farmakologi
yang pertama adalah hindari stress, lalu melakukan olahraga yang teratur, dan
mengurangi asupan garam (Rudianto, 2013).

2.10 Konsep Lansia


1. Teori konseptual lansia
Aging process (proses penuaan) dalam perjalanan hidup manusia merupakan
suatu hal yang wajar, dan akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur
panjang, hanya cepat dan lambatnya proses tersebut tergantung pada masing-
masing individu (Mujahidullah, 2012). Proses menua merupakan proses yang
terus-menerus (berkelanjutan) secara alamiah yang dimulai sejak manusia lahir
sampai tua. Pada usia lansia ini biasanya seseorang akan mengalami kehilangan
jaringan otot, susunan syaraf, dan jaringan lain sehingga tubuh akan “mati” sedikit
demi sedikit.
2. Batasan lansia
Menurut WHO (dalam Mujahidullah, 2012)
a. Usia pertengahan (midle age) mulai 45-59 tahun.
b. Usia lanjut (elderly) antara 60-70 tahun.
c. Usia lanjut tua (old) antara 75-90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
Menurut Undang-undang RI No. 13 (1998, dalam Mujahidullah, 2012) Bahwa usia
lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Menurut Departemen Kesehatan (dalam Mujahidullah, 2012 : 4) Usia lanjut
digolongkan menjadi 3 golongan yaitu:
- Kelompok lansia dini (55-64 tahun).
- Kelompok lansia pertengahan (65 tahun ke atas).
- Kelompok lansia dengan resiko tinggi (70 tahun keatas).
3. Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia
1. Perubahan Fisik
a. Sel
Jumlah sel pada lanjut usia semakin sedikit, lalu mekanisme perbaikan sel pada
lanjut usia juga mengalami gangguan, serta menurunnya proporsi protein di otak,
darah, ginjal serta di hati (Mujahidullah, 2012).
b. Sistem Persyarafan
Pada lanjut usia respon dan waktu dalam bereaksi melambat, serta sensitifitas
berkurang terhadap sentuhan (Mujahidullah, 2012).
c. Sistem Pendengaran
Sistem pendengaran pada lanjut usia juga mengalami penurunan atau bahkan
hilang kemampuan terhadap bunyi dan suara dan sulit untuk mengerti kata-kata
(Mujahidullah, 2012).
d. Sistem Pengelihatan
Pada lanjut usia pengelihatannya berkurang terkadang juga hilang respon
terhadap cahaya, lanjut usia juga mengalami kekeruhan pada lensa mata,
menurunnya daya membedakan warna antara hijau dan biru, serta lapang
pandang pada lanjut usia megalami penurunan (Mujahidullah, 2012).
e. Sistem Respirasi
Pada usia lanjut kekuatan otot pernapasan mengalami penurunan (Mujahidullah,
2012).
f. Sistem Gastrointestinal
Menurunnya selera makan dan rasa dahaga (haus) pada usia lanjut, mudah
mengalami konstipasi dan gangguan pencernaan lainnya (Mujahidullah, 2012).
g. Sistem Integumen
Sistem integument pada lansia juga mengalami penurunan yang cukup drastic
sebagai contoh adalah mengeriputya kulit, permukaan yang kasar dan biasanya
terdapat sisik, elastisitas kulit menurun, kuku menjadi lebih keras pada usia lanjut
serta kelenjar keringat pada lansia berkurang (Mujahidullah, 2012).
2. perubahan spiritual

Perubahan spiritual pada lansia bayangan kematian sering mendominasi perasaan


lansia, biasanya pada saat lanjut usia seharusnya lebih banyak mendekatkan diri
kepada sang Pencipta, serta bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan,
selain mendekatkan diri kepada sang Pencipta, seharusnya juga memperbanyak
berkumpul dengan keluarga, tetangga, dan juga alam agar bayangan kematian
tidak terus mendominasi pikiran dan perasaan lansia (Yusuf et al, 2016).
2.11 Hubungan Kesehatan Spiritual Dengan Hipertensi
Pada penelitian yang dilakukan oleh Moeini et al (2016) menyebutkan
kesehatan spiritual adalah faktor yang menunjukkan bagaimana orang bisa
menghadapi masalah dan tekanan yang disebabkan oleh penyakit dan sebagai
dimensi kesejahteraan spiritual, ia bisa mengintegrasikan dengan berbagai dimensi
penyakit. Memperkuat kesehatan spiritual akan memberi lansia kekuatan yang
diperlukan untuk berjuang dan beradaptasi dengan masalah kehidupan sehari-hari
seperti perubahan kondisi, penyakit, kerugian, dan kematian. Tampaknya begitu
mendukung sumber daya spiritual dan keagamaan serta dengan menawarkan
pelayanan semacam itu bisa bermanfaat untuk menguatkan kesehatan spiritual
dan kemampuan lansia untuk menghadapi dan melawan penyakit. Karena
perawatan spiritual dianggap sebagai tugas perawat, mereka diharapkan tidak
hanya untuk di pertimbangkan dan memantau kesehatan fisik dan mental lansia
tetapi juga untuk memahami dimensi kesehatan spiritual lansia dan lebih
memahami kebutuhan mereka. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam
hal ini misalnya Pargament et al (2004 dalam Moeini et al, 2016) menemukan
hubungan antara agama dengan teknik adaptasi dan konsekuensi spiritual,
bersama dengan kesehatan fisik dan mental lansia yang dirawat di rumah sakit.
Delani dan Barer (dalam Moeini et al, 2016) menunjukkan bahwa perawatan
spiritual efektif dalam meningkatkan kesehatan spiritual pasien dengan penyakit
kardiovaskular. Penelitian yang dilakukan oleh Buck et al (2009) menyebutkan riset
telah menetapkan peran hereditas dan gaya hidup sebagai salah satu penyebab
terjadinya hipertensi, namun faktor psikososial, terutama religiusitas, kurang
dipahami. Pada penelitian ini menganalisis hubungan antara berbagai dimensi
religiusitas dan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan hipertensi
menggunakan data yang diambil dari Chicago Community Adult Health Study,
dimana terdapat sampel orang dewasa (N= 3105) berusia 18 tahun dan tinggal di
kota Chicago, Amerika Serikat. Variabel religiusitas yang utama diteliti disini,
kehadiran dan partisipasi publik atau masyarakat tidak secara signifikan terkait
dengan hasil penelitian. Doa dikaitkan dengan kemungkinan penurunan hipertensi,
dan spiritualitas dikaitkan dengan penurunan tekanan darah diastolik. Tambahan
dari beberapa variabel religiusitas lainnya tampaknya tidak mempengaruhi temuan
ini. Namun, Variabel tersebut dikaitkan dengan penurunan hipertensi. Temuan ini
menekankan pentingnya menganalisis religiusitas sebagai fenomena multidimensi.
Studi ini harus dianggap sebagai yang pertama dan langkah menganalisis secara
sistematis hubungan yang kompleks. Semakin banyak penelitian yang telah
menemukan hubungan yang signifikan antara keterlibatan agama dan tekanan
darah sehingga individu yang melaporkan tingkat keterlibatan agama yang lebih
tinggi memiliki tekanan sistolik lebih rendah, menurunkan tekanan diastolik, dan
atau menurunkan resiko hipertensi. Dalam salah satu yang terbaru contohnya
Gillum dan Ingram (2006, dalam Buck et al, 2009) menganalisis data dari sampel
nasional orang dewasa memeriksa hubungan antara kehadiran acara keagamaan,
tekanan darah, dan hipertensi. Setelah menguasai karakteristik sosio demografi
dan status kesehatan, hasilnya menunjukkan bahwa dibandingkan dengan mereka
yang tidak pernah menghadiri acara keagamaan dengan mereka yang menghadiri
acara keagamaan mingguan atau lebih dari mingguan memiliki prevalensi
hipertensi yang agak berkurang dan lebih rendah tekanan darahnya. Dengan
menggunakan sampel probabilitas orang dewasa berusia 65 tahun ke atas Koenig
(1998 dalam Buck et al, 2009) menemukan bahwa seseorang yang partisipasi lebih
sering dalam kegiatan keagamaan (misalnya menghadiri pengajian, berdoa,
belajar) secara signifikan memiliki tekanan darah yang lebih rendah. Dimensi
utama religiusitas digambarkan secara langsung dapat mempengaruhi tekanan
darah dan hipertensi, namun ada beberapa tambahan dimensi religiusitas yang
belum cukup diperhatikan dalam literatur tentang tema ini. Pertama, ada
kemungkinan hubungan yang baik antara kehadiran pada kegiatan keagamaan,
tekanan darah, dan hipertensi berasal dari kepercayaan individu tentang manfaat
spiritual dan sosial. Misalnya, tindakan simbolis dan ritualistik dalam melakukan
kegiatan keagamaan dapat berkontribusi terhadap perasaan kedamaian dan
pemberdayaan batin (Williams (1994 dalam Buck et al, 2009). "Psikodinamik
religius" telah di hipotesiskan untuk mengurangi tekanan darah dan hipertensi
(Levin dan Vanderpool (1989 dalam Buck et al, 2009). Sebagai kegiatan antar
individu yang berbagi kepercayaan dan nilai, kegiatan kegamaan juga dapat
mempromosikan integrasi dan dukungan sosial (Idler (1987 dalam Buck et al, 2009)
Keyakinan dan makna agama juga dapat berperan dalam hubungan keterlibatan
agama dan tekanan darah. Keyakinan agama yang kuat bisa memberikan suatu
sistem melalui individu yang dapat menafsirkan keadaan dan kejadian yang
menyedihkan dan merugikan. Lebih spesifik, keyakinan akan kehidupan akhirat
dapat berkontibusi dalam memberikan kenyamanan yang besar (Ellison (1991
dalam Buck et al, 2009) dan pada akhirnya mengurangi risiko hipertensi.
Penjelasan lain yang mungkin melibatkan religiusitas dan tekanan darah adalah
sifatnya dan tingkat dukungan sosial yang diterima oleh individu dari keluarga
maupun masyarakat. Individu yang secara aktif melakukan kegiatan ibadah
dan keagamaan serta spiritual memiliki persepsi yang lebih besar yang
mendukung dan bila diperlukan dalam penurunan tekanan darah. Sebagai
tambahan, melakukan kegiatan kegamaan dikaitkan dengan tingkat dukungan
instrumental dan emosional yang lebih tinggi (Ellison dan George (1994 dalam
Buck et al, 2009).

Anda mungkin juga menyukai