Anda di halaman 1dari 4

Angin bertiup menerpa rambut hitamku, mencoba untuk membuatnya berayun.

Aku
menyibaknya dengan halus. Perlahan-lahan ku melihat matahari mulai turun, aku hanya
tersenyum kecil. Seraya berkata “Dasar bodoh! Bodoh sekali kamu ya. Pergi seenaknya sendiri
tanpa membawaku. .”. Matahari tenggelam kali ini tak sesuai dengan harapanku. Mimpiku sejak
dulu melihat matahari tenggelam bersamamu. Tak terasa air mataku mulai menetes, aku hanya
mengusapnya dengan kasar. “Sebentar lagi” aku mengatakannya pada diriku sendiri. Perlahan-
lahan aku melangkahkan kakiku agar lebih dekat dengan pagar yang membatasi balkon ini. Aku
memandang jalan raya yang tepat berada dibawah kakiku dengan tatapan kosong. “Tunggu aku”
dengan menghela nafas panjang aku melepaskan tanganku yang memegang pagar balkon.
“Racheeelll!” suara seseorang tiba-tiba memanggil namaku. Aku terkejut bukan main, aku
menghentikan aksi bunuh diriku dan meraih kembali pegangan pagar balkon. Laki-laki itu
berkata “Kalau dari lantai 4 itu tidak akan membunuhmu, paling kamu cuma masuk rumah
sakit.” Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Siapa dia? Darimana datangnya? Aku sama
sekali tidak mengenalnya. Laki-laki itu seenaknya menarikku dan menggendongku menjauh dari
balkon. “Eh apa-apaan sih kamu, turunin aku, turunin!” Aku meronta-ronta, walaupun sudah ku
pukul bahunya dengan sekuat tenaga laki-laki itu tidak mau menurunkanku. Dia berkata “Aku
turunin, asal kamu janji jangan bunuh diri lagi”. Anehnya aku selalu menuruti apapun yang dia
katakan, laki-laki itu membuatku menceritakan semua keluh kesahku selama ini.

Semenjak kejadian itu aku semakin dekat dengan laki-laki itu, dia selalu ada disampingku.
Kami selalu bertemu setiap hari untuk mengobrol dan jalan-jalan. Laki-laki itu selalu
membuatku tertawa. Apalagi saat dia menatapku dalam-dalam hampir membuatku pingsan
karena dia begitu tampan. Tapi sepertinya banyak orang yang tidak menyukai kami berdua,
mereka memandang kami dengan tatapan aneh. Bahkan ada orang yang berkata kepadaku
“Mbak, sakit ya?”. Siapa sih yang sakit? Situ kali yang sakit. Aneh banget, mungkin aja orang itu
cuma iri aja kali ya. Tapi aku tidak peduli, asalkan bersamanya itu sudah cukup bagiku. Siapa
sangka hal ini membuatku sedikit lupa akan betapa menyedihkannya masa laluku kehilangan
seseorang yang ku cintai. Bagiku laki-laki itu seseorang yang dikirim oleh Tuhan untukku agar
aku bisa melupakan kesedihanku dan memulai hidup baru. Akan tetapi, kami berdua sudah dekat
begitu lama, rasanya tidak enak jika aku tidak memperkenalkan laki-laki itu pada Ibuku, Ibu
pasti akan sangat senang. “Eh, gimana kalau kita ke rumah? Ibuku pasti seneng deh ketemu sama
kamu.” Ajakku dengan manja. Laki-laki itu setuju, akhirnya kami berdua menemui Ibu.
Sesampainya didepan pintu aku sengaja mengetuk terlebih dahulu agar Ibu terkejut. Setalah Ibu
membukakan pintu aku dengan ceria berkata “Ibu, lihat ini siapa yang ku bawa.” Aku
memperkenalkan laki-laki itu dihadapan Ibu. Tapi apa jawaban Ibu? Ibu menarikku masuk
kedalam dan menutup pintu dengan kasar tanpa mempedulikan laki-laki itu. Ibu memarahiku
habis-habisan karena aku sering keluar bersama laki-laki itu. Aku heran apa yang membuat Ibu
marah, karena sebelumnya Ibu tidak pernah seperti ini.

Malam harinya aku menelfon laki-laki itu untuk minta maaf atas sikap Ibu yang kasar, aku
menjelaskan kepada laki-laki itu kalau Ibu tidak biasanya seperti itu. “Sini hpnya, sini!” Tiba-
tiba Ibu datang merenggut hpku begitu saja. “Apaan sih Ibu ini, balikkin hpnya Rachel Bu!”
Kemudian Ibu membanting hpku ke lantai hingga hancur berkeping-keping. Aku hanya menatap
kepingan hpku dengan nanar. “Rachel benci sama Ibu.” Akhirnya aku keluar dari rumah. Saat itu
aku lupa tidak memakai sandal dan hanya memakai baby doll. Aku sudah tidak peduli lagi, dari
belakang terdengar suara Ibuku yang terus memanggil dan mengejarku dari belakang. Aku terus
mengomel-ngomel sambil berjalan. “Kenapa? Apa salah laki-laki itu? Kenapa Ibuku bersikap
seperti itu?” Seribu pertanyaan muncul di kepalaku, karena Ibu tidak pernah seperti ini
sebelumnya. “Ibu jaahhaaaattt!!!!!!”

Ditengah keramaian aku melihat ke arah seberang jalan dan menemukan laki-laki itu. Dia
memberikan senyuman kepadaku. Lagi-lagi senyuman yang tampan itu membuatku meleleh.
Kami berdua saling memanggil dari seberang jalan. Karena terlalu senang aku tidak menoleh ke
kanan atau kiri saat menyeberangi jalan dan ternyata ada mobil yang melintas dengan kecepatan
tinggi menuju ke arahku. Aku sangat terkejut, mataku membelalak lebar-lebar dan hanya bisa
berteriak tanpa sanggup menghindar karena mobilnya sudah sangat dekat. Tak ku sangka laki-
laki itu juga berusaha mendekat ke arahku, dia mencoba meraihku dengan tangannya.
“Brruuuaaaaakkkkkkk!!!!”. Aku merasa tubuhku terpental, dan semuanya menjadi gelap. Lalu,
aku membuka mataku samar-samar. Darah mengalir deras dari kepala mengalir di wajahku. Aku
mencoba untuk bangun namun tubuhku tak sanggup bergerak. Seketika aku melihat laki-laki itu
pun juga berlumuran darah di ujung sana. Aku ingin menolong tapi tubuhku tak bisa banyak
bergerak. Orang-orang mulai datang mengerumuniku, dan memberikanku. Tapi tak ada seorang
pun yang menyelamatkan ataupun mendekati laki-laki itu. Aku berteriak dan meronta-ronta
sebisaku “Laki-laki itu tolong dia juga! Selamatkan dia, kenapa kalian hanya menyelamatkanku?
Di sana dia berlumurahn darah, cepatlah tolong cepat!”. Akan tetapi semua orang hanya diam tak
ada orang yang menjawab pertanyaanku. Aku menangis sesenggukan, aku hanya bisa melihatnya
tergeletak di pinggir jalan tak ada satupun orang yang menolongnya.

Ketika aku membuka mataku, aku sudah berada di rumah sakit. Tunggu, ada yang salah,
kenapa aku melihat tulisan RSJ? Apa mereka salah menempatkan rumah sakit ya. Mereka gila
ya? Untuk apa membawaku ke RSJ, aku tidak gila. Aku mencabut infus yang terpasang
ditanganku dengan kasar. Lalu aku teringat laki-laki itu, bagaimana keadaannya? Apa dia baik-
baik saja? Adakah seseorang yang menolongnya kemarin. Dengan perlahan aku berjalan sambil
bertumpu pada dinding-dinding rumah sakit. Seluruh tubuhku terasa sakit, bahkan aku tidak bisa
menggerakkan tangan kiriku. Terutama kepalaku yang saat ini terasa sangat pusing. Aku
menemukan Ibuku dalam suatu ruangan menangis-nangis dan seorang dokter berusaha
menenangkan Ibuku. “Maaf sekali Bu, penyakit Schizorhenia tidaklah mudah disembuhkan.
Kami akan berusaha sebaik mungkin memulihkan keadaan mental anak Ibu.” Aku tidak tahu
penyakit mental macam apa yang menimpaku, padahal aku merasa mentalku sehat-sehat saja.
Kebetulan aku bertemu suster di lorong lalu aku bertanya apa itu penyakit Schizorhenia padanya.
Dia berkata kalau penyakit Schizorhenia adalah penyakit yang menimbulkan halusinasi,
seringkali melihat atau mendengar hal-hal yang sebenarnya tidak ada. “Deeggg….” Jantungku
serasa berhenti berdetak, karena aku hanya terpikirkan tentang laki-laki itu. Tidak, ini tidak
mungkin. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa laki-laki itu hanya ilusi. Mereka yang gila,
kenapa mereka tidak bisa melihat apa yang ku lihat.

Aku berjalan menjauh, aku berjalan dengan memegangi kepalaku yang semakin sakit. Lalu
aku merasa tubuhku mulai lemas bahkan pandangan juga semakin kabur, wajahku sudah
memucat bagai orang yang mau mati. Laki-laki itu tiba-tiba saja muncul dihadapanku. Dia
bergegas mendatangiku dan memegangi bahuku. Ketika melihatnya aku mulai menitikkan air
mata. Dia mengusap air mataku dengan lembut. Aku masih tidak percaya kalau laki-laki yang
dihadapanku saat ini adalah ilusi. Ini tidak mungkin terjadi, tidak mungkin, tidak mungkin. Aku
memeluknya dengan erat, tangisanku pecah saat berada dalam pelukannya. Laki-laki itu
mengelus-ngelus kepalaku perlahan. Setelah itu aku menatapnya dalam-dalam dan berkata
“Apakah kamu nyata?” laki-laki itu hanya diam saja. “Katakan saja bahwa kamu bukan ilusi,
kamu itu nyata. Aku akan mempercayaimu, aku tidak peduli apa kata orang lain tentangmu” laki-
laki itu hanya diam dengan senyuman lalu dia mendekatkan wajahku ke wajahnya dan mencium
keningku “Aku mencintaimu”. Aku memejamkan mataku “Aku juga mencintaimu”. Tak lama
setelah itu dokter dan suster datang bersama Ibuku, mereka akan membawaku kembali. Aku
hanya bisa berteriak dan meronta-ronta. “Minggir, lepaskan! Jangan pegang-pegang!
Saakkiiittttt.” Lalu suster menyuntikkan sesuatu kepadaku, mungkin itu adalah obat penenang
untuk membuatku pingsan. Pandanganku mulai kabur, aku masih berusaha untuk bertahan. Aku
menatap laki-laki itu dan mencoba untuk meraihnya dengan tanganku. Dokter dan suster
membawaku pergi semakin jauh. Aku hanya bisa memandang laki-laki itu. Aku mencoba
menggerakkan bibirku ditengah kesadaranku yang semakin hilang “Aku berharap, jika semua ini
hanyalah mimpi”. Lalu semuanya menjadi gelap.

Anda mungkin juga menyukai