Anda di halaman 1dari 6

BAHAYA ABU VULKANIK TERHADAP SISTEM PERNAFASAN

Yaumil Reiza
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Kita mungkin pernah menyaksikan peristiwa letusan gunung berapi. Sebagian


besar gunung berapi bersifat aktif sehingga dapat membahayakan kehidupan orang-
orang yang tinggal di daerah sekitarnya. Contohnya, letusan Gunung Vesuvius di
Italia pada tahun 79 AD menghancurkan kota Pompeii dan Herculaneum2. Letusan
Gunung Krakatau pada tahun 1883 di Indonesia juga tercatat menghasilkan abu
vulkanik, aliran piroklastik, dan gelombang tsunami yang cukup besar yang memakan
korban sebanyak 36.000 jiwa menurut pihak berwenang Hindia Belanda3. Yang baru
saja terjadi dalam setahun terakhir ini adalah letusan Gunung Sinabung di provinsi
Sumatera Utara yang terjadi sejak September 2013. Peristiwa ini memaksa warga
yang tinggal di sekitar gunung untuk mengungsi dan menyebabkan kerusakan
terhadap pemukiman dan lahan pertanian. Para pengungsi juga sempat menderita
penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) akibat dipicu oleh abu vulkanik.
Penyakit ini juga sempat mengancam warga Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten
Langkat, dan sebagian daerah Aceh Selatan yang juga terkena imbas abu vulkanik
dari letusan gunung4. Bertolak dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
membahas bagaimana dampak abu vulkanik terhadap sistem pernafasan kita.

Letusan Gunung Berapi


Secara umum, bahan yang dikeluarkan gunung api dikelompokkan menjadi
tiga golongan, yaitu (1) bahan padat atau efflata, terdiri dari bom (efflata yang
berukuran besar) dan lapilli (efflata yang berukuran kecil seperti kerikil, pasir, dan
abu vulkanik); (2) bahan cair, terdiri dari lava dan lahar; dan (3) gas atau ekshalasi,
terdiri dari gas belerang (solfatar), uap air (fumarol), dan gas karbon dioksida
(mofet)5. Bahan-bahan ini dapat menyebabkan berbagai masalah seperti masalah
kesehatan, pencemaran sumber air bersih, badai listrik, gangguan kerja mesin dan
kendaraan bermotor, kerusakan ladang dan lingkungan sekitar, serta kerusakan
infrastruktur seperti jalan dan bandar udara. Masalah kesehatan merupakan hal yang
penting karena banyaknya korban jiwa yang timbul disebabkan oleh kurangnya
persiapan dan ketidaktahuan dalam memberikan pertolongan pertama.
Secara umum, dampak terhadap kesehatan yang ditimbulkan oleh letusan
gunung berapi dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Contoh dampak
langsung dari gunung berapi adalah ledakan dan kontak dengan massa vulkanik dapat
menyebabkan crush-type injury, yaitu kompresi dari ekstremitas atau bagian lain dari
tubuh yang menyebabkan pembengkakan otot dan/atau gangguan saraf di bagian
tubuh yang terkena. Abu panas, gas, batu, dan magma dapat menyebabkan kulit dan
paru-paru terbakar, asfiksia, konjungtivitis, atau abrasi kornea. Gas yang dihirup juga
dapat menimbulkan distres pernafasan akut, sedangkan hujan asam yang ditimbulkan
dapat menimbulkan iritasi mata dan kulit6.
Contoh dampak tidak langsung adalah makanan atau air yang terkontaminasi
abu vulkanik dapat menyebabkan masalah pada saluran pencernaan apabila dicerna.
Apabila terakumulasi pada atap suatu bangunan, massa dari abu vulkanik dapat
merobohkan bangunan dan berisiko menyebabkan terjadinya trauma. Kerusakan-
kerusakan pada infrastruktur pada akhirnya akan menyebabkan masalah komunikasi
dan transportasi karena transmisi sinyal komunikasi terganggu, penglihatan terhalang,
dan membuat jalan menjadi licin6.

Dampak Abu Vulkanik Terhadap Sistem Pernafasan


Kita semua pasti telah mengetahui bahwa saluran pernafasan merupakan
sistem yang sangat vital bagi tubuh. Apabila jalan nafas terhambat, maka pasokan
oksigen ke otak akan berkurang dan ini merupakan salah satu kegawatdaruratan.
Sebagian komponen abu dapat bersifat tumorigenik atau cenderung menghasilkan
tumor, misalnya silika kristalin bebas (free crystalline silica) yang dapat
menyebabkan pneumokoniosis, yaitu penyakit paru restriktif yang disebabkan oleh
inhalasi partikel-partikel abu seperti silika, asbes, dan lain-lain7. Bentuk paling
mematikan dari komponen abu ini adalah partikulat, yaitu partikel material padat
halus yang tersuspensi dalam gas atau cair. Partikulat ini berukuran lebih kecil dari 10
mikrometer (PM10). Oleh karena itu, mereka dapat menembus jauh ke dalam paru-
paru dan aliran darah tanpa terfiltrasi. Konsentrasi tinggi dari PM10 dapat
menimbulkan sitotoksisitas dan perubahan pada DNA, sehingga menjadi faktor risiko
untuk mengidap kanker paru8.
Tingkat keparahan gejala saluran pernafasan yang dialami akibat menghirup
abu vulkanik bergantung pada sejumlah faktor, di antaranya konsentrasi total partikel
yang tersuspensi di udara, proporsi partikel abu yang terhirup, frekuensi dan durasi
paparan, adanya silika kristalin bebas dan gas vulkanik atau aerosol yang tercampur
dengan abu, kondisi cuaca, faktor pejamu (host), dan pemakaian alat pelindung
pernafasan. Berbicara mengenai frekuensi dan durasi paparan, efek jangka pendek
yang teramati setelah inhalasi abu vulkanik mencakup keluhan batuk, kesulitan
bernafas, sesak di dada, dan wheezing karena iritasi dan inflamasi jalan nafas. Hal ini
dapat mengeksaserbasi penyakit yang telah ada sebelumnya seperti bronkitis kronis,
asma bronkial, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan penyakit jantung yang
sudah lanjut9. Pada orang-orang yang lebih tua dan anak-anak, serangan seperti ini
dapat menjadi fatal. Paparan terhadap abu vulkanik juga dikaitkan dengan kematian
mendadak yang disebabkan oleh asfiksia karena iritasi akut saluran pernafasan7.
Contoh efek jangka panjangnya adalah silikosis, yaitu pembentukan jaringan
parut karena fibrosis nodular difus pada paru-paru. Pada awalnya tidak timbul gejala
apapun dan kebanyakan pasien tetap mengalami gejala yang ringan, namun kondisi
ini dapat berkembang bahkan setelah paparan berhenti dan dapat berujung kepada
kematian. Paparan terhadap silika kristalin yang cukup lama dapat menimbulkan
pneumokoniosis dan kekambuhan tuberkulosis paru yang sebelumnya diam sehingga
berisiko tinggi untuk menimbulkan kanker paru. Penyakit lain yang dapat muncul
adalah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), kadang-kadang berujung kepada
penyempitan jalan nafas yang ireversibel dan hipersekresi mukus yang kronis9.

Mekanisme Toksisitas Partikel Abu Vulkanik


Meskipun tidak terjadi letusan gunung berapi, partikel debu selalu ada di
dalam udara yang kita hirup. Untungnya, tubuh kita memiliki mekanisme pertahanan
untuk menyingkirkan partikel-partikel ini dan melawan efek berbahaya yang
ditimbulkannya. Kebanyakan partikel terperangkap oleh mukus (lendir) yang
melindungi dinding jalan nafas. Sel-sel epitel bersilia memindahkan mukus bersama
partikel yang terperangkap naik ke tenggorokan, di mana nanti partikel ini akan
ditelan atau dibatukkan. Partikel-partikel yang menembus daerah alveolus yang tak
bersilia, misalnya partikel berukuran kurang dari 4 μm, akan dilawan oleh makrofag
dengan cara fagositosis dan diangkut ke nodus-nodus limfatikus9.
Namun, makrofag dapat dirusak oleh partikel-partikel toksik seperti silika
kristalin atau mengalami overloading oleh partikel-partikel inert dengan konsentrasi
tinggi seperti titanium dioksida. Setelah difagositosis, enzim-enzim akan melepas zat-
zat yang teradsorbsi pada partikel sehingga permukaan partikel, termasuk tempat
penghasil radikal bebas, akan menjadi bebas untuk bereaksi dengan isi sel. Sel juga
dapat mensintesis sejumlah reactive oxygen species (ROS) dengan cepat untuk
memusnahkan patogen (oxidative/respiratory burst). Silika kristalin menstimulasi
respiratory burst pada makrofag alveolar sehingga makrofag menjadi mati akibat
pembentukan senyawa toksik yang terlalu banyak. Kematian makrofag membebaskan
partikel dan isi sel ke dalam paru-paru. Partikel menjadi bebas untuk difagositosis
lagi sehingga memulai suatu siklus yang akan menstimulasi inflamasi yang persisten
dan produksi kolagen yang abnormal oleh fibroblas, membentuk nodul-nodul
fibrotik. Isi sel dapat dapat bereaksi dengan lipid pada jaringan paru-paru dan
menyebabkan peroksidasi lipid, sehingga membentuk lebih banyak radikal yang
dapat mengekstraksi elektron dari DNA sehingga strand DNA menjadi rusak. Kedua
proses ini dapat menghasilkan mutasi sel dan kanker9.

Mencegah dan Mengatasi Gangguan Pernafasan Akibat Abu Vulkanik


Untuk mengantisipasi bahaya abu vulkanik, sebaiknya kita menggunakan
masker atau bila tidak ada, dapat menggunakan sapu tangan untuk menutup mulut
dan hidung agar tidak menghirup abu. Selain itu, gunakan pula pakaian yang dapat
melindungi seperti baju lengan panjang dan kacamata untuk menghindari iritasi mata
dan kulit. Anak-anak dan bayi juga perlu diperhatikan karena mereka jauh lebih
rentan jika dibandingkan dengan orang dewasa. Apabila kita kebetulan tinggal di
daerah sekitar gunung berapi, ikuti instruksi dari pihak berwenang setempat untuk
mencari tempat pengungsian yang aman dari letusan. Bagi masyarakat yang tempat
tinggalnya relatif jauh dari gunung berapi sekalipun, apabila masih tercapai oleh abu
vulkanik, kalau bisa sebaiknya tidak terlalu banyak beraktivitas di luar rumah jika
memang tidak penting sehingga bisa meminimalisasi paparan abu vulkanik.
Jika seseorang mengalami sesak nafas akibat menghirup abu vulkanik, ada
beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain:
 Berikan inhaler, baik berupa kortikosteroid untuk mengurangi inflamasi atau
bronkodilator untuk mendilatasi saluran pernafasan
 Posisikan tubuh duduk tegak sambil bersandar, jangan tiduran
 Cobalah untuk memintanya bernafas perlahan-lahan dan dalam
 Pindahkan ke tempat yang lebih bersih untuk menghindari paparan yang lebih
berat
 Jika obat inhaler tidak memberikan pengaruh atau justru bertambah parah,
mintalah pertolongan medis untuk diberikan terapi inhalasi yang lain
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa letusan gunung berapi
dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, salah satunya masalah pada saluran
pernafasan. Kita semua pasti telah mengetahui bahwa sistem pernafasan merupakan
sistem yang sangat vital bagi tubuh. Oleh karena itu, sedapat mungkin kita harus bisa
melindungi diri kita dari abu vulkanik dari letusan gunung berapi untuk
meminimalisasi dampak yang ditimbulkan. Ingat, hal yang terpenting adalah
bagaimana persiapan kita dalam menghadapi bencana.
DAFTAR PUSTAKA

1. National Geographic. Ring of Fire [Internet]. 2014 [cited 2014 June 12].
Available at:
http://education.nationalgeographic.com/education/encyclopedia/ring-
fire/?ar_a=1

2. Wallace-Hadrill A. Pompeii: Portents of Disaster [Internet]. 2011 [cited 2014


June 12]. Available at:
http://www.bbc.co.uk/history/ancient/romans/pompeii_portents_01.shtml

3. Bureau of Meteorology. The eruption of Krakatoa, August 27. 1883.


2014http://www.bom.gov.au/tsunami/history/1883.shtml

4. Siahaan A.Pengungsi Erupsi Gunung Sinabung Mulai Terserang ISPA [Internet].


2013 [cited 2014 May 10]. Available at:
http://news.detik.com/read/2013/09/19/104455/2363189/10/pengungsi-erupsi-
gunung-sinabung-mulai-terserang-ispa

5. Samadi. Geografi 1 SMA Kelas X. Jakarta: Yudhistira Ghalia Indonesia; 2007.

6. World Health Organization. Volcanic Eruptions – Natural Disaster Profile –


Technical Hazard Sheet [Internet]. 2014 [cited 2014 May 10]. Available at:
http://www.who.int/hac/techguidance/ems/volcanos/en/

7. Lombardo D, Ciancio N, Campisi R, Di Maria A, Bivona L, Poletti V, Mistretta


A, Biggeri A, Di Maria G. A retrospective study on acute health effects due to
volcanic ash exposure during the eruption of Mount Etna (Sicily) in 2002.
Multidisciplinary Respiratory Medicine. 2013 [cited 2014 June 12]; 8:51.
Available at: http://www.mrmjournal.com/content/8/1/51

8. U.S. Environmental Protection Agency. Particulate Matter: Health [Internet].


2014 [cited 2014 June 12]. Available at:
http://www.epa.gov/airquality/particulatematter/health.html

9. Horwell CJ, Baxter PJ. The respiratory health hazards of volcanic ash: a review
for volcanic risk mitigation. Bulletin of Volcanology. July 2006 [cited 2014 June
12]; 69 (1):1-24. Available at:
http://www.geo.mtu.edu/~raman/papers2/HorwellBaxterBV.pdf

Anda mungkin juga menyukai