Anda di halaman 1dari 3

Hari, tanggal : Rabu, 15 April 2020

Nama Kelompok : Piket KSPE Rabu 13.10

Judul Artikel : Melihat “Basa Basi” Relaksasi Pembayaran Kredit Saat Corona

Link Artikel : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200414062905-78-493250/melihat-


basa-basi-relaksasi-pembayaran-kredit-saat-corona

Isi Artikel :

Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kredit
mengeluarkan kebijakan penundaan bayar cicilan kredit dan pembiayaan dari bank dan
multifinance kepada masyarakat untuk meringankan beban mereka dari tekanan wabah virus
corona. Kebijakan ini diberikan demi meringankan beban pengembalian pokok dan bunga kredit
atau pembiayaan bagi masyarakat.

Maklum saja, penyebaran pandemi virus corona atau Covid-19 aktivitas membuat
pekerjaan dan ekonomi masyarakat terganggu. Gangguan itu dikhawatirkan akan menekan
kemampuan masyarakat melunasi cicilan kredit dan pembiayaan yang mereka pinjam.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam


mengakui keringanan memang mau tidak mau harus diberikan. Kalau tidak, dikhawatirkan
permasalahan tersebut bakal meningkatkan rasio kredit bermasalah di bank (Non Performing
Loan/NPL).

Kendati belum ada perhitungan pasti, namun menurut perkiraannya, NPL bisa melewati 5
persen pada tahun ini bila tak ada kebijakan relaksasi tunda bayar cicilan kredit. Begitu pula
dengan rasio pembiayaan macet di multifinance (Non Performing Financing/NPF) yang juga bisa
meningkat bila tidak ada kebijakan ini.

"Dengan begitu, bisa mengurangi potensi terjadinya NPL, mengurangi tekanan likuiditas, dan
permodalan," ungkap Piter kepada CNNIndonesia.com, Senin (13/4).
Sebagai gambaran, NPL bank secara gross masih di kisaran 2,79 persen pada Februari 2020.
Sementara NPF multifinance berada di kisaran 2,66 persen pada periode yang sama.

Hanya saja, masalah memang tidak langsung selesai dengan kebijakan ini. Sebab,
relaksasi kredit dan pembiayaan sejatinya tidak diobral ke semua debitur, sehingga pada
akhirnya tidak semua bisa merasakan.

Bank dan multifinance tetap dituntut untuk memberikan relaksasi secara berhati-hati dan
penuh perhitungan manajemen risiko. Dengan begitu, relaksasi hanya diberikan kepada debitur
yang punya rekam jejak baik dan pastinya terdampak tekanan ekonomi akibat pandemi corona.

Sementara debitur yang tidak terimplikasi langsung, diharapkan 'tahu diri' untuk tidak
mengajukan relaksasi penundaan bayar cicilan kredit atau pembiayaan. Maklum, ada debitur
yang lebih prioritas saat ini.

"Bank tentu harus mengkajinya secara cermat, nasabah mana yang layak untuk
mendapatkan restrukturisasi atau penundaan cicilan. Misalnya, yang jangka panjang masih
memiliki prospek untuk recover dan menguntungkan bank, serta harus menghindari terjadinya
moral hazard," jelasnya.

Lebih lanjut, bagi debitur, kebijakan relaksasi sejatinya tidak serta membuat seluruh
cicilan mereka bisa ditunda pembayaran pokok dan bunganya. Semua tetap merujuk pada hasil
analisa bank. Dengan cara itu, bisa saja yang diberikan hanya tunda bayar pokok tapi bunga tetap
jalan.

Atau relaksasi ternyata tidak jadi diberikan karena jaminan cicilan ternyata sudah
kepalang berpindah tangan. Dengan begitu, kebijakan ini mungkin hanya menyasar sebagian
debitur saja.

Maka tak heran, bila ada debitur yang mengeluh karena ditolak bank atau multifinance
untuk mendapatkan relaksasi tunda bayar cicilan. Sebab, kebijakan ini mau tidak mau harus
dilakukan dengan ketat. "Maka dampak restrukturisasi tidak jor-joran," imbuhnya.
Sementara bagi bank, Ekonom Bank Permata Josua Pardede melihat kebijakan relaksasi
sejatinya tidak serta merta menyelesaikan beban bank. Sebab, risiko kredit tetap tinggi dan
berpotensi menggerus keuntungan bila tidak dikelola dengan baik.

Misalnya, Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) bank akan meningkat pada tahun
ini. CKPN merupakan cadangan yang dibentuk bank untuk menghadapi risiko kerugian akibat
penanaman dana dalam aktiva produktif.

Selain itu, ada risiko penurunan keuntungan bank yang tercermin dari marjin bunga
bersih (Net Interest Margin/NIM). Hal ini terjadi karena penyaluran kredit baru pun diperkirakan
bakal terhambat pada tahun ini.

Sebab, likuiditas yang seharusnya bisa berputar dari pembayaran cicilan kredit justru
harus dipakai untuk menalangi penundaan bayar dari debitur. Hal ini membuat likuiditas untuk
penyaluran kredit baru pun agak seret, meski rasio kecukupan modal (Capital Adequacy
Rasio/CAR) bank masih relatif cukup.

CAR bank berada di kisaran 22,42 persen per Februari 2020. Rinciannya, bank BUKU I
29,07 persen, BUKU II 25,06 persen, BUKU III 25,4 persen, dan BUKU IV 20,89 persen.

"Tapi dari kecukupan modal, bank tetap perlu berhati-hati karena restrukturisasi akan
membuat perubahan jadwal cash flow di masing-masing bank yang kemudian mendorong
pengetatan likuiditas," katanya.

Untuk itu, menurut Josua, ketika relaksasi tunda bayar cicilan kredit dan multifinance
diberikan, ada baiknya otoritas turut memberikan kebijakan yang mampu menunjang kebutuhan
likuiditas para lembaga keuangan. Salah satu yang sudah diberikan berupa pelonggaran batas
cadangan kas bank di Bank Indonesia (BI) atau dikenal dengan Giro Wajib Minimum (GWM).

Namun ke depan, tetap perlu ada kebijakan stimulus lagi bagi penjaminan likuiditas bank.
Apalagi, pandemi corona belum diketahui kapan akan berakhir, sehingga risiko-risiko harus terus
dimitigasi.

Anda mungkin juga menyukai