Anda di halaman 1dari 36

MENDESKRIPSIKAN KARAKTER SISWA SD, TEORI BELAJAR SERTA

PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN IPA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan IPA

Dosen Pengampu

1. Dr. Barokah Isdaryanti, S.Pd., M.Pd.


2. Aldina Eka Andriani, S.Pd., M.Pd.

Disusun oleh :
Kelompok 2
1. Sayyidatus Solihah (1401419306/ 20)
2. Gilang Zenny Wibisari (1401419314/ 27)
3. Hanif Dimas Handaru Mukti (1401419316/ 29)
4. Lana Fauziyah (1401419322/ 31)

ROMBEL G
JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan Makalah ini dengan
judul “Mendeskripsikan Karakter Siswa Sd, Teori Belajar Serta Penerapannya Dalam
Pembelajaran IPA”

Makalah ini kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak
sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca. Untuk kedepannya dapat memperbaiki
bentuk maupun menambah isi makalah ini agar menjadi lebih baik.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan
kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Semarang, 19 September 2020

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................1

DAFTAR ISI..............................................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................3

A. Latar Belakang...................................................................................................................3

B. Rumusan Masalah..............................................................................................................3

C. Tujuan................................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5

A. Teori Perkembangan Kognitif Piaget (Karakteristik Siswa).............................................5

B. Teori Belajar Sosial (Vygotsky)......................................................................................10

C. Teori Belajar Behavioristik (Bandura)............................................................................12

D. Teori Belajar Kontruktivis (Piaget).................................................................................14

E. Teori Belajar Bermakna (Ausubel)..................................................................................16

F. Teori Belajar Penemuan (Bruner)....................................................................................21

G. Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran IPA.........................................................24

BAB III PENUTUP..................................................................................................................32

A. Kesimpulan......................................................................................................................32

B. Saran................................................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................34

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam proses belajar dan mengajar ada berbagai kendala. Kendala tersebut bisa
berupa kondisi pembelajaran yang membosankan, siswa yang kurang memperhatikan
dan tidak mau mendengarkan penjelasan gurunya,serta anak didik yang bandel. Bagi guru
semua peristiwa tersebut adalah peistiwa yang sangat menjengkelkan,sehingga guru
menganggap kelas tersebut menjadi kelas yang bandel,sulit di diurus dan lain sebagainya.
Guru yang demikian tidak bisa dikatakan sebagai guru yang bijak karena hal-hal yang
membosankan pada proses pembelajaran dikelas dipicu oleh guru tersebut yang tidak
mampu mengkondisikan kelas senyaman mungkin bagi siswanya disaat proses belajar
dilaksanakan.
Ketika mengajar guru tidak berusaha mencari informasi,apakah materi yang telah
diajarkannya telah dipahami siswa atau belum. Ketika proses belajar dan pembelajaran
guru tidak berusaha mengajak siswa untuk berpikir.Komunikasi terjadi hanya pada satu
arah,yaitu dari guru kesiswa. Guru berpikir bahwa materi pelajaran lebih penting daripada
mengembangkan kemampuan berpikir peserta didik. Lalu guru menganggap peserta didik
sebagai tong kosong yang harus diisi dengan sesuatu yang dianggap penting.Hal-hal
demikian adalah kekeliruan guru dalam mengajar.
Oleh karena itu makalah yang akan membahas karakteriktik siswa serta teori belajar
dan penerapannya pada pembelajaran IPA di SD ini disusun agar para pendidik mampu
mengetahui dan memahami secara teoritis perubahan perilaku peserta didik dalam proses
belajar dan pembelajaran sehingga proses belajar tersebut bisa berjaalan secara maksimal
berdasarkan tujuan awal pembelajaran itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana karakteristik siswa berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget?
2. Bagaimana teori belajar secara Sosial, Behavioristik, Kontruktivism, Bermakna dan
Penemuan?
3. Bagaimana penerapan teori belajar secara Sosial, Behavioristik, Kontruktivism,
Bermakna dan Penemuan pada pembelajaran IPA SD?

3
C. Tujuan
1. Mengetahui karakteristik siswa berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget
2. Mengetahui teori belajar secara Sosial, Behavioristik, Kontruktivism, Bermakna dan
Penemuan?
3. Mengetahui penerapan teori belajar secara Sosial, Behavioristik, Kontruktivism,
Bermakna dan Penemuan pada pembelajaran IPA SD

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Perkembangan Kognitif Piaget (Karakteristik Siswa)


Jean Piaget lahir di Neuchatel, sebuah kota kecil di Swiss. Piaget memulai karirnya
sebagai seorang ahli biologi, khususnya tentang mollusca (kerang-kerangan). Namun
ketertarikannya pada ilmu pengetahuan dan sejarah ilmu pengetahuan segera diikuti
dengan ketertarikannya pada keong. Karena dia semakin larut dalam penyelidikan
bagaimana proses pikiran yang bekerja dalam sains, akhirnya dia tertarik pula untuk
menyelidiki apa sesungguhnya pikiran itu, khususnya tahap-tahap perkembangannya.
Bidang ini disebutnya dengan epistemology genetic yang berarti studi tentang
perkembangan pengetahuan manusia. Selanjutnya Piaget memutuskan untuk mempelajari
anak pada tahun 1920 ketika bekerja di Laboratorium Binet di Paris. Piaget
mengemukakan bahwa sejak usia balita, seseorang telah memiliki kemampuan tertentu
untuk menghadapi objek-objek yang ada di sekitarnya. Kemampuan ini masih sangat
sederhana, yakni dalam bentuk kemampuan sensor motorik. Dalam memahami dunia
mereka secara aktif, anak-anak menggunakan skema, asimilasi, akomodasi, organisasi
danequilibrasi. Dengan kemampuan inilah balita akan mengeksplorasi lingkungannya dan
menjadikannya dasar bagi pengetahuan tentang dunia yang akan dia peroleh kemudian,
serta akan berubah menjadi kemampuan-kemampuan yang lebih maju dan rumit.
Kemampuan-kemampuan ini disebut Piaget dengan skema. Sebagai contoh, seorang anak
tahu bagaimana cara memegang mainannya dan membawa mainan itu ke mulutnya. Dia
dengan mudah membawakan skema ini. Lalu ketika dia bertemu dengan benda lain—
katakanlah jam tangan ayahnya—dia dengan mudah dapat menerapkan skema “ambil dan
bawa ke mulut” terhadap benda lain tersebut. Peristiwa ini oleh Piaget disebut dengan
asimilasi, yakni pengasimilasian objek baru kepada skema lain. Ketika anak tadi bertemu
lagi dengan benda lain, misalnya sebuah bola, dia tetap akan menerapkan skema “ambil
dan bawa ke mulut”. Tentu skema ini tidak akan berlangsung dengan baik, karena
bendanya sudah jauh berbeda. Oleh karena itu, skema pun harus menyesuaikan diri
dengan objek yang baru. Peristiwa ini disebut dengan akomodasi, yakni
pengakomodasian skema lama terhadap objek baru. Asimilasi dan akomodasi adalah dua

5
bentuk adaptasi, istilah Piaget yang kita sebut dengan pembelajaran. Cara kerja asimilasi
dan akomodasi bertugas menyeimbangkan struktur pikiran dengan lingkungan,
menciptakan porsi yang sama di antara keduanya. Jika keseimbangan ini terjadi, maka
tercapailah pada suatu keadaan ideal atau equiblirium. Dalam penelitiannya pada anak-
anak, Piaget mencatat adanya periode di mana asimilasi lebih dominan, atau akomodasi
yang lebih dominan, dan di mana keduanya mengalami keseimbangan.
Melalui observasinya, Piaget meyakini bahwa perkembangan kognitif terjadi dalam
empat tahapan. Masing-masing tahapan berhubungan dengan usia dan tersusun dari jalan
pikiran yang berbeda-beda. Menurut Piaget, semakin banyak informasi tidak membuat
pikiran anak lebih maju, kualitas kemajuannya berbeda-beda. Tahap-tahap perkembangan
kognitif tersebut adalah tahap sensori motorik (usia 0–2 tahun), tahap pra-opersional (usia
2–7 tahun), tahap opersional konkrit (usia 7–11 tahun) dan tahap opersional formal (usia
11–15 tahun).
a. Tahap sensorimotor (Sejak kelahiran-2 tahun)
Dalam tahapan ini, bayi menyusun pemahaman dunia dengan
mengoordinasikan pengalaman indra (sensory) mereka dengan gerakan motor (otot).
Pada awal tahap ini, bayi memperlihatkan tak lebih dari pola reflektif untuk
beradaptasi dengan dunia. Di usia antara satu sampai empat bulan, seorang bayi
mengandalkan reaksi sirkular primer, yaitu tindakan atau gerakan yang dia buat
sebagai respons dari tindakan sebelumnya dengan bentuk yang sama. Di usia empat
sampai dua belas bulan, bayi beralih pada reaksi sirkular sekunder yang berisi
tindakan-tindakan yang berusaha terlibat dengan lingkungan sekitar. Dia berusaha
mempelajari “prosedur dan cara kerja” sesuatu yang dapat menyenangkan hatinya dan
mengusahakannya agar terus bertahan. Dengan cara ini, dia mulai belajar mengingat
objek secara permanen. Ini adalah kemampuan untuk mengingat, artinya kalau anda
tidak dapat melihat sesuatu, bukan berarti sesuatu itu hilang. Di usia dua belas sampai
dua puluh empat bulan, anak-anak menggunakan reaksi sirkular tersier, yaitu
mempertahankan hal-hal yang menarik, akan tetapi dengan variasi yang lebih tetap.
Ketika seorang bayi berusia satu setengah tahun, bayi tersebut mengalami
perkembangan representasi mental, yaitu kemampuan mempertahankan citraan dalam
pikirannya untuk jangka waktu yang lebih lama.
Sebagai contoh; bayi dapat terlibat dalam apa yang disebut imitasi yang
tertunda, seperti memasang mimik jengkel setelah melihat seseorang sejam
sebelumnya. Dia juga dapat menggunakan kombinasi mental tertentu untuk

6
menyelesaikan persoalan yang sederhana, seperti menggunakan mainannya untuk
membuka pintu. Dia juga memiliki pertimbangan yang cukup baik. Menjelang akhir
tahap ini, bayi menunjukkan pola sensorimotor yang lebih kompleks. Piaget percaya
bahwa pencapaian kognitif yang penting di usia bayi adalah object permanence, yang
berarti bahwa pemahaman objek dan kejadian terus eksis bahkan ketika objek dan
kejadian itu tidak dapat dilihat, didengar atau disentuh. Pencapaian kedua adalah
realisasi bertahap, bahwa ada perbedaan atau batas antara diri dan lingkungan sekitar.
Menjelang akhir periode sensorimotor, anak bisa membedakan antara dirinya dan
dunia sekitarnya dan menyadari bahwa objek tetap ada dari waktu ke waktu.
b. Tahap pra-operasional (Usia 2-7 tahun)
Tahap ini adalah tahap pemikiran yang lebih simbolis, tetapi tidak melibatkan
pemikiran operasional. Tahap ini lebih bersifat egosentris dan intuitis. Pemikiran pra-
operasional terdiri dari dua sub-tahap, yaitu tahap fungsi simbolis dan tahap
pemikiran intuitif. Sub-tahap fungsi simbolis terjadi di usia dua sampai empat tahun.
Dalam sub tahap ini, anak kecil secara mental mulai mempresentasikan objek yang
tidak hadir. Ini memperluas dunia mental anak hingga mencakup dimensi-dimensi
baru. Perkembangan bahasa yang mulai berkembang dan kemunculan sikap bermain
adalah contoh dari peningkatan pemikiran fungsi simbolis. Anak kecil mulai
mencoret-coret gambar orang, rumah, mobil, awan dan benda-benda lain di dunia ini.
Dalam imajinasi mereka, matahari warnanya biru, langit berwarna hijau dan mobil
melayang di awan. Simbolisme yang sederhana tetapi kuat, tidak berbeda dengan
lukisan abstrak. Di usia Sekolah Dasar, lukisan anak menjadi makin realitas, rapi dan
persis. Matahari berwarna kuning, langit berwarna biru dan mobil berada di jalanan.
Pemikiran pra-opersional masih mengandung dua keterbatasan, yaitu egosentrisme
dan animisme. Egosentrisme adalah ketidakmampuan untuk membedakan antara
perspektif milik sendiri dengan perspektif orang lain. Piaget dan Barber Inhelder
mempelajari egosentrisme anak dengan memberikan tugas gunung. Animisme juga
merupakan ciri pemikiran pra-operasional. Animisme adalah kepercayaan bahwa
objek tidak bernyawa punya kualitas “kehidupan” dan bisa bergerak. Seorang anak
kecil menunjukkan animisme ini dengan mengatakan “pohon itu mendorong daun dan
membuatnya gugur” atau “trotoar itu membuatku terjatuh”. Subtahap pemikiran
intuitif adalah subtahap kedua, dimulai usia empat tahun sampai tujuh tahun. Pada
tahap ini anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin tahu jawaban dari
semua pertanyaan. Piaget menyebut tahap ini sebagai intuitif karena anak-anak

7
tampaknya merasa yakin terhadap pengetahuan dan pemikiran mereka, tetapi tidak
menyadari bagaimana mereka bisa mengetahui apa-apa yang mereka ingin ketahui.
Artinya mereka menyatakan bahwa mereka tahu sesuatu tetapi mereka mengetahuinya
tanpa menggunakan pemikiran rasional. Contoh mereka sulit untuk menempatkan
benda atau sesuatu ke dalam kategori yang pas. Dalam tahap pra-opersional juga
menunjukkan karakteristik pemikiran yang disebut centration yakni pemfokusan
(pemusatan) perhatian pada satu karakteristik dengan mengabaikan karakteristik
lainnya. Centration tampak jelas dalam kurangnya konservasi dalam tahap ini.
Konservasi yang dimaksud di sini adalah ide bahwa beberapa karakteristik dari objek
itu tetap sama meski objek itu berubah penampilannya. Misalnya, orang dewasa tahu
bahwa volume air akan tetap sama meskipun dia dimasukkan ke dalam wadah yang
bentuknya berlainan. Tetapi bagi anak kecil tidak demikan halnya. Mereka biasanya
heran pada perubahan bentuk cairan di dalam wadah yang berbeda-beda Menurut
Piaget, kegagalan tugas conservation untuk kasus air ini menunjukkan bahwa anak
berada dalam tahap pemikiran pra-operasional. Anak juga tidak bisa melakukan apa
yang disebutnya sebagai “operasi” atau operation. Dalam teori Piaget, operasi adalah
representasi mental yang dapat dibalik (reversible). Contoh, Seorang anak kecil
mungkin tahu bahwa 4 + 2 = 6, tetapi tidak tahu bahwa kebalikannya yakni 6 – 2 = 4.
Atau misalnya, seorang anak prasekolah pergi ke rumah temannya dengan berjalan
kaki, tetapi dia pulang dengan menggunakan kendaraan. Apabila diminta untuk
berjalan dari rumah temannya untuk pulang, dia mungkin menjawab tidak tahu
jalannya karena dia tidak pernah berjalan pulang ke rumahnya.
c. Tahap opersional konkret (Usia 7-15 tahun)
Pemikiran operasional konkret mencakup penggunaan operasi. Penalaran
logika menggantikan penalaran intuitif, tetapi hanya dalam situasi konkret.
Kemampuan untuk mengklasifikasikan sesuatu sudah ada, tetapi belum bisa
memecahkan problem-problem abstrak. Operasi konkret adalah tindakan mental yang
bisa dibalikkan yang berkaitan dengan objek konkret nyata. Operasi konkret membuat
anak bisa mengoordinasikan beberapa karakteristik, jadi bukan hanya fokus pada satu
kualitas objek. Pada level opersional konkret, anak-anak secara mental bisa
melakukan sesuatu yang sebelumnya hanya mereka bisa lakukan secara fisik, dan
mereka dapat membalikkan operasi konkret ini. Yang penting dalam kemampuan
tahap operasional konkret adalah pengklasifikasian atau membagi sesuatu menjadi
sub yang berbeda-beda dan memahami hubungannya. Tahap ini dimulai dengan tahap

8
progressive decentring di usia tujuh tahun. Sebagian besar anak telah memiliki
kemampuan untuk mempertahankan ingatan tentang ukuran, panjang atau jumlah
benda cair. Maksud ingatan yang dipertahankan di sini adalah gagasan bahwa satu
kuantitas akan tetap sama walaupun penampakan luarnya terlihat berubah. Jika Anda
memperlihatkan 4 kelereng dalam sebuah kotak lalu menyerakkannya di lantai, maka
perhatian anak yang masih berada pada tahap pra-opersional akan terpusat pada
terseraknya kelereng tersebut dan akan percaya jumlahnya bertambah banyak.
Sebaliknya, anak-anak yang telah berada pada tahap opersional konkret akan segera
tahu bahwa jumlah kelereng itu tetap 4. Anak pun akan tahu jika anda menuangkan
susu yang ada di gelas gendut ke gelas ramping, maka volumenya tetap sama, kecuali
jika jumlah susu yang dituangkan memang sengaja dibedakan. Di usia 7 atau 8 tahun,
seorang anak akan mengembangkan kemampuan mempertahankan ingatan terhadap
substansi. Jika anda mengambil tanah liat yang berbentuk bola kemudian
memencetnya jadi pipih atau anda pecah-pecah menjadi sepuluh bola yang lebih kecil,
dia pasti tahu bahwa itu semua masih tanah liat yang sama. Bahkan kalau anda
mengubah kembali menjadi bola seperti semula, dia tetap tahu bahwa itu adalah tanah
liat yang sama. Proses ini disebut proses keterbalikan. Di usia 9 atau 10 tahun,
kemampuan terakhir dalam mempertahankan ingatan mulai diasah, yakni ingatan
tentang ruang. Jika anda meletakkan 4 buah benda persegi 1 x 1 cm di atas kertas
seluas 10 cm persegi, anak yang mampu mempertahankan ingatannya akan tahu
bahwa ruang kertas yang ditempati keempat benda kecil tadi sama, walau dimanapun
diletakkan. Dalam tahap ini, seorang anak juga belajar melakukan pemilahan
(classification) dan pengurutan (seriation). Contoh percobaan Piagetian dalam hal ini
adalah: meminta anak untuk memahami hubungan antar kelas. Salah satu tugas itu
disebut seriation, yakni operasi konkret yang melibatkan stimuli pengurutan di
sepanjang dimensi kuantitatif. Untuk mengetahui apakah murid dapat mengurutkan,
seorang guru bisa meletakkan 8 batang lidi dengan panjang yang berbeda-beda secara
acak di atas meja. Guru kemudian meminta murid untuk mengurutkan batang lidi
tersebut berdasarkan panjangnya. Pemikiran operasional konkret dapat secara
bersamaan memahami bahwa setiap batang harus lebih panjang ketimbang batang
sebelumnya atau batang sesudahnya harus lebih pendek dari sebelumnya. Aspek lain
dari penalaran tentang hubungan antar kelas adalah transtivity yaitu kemampuan
untuk mengombinasikan hubungan secara logis untuk memahami kesimpulan
tertentu.

9
d. Tahap operasional formal (Usia 11-15 tahun)
Pada tahap ini individu sudah mulai memikirkan pengalaman konkret, dan
memikirkannya secara lebih abstrak, idealis dan logis. Kualitas abstrak dari pemikiran
operasional formal tampak jelas dalam pemecahan problem verbal. Pemikir
operasional konkret perlu melihat elemen konkret A, B, dan C untuk menarik
kesimpulan logis bahwa jika A = B dan B = C, maka A = C. Sebaliknya pemikir
operasional formal dapat memecahkan persoalan itu walau problem ini hanya
disajikan secara verbal. Selain memiliki kemampuan abstraksi, pemikir operasional
formal juga memiliki kemampuan untuk melakukan idealisasi dan membayangkan
kemungkinan-kemungkinan. Pada tahap ini, anak mulai melakukan pemikiran
spekulasi tentang kualitas ideal yang mereka inginkan dalam diri mereka dan diri
orang lain. Konsep operasional formal juga menyatakan bahwa anak dapat
mengembangkan hipotesis deduktif tentang cara untuk memecahkan problem dan
mencapai kesimpulan secara sistematis.

B. Teori Belajar Sosial (Vygotsky)


Teori belajar sosiokultur atau yang juga dikenal sebagai teori belajar ko-
kontruktivistik merupakan teori belajar yang titik tekan utamanya adalah pada bagaimana
seseorang belajar dengan bantuan orang lain dalam suatu zona keterbatasan dirinya yaitu
Zona Proksimal Development (ZPD) atau Zona Perkembangan Proksimal dan mediasi. Di
mana anak dalam perkembangannya membutuhkan orang lain untuk memahami sesuatu
dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Teori yang juga disebut sebagai teori
konstruksi sosial ini menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari masyarakat,
lingkungan dan budayanya. Teori ini juga menegaskan bahwa perolehan kognitif individu
terjadi pertama kali melalui interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial)
intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri).
Vygotsky berpendapat bahwa menggunakan alat berfikir akan menyebabkan
terjadinya perkembangan kognitif dalam diri seseorang. Yuliani (2005: 44) secara
spesifik menyimpulkan bahwa kegunaan alat berfikir menurut Vygotsky adalah :

1. Membantu memecahkan masalah


Alat berfikir mampu membuat seseorang untuk memecahkan masalahnya.
Kerangka berfikir yang terbentuklah yang mampu menentukan keputusan yang
diambil oleh seseorang untuk menyelesaikan permasalahan hidupnya.
2. Memudahkan dalam melakukan tindakan

10
Vygotsky berpendapat bahwa alat berfikirlah yang mampu membuat
seseorang mampu memilih tindakan atau perbuatan yang seefektif dan seefisien
mungkin untuk mencapai tujuan.
3. Memperluas kemampuan
Melalui alat berfikir setiap individu mampu memperluas wawasan berfikir
dengan berbagai aktivitas untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang ada di
sekitarnya.
4. Melakukan sesuatu sesuai dengan kapasitas alaminya.
Semakin banyak stimulus yang diperoleh maka seseorang akan semakin intens
menggunakan alat berfikirnya dan dia akan mampu melakukan sesuatu sesuai dengan
kapasitasnya.
Inti dari teori belajar sosiokultur ini adalah penggunaan alat berfikir seseorang yang
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan sosial budayanya. Lingkungan sosial
budaya akan menyebabkan semakin kompleksnya kemampuan yang dimiliki oleh setiap
individu.
Berdasarkan teori Vygotsky Yuliani (2005: 46) menyimpulkan beberapa hal yang
perlu untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu :
1. Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan yang luas
untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau potensinya melalui
belajar dan berkembang.
2. Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya dari pada
perkembangan aktualnya.
3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan
kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramentalnya.
4. Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif
yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural untuk melakukan tugas-tugas
dan memecahkan masalah
5. Proses Belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi lebih
merupakan ko-konstruksi
Pada penerapan pembelajaran dengan teori belajar sosiokultur, guru berfungsi sebagai
motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan memiliki gairah untuk
berfikir, fasilitator, yang membantu menunjukkan jalan keluar bila siswa menemukan
hambatan dalam proses berfikir, menejer yang mengelola sumber belajar, serta sebagai
rewarder yang memberikan penghargaan pada prestasi yang dicapai siswa, sehingga

11
mampu meningkatkan motivasi yang lebih tinggi dari dalam diri siswa. Pada intinya,
siswalah yang dapat menyelesaikan permasalahannya sendiri untuk membangun ilmu
pengetahuan.
Dapat disimpulkan bahwa dalam teori belajar sosiokultur, proses belajar tidak dapat
dipisahkan dari aksi (aktivitas) dan interaksi, karena persepsi dan aktivitas berjalan
seiring secara dialogis. Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari
pemikiran individu melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Dalam hal ini, tidak ada
perwujudan dari suatu kenyataan yang dapat dianggap lebih baik atau benar. Vygotsky
percaya bahwa beragam perwujudan dari kenyataan digunakan untuk beragam tujuan
dalam konteks yang berbeda-beda. Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari aktivitas di
mana pengetahuan itu dikonstruksikan, dan di mana makna diciptakan, serta dari
komunitas budaya di mana pengetahuan didiseminasikan dan diterapkan. Melalui
aktivitas, interaksi sosial, tersebut penciptaan makna terjadi.

C. Teori Belajar Behavioristik (Bandura)


Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang
tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert
Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar
perilaku, tetapi memberi lebih banyak penekanan pada efek-efek dari isyarat-isyarat pada
perilaku, dan pada proses-proses mental internal.
Salah satu asumsi paling awal mendasari teori pembelajaran sosial Bandura adalah
manusia cukup fleksibel dan sanggup mempelajari bagaimana kecakapan bersikap
maupun berperilaku. Titik pembelajaran dari semua ini adalah pengalaman- penglaman
tak terduga (vicarious experiences). Meskipun manusia dapat dan sudah banyak belajar
dari pengalaman langsung, namun lebih banyak yang mereka pelajari dari aktivitas
mengamati perilaku orang lain.
Teori belajar sosial menekankan observational learning sebagai proses pembelajaran,
yang mana bentuk pembelajarannya adalah seseorang mempelajari perilaku dengan
mengamati secara sistematis imbalan dan hukuman yang diberikan kepada orang lain.
Dalam observational learning terdapat empat tahap belajar dari proses pengamatan
atau modeling Proses yang terjadi dalam observational learning tersebut antara lain :
a. Atensi, dalam tahapan ini seseorang harus memberikan perhatian terhadap model
dengan cermat

12
b. Retensi, tahapan ini adalah tahapan mengingat kembali perilaku yang ditampilkan
oleh model yang diamati maka seseorang perlu memiliki ingatan yang bagus terhadap
perilaku model.
c. Reproduksi, dalam tahapan ini seseorang yang telah memberikan perhatian untuk
mengamati dengan cermat dan mengingat kembali perilaku yang telah ditampilkan
oleh modelnya maka berikutnya adalah mencoba menirukan atau mempraktekkan
perilaku yang dilakukan oleh model.
d. Motivasional, tahapan berikutnya adalah seseorang harus memiliki motivasi untuk
belajar dari model.

Bandura, sebagai seorang behavioristik, percaya bahwa perkembangan kognitif saja


tidak cukup menjelaskan perilaku pada anak. Ia yakin, proses meniru juga berpengaruh
terhadap perkembangan mereka. Namun Bandura juga merasakan bahwa kemampuan
kognitif juga mempengaruhi proses belajar. Ini, terutama, ketika ia melihat eksperimen
boneka di mana anak memperlihatkan perilaku berbeda setelah diperlihatkan sebuah
tayangan.

Psikologi behavioristik, atau belajar dari meniru, mempunyai empat batasan:

• Mengabaikan motivasi dan proses kognitif;

• Berdasarkan penelitian terhadap hewan;

• Mengabaikan dimensi sosial;

• Menganggap manusia adalah organisme pasif, yang tidak bisa memilih.

Teori belajar sosial Albert Bandura memaknai bahwa peserta didik memiliki sifat:

a. Intensionalitas
Peserta didik adalah perencana yang bukan hanya sekedar ingin memprediksi masa
depan, tetapi intens membangun komitmen proaktif dalam mewujudkan setiap
rencana.
b. Mem-prediksi
Peserta didik memiliki kemampuan mengantisipasi hasil tindakan, dan memilih
perilaku mana yang dapat memberi keberhasilan dan perilaku yang mana untuk
menghindari kegagalan.
c. Reaksi-diri

13
Peserta didik lebih daripada sekedar berencana dan merenungkan perilaku kedepan
karena manusia juga sanggup memberikan reaksi-diri dalam proses motivasi dan
meregulasi diri terhadap setiap tindakan yang dilakukan.
d. Refleksi diri
Peserta didik adalah makhluk yang dilengkapi dengan kemampuan merefleksi- diri.
Kemampuan manusia merefleksi-diri, membentuk kepercayaan-diri dari manusia,
bahwa manusia sanggup melakukan tindakan-tindakan yang akan menghasilkan efek
yang diinginkan.
Bandura menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui proses
pengamatan, di mana orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap perilaku
orang lain terutama orang yang dianggap mempunyai nilai lebih dari orang lainnya.
Istilah yang terkenal dalam teori belajar sosial adalah modeling (peniruan). Menurut
Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforcement yang nyata. Dalam
penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat respon orang
lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model
yang diamatinya juga tidak mendapat renforsemen dari Tingkah lakunya. Belajar melalui
observasi jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman langsung. Melalui
observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya, yang
mungkin diikuti dengan hubungan dan penguatan. Tingkah laku manusia dalam bentuk
interaksi timbal-balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan
lingkungan. Manusia menentukan/mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrol
lingkungan, tetapi manusia juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Saling-
determinis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai
tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkah laku interpersonal
serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem sosial. Manusia dapat belajar melakukan
sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar
melalui observasi tanpa ada reinforcement yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan
oleh antisipasi konsekuensi.

D. Teori Belajar Kontruktivis (Piaget)


Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159) menegaskan
bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau
pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran
menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan

14
tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari
teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran
seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang
dimilikinya.
Proses mengkonstruksi, sebagaimana dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
1. Skemata
Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan lingkungan
disebut dengan skemata.
Sejak kecil anak sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan
skema (schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak senang
bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama berbulu putih. Berkat
keseringannya, ia dapat menangkap perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki
empat dan kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah dalam
struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang berkaki empat dan binatang
berkaki dua. Semakin dewasa anak, maka semakin sempunalah skema yang
dimilikinya. Proses penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi.
2. Asimilasi
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi,
konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam
pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan
mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada.
Proses asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan
perubahan/pergantian skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah
salah satu proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri
dengan lingkungan baru pengertian orang itu berkembang.
3. Akomodasi
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai.
Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah
ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi
untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau
memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
4. Keseimbangan

15
Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sedangkan
diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan
akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar
dengan struktur dalamnya.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak
(Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan
berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan
masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah
dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat
menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai
mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dikatakan juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis hendaknya
memenuhi beberapa prinsip, yaitu: a) menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan
peserta didik dapat melakukan konstruksi pengetahuan; b) pembelajaran dilaksanakan
dengan mengkaitkan kepada kehidupan nyata; c) pembelajaran dilakukan dengan
mengkaitkan kepada kenyataan yang sesuai; d) memotivasi peserta didik untuk aktif
dalam pembelajaran; e) pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada
kehidupan social peserta didik; f) pembelajaran menggunakan barbagia sarana; g)
melibatkan peringkat emosional peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta
didik (Knuth & Cunningham,1996).

E. Teori Belajar Bermakna (Ausubel)


Salah satu pakar yang mengemukakan teori belajar kognitif adalah David Paulus
Ausubel. David Paulus Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Ausubel
memberi penekanan pada belajar bermakna dan juga terkenal dengan teori belajar
bermaknanya. Menurut Ausubel (Hudoyo, 1998) bahan pelajaran yang dipelajari haruslah
“bermakna” artinya bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus
relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus
dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimiliki siswa, sehingga konsep-konsep baru

16
tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian faktor intelektual, emosional
siswa tersebut terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada
belajar menemukan, konsep dicari/ditemukan oleh siswa. Sedangkan pada belajar
menerima siswa hanya menerima konsep atau materi dari guru, dengan demikian siswa
tinggal menghapalkannya. Selain itu Ausubel juga membedakan antara belajar menghafal
dengan belajar bermakna. Pada belajar menghafal, siswa menghafalkan materi yang
sudah diperolehnya tetapi pada belajar bermakna, materi yang telah diperoleh itu
dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih bisa dimengerti.
Ausubel menentang pendapat yang mengatakan bahwa metode penemuan dianggap
sebagai suatu metode mengajar yang baik karena bermakna, dan sebaliknya metode
ceramah adalah metode yang kurang baik karena merupakan belajar menerima.
Menurutnya baik metode penemuan maupun metode ceramah bisa menjadi belajar
menerima atau belajar bermakna, tergantung dari situasinya.
Menurut David P. Ausubel dalam Sutomo (2015), ada dua jenis belajar :
1. Belajar Bermakna (Meaningfull Learning), belajar dikatakan bermakna bila informasi
yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang
dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu dapat mengaitkan informasi
barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
2. Belajar Menghafal (Rote Learning), bila struktur kognitif  yang cocok dengan
fenomena baru itu belum ada maka informasi baru tersebut harus dipelajari secara
menghafal.
Kedua demensi ini merupakan suatu kontinum. Novak (Dahar, 1988) memperlihatkan
gambar sebagai berikut:

Menjelaskan
Pengajaran Audio-
hubungan antara Penelitian Ilmiah
Tutorial
konsep-konsep
Belajar
Bermakna Penyajian Sebagian Besar
Kegiatan di
Melalui penelitian rutin
laboratorium
Ceramah atau atau produksi
sekolah
buku pelajaran intelektual

17
Menerapkan
rumus-rumus
Pemecahan
Daftar Perkalian untuk
dengan coba-coba
Belajar hafalan memecahkan
Masalah
Belajar Belajar Penemuan Belajar Penemuan
Penerimaan Terbimbing Mandiri

Dari tabel diatas dapat dikatakan bahwa belajar penerimaan yang bermakna dapat


dilakukan dengan cara menjelaskan hubungan antara konsep-konsep, sedangkan belajar
penemuan yang masih berupa hafalan apabila belajar dilakukan dengan pemecahan
masalah secara coba-coba. Belajar penemuan yang bermakna hanyalah terjadi pada
penelitian ilmiah.
Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua
dimensi. Dimensi Pertama, berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu
disajikan kepada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi
kedua, menyangkut bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi itu pada struktur
kognitif yang telah ada. Meliputi fakta, konsep, dan generalisasi yang telah dipelajari dan
diingat oleh siswa.
Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa
dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final
ataupun dalam bentuk belajar penemuan yang mengharuskan siswa untuk menemukan
sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan.
Dalam tingkat ke dua siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada
pengetahuan yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi belajar bermakna. Akan tetapi
siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu tanpa
menghubungkan dengan pengetahuan yang sudah ada dalam struktur kognitifnya; dalam
hal ini terjadi belajar hafalan.
Jadi dapat disimpulkan jika peserta didik hanya mencoba menghafalkan informasi
baru itu tanpa menghubungkan dengan struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar
dengan hafalan. Sebaliknya jika peserta didik menghubungkan atau mengaitkan informasi
baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang terjadi adalah belajar bermakna.
Kedua pengklasifikasian tersebut di atas apabila digambarkan ke dalam skema adalah
sebagai berikut:

18
Dalam kaitannya dengan tipe belajar, Ausubel mengemukakan empat tipe belajar,
yaitu:
1. Belajar dengan penemuan yang bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik. Peserta
didik itu kemudian menghubungkan pengetahuan yang baru itu dengan struktur
kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik diminta menemukan sifat-sifat suatu
bujur sangkar. Dengan mengaitkan pengetahuan yang sudah dimiliki, seperti sifat-
sifat persegi panjang, peserta didik dapat menemukan sendiri sifat-sifat bujur sangkar
tersebut.
2. Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Informasi yang dipelajari, ditentukan secara bebas oleh peserta didik,
kemudian ia menghafalnya. Misalnya, peserta didik menemukan sifat-sifat bujur
sangkar tanpa bekal pengetahuan sifat-sifat geometri yang berkaitan dengan
segiempat dengan sifat-sifatnya, yaitu dengan penggaris dan jangka. Dengan alat-alat
ini diketemukan sifat-sifat bujur sangkar dan kemudian dihafalkan.
3. Belajar menerima yang bermakna
Informasi yang telah tersusun secara logis di sajikan kepada peserta didik
dalam bentuk final/akhir, peserta didik kemudian menghubungkan pengetahuan yang
baru itu dengan struktur kognitif yang dimiliki. Misalnya peserta didik akan
mempelajari akar-akar persamaan kuadrat. Pengajar mempersiapkan bahan-bahan
yang akan diberikan yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga materi
persamaan  kuadrat tersebut dengan mudah ter’tanam’ kedalam konsep persamaan
yang sudah dimiliki peserta didik. Karena pengertian persamaan lebih inklusif dari
pada persamaan kuadrat, materi persamaan tersebut dapat dipelajari peserta didik
secara bermakna.
4. Belajar menerima yang tidak bermakna
Dari setiap tipe bahan yang disajikan kepada peserta didik dalam bentuk final.
Peserta didik tersebut kemudian menghafalkannya. Bahan yang disajikan tadi tanpa
memperhatikan pengetahuan yang dimiliki peserta didik (Hudoyo, 1990)
Sebagaimana disimpulkan oleh Rosser (Dahar, 1988) bahwa belajar bermakna dapat
terjadi bila memenuhi tiga komponen yaitu materi pelajaran harus bermakna secara logis,
siswa harus bertujuan untuk memesukkan materi itu kedalam struktur kognitifnya dan
dalam struktur kognitif siswa harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengkaitkan

19
atau menghubungkan materi baru secara non-arbitrar dan substantif. Jika salah satu
komponen tidak ada, maka materi itu akan dipelajari secara hafalan.
Untuk menerapkan teori belajar Ausubel, Sulaiman (1988) menyarankan agar
menggunakan dua fase yaitu, fase perencanan dan fase pelaksanaan. Fase perencanaan
terdiri dari menetapkan tujuan pembelajaran, mendiagnosis latar belakang pengetahuan
siswa, membuat struktur materi dan memformulasikan advance organizer. Fase
pelaksanakan terdiri dari advance organizer, diferensiasi progresif dan rekonsiliasi
integratif:
1. Fase Perencanaan
Menetapkan Tujuan Pembelajaran, tahapan pertama dalam kegiatan
perencanaan adalah menetapkan tujuan pembelajaran. Model Ausubel ini dapat
digunakan untuk mengajarkan hubungan antara konsep-konsep dan generalisasi-
generalisasi. Sebagaimana dikatakan Sulaiman (1988), bahwa model Ausubel tidak
dirancang untuk mengajarkan konsep atau generalisasi, melainkan untuk mengajarkan
“Organized bodies of content” yang memuat bermacam konsep dan generalisasi.
Mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa, model Ausubel ini meskipun
dirancang untuk mengajarkan hubungan antar konsep-konsep dan generalisasi
generalisasi dan tidak untuk mengajarkan bentuk materi pengajaran itu sendiri, tetapi
cukup fleksibel untuk dipakai mengajarkan konsep dan generalisasi, dengan syarat
guru harus menyadari latar belakang pengetahuan siswa, Efektivitas penggunaan
model ini akan sangat tergantung pada sensitivitas guru terhadap latar belakang
pengetahuan siswa, pengalaman siswa dan struktur pengetahuan siswa. Latar
belakang pengetahuan siswa dapat diketahui melalui pretes, diskusi atau pertanyaan.
Membuat struktur materi, membuat struktur materi secara hierarkis merupakan
salah satu pendukung untuk melakukan rekonsiliasi integratif dari teori Ausubel
Memformulasikan Advance Organizer, Eggen (1979), Advance
organizer dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: a) mengkaitkan atau
menghubungkan materi pelajaran dengan struktur pengetahuan siswa, b)
mengorganisasikan materi yang dipelajari siswa.
Terdapat tiga macam organizer, yaitu definisi konsep, generalisasi dan
analogi:
1. Definisi konsep dapat merupakan organizer materi yang bermakna, bila materi
tersebut merupakan bahan pengajaran baru atau tidak dikenal oleh siswa. Untuk

20
kemudahan siswa, guru sebaiknya mengusahakan agar definisi dibuat dalam
terminalogi yang dikenal siswa.
2. Generalisasi berguna untuk meringkas sejumlah informasi
3. Analogi merupakan advance organizer yang paling efektif karena seringkali sesuai
dengan latar belakang siswa. Nilai analogi sebagai advance organizer tergantung
pada dua faktor yaitu (1) penguasaan atau pengetahuan siswa terhadap analogi itu,
(2) tingkat saling menunjang antara gagasan yang diajarkan dengan analogi yang
digunakan. Dengan analogi, motif dan minat siswa lebih baik dibandingkan
dengan generalisasi dan definisi konsep
2. Fase Pelaksanaan
Untuk menjaga agar siswa tidak pasif maka guru harus dapat mempertahankan
adanya interaksi dengan siswa melalui tanya jawab, memberi contoh perbandingan
dan sebaginya berkaitan dengan ide yang disampaikan saat itu. Guru hendaknya mulai
dengan advance organizer dan menggunakannya hingga akhir pelajaran sebagai
pedoman untuk mengembangkan bahan pengajaran.
Langkah berikutnya adalah menguraikan pokok-pokok bahan menjadi lebih
terperinci melalui diferensiasi progresif. Setelah guru yakin bahwa siswa mengerti
akan konsep yang disajikan maka ada dua pilihan langkah berikutnya yaitu: 1)
menghubungkan atau membandingkan konsep-konsep itu melalui rekonsiliasi
integratif, atau 2) melanjutkan dengan difernsiasi progresif sehingga konsep tersebut
menjadi lebih luas.

F. Teori Belajar Penemuan (Bruner)


Teori belajar Bruner ialah belajar penemuan atau discovery learning. Belajar
penemuan dari Jerome Bruner adalah model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan
prinsip-prinsip konstruktivis. Di dalam discovery learning siswa didorong untuk belajar
sendiri secara mandiri. Siswa terlibat aktif dalam penemuan konsep-konsep dan prinsip-
prinsip melalaui pemecahan masalah atau hasil abstraksi sebagai objek budaya. Guru
mendorong dan memotivasi siswa untuk mendapatkan pengalaman dengan melakukan
kegiatian yang memungkinkan mereka untuk menemukan konsep-konsep dan prinsip-
prinsip matematika untuk mereka sendiri. Pembelajaran ini dapat membangkitkan rasa
keingintahuan siswa.
Di dalam proses belajar Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa dam
mengenal dengan baik adalanya perbedaan kemampuan (Slameto, 2003). Untuk

21
meningkatkan proses belajar perlu lingkungan yang dinamakan eksplorasi, penemuan-
penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah
diketahui.
Menurut Jerome Bruner (dalam Ratumanan, 2002: 47), belajar melibatkan tiga proses
yang berlangsung hampir bersamaan, yakni:

1. Memperoleh informasi baru. Informasi baru merupakan perluasan dari informasi


sebelumnya yang dimiliki seseorang. Atau informasi tersebut dapat bersifat
sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki
seseorang.

2. Transformasi informasi. Transformasi informasi/pengetahuan menyangkut cara kita


memperlakukan pengetahuan. Informasi yang diperoleh, kemudian dianalisis, diubah
atau ditransformasikan ke dalam yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat
digunakan untuk hal-hal yang lebih luas.

3. Evaluasi. Evaluasi merupakan proses menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.


Proses ini dilakukan dengan menilai apakah cara kita memperlakukan pengetahuan
tersebut cocok atau sesuai dengan prosedur yang ada. Juga sejauh manakah
pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk memahami gejala-gejala lainnya.
Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan ketiga sistem ketrampilan tersebut
untuk menyatakan kemampuan-kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem
keterampilan itu ialah yang disebut tiga cara penyajian (models of presentation) oleh
Bruner. Bruner (dalam Ratumanan, 2002: 48) membagi perkembangan kognitif anak
menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Enaktif (Enactive). Tahap ini merupakan tahap representasi pengetahuan dalam
melakukan tindakan. Pada tahap ini anak dalam belajarnya menggunakan atau
memanipulasi obyek-obyek secara langsung. Dengan cara ini anak mengetahui suatu
aspek dari kenyataan tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata.

2. Ikonik (Iconic). Tahap ini merupakan tahap perangkuman bayangan secara visual.
Pada tahap ini anak melihat dunia melalui gambar-gambar atau visulisasi. Dalam
belajarnya, anak tidak memanipulasi obyek-obyek secara langsung, tetapi sudah dapat
memanipulasi dengan menggunakan gambaran atau obyek. Pengetahuan yang

22
dipelajari anak disajikan dalam bentuk gambar-gambar yang mewakili suatu konsep,
tetapi tidak mendefinisikan konsep itu sepenuhnya.

3. Simbolik (Symbolic). Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol secara


langsung dan tidak lagi menggunakan obyek-obyek atau gambaran obyek. Pada tahap
ini anak memiliki gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan
logika.

Lesh (dalam Sinaga, 2007) memperluas ketiga tahap di atas dengan membagi enaktif
menjadi dua sub kelompok, yaitu real dan manipulatif, sedangkan yang simbolik
diklasifikasi lagi menjadi dua kelompok, yaitu tertulis dan lisan. Ishida (dalam Sinaga,
2007) menggambarkan hubungan tahap-tahap di atas satu sama lain secara ruang dan
mempraktekkannya dalam pembelajaran matematika untuk mengembangkan pemahaman
siswa tentang konsep matematika.
Belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan
dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Siswa hendaknya belajar melalui
berpartisipasi secara aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka
memperoleh pengalaman, dan melakukan eksperimen-eksperimen yang mengizinkan
mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu sendiri.
Menurut Dahar (dalam Ratumanan, 2002: 49), pengetahuan yang diperoleh dengan
belajar penemuan mempunyai beberapa kebaikan, yakni:
1. Pengetahuan itu bertahan lama atau lama dapat diingat atau lebih mudah diingat, bila
dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara-cara lain.

2. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada hasil
belajar lainnya. Dengan perkataan lain, konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang
dijadikan milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada situasi baru.

3. Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan


untuk berpikir secara bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih keterampilan-
keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahakan masalah tanpa
pertolongan orang lain.
Berdasarkan hasil-hasil eksperimen dan obsevasi yang dilakukan oleh Bruner dan
Kenney, pada tahun 1963 kedua pakar tersebut mengemukakan 4 prinsip tentang cara
belajar dan mengajar matematika yang masing-masing mereka sebut sebagai ‘teorema’.

23
Teorema tersebut terdiri dari teorema konstruksi (construction theorem), teorema notasi
(notation theorem), teorema kekontrasan dan variasi (contrast and variation theorem),
dan teorema konektivitas (connectivity theorem).
Beberapa keunggulan Belajar Penemuan (Discovery Learning), adalah sebagai
berikut.
 Pengetahuan  yang diperoleh akan bertahan lama dan lebih mudah diingat.
 Hasil belajar mempunyai efek transfer yang lebih baik, dengan kata lain konsep dan
prinsip yang diperoleh lebih mudah diterapkan pada situasi-situasi baru. 
 Meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas, melatih
keterampilan-keterampilan kognitif siswa utuk menemukan dan memecahkan masalah
tanpa pertolongan orang lain.
Bagaimana cara menerapkan belajar penemuan di kelas  sehingga diperoleh hasil
yang maksimal, tentu  tidak lepas dari peranan guru. Jika kita mengajarkan sains berarti
kita ingin membuat anak kita berpikir secara sistematis, berperan serta dalam proses
perolehan pengetahuan. Peranan guru dalam Belajar Penemuan adalah sebagai berikut.
 Merencanakan pelajaran sedemikian rupa sehingga pelajaran itu terpusat pada
masalah-masalah yang tepat untuk diselidiki oleh siswa.
 Menyajikan materi pelajaran yang diperlukan sebagai dasar bagi para siswa untuk
memecahkan  masalah
 Cara penyajian disesuaikan dengan taraf perkembangan kognitif siswa
 Bila siswa memecahlan masalahnya di laboratorium atau secara teoritis, hendaknya
guru berperan sebagai pembimbing.
 Penilaian hasil belajar penemuan meliputi pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar
mengenai suatu  bidang studi, dan kemampuan siswa untuk menerapkan prinsip-
prinsip dasar itu pada situasi baru.

G. Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran IPA


1. Teori Belajar Sosial (Vygotsky)
Metode Pembelajaran Kooperatif adalah suatu metode pembelajaran yang
menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara
sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua
orang atau lebih. Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang
berdasarkan faham sosial. Pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran
dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya

24
berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok
harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran.
Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman
dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
Model pembelajaran kooperatif ini dikembangkan berdasarkan teori belajar
kognitif-konstruktivis. Hal ini terlihat pada salah satu teori Vygotsky, yaitu tentang
penekanan pada hakekat sosiokultural dari pembelajaran. Vygotsky yakin bahwa
fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau
kerjasama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke
dalam individu tersebut. Implikasi dari teori Vygotsky ini dikehendakinya susunan
kelas berbentuk pembelajaran kooperatif.
Terdapat enam langkah utama (sintaks) dalam tahapan di dalam pengajaran
yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran dimulai dengan guru
menyampaikan tujuan pelajaran dan memotivasi siswa belajar. Fase ini diikuti dengan
penyajian informasi; seringkali dengan bahan bacaan daripada secara verbal.
Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Tahapan ini diikuti
dengan bimbingan guru pada saat siswa bekerja menyelesaikan tugas bersama
mereka. Fase terakhir pembelajaran kooperatif meliputi presentasi hasil akhir kerja
kelompok atau evaluasi tentang apa yang telah mereka pelajari dan memberi
penghargaan terhadap usaha-usaha kelompok maupun individu.
Fase 1 : Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
Dalam materi Sifat-sifat Cahaya : Memotivasi siswa dengan meminta siswa
menceritakan pengalamannya tentang “lampu padam” di malam hari ketika siswa
sedang belajar. Tanyakan pada siswa apakah mereka dapat melihat benda-benda di
sekitarnya. Apa yang harus dilakukan supaya benda-benda disekitarnya itu dapat
terlihat kembali. Pada papan tulis, tuliskan kata-kata CAHAYA serta SIFAT-SIFAT
CAHAYA. Menyampaikan kompetensti dasar dan indikator pembelajaran Menurut
Vigotsky : Perkembangan kognitif dan bahasa anak-anak tidak berkembang dalam
suatu situasi sosial yang hampa. Vygotsky mencari pengertian bagaimana anak-anak
berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum
matang, tetapi masih dalam proses pematangan.
Fase 2: Menyajikan informasi
Menyajikan informasi kepada siswa tentang manfaat cahaya dengan meminta
siswa mendemonstrasikan “Kegiatan Penyelidikan: Akan seperti Apa Jadinya.”

25
Menanyakan kepada siswa tentang apa yang dirasakan ketika matanya ditutup rapat.
Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti
ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-
temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan.
Fase 3 : Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
Meminta siswa duduk dalam tatanan pembelajaran kooperatif sambil
mengingat ketrampilan kooperatif yang akan dilatihkan dan bagaimana cara
mengikuti pelatihan ketrampilan kooperatif. Membagikan LKS: “Bagaimana Cahaya
Merambat” kepada tiap siswa dan tiap kelompok diberi serperangkat alat dan bahan
untuk melakukan LKS itu. Membagikan LKS: “Bayang-Bayang.” Kepada tiap siswa
dan masing-masing kelompok diberi seperangkat alat dan bahan untuk melakukan
LKS itu. Bila mungkin, masing-masing kelompok diminta untuk menyediakan sendiri
alat dan bahannya Menurut Vigotsky Zone of proximal developmnet merupakan celah
antara actual development dan potensial development, dimana antara apakah seorang
anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa dan apakah seorang anak
dapat melakukan sesuatu dengan arahan orang dewasa atau kerjasama dengan teman
sebaya. Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan
dapat memudahkan perkembangan anak. Ketika siswa mengerjakan pekerjaanya di
sekolah sendiri, perkembangan mereka kemungkinan akan berjalan lambat. Untuk
memaksimalkan perkembangan, siswa seharusnya bekerja dengan teman yang lebih
terampil yang dapat memimpin secara sistematis dalam memecahkan masalah yang
lebih kompleks.
Fase 4 : Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Meminta siswa melakukan kegiatan dalam LKS: Bagaimana Cahaya
Merambat.” Guru membimbing tiap-tiap kelompok untuk melakukan kegiatan dalam
LKS itu. Meminta siswa melakukan kegiatan dalam LKS:”Bayang-Bayang”. Guru
membimbing masing-masing kelompok untuk melakukan kegiatan dalam LKS itu.
Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding merupakan suatu istilah
pada proses yang digunakan orang dewasa untuk menuntun anak-anak melalui Zone
of proximal developmentnya.
Fase 5 : Evaluasi
Meminta satu-dua kelompok untuk menuliskan di papan tulis jawaban analisis
LKS: “Bagaimana Cahaya merambat,” nomor 1 dan 2. Kelompok lain diminta
menanggapinya. Guru memastikan bahwa seluruh kelompok telah mengetahui

26
jawaban yang benar. (acuan untuk guru adalah panduan LKS: Bagaimana Cahaya
Merambat.”
Meminta satu atau dua kelompok untuk menuliskan di papan tulis jawaban analisis
LKS: “Bayang-Bayang,” nomor 1, 2 dan 3. Kelompok lain diminta menanggapinya.
Guru memastikan bahwa seluruh kelompok telah mengetahui jawaban yang benar.
(Acuan untuk guru adalah Panduan LKS: “Bayang-Bayang”)
Fase 6 : Memberikan penghargaan
Memberi penghargaan kepada siswa atau kelompok yang kinerjanya bagus.
2. Teori Belajar Behavioristik (Bandura)
Dalam proses pembelajaran menurut teori Albert Bandura, seorang guru harus
dapat menghadirkan model yang baik. Model yang baik harus dapat mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap pembelajar sehingga dapat memberi perhatian kepada si
pembelajar. Model disini tidak harus dari guru, namun tergantung apa yang akan
diajarkan. Teori belajar ini cocok untuk mengajarkan materi yang berupa aspek
psikomotorik dan afektif,  karena pembelajar langsung dapat memperhatikan,
mengingat dan meniru dari model yang dihadirkan.
Pada pembelajaran IPA di SD teori ini bisa di terapkan dengan menunjukan suatu
model pengganti misalnya dalam sistem pencernaan manusia yaitu dengan torso.
Dalam pembelajaraan siswa bisa melihat serta bisa tahu bagaimana sistem pencernaan
tanpa harus melihat wujud nyata sistem tersebut. Serta dengan adanya suatu model
dan media yang ditunjukan akan mengasah motivasi serta kecakapan siswa untuk
dapat mengetahui tentang apa yang dibelajarkan. Selain hal tersebut masih banyak
contoh yang berkaitan dengan pemodelan dalam pembelajaran IPA di SD.
3. Teori Belajar Kontruktivis (Piaget)
Dari teori yang telah kita bicarakan di atas, hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan pembelajaran di kelas antara lain bahwa Piaget beranggapan anak
bukan merupakan suatu botol kosong yang siap untuk diisi, melainkan anak secara
aktif akan membangun pengetahuan dunianya. Satu hal lagi, teori Piaget mengajarkan
kita pada suatu kenyataan bahwa seluruh anak mengikuti pola perkembangan yang
sama tanpa mempertimbangkan kebudayaan dan kemampuan anak secara umum.
Hanya umur anak di mana konservasi muncul sering berbeda. Poin yang penting ini
menjelaskan kita mengapa pembelajaran IPA di SD banyak menggunakan percobaan-
percobaan nyata dan berhasil pada anak yang lemah dan anak yang secara kebudayaan
terhalangi.

27
Penerapan selanjutnya adalah guru harus selalu ingat bahwa anak menangkap
dan menerjemahkan sesuatu secara berbeda. Sehingga walaupun anak mempunyai
umur yang sama tetapi ada kemungkinan mereka mempunyai pengertian yang
berbeda terhadap suatu benda atau kejadian yang sama. Jadi seorang individu anak
adalah unik (khas).
Implikasi lainnya yang perlu diperhatikan, bahwa apabila hanya kegiatan fisik
yang diterima anak, tidak cukup untuk menjamin perkembangan intelektual anak yang
bersangkutan. Ide-ide anak harus selalu dipakai. Piaget memberikan contoh sementara
beliau menerima seluruh ide anak, beliau juga mempersiapkan pilihan-pilihan yang
dapat dipertimbangkan oleh anak. Sehingga apabila ada seorang anak yang
mengatakan bahwa air yang ada di luar gelas berisi es berasal dari lubang-lubang
kecil yang ada pada gelas maka guru harus menjawab pernyataan itu dengan ‘bagus’.
Tetapi setelah beberapa saat guru harus mengarahkan sesuai dengan apa yang
seharusnya bahwa sebenarnya air yang ada di permukaan luar gelas bukan berasal dari
lubang-lubang kecil pada gelas, melainkan berasal dari uap air di udara yang
mengembun pada permukaan gelas yang dingin. Jadi guru harus selalu secara tidak
langsung memberikan idenya tetapi tidak memaksakan kehendaknya.
Dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk menilai sumber
ideidenya akan memberikan kesempatan pada mereka untuk menilai proses
pemecahan masalah. Hal ini juga perlu dilakukan di dalam kelas. Sebagai contoh,
apabila kelas telah menyelesaikan suatu masalah, sebaiknya guru menanyakan
kembali kepada siswa tentang cara mendapatkan jawaban tersebut. Misalnya dengan
‘Bagaimana kita bisa sampai pada jawaban ini?’ dan membantu kelas untuk mengulas
kembali tahapan-tahapan yang dilalui hingga menemukan jawaban atau kesimpulan
itu. Dengan demikian guru lebih membantu anak dalam proses perkembangan
intelektualnya. Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa proses pembelajaran di kelas
menurut Piaget harus meletakkan anak sebagai faktor yang utama. Hal ini sering
disebut sebagai pembelajaran yang berpusat pada anak (child center).
4. Teori Belajar Bermakna (Ausubel)
Ausubel dalam bukunya Educational Psychology: A Cognitive View,
menyatakan bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar ialah apa
yang telah diketahui siswa. Pernyataan Ausubel inilah yang menjadi inti teori
belajarnya, yaitu belajar bermakna.

28
Belajar secara verbal diajarkan melalui pengajaran langsung seperti ceramah
dan sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Penelitian tentang cara mengajar yang
efektif yang baru saja dilakukan mengindikasikan bahwa jika informasi yang
diinginkan dapat masuk ke dalam memori atau ingatan, maka model pengajaran
secara langsung adalah cara yang terbaik. Belajar secara verbal atau langsung adalah
lebih efektif untuk diberikan di kelaskelas bawah yaitu kelas I sampai dengan kelas
III, sedangkan untuk kelas atas yaitu mulai kelas IV sampai dengan kelas VI, maka
pengajaran secara verbal keefektifannya akan semakin berkurang.
David P. Ausubel menyebutkan bahwa pengajaran secara verbal adalah lebih
efisien dari segi waktu yang diperlukan untuk menyajikan pelajaran dan menjanjikan
bahwa pebelajar dapat mempelajari materi pelajaran dalam jumlah yang lebih banyak.
Pengajaran secara verbal biasanya digunakan pada pengajaran secara
tradisional. Misalnya guru kelas II SD menyuruh siswa untuk melengkapi lembar
kerja yang berisikan kata-kata baru dengan dibantu oleh kamus untuk mencari definisi
dari kata-kata baru tersebut dan kemudian menuliskan ke dalam lembar kerja. Contoh
yang lainnya, guru kelas III, menugaskan siswasiswanya untuk membaca satu bab
dari sebuah buku IPA dan kemudian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada
dalam buku yang dibacanya. Beberapa contoh yang disebutkan di atas dapat dianggap
sebagai belajar secara verbal.
Sebagai contoh dalam suatu kelas misalnya kelas III, siswa dikelompokkan
menjadi 2 kelompok. Kelompok I diberi daftar nama-nama benda, binatang,
tumbuhan dan sebagainya, demikian juga dengan kelompok II. Kemudian beri waktu
tiap-tiap kelompok selama 1 menit untuk mengingat kata-kata yang terdapat dalam
daftar kelompoknya.
Sesudah 1 menit, setiap anak kemudian disuruh menuliskan sebanyak
mungkin kata-kata yang dapat mereka ingat. Kemudian bandingkan jumlah kata-kata
yang dapat diingat dan benar untuk kedua kelompok.
5. Teori Belajar Penemuan (Bruner)
Dikatakan di atas bahwa Bruner mengemukakan model belajar yang disebut
model belajar penemuan. Seiring dengan hal tersebut, dalam penerapannya di kelas
Bruner juga mengemukakan model pembelajaran di kelas yang disebut sebagai model
pembelajaran penemuan (discovery teaching). Sesuai dengan teori belajar penemuan,
tujuan pembelajaran penemuan ini bukan hanya untuk memperoleh pengetahuan saja

29
melainkan untuk memberikan motivasi kepada siswa, melatih kemampuan berpikir
intelektual, dan merangsang keingintahuan siswa.
Bruner mengemukakan bahwa proses pembelajaran di kelas bukan untuk
menghasilkan perpustakaan hidup untuk suatu subjek keilmuan, tetapi untuk melatih
siswa berpikir secara kritis untuk dirinya, mempertimbangkan hal-hal yang ada di
sekelilingnya, dan berpartisipasi aktif di dalam proses mendapatkan pengetahuan. Di
sini jelas bahwa proses pembelajaran yang dianjurkan oleh Bruner merupakan proses
pembelajaran di mana siswa secara aktif mencari sendiri pengetahuan yang
diinginkan.
Ada dua macam model pembelajaran penemuan, yaitu model pembelajaran
penemuan murni dan model pembelajaran penemuan terarah. Model pembelajaran
penemuan murni merupakan model pembelajaran penemuan tanpa adanya petunjuk
atau arahan. Sebagai contoh siswa diberikan material seperti kabel listrik, bola lampu
(bohlam), dan beberapa baterai dan siswa diberikan waktu yang cukup untuk bermain
(mencobacobakan) dengan material tersebut. Guru tidak memberikan petunjuk
tentang apa yang harus dilakukan oleh siswa terhadap material tersebut, melainkan
memberikan petunjuk tentang keselamatan dan pemeliharaan terhadap alat atau
material yang dipakai. Ada beberapa kemungkinan yang dilakukan oleh siswa;
mungkin ada siswa yang mencobakan bagaimana lampu tersebut bisa menyala, atau
ada juga yang membuat seri (menghubungkan) baterai yang ada, dan sebagainya. Jadi
setiap siswa atau kelompok siswa akan memanipulasi dan belajar sesuai dengan
kecepatan masing-masing.
Selama pembelajaran penemuan murni, ada kemungkinan setiap grup di dalam
kelas melakukan penemuan yang berbeda. Guru sebaiknya berjalan dari satu grup ke
grup yang lainnya untuk memberikan petunjuk apabila diperlukan. Seperti
memberikan pengarahan kepada siswa untuk membuat daftar informasi yang mereka
miliki tentang problem yang dihadapi. Atau pada grup yang telah memiliki hipotesis
tentang problem yang dihadapi, guru akan mengajukan pertanyaan seperti.
‘Bagaimana kita dapat mengujinya?’ ‘Bagaimana dapat menemukannya?’ dan
sebagainya.
Bagi guru yang menerapkan pembelajaran penemuan ini harus toleran
terhadap kebisingan. Mungkin siswa banyak diskusi dan bertanya kepada teman yang
lainnya atau kepada guru. Satu saran yang penting dalam melayani siswa adalah guru
tidak memberikan jawaban secara langsung terhadap pertanyaan siswa. Sebagai

30
contoh, apabila siswa bertanya ‘Apa yang ada di dalam bohlam sehingga
menyebabkan menyala? Maka jawaban guru hendaknya bukan merupakan
jawabannya melainkan bisa seperti ini. ‘Bagaimana kita bisa menemukan jawaban
tersebut?’
Pembelajaran penemuan terarah sedikit berbeda dari pembelajaran penemuan
murni. Guru sedikit lebih banyak berperan dibanding dengan pembelajaran penemuan
murni. Di sini mungkin guru menginginkan seluruh siswa melakukan kegiatan yang
sama atau hampir sama. Sebagai contoh, dengan material yang sama seperti di atas
(kabel listrik, baterai, dan bohlam) guru mengarahkan dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan seperti:
“Dapatkah kita menyalakan lebih dari satu bohlam?”
“Bagaimanakah kalau kita menyusun lebih dari satu baterai?”

31
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Piaget mengemukakan bahwa sejak usia balita, seseorang telah memiliki kemampuan
tertentu untuk menghadapi objek-objek yang ada di sekitarnya. Dalam memahami dunia
mereka secara aktif, anak-anak menggunakan skema, asimilasi, akomodasi, organisasi
danequilibrasi. Dengan kemampuan inilah balita akan mengeksplorasi lingkungannya dan
menjadikannya dasar bagi pengetahuan tentang dunia yang akan dia peroleh kemudian.
Model pembelajaran kooperatif ini dikembangkan berdasarkan teori belajar kognitif-
konstruktivis. Hal ini terlihat pada salah satu teori Vygotsky, yaitu tentang penekanan
pada hakekat sosiokultural dari pembelajaran. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang
lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan atau kerjasama antar individu
sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.
Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang
tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert
Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar
perilaku, tetapi memberi lebih banyak penekanan pada efek-efek dari isyarat-isyarat pada
perilaku, dan pada proses-proses mental internal.
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama menegaskan bahwa penekanan
teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan teori atau pengetahuan yang
dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam pembelajaran menurut teori
kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator.
Teori belajar Bruner ialah belajar penemuan atau discovery learning. Belajar
penemuan dari Jerome Bruner adalah model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan
prinsip-prinsip konstruktivis. Di dalam discovery learning siswa didorong untuk belajar
sendiri secara mandiri.
Salah satu pakar yang mengemukakan teori belajar kognitif adalah David Paulus
Ausubel. Ausubel memberi penekanan pada belajar bermakna dan juga terkenal dengan
teori belajar bermaknanya. Menurut Ausubel (Hudoyo, 1998) bahan pelajaran yang
dipelajari haruslah “bermakna” artinya bahan pelajaran itu harus cocok dengan
kemampuan siswa dan harus relevan dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa.

32
B. Saran
Dalam makalah ini penulis sadar materi yang disampaikan banyak kekurangan.
Sehingga kami berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
membangun untuk menyempurnakan makalah ini.

33
DAFTAR PUSTAKA

Mu’mi, Sitti Aisyah. 2013. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Jurnal Al-Ta’dib. Vol.
6 No. 1. https://media.neliti.com/media/publications/235758-teori-perkembangan-kognitif-
jean-piaget- (diakses pada 20 September 2020)

Herly Janet Lesilolo. 2018. Penerapan Teori Belajar Sosial Albert Bandura dalam Proses
Belajar Mengajar di Sekolah. Kenokosis. Vol. 4 No. 2. https://e-journal.iaknambon.ac.id

Sumbernya teori belajar sosiokultur


http://staffnew.uny.ac.id/upload/198407242008122004/lainlain/Teori%2BBelajar
%2BSosiokultur.pdf

Tim Penulis. 2010. Definisi Teori Belajar Sosial. http://all-about-theory.blogspot.c. (Diakses


pada 20 September 2020)

Asri Budiningsih. (2003). Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Fakultas Ilmu Pendidikan.
Universitas Negeri Yogyakarta.

H.A.R. Tilaar. (2002). Pendidikan Kebudayaan dan masyarakat Madani Indonesia. Bandung :
PT. Remaja Rosda Karya.

Moll, Luis C. (1993). Vygotsky & Education Instructional Implications and Applications of
Sociohistorical Psychology. Australia : Cambridge University Press.

Yuliani Nurani Sujiono, dkk. III. (2005). Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta : Pusat
Penerbitan Universitas Terbuka

https://psikologihore.com/teori-albert-bandura-social-learning/#:~:text=2.-,Perkembangan
%20Social%20Learning%20Theory,kognitif%20juga%20mempengaruhi%20proses
%20belajar.

https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Belajar_Behavioristik

http://riantinas.blogspot.com/2012/06/teori-belajar-konstruktivisme.html

https://www.kompasiana.com/tyapgsd/55002f76a33311376f5103d1/teori-konstruktivisme

34
http://samplingkuliah.blogspot.com/2017/10/teori-belajar-kognitif-
ausubel.html#:~:text=Belajar%20kognitif%20memandang%20belajar%20sebagai,stimulus
%20yang%20datang%20dari%20luar.&text=Teori%20belajar%20kognitif%20lebih
%20menekankan,terjadi%20dalam%20akal%20pikiran%20manusia.

https://www.passakanawang.com/2017/07/teori-jerome-bruner-belajar-
penemuan.html#:~:text=J.%20Bruner%20mengemukakan%20teori
%20belajar,menghasilkan%20pengetahuan%20yang%20benar%2Dbenar

https://bayumuktiabdullah.wordpress.com/2013/01/21/teori-belajar-bruner-discovery-
learning/

35

Anda mungkin juga menyukai