Anda di halaman 1dari 2

PUTUS WARIS

(Lembaga Plaatsvervulling, Ahli Waris Pengganti)

Oleh : Drs. H. Nur Mujib, MH

(Hakim pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan)

Syarat utama untuk terjadinya perpindahan hak kepemilikan harta peninggalan dari
pewaris kepada ahli warisnya adalah bahwa ahli waris itu mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris. Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqih
Sunnah Jilid III halaman 607 menyatakan bahwa salah satu syarat adanya pewarisan
adalah “hayaatul waaritsi ba’da mautil muwarits walau hukman, hidupnya ahli waris
ketika pewaris meninggal dunia, walaupun hidupnya secara hukum.” Adapun 2 syarat
yang lain adalah matinya pewaris dan tidak ada penghalang menurut hukum untuk
menerima warisan.

Dari adanya syarat hidupnya ahli waris disaat pewaris meninggal dunia inilah yang
kemudian timbul “persepsi” dikalangan ummat Islam -ahli hukum Islam- bahwa
seorang cucu yang ditinggal mati orang tuanya terlebih dahulu menjadi putus waris
ketika kakek/neneknya meninggal dunia. Ia merupakan keturunan kakek dan
neneknya tetapi ketika terjadi bagi-bagi warisan kakek neneknya itu, ia tidak
mendapat bagian sama sekali karena dia “dianggap” bukan sebagai ahli waris, karena
orang tuanya sudah meninggal lebih dahulu, mendahului kakek neneknya. Cucu itu
dianggap telah putus waris ketika kakek neneknya meninggal dunia, karena orang
tuanya telah meninggal lebih dahulu dari kakek neneknya.

Adalah sangat manusiawi dan memenuhi rasa keadilan kalau seorang cucu yang
sudah ditinggal mati orang tuanya, ketika kakek neneknya meninggal dunia, ia
mendapatkan bagian warisan. Sangat tidak layak dan tidak adil serta tidak manusiawi
menghukum seseorang tidak berhak menerima warisan yang semestinya harus
diperoleh orang tuanya hanya oleh karena faktor kebetulan orang tuanya lebih dahulu
meninggal dari kakek neneknya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat dihapus dari
silsilah keturunan kakek neneknya. Layak kalau ia mendapat warisan sebagaimana
cucu-cucu yang lain juga mendapatkan bagian warisan kakek neneknya itu dari jalan
orang tuanya masing-masing yang masih hidup.

Kalau dalam konsep hukum barat, BW, ada lembaga Plaatsvervulling, ahli waris
pengganti untuk mengatasi masalah semacam ini. Kalau di negeri Islam, contohnya
Mesir, untuk mengatasi masalah ini Mesir menggunakan lembaga wasiat wajibat.
Maksudnya kalau ada cucu yang sudah ditinggal mati orang tuanya, ketika kakek
neneknya meninggal dunia, maka oleh hukum ia dianggap mendapat wasiat dari
kekek neneknya itu paling banyak sepertiga harta warisan, walaupun kakek neneknya
itu tidak mewasiatkan, baik lisan maupun tertulis, sama sekali untuknya.

Di negeri kita sendiri, Indonesia, telah dilakukan pembaharuan hukum untuk


mengatasi masalah cucu yang ditinggal mati orang tuanya terlebih dahulu ini dengan
melembagakan “Plaatsvervulling” secara modifikasi. Yaitu melalui Proyek
Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi, yang kemudian menghasilkan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam 3 Buku yang terdiri Buku I tentang Hukum
Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan dan Buku III tentang Hukum
Perwakafan.

Pembaharuan hukum dalam bidang hukum kewarisan melalui KHI antara lain adalah
adanya lembaga “plaatsvervulling”, yaitu dalam pasal 185. Pasal 185 KHI terdiri dari
2 ayat. Ayat (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam
pasal 173. Ayat (2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian
ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Dengan demikian maka anak yang meninggal lebih dahulu dari orang tuanya, ketika
orang tuanya meninggal dunia, sebagai ahli waris, maka anak yang meninggal lebih
dahulu itu dapat digantikan oleh anaknya dalam menerima warisan orang tuanya.
Tidak lagi seperti yang terjadi selama ini, yaitu cucu yang ditinggal mati oleh orang
tuanya, ketika kakek neneknya meninggal dunia, maka cucu itu tidak mendapat
bagian warisan dari harta kakek neneknya, karena dianggap telah putus waris.

Dalam KHI ini cucu yang ditinggal mati orang tuanya terlebih dahulu tidak mendapat
bagian warisan dari kakek neneknya kalau cucu itu telah melakukan perbuatan
sebagaimana disebutkan dalam pasal 173 KHI. Yaitu a. dipersalahkan telah
membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pewaris. B.
dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah
melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau
hukuman yang lebih berat.

Pelembagaan ahli waris pengganti dalam KHI tidak sama dengan plaatsvervulling
dalam hukum BW. Dalam BW maka ahli waris pengganti menggantikan sepenuhnya
terhadap ahli waris yang digantikan. Sedang dalam KHI dengan menggunakan
modifikasi, dengan acuan penerapan sebagaimana dalam pasal 185 ayat (2), yaitu
bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti. Contohnya kalau pewaris meninggalkan ahli waris seorang anak
perempuan dan seorang cucu pancar laki-laki. Kalau diterapkan ahli waris pengganti
sebagaimana dalam BW, maka cucu pancar laki-laki mendapat 2/3 bagian dan anak
perempuan (bibi dari cucu) mendapat 1/3 bagian. Jadinya bagian ahli waris pengganti
lebih besar dari ahli waris yang sederajat dengan yang digantikan. Ini tidak boleh
terjadi. Dengan cara sebagaimana dalam KHI, maka harta warisan dibagi dua sama
rata antara ahli waris pengganti dengan ahli waris yang sederajat dengan yang
digantikan (bibi dari cucu).

Pembaharuan hukum melalui KHI, juga secara khusus lembaga ahli waris pengganti
atau plaatsvervulling ini, barangkali belum tersosialisaikan secara merata di seluruh
penjuru tanah air, maka menjadi kewajiban bersama para ulama, dai dan para ilmuan
untuk menyebar luaskannya supaya dapat digunakan sebagai pedoman oleh
masyarakat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam bidang
perkawinan, warisan dan perwakafan. Wallahu a’lam bisshowab.

Anda mungkin juga menyukai