Anda di halaman 1dari 59

TUGAS

PEREKONOMIAN INDONESIA
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Kamio, SE

Disusun oleh:
Chechen Abdul Matin (C1C018085)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
Rahmat, Hikmat dan karunia-Nya sehingga terselesaikanlah makalah tentang
“Perekonomian Indonesia” ini. Penulisan makalah ini dibuat untuk memenuhi
tugas dari mata kuliah Perekonomian Indonesia.
Makalah ini disusun untuk mempelajari mengenai perekonomian di
Indonesia pada saat Era Kolonialisme, Orde Lama, Orde Baru, hingga era
Reformasi. Lebih khusus menjelaskan tentang pembangunan ekonomi yang
terjadi di Indonesia. Kondisi perekonomian Indonesia masih tergolong sulit
akibat dari berbagai permasalahan yang dihadapi zaman itu. Beberapa
permasalah tersebut antara lain seperti inflasi, krisis ekonomi, neraca
perdagangan yang defisit, dan pemerataan pembangunan yang sulit.
Penulis megucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Prof. Dr.
Kamio, S.E. sebagai dosen pangampu yang telah mengajar dan membimbing
tugas ini serta telah menyediakan sumber bacaan lengkapnya. Dan penulis
berharap makalah ini dapat membantu rekan-rekan dalam menambah
wawasan ilmu pengetahuan mengenai perekonomian di Indonesia. Untuk itu
kritik dan saran sangat diharapkan untuk memperbaiki makalah ini dan untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan di masa depan.

Purwokerto, 29 Desember 2019

Penulis

Perkonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1. Latar Belakang....................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah.................................................................................. 1
3. Tujuan Penulisan.................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 2
1. Tinjauan Umum Pembangunan Ekonomi Indonesia....................... 2
a. Rencana dan Hasil Pembangunan Ekonomi Indonesia.................... 3
b. Penanaman Modal, Tabungan, dan ICOR di Indonesia................... 4
c. Sektor Minyak dan Gas serta Pengembangan Industri di Indonesia 5
d. Strategi Pembangunan dan Pengelolaan Utang............................... 5
2. Pembangunan Pertanian..................................................................... 6
a. Nilai Tambah dan Produksi dari Subsektor..................................... 7
b. Produksi Tanaman Pangan............................................................... 7
c. Komoditi-komoditi Ekspor Pertanian.............................................. 9
d. Masalah-masalah Isu Masa Depan................................................... 11
3. Energi dan Hasil Tambang................................................................. 12
a. Produksi Minyak Bumi.................................................................... 12
b. Perkembangan Hasil Tambang........................................................ 14
c. Perbandingan Berbagai Proyeksi Permintaan Energi...................... 15
d. Model Energi dan Analisisnya......................................................... 16
e. Permintaan dan Penyediaan Tenaga Listrik..................................... 19
4. Industri Pengolahan: Analisis dan Kebijaksanaan........................... 21
a. Proses Pengembangan Industri, Perdagangan Internasional............ 21
Rencana dan Hasil Pembangunan Ekonomi Indonesia
5. Alibaba.................................................................................................. 26
6. Era Kolonial.......................................................................................... 28
7. Era Orde Lama.................................................................................... 37
8. Era Orde Baru Awal ........................................................................... 42
9. Era Orde Baru Akhir.......................................................................... 46
10. Era Reformasi...................................................................................... 50
BAB III PENUTUP.................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 56

Perkonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


ii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pada masa kemerdekaan merupakan masa yang berat bagi bangsa
Indonesia, masa ini adala masa yang menandakan perjuangan bangsa ini
baru saja dimulai sebagai bangsa yang merdeka dan mandiri. Negara yang
baru saja medeka ini dihadapkan oleh banyak masalah baru dan sedang
menentukan nasibnya sendiri. Banyak upaya yang harus ditempuh untuk
membenahi struktur atau bidang politik, sosial, dan lebih khusus ekonomi.
Kendala demi kendala dihadapi oleh pemerintah dan diatasi dengan
berbagai macam kebijakan. Bukan berarti kebijakan itu berjalan sesuai
harapan. Karena memang situasi sangatlah rumit dan tidak bisa cukup
ditangani dengan satu teori saja tapi harus dibarengi dengan mengaitkan
dengan keadaan lain dan berbagai fakta yang ada demi mencapai
keberhasilan pembangunan Indonesia.

2. Rumusan Masalah
a. Apa saja permasalahan yang dihadapi Indonesia saat itu?
b. Apa saja langkah-langkah yang dilakukan?
c. Mengapa langkah-langkah tersebut diambil?
d. Bagaimana cara pemerintah menyusun kebijakan untuk
membenahinya?
e. Bagaimana keefektifan kebijakan tersebut bagi seluruh
Indonesia?

3. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui keadaan perekonomian Indonesia saat itu.
b. Mengetahui bagaimana langkah-langkah yang diambil
pemerintah.
c. Menganalisis kefektivan suatu kebijakan ekonomi.
d. Menganalisis penyebab suksesnya atau gagalnya suatu kebijakan
ekonomi dalam pemerintahan.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


1
BAB II
PEMBAHASAN

1. Tinjauan Umum Pembangunan Ekonomi Indonesia


Tahun 1965, laju pertumbuhan PNB Indonesia hanya mencapai 3,0% per
tahun. Maka PNB per kepala naik hanya 1,0% setahun. Pertumuhan lambat
ini terutama disebabkan oleh kekacauan sosial dan inflasi pada pertengahan
pertama 1960-an.
Pendapatan per kepala naik pada tahun 1965-an dihitung atas dasar
tingkat harga dan nilai tukar uang tahun 1984. Berarti laju pertumbuhan
sebesar 5,2% per tahun selama periode 19 tahun. Ini merupakan hasil yang
mengagumkan dan sebagai bukti bahwa Indonesia telah melewati tahap awal
dari proses lepas landas.
Setelah 1965, perekonomian Indonesia tumbuh cepat, yang membantu
krisis waktu itu adalah dua bonzana minyak. Penerimaan devisa dari ekspor
minyak diperkirakan sebesar US$ 4,1 milyar dalam waktu 1973-1974.
Kemudian naik menjadi US$ 9,8 milyar dari tahun 1978 hingga 1980. Laju
kenaikan tersebut sama dengan 18% dari sekitar US$ 76 milyar PDB
Indonesia tahun 1980. Hasil mengagumkan tersebut digunakan untuk tujuan
pembangunan di samping usaha seluruh bangsa Indonesia di sector swasta
dan pemerintah.
Hasil mengagumkan dapat dilihat di beberapa bidang:
1. Pertanian. Tercapainya swasembada pangan. Dapat dilihat dari
impor beras yang hampir tidak ada pada tahun 1986.
Swasembada terjadi ketika penduduk Indonesia naik dari 130 juta
menjadi 170 juta dari 1968 hingga 1986. Dengan laju
pertumbuhan 3% per tahun.
2. Produksi hasil-hasil pertanian. Bukti bahwa besarnya industry
pertanian dan sumber daya Indonesia. Hasil pertanian naik dua
kali lipat dari tahun 1969 hingga 1985.
3. Industri. Bahkan meningkat lebih pesat dibandingkan pertanian
dan semacamnya. Beberapa manufaktur berkembang selama
tahun 1970-an hingga 1980-an. Ketika pemerintah melakukan
devaluasi rupiah terhadap yen dan dolar (tahun 1983 dan 1978),
ekspor non migas dapat mengimbangi nilai tukar perdagangan
yang menurun. Dapat dilihat dari struktur industri yang
beranekaragam. Namun dibandingkan negara tetangga, Indonesia
masih tertinggal sehingga dituntut pengembangan industri yang
lebih cepat.
4. Prasarana yang memadai. Di pusat penduduk yang padat, seperti
Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan, adalah cukup memadai

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


2
dan makin baik. Ada jalan raya yang menghubungkannya
ditambah adanya akses transportasi seperti jalan raya, kereta api,
dan pesawat terbang, serta adanya pelayanan masyarakat.
5. Memulai pembangunan setelah kemerdekaan dengan jumlah
sumber daya manusia terdidik yang sedikit. Hambatan ini
dihadapi pemerintah melalui perbaikan sistem pendidikan.
6. Stabilitas politik dan ekonomi Indonesia, serta menawarkan dunia
usaha yang memudahkan perusahaan memusatkan usaha pada
pembangunan tanpa merisaukan stabilitas politik dan resiko.
Berbeda dengan yang dijumpai di Amerika Latin dan beberapa
negara Asia.yang paling penting adalah kebijaksanaan ekonomi
pemerintah. Melalui empat repelita kebijaksanaan Orde Baru
mengesankan.

a. Rencana dan Hasil Pembangunan Ekonomi Indonesia


Repelita memberikan arah pada kebijaksanaan ekonomi makro dan
menunjukkan jalan yang harus ditempuh dalam industrialisasi di
Indonesia. Khususnya anggaran berimbang yang membedakan Orde
Baru dengan Orde Lama. Dimungkinkan melalui kerja sama antara pihak
militer dalam pemerintahan dengan kelompok ahli ekonomi yang terlatih
dalam ilmu ekonomi modern.
Kerja sama dalam wadah Inter-Governmental Group of Indonesia
(IGGI) juga sangat penting, melalui kerja sama ini pemerintah Indonesia
dapat menjalankan stabilisasinya setelah mengatasi kudeta tahun 1965.
Rencana pembangunan Indonesia diatasi dengan prinsip dasar
pembangunan nasional, yaitu pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas.
1. Kesempatan kerja yang terus bertambah pada laju sekitar 3%
per tahun.
2. Meningkatkan taraf hidup penduduk yang cepat dan terus
meningkat.
3. Industrialisasi, karena tidak bisa selalu mengandalkan
minyak dan gas.
4. Sarana dan prasarana yang menunjang industrialisasi.
5. Penanaman modal di bidang sumber daya manusia.
6. Pembagian yang merata dari hasil pembangunan.
Dari butir keenam tersebut, Presiden Soeharto menetapkan delapan
jalur:
1. Pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan),
2. Kesempatan memeroleh pendidikan, dan pelayanan
kesehatan,
3. Pembagian pendapatan,
4. Kesempatan kerja,

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


3
5. Kesempatan berusaha,
6. Kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan, khususnya
generasi muda dan wanita,
7. Penyebaran pembangunan di wilayah Indonesia,
8. Kesempatan memeroleh keadilan
Pemerintah memasukkan cita-cita tersebut ke dalam repelita dan
beberapa telah tercapai dalam batas-batas tertentu. Tapi tahun terakhir,
harga minyak jatuh menyebabkan sangat sulit untuk meneruskan usaha.
Sekarang banyak tekanan pada peningkatan efisiensi, peranan sektor
swasta, serta pengerahan sumber daya dan tabungan dalam negeri.
b. Penanaman Modal, Tabungan, dan ICOR di Indonesia
Indonesia memiliki ICOR yang rendah, karena dapat menghemat
modal dengan mencari sumur-sumur minyak di masa lalu. Ketika tiba-
tiba harga minyak turun menyebabkan sulit untuk mempertahankan nilai
nominal ekspor minyak. Sehingga neraca pembayaran buruk.
Penerimaan ekspor dolar AS memuncak pada tahun 1981 dan
setelah itu turun. Dalam rupiah puncak itu terjadi pada tahun 1984, akibat
devaluasi.
Ekspor yang menurun menyebabkan penanaman modal juga
diturunkan. Pertama, mengurangi pembentukan modal dari pemerintah
untuk mencegah defisit. Kedua, pembentukan modal dari sector swasta
yang banyak bergantung pada penanaman modal oleh pemerintah. Hal ini
meningkatkan PDB Indonesia walaupun di tahun 1982 mulai menurun
dan di tahun 1984 mencapai negative. Jelas angka ICOR Indonesia
meningkat setelah tahun 1982.
Di lain hal pembentukan tabungan tinggi di tahun 1970-an.
Menunjukkan keadaan berubah akhir tahun 1970-an terutama setelah
1982. Laju pertumbuhan Indonesia sangat tinggi sampai tahun 1977, dan
menurun pada 1978 sebagai tahun resesi, kemudian penurunan menajam
tahun 1982. Ketika itu pertumbuhan PDB mencapai -0,3%. Bahwa laju
pertumbuhan ekonomi melambat dan laju pertumbuhan tabungan turun.
Pertumbuhan tabungan jauh di atas pembentukan modal domestic.
Perbedaan mencerminkan penanaman modal ke luar negeri. Indonesia
mengizinkan pengiriman uang dalam jumlah besar untuk membayar
utang dan mengirimkan laba perusahaan asing. Bersamaan dengan
besarnya arus modal ke luar dalam jumlah besar tahun 1970-an.
Penurunan harga minyak membuat perbedaan antara tabungan dalam
negeri dan penanaman modal dalam negeri menjadi sangat kecil.
Indonesia terpaksa banyak meminjam uang dari luar negeri pada awal
tahun 1980-an.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


4
c. Sektor Minyak dan Gas serta Pengembangan Industri di Indonesia
Indonesia anggota negara-negara pengekspor minyak (OPEC),
organisasi itu sangat berperan dalam pasar minyak dunia. Sector minyak
dan gas Indonesia tahun 1986 saat itu diperkirakan hanya menyumbang
sekitar 15%. Sumbangan minyak itu tidak dapat naik lagi.
Dengan demikian, strategi pembangunan haruslah melaksanakan
proses industrialisasi, tapi bersamaan dengan kekurangan modal.
Sehingga penggunaan yang optimal dari modal yang terbatas sangat
diperlukan.
Hendaknya diadakan strategi pembangunan yang dapat mendorong
sector swasta untuk mengembangkan semua jenis industry. Karena
swasta selalu berusaha meminimalkan biaya produksi, sehingga tercipta
efisiensi produksi dan penggunaan sumber daya langka lebih optimal.
Selain itu, pedoman pemerintah yang disebut “kebijaksanaan
industri” memberikan gambaran jenis-jenis industri yang dapat
dikembangkan sesuai teknologi yang ada. Dan pedoman “perkiraan
medium” berarti perhitungan berdasarkan anggapan bahwa laju
pertumbuhan medium untuk ekspor dan industri pengganti impor
medium di bidang industri. Perubahan di bidang industri terjadi pada
laju yang tetap, dari jenis-jenis industri lama ke industri baru. Seperti
pengolahan makanan, tekstil dan pakaian jadi, atau alat-alat listrik rumah
tangga.
Diperkirakan elastisitas penerimaan minyak terhadap perubahan
harga minyak akan bertambah tiap tahunnya. Pertambahan harga minyak
diikuti dengan pertambahan keuntungan terhadap Indonesia. Karena
sekarang pun penerimaan dari minyak/gas mencakup sekitar separuh dari
penerimaan total pemerintah. Penting sekali memperkirakan jauh
kenaikan harga minyak lima tahun yang akan dating. Karena dunia
menghadapi ketidakpastian. Pemerintah hendaknya tidak terlalu percaya
diri terhadap masa depan minyak. Dan hendaknya mencoba
mengembangkan industri yang menghasilkan barang-barang ekspor non
migas.

Untuk mengimbangi penurunan minyak dan gas, pemerintah


mengubah sistem perpajakan dan mencoba menaikkan penerimaan pajak
non migas. Tetapi tidak jelas apakah tahun berikutnya diikuti kenaikan
harga kembali atau tidak.

d. Strategi Pembangunan dan Pengelolaan Utang


Utang Indonesia mencakup sebagai berikut (30 Juni 1987):
Beban utang yang sebenarnya mungkin lebih besar daripada jumlah
yang tersebut. Utang umumnya dalam bentuk mata uang asing (terutama
dolar AS dan yen Jepang). Menurut perkiraan, 40% berbentuk yen. Jika

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


5
yen melakukan apresiasi maka utang rupiah akan membesar. Pengelolaan
utang sangat dibutuhkan kehati-hatian. Jika salah melakukan devaluasi
mata uang rupiah bisa berakibat fatal terhadap utang.
Dua masalah lagi bagi pemerintah yaitu. Pertama, sisa anggaran
rutin dan anggaran pembangunan sangat kecil, sehingga tidak menutup
kebutuhan mendasar. Pemerintah tidak memiliki pilihan lain selain
mengandalkan utang luar negeri. Kedua, devaluasi rupiah terhadap dolar
AS dan yen Jepang sekarang menjadi kurang efektif dan akan
menimbulkan kesulitan membayar utang nantinya. Akan berdampak juga
pada ekspor, impor, dan lain-lain

2. Pembangunan Pertanian
Kebijaksanaan pembangunan pertanian Indonesia pada tahun 1951
dinamakan “Rencana Ekonomi Darurat”. Langkah itu mencoba
memperbaiki keadaan umum perekonomian yang memburuk akibat perang
dunia II dan perjuangan kemerdekaan. Tujuan utamanya untuk menggiatkan
kembali kapasitas utama produksi sebagai sumber devisa.
Kebetulan pada saat itu ada lonjakan Korea (Korean Boom) yang
menimbulkan dampak positif yaitu meningkatkan permintaan hasil-hasil
pertanian seperti karet dan kopi. Di samping itu, juga terdapat dampak
buruk. Permintaan yang tinggi tidak bersamaan dengan tenaga yang ahli di
bidangnya. Misalnya dalam produksi karet, para petani mencoba menyadap
lebih banyak karet. Tapi karena petugas lapangan tidak memenuhi syarat
sehingga menghambat proses. Di lain hal, produksi beras jauh di bawah
harapan. Faktor ini disebabkan oleh ledakan jumlah kelahiran bayi sesudah
perang.
Terbatasnya dana-dana investasiditambah orientasi politik membuat
Rencana Ekonomi Darurat tidak berkesempatan untuk maju. Perencanaan
tidak bisa dilakukan oleh panitia khusus. Perencana perlu mendapat status
resmi. Pemerintah pun membentuk Biro Perencanaa pada tahun 1956, yang
berhasil merumuskan Rencana Lima Tahun Pertama. Untuk pertama kalinya
pertanian secara resmi diandalkan untuk membiayai pembangunan.
Rencana tersebut diwarnai dengan gejolak politik, hasilnya pun
minimal. Tahun 1959 rencana itu tidak terlaksanakan, impor beras sangat
mengkhawatirkan. Untuk mengatasi masalah tersebut, dilancarkan program
tiga tahun. Didirikanlah pusat-pusat produksi padi untuk meningkatkan
produktivitas dan menyediakan irigasi. Namun hasilnya masih jauh dari
harapan.
Tahun 1961, inflasi dan pengangguran mencapai puncaknya. Situasi
politik memburuk dengan banyaknya kudeta, terutama tahun 1965. Barulah
di tahun 1966 Orde Baru mengambil alih pemerintahan. Prioritasnya adalah
menstabilkan politik di awal-awalnya. Kemudian baru lah pada tahun 1969
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dimulai.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


6
Pada Repelita I, pertanian diberikan prioritas tinggi karena saat itu
masih berada pada sector yang rendah. Apalagi waktu itu ekspor hasil
pertanian sangat rendah yang menimbulkan masalah serius dalam
penerimaan devisa. Maka dari itu dilakukanlah rehabilitasi produksi dengan
bersamaan swasembada beras. Jenis-jenis padi baru diperkenalkan seperti
IR-5 dan IR-8 dengan fasilitas-fasilitas yang baru juga seperti sistem irigasi
yang lebih modern, bahkan diperluas.
Pembangunan dalam Repelita I menumbuhkan hasil yang meningkat.
Walaupun sedikit, tapi tahap ini menjadi batu loncatan bagi rencana-rencana
pembangunan berikutnya

a. Nilai Tambah dan Produksi dari Subsektor


Pembangunan pertanian ke dalam subsector oleh Biro Pusat
Statistik menunjukkan nilai tambah. Dalam periode I Repelita I,
pertanian merehabilitasi kapasitas-kapasitas produksi terutama tanaman
pangan khususnya beras. Meningkatnya impor beras menandakan
perlunya produksi domestik. Pendapatan dari komoditi tradisional
perkebunan juga bisa membiayai impor yang diperlukan. Komoditi
tersebut seperti kopi, karet, kopra, dan sebagainya.

b. Produksi Tanaman Pangan


Pertumbuhan produksi tanaman pangan pada periode I positif.
Namun, pertumbuhan produksi beras negatif. Masalah beras ini
menimbulkan tekad program swasembada. Laju komoditi selain jagung
dan kedelai tergolong rendah
Namun di periode II, mulai menunjukkan hasil-hasil positif. Laju
pertumbuhan relatif tinggi, terutama beras. Tapi laju pertumbuhan ubi
rambat cenderung rendah. Hal ini disebabkan efek substitusi produksi
beras. Pada saat harga beras mahal, mengalihkan konsumen untuk lebih
mengonsumsi ubi daripada beras. Tapi setelah harga beras kembali stabil,
konsumen kembali mengonsumsi beras.

i. Beras
Produksi beras tidak mencukupi kebutuhan sehingga jumlah
beras yang harus diimpor makin lama makin bertambah. Bahkan
proyeksi impor menunjukkan bahwa meningkatkan produksi beras
tidak bisa ditangguhkan lebih lama lagi.
Masa gawat dari swasembada itu dalam kurun waktu 1973 dan
1980 (Repelita II dan III). Dimana di Repelita II dilakukan usaha
pembukaan areal-areal baru. Program transmigrasi kini menjadi
masalah sendiri, karena transmigran umumnya adalah ahli produksi
beras.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


7
Pembukaan lahan-lahan baru juga membutuhkan waktu yang
lama karena tidak adanya prasarana menjadi penyebab utama
rendahnya peningkatan tersebut. Hal lain yaitu perlu adanya
landasan pesawat terbang yang memudahkan akses dan membuat
pengeluaran biaya lebih murah dan efektif. Khususnya bagi orang-
orang luar pulau Jawa.
Produksi per Ha menurun selama Pelita I disebabkan oleh
rehabilitasi sarana petani belum sepenuhnya selesai terutama di luar
pulau Jawa. Penggunaan pupuk dan pestisida membantu peningkatan
produksi saat itu. Swasembada beras diperluas mencakup berbagai
jenis produksi pangan.
Periode II sudah terdapat rehabilitasi kapasitas-kapasitas,
perluasan lahan, dan diperkenalkannya teknik-teknik bercocok tanam
yang lebih baik, serta adanya bibit-bibit unggul. Hal ini
meningkatkan produktivitas per Ha. Ditambah adanya cabang-
cabang pusat produksi membantu memperbaiki kondisi dan
memecahkan masalah itu.
Dalam periode III laju pertumbuhan bagi produksi sawah,
lading, dan produksi total per Ha meningkat. Biaya tenaga kerja
(termasuk binatang penggarap) menjadi biaya tertinggi. Hal ini bisa
disebabkan karena kurangnya tenaga kerja di desa yang telah
berpindah ke kota karena urbanisasi. Bibit-bibit relatif menjadi
makin murah waktu itu, dengan diseidakannya bibit yang lebih baik
oleh pemerintah dan dibagikan melalui koperasi-koperasi petani.
Pada tahun 1984 pertama kalinya tidak mengimpor beras.
Masalah-masalah yang timbul; Pertama, subsidi yang besar dari
pemerintah untuk irigasi, masukan produksi, pupuk, dan sebagainya
mulai dikurangi sampai akhirnya dihentikan. Kini petani
menanggung biayanya sendiri. Kedua, harga tidak berada pada
tingkat yang wajar, tujuannya agar pendapatan petani tercukupi dan
meningkat taraf hidupnya. Ketiga, kebijaksanaan yang logis menjaga
laju pertumbuhan produksi sama dengan tingkat pertambahan
konsumsi. Stok disesuaikan keadaan setiap kenaikan produksi dapat
mengakibatkan:
1. Memaksa harga-harga turun karena penawaran melebihi
permintaan
2. Mengharuskan Bulog membeli kelebihan penawaran yang
meningkatkan biaya stok
3. Memaksa Indonesia mengekspor beras dalam harga tinggi

ii. Tanaman Pangan Lainnya


Peningkatan tanaman pangan lainnya disebabkan oleh
peningkatan hasil per Ha dan perluasan lahan. Usaha-usaha serius

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


8
baru dimulai sejak Periode II. Untuk mencapai swasembada pangan,
Indonesia berhasil. Tugas di masa depan adalah menstabilkan
produksi untuk memenuhi naiknya permintaan sekaligus
menghindari biaya yang tidak perlu untuk kelebihan stok.

c. Komoditi-komoditi Ekspor Pertanian


Peran tanaman keras dalam ekspor sangat penting, sehingga
menjadi sumber devisa. Sesudah beras, tanaman keras menduduki
peringkat kedua. Dalam periode I perkebunan diberi perhatian penuh.
Malaysia menghasilkan produk-produk serupa. Volume produksi
naik cukup tinggi, terutama karet dan minyak kelapa sawit. Pada saat itu
produsen karet terbesar adalah Malaysia. Baru pada tahun 1975
Indonesia mengikuti jejak Malaysia. Hal ini bisa disebabkan oleh
tanaman pangan yang diberikan prioritas tertinggi dan dana yang
dibutuhkan telat tersedianya. Selain itu masalah diperburuk dengan
sarana dan prasaran yang belum tersedia.
i. Karet
Salah satu sumber pendapatan petani di daerah Kalimantan dan
Sumatera. Namun di akhir Pelita I perhatian juga diarahkan kepada
tanaman-tanaman keras karena perlunya devisa. Alhasil perkebunan
yang diproduksi rakyat menjadi tidak terlalu produktif. Pohon-pohon
terlalu tua dan jenis-jenisnya menghasilkan sedikit. Jadwal
menebang pohon pun diatur sedemikian rupa agar dapat menutup
biaya.
Perkebunan rakyat menghasilkan 70% produksi. Dan biaya bibit
unggul ditanggung pemerintah. Antara tahun 1974-1979 terdapat
kenaikan produksi sekitar 4,9%. Kemandekan setelah 1979 terjadi
karena kendala kenaikan permintaan.
Sangat disayangkan karena mutu karet Indonesia masih kalah
dengan Malaysia dan tidak dapat bersaing. Dan faktor eksternal
lainnya adalah resesi dunia yang mengambat produksi tahun 1980-
an. Pasaran dunia menghadapi kelebihan persediaan da harga-harga
turun. Hal ini menghambat berbagai produktivitas di Indonesia.
Diharapkan waktu itu adanya perkebunan-perkebunan baru,
perbaikan-perbaikan mutu agar dapat dicapai lebih efektif. Dalam
waktu dekat persaingan diperkirakan akan mengetat

ii. Kopi
Sebelum tahun 1975 produksi kopi menurun karena sebab-sebab
sama seperti lainnya. Sampai tahun 1980 terjadi peningkatan tinggi
sekitar 11,8% yang dipengaruhi oleh produksi Brazil. Organisasi
kopi internasional (ICO) mencegah kelebihan penawaran yang
memaksa penurunan harga. Hal ini tidak ditaati dengan baik oleh

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


9
negara produsen. Alasan lain penawaran tinggi karena kopi di
seluruh dunia memiliki ciri khas yang berbeda sehingga persaingan
tidak dapat dihindari.

iii. Tembakau
Produksi tembakau dilakukan untuk memenuhi permintaan
dalam negeri dan ekspor. Kota Bremen, Jerman menjadi tempat baru
bagi Indonesia sebagai penyalur tembakau. Terutama di Sumatera
Utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai penghasil tembakau.
Opportunity cost untuk penanaman komoditi lainnya menjadikan
perluasannya sulit di Jawa, meskipun di Sumatera masih mudah
didapat.
Ekspor mencapai tingkat tertinggi tahun 1974. Meskipun
produksi tahun-tahun berikutnya meningkat, tetapi tahun-tahun itu
juga volume ekspornya menurun. Meningkatnya permintaan
domestic menjadi salah satu penyebabnya. Di lain hal, kampanye
dunia melawan rokok menjadi salah satu penyebab utama.

iv. Teh
Konsumsi teh di dalam negeri tidak sebanyak kopi, kecuali di
pulau Jawa. Untuk menanam the juga lebih rumit dibandingkan kopi.
Aroma teh sangat dipengaruhi iklim, cuaca, curah hujan, dan
sebagainya. Kendala yang dihadapi sama seperti kopi, yaitu lahan
yang tersedia tidak banyak, saingan dari India, Sri Lanka, dan Cina.
Kebalikan dari kopi, justru konsumsi domestic teh yang
menurun berbeda dari ekspornya yang meningkat. Ini dikarenakan
adanya peralihan konsumsi dari teh ke kopi.

v. Cengkeh
Indonesia pernah menjadi pengimpor cengkeh terbesar dan
Tanzania menjadi pemasok terbesar. Sulawesi Utara dan Maluku
merupakan produsen terbesar di Indonesia. Kenaikan permintaan
domestic menyebabkan kekurangan cengkeh. Harga domestic
meningkat pesat. Petani menanam di lokasi yang tidak biasa untuk
menanam cengkeh. Hasilnya, produksi berlipat ganda dan
menghentikan impor.

vi. Minyak Kelapa Sawit


Terutama diproduksi di Sumatera Utara. Tapi sejak 1975 lahan-
lahan sekitar di sana dialihgunakan menjadi tanaman keras yang
waktu itu lebih memberi harapan. Penggunaan bahan mentah
terutama untuk memproduksi minyak goring, sabun, dan sebagainya.
Permintaan dunia tehadap minyak kelapa sawit menurun drastic

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


10
walaupun permintaan domestic meningkat. Tetapi juga ekspor
barang jadi seperti sabut, minyak goring, dan sebagainya cenderung
stabil. Efisiensi dalam pengolahan juga rendah

vii. Lada
Produksi lada yang utama berada di Sumatera Selatan dan Lampung.
Konsumsi domestic sangat rendah dan karenanya kebanyakan
diekspor. Persyaratan tanah dan penanaman juga terhambat oleh
factor teknis seperti lada sangat peka terhadapt penyakit. Para petani
lebih tertarik terhadap tanaman rendah resiko seperti yang lain.

viii. Tebu
Kebanyakan ditanam di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana
tempat tersebut banyak pabrik gula. Sebelum perang, Indonesia
pernah menjadi pengekspor utama gula. Pertambahan penduduk dan
perbaikan pendapatan mendorong permintaan ke atas. Lahan–lahan
waktu itu digunakan untuk kepentingan yang lain. Faktor inilah yang
menyebabkan impor meningkat

d. Masalah-masalah Isu Masa Depan


Indonesia dihadapkan dua masalah utama, yaitu defisit neraca
pembayaran yang dipecahkan dengan meningkatkan ekspor melalui
sekotr-sekotr pertanian, industri pengolahan, dan jasa-jasa. Yang kedua
adalah pengangguran yang melalui sector pertanian tersebut dibutuhkan
banyak tenaga yang ujung-ujungnya bisa menekan angka pengangguran.
Beberapa isu yang dipertimbangkan dalam kebijaksanaan pertanian
adalah;
1. Penekanan rencana pembangunan nasional. Kebutuhan yang
serius dalam agrobisnis ditujukan untuk pemecahan masalah
2. Pengakuan rencana penggunaan tanah. Di Jawa dan Sumatera,
penggunaan alternatif tanah masih menjadi serius. Dan tanah
digunakan lain daripada yang seharusnya
3. Produksi pangan dan kebijaksanaan pemasaran. Program-
program untuk swasembada pangan membuat perencanaan
lebih baik untuk penghindaran kesalahan seperti daerah baru.
Kebijaksanan pemasaran seperti penetapan harga dan
pemberian subsidi perlu penyesuaian untuk mengatasi nilai
tukar.
4. Jasa-jasa pendukung. Meliputi
a. Latihan petugas penyuluhan yang memenuhi syarat
b. Masukan yang diperlukan
c. Kebijaksanaan kredit yang jelas dan efisien
d. Perbaikan pemasaran yang melibatkan swasta

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


11
e. Didorongnya wiraswastawan agroindustri
f. Didorongnya kegiatan perkoperasian
Karena kegiatan tersebut saling berkaitan erat maka dibutuhkan
keterpaduan dalam program pembangunan. Untuk menghadapi dua
masalah awal maka membutuhkan program yang konsisten.
3. Energi dan Hasil-hasil Tambang
Kebijaksanaan energi pertama kali dirumuskan pada tahun 1976,
setelah krisis energi. Dulu baru disadari pentingnya mengoptimalkan
keuntungan ekspor minyak. UUD menggariskan sumber daya alam,
termasuk energi dikuasai negara dan sebesar-besarnya untuk kepentingan
rakyat Indonesia. Sesuai dengan kebijakan tersebut, maka dijabarkanlah ke
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara dan kebijaksanaan pembangunan
Rencana Pembangunan Lima Tahun.
Repelita IV mempunyai tujuan-tujuan; (1) pemerataan pembangunan
dan hasilnya kepada kesejahteraan rakyat, (2) pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, (3) kestabilan nasional yang mantap dan dinamis. Ditetapkanlah
kebijaksanaan di bidang energi, antara lain: (1) menjamin peralihan
bertahap dari satu sumber energi menjadi banyak sumber energi, (2)
menjamin tersedianya energi dengan harga wajar, (3) adanya sumbangan
terus-menerus dan positif kepada neraca pembayaran.
Diambillah langkah-langkah untuk mengintensifkan, memperluas
survey, dan eksplorasi sumber-sumber energi untuk menganekaragamkan
dan penggunaan energy :
a. Produksi Minyak Bumi
i. Minyak Mentah
Produksi minyak mentah mencapai puncaknya pada 1981.
Turunnya minyak mentah disebabkan oleh turunnya permintaan
di pasar internasional. Meskipun sumur minyak berkurang, luas
daerah yang dieksplor bertambah. Hal ini menunjukkan adanya
perhatian pada eksplorasi dan kegiatan pertambangan di
Indonesia.
Rendahnya harga minyak terhadap pembelanjaan dan
investasi tidak berdampak pada produksi minyak, karena
produksi di Indonesia di bawah kapasitasnya

ii. Hasil-hasil Sulingan


Dari tahun 1985, 8 pabrik yang beroperasi penyulingan
minyak semuanya milik negara, yaitu Pertamina. Satu di
antaranya di Cepu yang tujuannya untuk pelatihan. Meningkatnya
kapasitas penyulingan sesuai dengan kebijaksanaan
berswasembada produk minyak.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


12
Perkembangan produksi bahan bakar dari pabrik-pabrik
penyulingan selama enam tahun. Perluasan sistem distribusi
membantu menaikkan produksi. Penurunan kegiatan ekonomi dan
diversifikasi berdampak terhadap permintaan domestic akan
produk-produk minyak.

iii. Gas Alam


Tahun 1972 ditemukan cadangan gas alam besar di Arun
(Sumatera) dan di Badak (Kalimantan). Sebagian terbesar berupa
gas ikutan karena praktis tidak pernah diadakan eksplorasi khusus
untuk gas. Dua cadangan terbesar itu dapat dibangun untuk
memproduksi LNG (Liquid Natural Gas)
Penyediaan gas meningkat secara teratur bertalian dengan
meningkatknya permintaan produksi LNG untuk distribusi gas di
kota-kota. Cadangan geologis diperkirakan sebesar 217 TCF,
yaitu terdiri dari cadangan tereka, cadangan terunjuk, dan
cadangan terbukti.

iv. Batu Bara


Perusahaan swasta terlibat dalam pembangunan tambang di
bagian timur dan selatan Kalimantan. Dua tambang batubara
terbesar adalah Ombilin dan Bukit Asam.
Di Ombilin menghasilkan 770.751 ton batu bara dan
diperkirakan 35% di antaranya untuk keperluan dalam negeri dan
sisanya diekspor.
Tahun 1982 tambang batu bara Bukit Asam dapat
memproduksi 3 juta ton. Tahun 1985 digunakan untuk
pembangkit listrik tenaga uap.
Rehabilitasi dan perluasan tambang batubara bersama-sama
dengan pembangunan tambang batubara kecil milik swasta di
Kalimantan dan Bengkulu. Hal ini meningkatkan produksi
Kendala yang dihadapi waktu itu adalah kelambatan proyek
angkutan sejak 1985. Indonesia terpaksa mengimpor batubara.
Tetapi batu bara yang mutunya lebih tinggi dan antrasit diskepor
ke beberapa negara

v. Biomassa
Diperkirakan 34% dari seluruh konsumsi energy berasal
dari biomassa. Penanan biomassa sangat penting untuk
penyediaan bahan bakar untuk memasak. Sampai-sampai sangat
sedikit kota yang kekurangan biomassa.
Biomassa berbahan kayu digunakan untuk memasak di
daerah pedesaan. Sebagian besar dikumpulkan dengan cuma-

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


13
Cuma dari sampah hasil pertanian. Kayu bakar dan arang bisa
sebagai sumbangan berarti karena menjamin kelesatian alam.
Persediaan kayu bakar terbesar berasal dari pedesaan.
Pohon-pohon yang ditanam adalah pohon yang menghasilkan
buah-buahan, kayu, dan bahan bakar.
Penyedia kayu bakar kedua berasal dari pohon perkarangan
rumah. Di perkarangan tersebut lebih banyak menghasilkan
pohon buah dibandingkan pohon lainnya.
Ladang pertanian merupakan penyedia kayu bakar terbesar
berikutnya. Jenis pohon yang ditanam adalah semak-semak,
sebagai pohon pelindung, penghasil makanan ternak, dan sebagai
sarana pemeliharaan kesuburan tanah

b. Perkembangan Hasil Tambang


Perkembangan hasil tambang di Indonesia dipengaruhi dengan
melemahnya harga hasil tambang di pasaran dunia. Produk-produk
yang paling penting adalah:
i. Timah
Dewasa ini ada 5 perusahaan penambang timah. Perusahaan
asing beroperasi di bawah perjanjian kontrak. Beberapa
perusahaan nasional bekerja sebagai kontraktor bagi perusahaan
timah negara (PT Tambang Timah)

ii. Tembaga
Freeport Indonesia adalah satu-satunya produsen tembaga
di Indonesia. Produksinya tidak tetap, menunjukkan
kecenderungan sedikit naik

iii. Nikel
Tiga perusahaan menghasilkan nikel di Indonesia, terdiri
dari bijih basah, batang nikel, dan feronikel.

iv. Hasil Tambang Lainnya


Bauksit, emas, perak, pasir besi, timah hitam, dsb.

v. Impor Bahan Tambang


Kenaikan permintaan domestic juga memengaruhi jumlah
impornya. Kenaikan impor bijih besi terjadi karena perluasan
kompleks Krakatau Steel.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


14
c. Perbandingan Berbagai Proyeksi Permintaan Energi
i. Proyeksi MAED
Studi permintaan energi bertalian dengan permintaan energi
jangka panjang di Indonesia. Titik beratnya pada permintaan
tenaga listrik. Metode MEDEE bersama dengan model computer
MAED
Langkah pertama adalah pengumpulan data sebagai dasar
acuan keseimbangan energi. Dan untuk menganalisis secara rinci
kecenderungan selama 10 tahun.
Langkah kedua terdiri dari dua scenario pengembangan;
yaitu dengan penggambaran kualitatif yang dibuat pakar
Indonesia dan mengkuantifikasikan gambaran tersebut dalam
model MEDEE
Perkiraan tentang permintaan energi didasarkan suatu
model pembangunan sosial-ekonomi dengan tujuan pembangunan
berkelanjutan dalam REPELITA, kemudia diproyeksikan ke
tahun 2000 dan 2015 dengan memperhitungkan kemungkinan
mengkespor energi. Scenario tersebut menggunakan asumsi-
asumsi pertumbuhan PDB, perubahan struktur PDB dan
perkembangan harga minyak.
Sisi penawaran dipertahankannya konsumsi minyak disertai
pengembangan produksi gas. Permintaan energi listrik akan terus
berkembang pesat. Perbaikan-perbaikan dilakukan melalui; (1)
informasi terakhir teantang konsumsi energi, (2) memperbaiki
prosedur perancangan scenario, (3) model akhir yang cocok bagi
negara berkembang.

ii. Proyeksi Bank Dunia


Bertujuan melihat pilihan-pilihan yang tersedia untuk
menyediakan energi selain minyak bumi. Hal ini didasarkan
kenyataan bahwa hampir tiga per empat bahan bakar komersial
dan dua per tiga listrik digunakan di pulau Jawa.
Pulau Sumatera dan Kalimantan memiliki sumber-sumber
energy belimpah dan merupakan daerah eksportir besar.
Sedangkan Jawa kekurangan energi.

iii. Proyeksi MARKAL


Meliputi pembangunan ekonomi makro, permintaan akan
energi dan analisis energi optimal. Tiga model analisis; MACRO,
ANALYSIS, dan DEMI digunakan untuk analisis ekonomi makro
dan permintaan energi. Sedangkan MARKAL digunakan untuk
mengoptiomalkan penyediaan energi di masa depan. Model ini
bertujuan meminimalkan biaya yang dikorting

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


15
Model ekonomi makro memperkirakan tingkat kegiatan
ekonomi seperti halnya PDB.
Intensitas energi historis menggunakan model ANALYSIS
dengan nilai-nilai produksi diperoleh dari model MACRO, dapat
dihitung besarnya jumlah permintaan energi belum termasuk
pertambangan
Model MACRO menggunakan skenario harga minyak
diasumsikan untuk menentukan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Suatu hasil sementara telah dipublikasikan untuk skenario tinggi
dengan tiga kasus, seperti kasus acuan, kasus dengan produksi
minyak terbatas untuk dihemat demi masa depan

iv. Kesimpulan dan Implikasi Kebijaksanaannya


Proyeksi sejauh ini dibuat mengandung kelemahan sehingga
perlu diperbaiki. Validitas suatu model memerlukan banyak data
dan statistic terinci. Masalah yang dihadapi Indonesia adalah
bagaimana memilih untuk disesuaikan dengan kendala, yang
salah satunya terbatasnya modal.
Studi bank dunia dimaksudnkan untuk menghubungkan
perkembangan permintaan dengan kemungkinan-kemungkinan
penyediaan. Hasilnya adalah suatu rekomendasi untuk
membedakan isu dan pilihan periode jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang.
Karena energi memberikan pelayanan yang berlainan, maka
kebijaksanaan energi tidak dikembangkan secara terpisah
Pada sisi permintaan, kebijaksanaan konservasi energi dan
substitusi bahan bakar dapat berdampak pada pertumbuhan
kebutuhan energi. Diharapkan kebijaksanaan ini saling berkaitan
dengan perubahan structural dan diterapkannya teknologi serta
proses-proses yang baru. Model MAED dapat diperluas dengan
menggunakan metode analisis permintaan yang diperbaik

d. Model Energi dan Analisisnya


i. Pengantar
Perubahan terhadap perekonomian Indonesia terjadi akibat
kenaikan harga minyak. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan
adalah: (1) meningkatnya produksi migas, (2) arus modal asing,
(3) keinginan memperbaiki taraf hidup orang Indonesia. Maka
berubahlah perekonomian Indonesia dari sektor pertanian ke
industri menengah-bawah.

ii. Arus Energi

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


16
Model energi nasional dibagi menjadi sumber-sumber
utama 6 kategori: (1) minyak mentah, (2) gas alam, (3) batu bara,
(4) tenaga air, (5) energi panas bumi, (6) energi nuklir. Dan
konsumsi 13 kategori: (1) bensin, (2) minyak jet, (3) minyak
tanah, (4) ADO, (5) IDO, (6) HFO, (7) naita, (8) LPG, (9) lain-
lain, (10) listrik, (11) NGL, (12) LNG, dan (13) gas perkotaan

iii. Metologi
Pertama, menganalisis permintaan energi. Dan kedua cara
optimal. Ada 3 macam statistik, yang tersedia mengenai energi di
Indonesia. Yaitu neraca energi PBB, energi IEA, dan hasil studi
JICA/MIGAS. Tujuan dari statistic itu adalah membuat daftar-
daftar neraca energi dan menganalisis sifat-sifat permintaan akan
energi menurut sektornya.
Negara berkembang seperti Indonesia yang banyak
menggunakan energi nonkomersial terdiri dari kayu bakar dan
limbah pertanian terutama pertanian dan permukiman. Tetapi
sektor pertanian berkurang dengan cepat karena adanya
modernisasi pertanian.
Analisis regresi memperkirakan permintaan energi.
Hasilnya elastisitas permintaan terhadap produksi nasional jauh
lebih tinggi disebabkan pemilihan tidak tepat tetapi karena
kenaikan permintaan energi walaupun hanya dapat dipertahankan
dalam waktu terbatas.

iv. Model Penyediaan


Ada dua model dalam sisi penyediaan. Pertama,
memperkirakan kapasitas masa depan dan meramalkan cadangan
di masa depan. Merupakan asumsi menggunakan program linier.
Kedua, program linier dengan kendala permintaan dan
penawaran. Tentang kendala permintaan, di bidang pertanian
tidak ada data tentang klasifikasi permintaan minyak diesel. Di
sektor pertambangan adanya penawaran atau penyediaan dimana
kendalanya adalah jumlah minyak diesel industri minyak bahan
bakar berat yang terbatas.
Jenis kendala lain yaitu keseimbangan neraca energi.
Kendala tentang ekspor impor gas perkotaan tenaga air, tenaga
panas bumi, tenaga nuklir, dan lain-lain. Faktor-faktor
efisiensinya diperhitungkan dalam model ini
Ada dua faktor dalam fungsi objektifnya. Yang pertama
adalah pendapatan ekspor dan factor kedua adalah jumlah seluruh
biaya

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


17
v. Analisis Hasil-hasil Perhitungan
Skenario Masa Depan untuk Permintaan Energi
Skenario-skenario masa depan tentang permintaan energi
diperoleh dari kegiatan-kegiatan simulasi. Sumbangan dari
permintaan energi industry akan meningkat tetap. Sedangkan dari
sektor permukiman dan perdagangan berkurang. Substitusi hanya
terjadi sedikit antara bahan-bahan bakar yang berlainan. Misalnya
antara batu bara dan minyak bumi)
Skenario Umum
Dalam metologi pengoptimalan. Pertama, untuk
meminimalkan biaya penggunaan energi atau jumlah biaya modal
untuk menghasilkan energi primer dan harga-harga dari energi
ekspor. Kedua untuk memaksimalkan ekspor energi, sehingga
memperoleh pendapatan devisa yang lebih besar
Produksi minyak mentah dimaksimalkan sedangkan ekspor
minyak mentah diminimalkan. Dalam skenario ekspor maksimal,
naiknya ekspor produk minyak bumi bersih adalah strategi lebih
baik daripada kenaikan kenaikan ekspor minyak mentah. Dalam
skenario biaya minimal, naiknya produksi domestik menyumbang
lebih banyak. Karena produksi minyak mentah impor lebih tinggi
daripada produksi dalam negeri
Salah satu parameter kunci dalam model adalaj kita tidak
tahu bagaimana harga berubah di masa depan. Tingkat produksi
minyak mentah jauh lebih rendah dibandingkan skenario-skenario
tersebut. Sebaliknya impor produk minyak bumi jauh lebih tinggi
karena lebih murah daripada produksi dalam negeri
Ekspor maksimal diwujudkan dengan meminimalkan
impor. Skenario biaya minimal adalah perekonomian nasional
sangat tergantung pada impor. Dua hal dilukiskan sebagai berikut;
Pertama, nilai variable kunci terletak di antara skenario ekspor
maksimal dan yang ada dalam skenario biaya minimal. Skenario
ini merupakan kompromi yang dapat diterima. Kedua, ekspor
minyak mentah dapat dimaksimalkan sedangkan skenario lain
diminimalkan. Hal ini terjadi karena peminimalan impor
mencegah impor produk-produk minyak bumi sedangkan
produksi total minyak mentah berada di antara batas atas dan
batas bawah. Tujuan ekspor maksimal produksi harus sebesar
mungkin, tapi untuk tujuan minimal produksinya harus sesedikit
mungkin.
Strategi batubara. Telah dibuat skenario untuk
memaksimalkan penggunaan batubara. Hasil menunjukkan bahwa

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


18
produksi batubara dapat meningkat. Dapat dikatakan jumlah yang
besar. Tapi itu bukanlah potensi yang dapat diandalkan karena
penggunaan batubara masih terbatas.

e. Permintaan dan Penyediaan Tenaga Listrik


i. Pengantar
Erat hubungannya antara tenaga listrik dan perekonomian.
Secara langsung menyumbangkan energi bagi produksi dan
keseharian. Dan secara tidak langsung untuk mendukung
pemgembangan energi. Tapi perkiraan permintaan, terbatasnya
energi dan beranekaragamnya asumsi, serta kebijaksanaan strategi
yang masih harus diperjelas. Masuk akal jika banyaknya skenario.

ii. Situasi Dewasa Ini


Pengusahaan penyediaan tenaga listrik harus dilakukan oleh
negara, dilaksanakan atas peraturan perundangan. Tenaga listrik
di Indonesia disediakan oleh PLN dan PKUK. Hampir seluruh
penggunaan listrik ditujukan untuk komersial dan kepentingan
umum disediakan oleh PLN
Dibandingkan negara ASEAN lain, tariff listrik di Indonesia
tergolong paling murah.
Ada beberapa perusahan kecil yang menyediakan jasa listrik
untuk kepentingan umum, dengan izin yang sah.
Sejak dimulainya Repelita I, penyediaan listrik mengalami
peningkata tinggi, meskipun konsumsinya cenderung rendah
untuk pendapatan per kapita. Konsumsi tersebut juga tergolong
rendah apabila dibandingkan permintaannya

iii. Kebijaksanaan dan Strategi Pengembangan Energi


Penyediaan energi listrik harus cukup dan merata. Maka UU
No 15 tahun 1985 diberlakukan. Dengan tujuan pembangunan
kelistrikan dan perusahaan listrik, hubungan antara pemegang
wewenang eksploitasi listrik dan pemegang izin eksploitasi
tenaga listrik bagi kepentingan negara dan masyarakat, serta
sanksi-sanksinya

iv. Tujuan
Untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
secara adil dan merata. Untuk mendorong perkembangan
ekonomi

v. Asas-asas
1) Manfaat, untuk kesejahteraan rakyat

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


19
2) Pemerataan dan keadilan, dinikmati seluruh rakyat
3) Percaya diri, mampu membangkitkan swasembada dan
rasa percaya diri
4) Memperhatikan keseimbangan sumber alam dan
pemeliharaan lingkungan

vi. Kebijaksanaan Pembangunan Kelistrikan


Tujuan akhirnya adalah penyediaan listrik yang terus-
menerus dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Kebijaksanaannya adalah:
1) Serasi dan selaras dengan pembangunan nasional.
2) Dalam penyebarannya harus ada peningkatan penyediaan
listrik
3) Bagian dari kebijaksanaan umum
4) Menggunakan barang dan jasa dalam negeri
5) Serasi dengan lingkungan hidup

vii. Sasaran
Termuat dalam GBHN, sasaran ini mendukung terciptanya
kerangka dasar dalam Repelita IV, untuk dimantapkan di Repelita
V, sehingga dalam Repelita VI bangsa Indonesia tinggal lepas
landas

viii. Strategi Pembangunan Kelistrikan


Strategi harus saling mendukung, misalnya keandalam,
harga, pelembagaan, dan lain-lain. Strategi ini mempunya dua
sasaran; Pertama, memenuhi kebutuhan listrik sesuai kuantitas,
kualitas, dan keandalan tenaga. Kedua, penyebaran disesuaikan
dengan sasaran kelistrikan.
Permintaan dan penyebaran listrik dipengaruhi oleh
ketersediaan, mutu dan keandalan, serta tariff kebijaksanaan,
strategi, dan kemampuan pemerintah dan aparatnya.
Pembangunan memerlukan waktu yang cukup banyak,
dimulai dengan rekayasa, rancang-bangun, pendanaan,
konstruksi, dan prosedu. Maka dari itu, waktu yang diperkirakan
10 tahun atau lebih.

Untuk menunjang, perlu diperhatikan hal-hal;


1) Mutu dan keandalannya, disesuaikan keperluan
pemakaian
2) Harga yang bersaing
3) Sasaran penyebarannya

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


20
ix. Permintaan
Definisi permintaan tenaga listrik di negara maju
berbeda dengan di negara berkembang. Di negara maju,
listrik mampu diseidakan setiap tempat di seluruh negeri.
Sedangkan di negara berkembang hanya sebagian wilayah
yang dapat dijangkau. Di negara maju, rakyatnya
memahami manfaat listrik sehingga konsumsinya
berkembang. Sedangkan di negara berkembang rakyatnya
belum mampu memahami manfaat listrik sehingga
konsumsi rendah.
Permintaan sendiri dipengaruhi beberapa faktor, yaitu
pendapatan masyarakat, kemampuan memanfaatkan tenaga
listrik, tariff, dan tersedianya tenaga listrik
Masalah yang dihadapi untuk memperkirakan
komposisi permintaan adalah; terbatasnya data-data historis,
berapa jauh data historis itu berarti, rendahnya konsumsi
listrik, pertumbuhan keadaan ekonomi nasional, dan
kebijaksanaan dan strategi pembangunan

x. Penyediaan
Kendala yang dihadapi Indonesia adalah kondisi geografis
yang terpisahnya tempat-tempat pemukiman (berbeda pulau),
tingkat konsumsinya rendah, membutuhkan jaringan luas dengan
biaya rendah, serta terbatasnya dana.
Dalam liputan PKUK dan PIUKU, masalahnya adalah
bagaimana memenuhi permintaan sambungan dan memberikan
pelayanan sesuai dengan persyaratan mutu dan keandalan
4. Industri Pengolahan: Analisis dan Kebijaksanaan
a. Proses Pengembangan Industri, Perdagangan Internasional
Menurut UNIDO, sepuluh tahun terakhir Indonesia menjadi salah
satu produsen terbesar barang industri pengolahan negara berkembang.
Mencapai urutan ketujuh dengan sumbangan 0,29% pada tahun 1981.
Padahal 10 tahun sebelumnya, hanya di urutan ketujuh belas.
Tapi sumbangan ini masih lebih kecil dibandingkan Filipina,
Thailand, Singapura, India, Turki, dan Pakistan. Hal ini membuktikan
bahwa pertambahan industry di Indonesia meningkat pesat walaupun
industrialisasi masih berada pada tingkat yang rendah.

i. Struktur Sektor: Perbandingan Internasional

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


21
Sektor pertanian memberikan sumbangan yang besar
dibandingkan negara ASEAN lainnya. Sumbangan ini,
mengurangi sumbangan sektor industri pengolahan. Apabila
minyak dan gas diproduksi dalam jumlah kecil, maka sumbangan
industri pengolahan akan lebih besar sekarang ini.
Di sektor pertambangan, sumbangannya besar sehingga
apabila produksi mnyak dan gas lebih kecil maka sumbangan
sektor pertanian mungkin lebih besar. Kegiatan penambangan di
Indonesia sangat tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN
lainnya.

ii. Ciri-ciri Struktur Sektor Industri Pengolahan


Produksi Total
Sektor industry pengolahan Indonesia merupakan sektor
pengolahan terbesar di antara kelima negara ASEAN. Pada tahun
1975 mencapai dua kali lipat Singapura dan Malaysia. Namun
lebih dari separuh produksinya terdiri atas barang konsumsi,
seperti makanan dan tekstil. Industri makanan sendiri
menyumbang 53,9% dan merupakan yang tertinggi di antara
negara ASEAN, karena di negara lain tidak melebihi 50%
Di industri mesin dan logam di Indonesia memberi
sumbangan terendah. Dan industri alat angkut dua pertiganya
terdiri atas perakitan kendaraan bermotor dan industri pengolahan
sepeda motor merupakan yang tertinggi di antara negara ASEAN.
Peranan semua industri ringan kecuali plastic mengalami
penurunan. Tapi hal itu diikuti peningkatan untuk cabang industri
pengolahan berat terutama kimia, minyak, penyulingan minyak,
mesin dan alat angkut

Nilai Tambah
Peranan sektor industri dapat dilihat dari besarnya nilai
tambah yang diberikan. Nilai tambah sektor industri Indonesia
menempati urutan tertinggi. Nilai tambah Indonesia lebih besar
2,1 kali dibandingkan Malaysia. sedangkan ditinjau dari aspek
produksi, maka lebih besar 2,7 kali dari produksi total Malaysia.
Hal ini disebabkan dua faktor, yaitu rasio nilai tambah dan
susunan produksi
Tingkat pengembangan produksi juga dapat dilihat dengan
rasio Hoffmann yang membagi menjadi dua golongan, yaitu
industri barang konsumsi dan industri barang modal.
Industri barang konsumsi adalah pelopor pada tahap
pertama. Industri ini mengalami penurunan, di lain pihak industri

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


22
barang modal mengalami peningkatan. Hal ini dialami hampir
semua negara.

iii. Perkembangan Industri


Struktur Nilai Tambah
Pertumbuhan industri membawa keragaman pada sektor
industri pengolahan. Yang bersifat padat modal (besi dan baja,
alat-alat listrik, barang berbahan logam) mengalami laju
pertumbuhan tinggi. Pada sektor pertanian (pangan, tembakau)
mengalami penurunan. Demikian juga industri tekstil
Sebaliknya cabang industri kimia, kayu, alat angkut, barang
non logam, mesin listrik, hasil karet, barang logam, besi dan baja
mengalami laju pertumbuhan yang tinggi
Di sisi permintaan pasar, hampir semua barang konsumsi
memperlihatkan kejenuhan setelah tahun 1975. Ketika
penerimaan Indonesia dari valuta asing meningkat karena rezeki
minyak, maka perkembangan terjadi pada industri dasar hilir,
yaitu untuk cabang industri mesin dan suku cadang mobil, motor,
dan pesawat terbang.
Sektor industri pengolahan mengalami pergeseran dari
bahan konsumsi menjadi bahan penolong dan barang modal.
Sumber utama disebabkan oleh permintaan dalam negeri yang
meningkat dan industri pengganti impor, dimana industri barang
konsumsi merangsang perkembangan pasar barang penolong dan
barang modal.
Adapun cabang industri barang ringan, seperti makanan,
minuman, dan rokok mengalami laju pertumbuhan lambat.
Sedangkan laju pertumbuhan industri baru yang bersifat padat
modal dan teknologi mengalami laju pertumbuhan yang tinggi

Struktur Lapangan Kerja


Industry kecil dan rumah tangga memberi sumbangan
hingga 87%. Dengan sumbangan pada nilai tambah relatif kecil.
Sebaliknya perusahaan besar dan sedang hanya menyerap 19%
dari tenaga kerja sektor industri pengolahan. Tapi memberikan
78% pada keseluruhan nilai tambah.
Untuk itu, diarahkan kebijakan untuk memperluas lapangan
kerja diarahkan untuk industri kecil dan rumah tangga. Sedangkan
untuk meningkatkan pertumbuhan dipusatkan pada industri besar.

Modal dan Tenaga Kerja


Perbandingan modal terhadap hasil (ICOR) adalah
perbandingan penanaman modal terhadap perubahan hasil.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


23
Adapun perbandingan tenaga kerja terhadap hasil di sektor
industri (ILOR) yang merupakan perbandingan perubahan tenaga
kerja terhadap perubahan hasil.
Di negara-negara berkembang, tabungan untuk pemupukan
modal lebih kecil dari jumlah yang diperlukan dan bagian terbesar
barang modal harus diimpor. Industri padat karya lebih tepat
diterapkan pada negara berkembang untuk mengatasi masalah
ketenagakerjaan. Dimana di industri ini tidak dibutuhkan barang
modal dalam jumlah besar seperti industri tekstil, alat angkut,
barang logam, mesin listrik, makanan olahan dan mineral bukan
logam. Industri ini berada pada kuadran IV.
Industri pada kuadran III merupakan bukan industri padat
karya dan bukan pada modal. Seperti industri kimia, hasil minyak,
mesin, dan industri pengolahan lainnya. Ditinjau dari segi
penyerapan tenaga kerja, kemampuannya lebih rendah daripada
kuadran IV
Industry pada kuadran II lebih padat modal dan kurang
padat karya. Hanya industri kayu contohnya. Banyak melakukan
ekspor
iv. Analisis Kaitan Internasional untuk Sektor Industri Pengolahan
Tabel Input-Output Internasional
Tabel ini menggambarkan transaksi antarindustri dalam
negeri dan negara asing diperlakukan sebagai jumlah ekspor dan
impor. Untuk menganalisis perdagangan internasional, maka
input-output harus dijelaskan menurut industri dan menurut
negara

v. Perkembangan Keterkaitan Industri


Ketergantungan di Dunia Internasional
W. W. Leontief dan W. Isard menciptakan model input-
output internasional (antarwilayah). Model ini menentukan besar
permintaan pada suatu negara yang ditimbulkan oleh permintaan
akhir suatu negara lainnya. Model ini menjelaskan secara
kuantitatif tingkat ketergantungan internasional di bidang industri.
Produksi total Singapura memiliki tingkat ketergantungan
terhadap permintaan luar negeri yang tertinggi, kemudian
Malaysia, Korea, dan yang terendah adalah Amerika Serikat.
Tingkat ketergantungan Singapura hampir mencapai 50%
sehingga perekonomian sangat dipengaruhi oleh keadaan
ekonomi dunia. Setiap kebijaksanaan pasar dunia akan
melipatgandakan pengaruh di Singapura. Di lain pihak,
kebijaksanaan ekonomi Singapura berpengaruh kecil pada
nasionalnya.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


24
Indonesia, Thailand, dan Filipina tidak terlalu terpengaruh
oleh keadaan ekonomi di luar negeri dibandingkan Singapura dan
Malaysia. Bisa dikatakan tingkat ketergantungan di antara negara-
negara ASEAN sangat kecil, kecuali Singapura.

Struktur Ekspor
Hampir semua negara di ASEAN mengekspor barang
industri ke AS dan Jepang. Perdagangan antar ASEAN tetap
berguna untuk dikaji lebih lanjut karena dengan demikian maka
dapat diperoleh gambaran tentang potensi untuk meningkatkan
ekspor Indonesia
Untuk menganalisis perdagangan antarnegara ASEAN,
akan diperkenalkan koefisien intensitas kaitan ekspor dan impor
masing-masing negara. Bagi Indonesia, intensitas kaitan impor
dapat memberi petunjuk tentang kedudukan Indonesia sebagai
pemasok barang ASEAN lainnya.
Negara tipe A dan B adalah konsumen karena bergantung
pada impor dari Indonesia. Penerimaan ekspor dapat naik dan
turun apabila pertumbuhan ekonomi negara tipe A mengalami
kenaikan atau penurunan
Singapura meskipun negara kuadran I, tetapi barang yang
dieskpor ke Singapura kemungkinan besar akan dieskpor lagi ke
negara-negara lain.
Ekspor dan impor dianalisis lebih rinci ke dalam dua
kelompok. Dimana kelompok pertama adalah barang-barang
untuk memenuhi permintaan akhir (tidak termasuk perubahan
pada persediaan barang). Kelompok kedua adalah barang yang
diekspor dan diimpor untuk memenuhi permintaan antara

Perbandingan Internasional Kaitan Antar-Industri


Penanaman modal dalam industri baru membawa dua jenis
pengaruh. Pertama, penanaman di sektor yang baru dan yang lahir
dari pembelian barang dari sektor yang lain sebagai barang
penolong, akan merangsang sektor yang lain untuk menaikkan
produksinya. Pengaruh ini disebut kaitan ke belakang.
Kedua, penanaman modal sektor yang baru dan yang
menyediakan barang penolong untuk produksi barang dan jasa
yang lain akan mendorong sektor-sektor lainnya untuk
meningkatkan produktivitasnya. Pengaruh ini disebut kaitan ke
depan
Koefisien kaitan memberikan informasi untuk menentukan
jenis-jenis industry yang penting untuk penyusunan pelaksanaan
kebijaksanaan pembangunan ekonomi. Rata-rata koefisien kaitan

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


25
semua industri di negara adalah satu. Apabila negara tertentu
lebih besar daripada satu negara lainnya lebih kecil dari satu.
Koefisien ke belakang menunjukkan semua industri di
Jepang, AS, Korea, dan Singapura lebih dari satu. Sedangkan
yang kurang dari satu adalah Filipina, Thailand, Indonesia, dan
Malaysia. Umumnya, semakin tinggi perkembangan industri,
suatu negara, maka rata-rata koefisien ke belakang semakin
tinggi.
Seperti contoh keadaan ekonomi 1970-an ketika industri
kimia, barang logam, mesin, dan lain-lain memberikan
sumbangan besar pada pembangunan Jepang dan negara industri
baru tertentu seperti Korea dan Singapura. Ekonomi AS yang
tidak tumbuh pada tauh 1970 mencerminkan keadaan ini.

vi. Masa Depan Pengembangan Industri


Menuju Masyarakat Industri
Pengembangan industri menjadi bagian penting dari
pembangunan ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup.
Diharapkan memberikan perkembangan menjadi lebih kuat
ditandai dengan daya saing lebih tinggi yang memungkinkan
memberi sumbangan yang jauh lebih berarti pada devisa negara.
Ekspor barang industri pengolahan berperan penting dalam
pembangunan dan sebagai suatu tujuan nasional untuk
dilaksanakan.
Mengingat harga minyak yang tidak menguntungkan,
peneriman devisa dari minyak tidak dapat diharapkan meningkat
dengan berarti. Devisa diharapkan pada ekspor non migas dan
non migas alam cair. Kebijaksanaan mendorong ekspor harus
dirumuskan dalam kerangka perubahan struktur ekonomi
Kebijaksanaan moneter, fiscal, dan perdangan harus
melengkapi kebijaksanaan industri agar mampu bersaing. Nilai
tukar rupiah-valuta asing harus dipertahankan pada tingkat yang
tidak mengurangi daya saing barang Indonesia.

Arah Perkembangan Industri di Masa Depan


Tujuan GBHN terutama pada Repelita V dipusatkan pada
prioritas tertentu seperti mesin industri tinggi karena dipandang
strategis untuk keamanan nasional. Harus pula dianalisis berbagai
jenis industri dari berbagai sudut pandang. Banyak dorongan dari
unsur permintaan akhir yang belum dijangkau produksi yang
lebih besar, lapangan kerja, dan segi lainnya.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


26
Namun kaitan itu juga bisa menimbulkan inefisiensi
jika tidak dimanfaatkan dengan seksama akan menjalar ke cabang-
cabang lain.yang menimbulkan penurunan daya saing.
Kebijaksanaan valuta asing menjadi hambatan juga.
Sepertiga sampai tiga perempat ekspor berasal dari minyak dan
gas. Tiga perempat juga menyumbang pendapatan dalam negeri.
Mengingat hasil migas tidak menunjukkan kecerahan di masa
depan. Maka sudah seharusnya lebih mengejar ekspor non migas.
Syarat keberhasilan kemampuan bersaing adalah faktor
efisiensi dan masalah ketengarakerjaan. Dalam Repelita IV
terdapat 9,3 pencari kerja baru. Perlu diadakannya industri dengan
padat karya yang juga bisa menghasilkan valuta asing dan
sebagian besar di pedesaan sehingga dapat meningkatkan
pendapatan penduduk.
Industri elektronik umumnya padat karya. Namun
perubahan-perubahan besar dan cepat memengaruhi beberapa
mekanisasi dalam pengerjaan juga yang ujung-ujungnya menjadi
masalah ketenagarkerjaan juga. Padahal mekanisasi tersebut
ditunjukkan untuk memeroleh laba sebesar-besarnya.
Barang –barang industry yang dieskpor cenderung padat
modal bukannya padat karya. Hal ini ditujukan untuk mencapai
keuntungan ekonomi, tapi jangan sampai menurunkan daya saing,
sehingga ekspor juga turun. Barang industry pengolahan yang
dapat diekspor hendaknya mempertimbangkan berbagai segi
penting seperti efisiensi, pemerataan, kemampuan menopang
pertumbuhan, dan sebagainya.

5. Ali Baba

Mr. Iskaq Tjokrohadisuryo dieknal sebagai politikus tulen. Ia bersama


Bung Karno, Tjipto Mangunkusumo, dan Sartono, mendirikan Partai Nasional
Indonesia di Bandung, pada 1927. Iskaq menjadi salah satu pimpinan awal PNI.
Iskaq menelerkun program yang memiliki jargon “Dari ekonomi colonial ke
ekonomi nasional”. Pada tanggal 8 September 1953, ia mengeluarkan edaran:
bagi para importer nasional, akan dikeluarkan 80%-90% lisensi devisa.
Beleid populis ini mendapat dukungan dari para pengusaha pribumi.
Terlebih lagi dari para pengusaha yang juga politikus PNI. Memang kelompok
terakhir inilah yang mendapat untung besar dari beleid nasionalisasi itu. Dengan
cepat Iskaq menyebarkan lisensi impor, kredit pemerintah, serta dana perbankan
lainnya kepada pengusaha yang punya kaitan erat dengan PNI. Hasilnya, lisensi
impor menggembung dengan cepat. Dalam memoarnya, Ali Sastroamidjojo
menulis “Indonesianisasi berjalan begitu cepat.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


27
Pada November 1954, kurang lebih setahun setelah iskaq menjadi
menteri,jumlah total dari pribumi importer meningkat menjadi 2.000 buah.
Politikus bekerja dengan rumus demi massa, karena ia memang harus mengganti
suara yang mereka berikan. Kalkulasi inflasi, deficit neraca berjalan, serta
keuntungan ekonomi ditaruh di bagian belakang. Dalam Sembilan bulan, utang
pemerintah membengkak lebih dari tiga kali lipat. Cadangan devisa terkuras.
Nilai rupiah merosot tiga perempat kali terhadap dolar amerika. Munculnya
importer kecil tanpa pengalaman, yang hanya mengandalkan lisensi, membuat
suasana di pelabuhan dan perbankan bertambah semrawut.
Pemerintah Amerika, yang tengah berusaha agar Pemerintah Indonesia
tak berbelok ke kiri, sebetulnya ingin mengulurkan bantuan. Namun, melihat
semrawutnya suasana, mereka urung. Bukan keberatan Amerika itu yang
kemudian membuat Iskaq jatuh. Beleidnya membuat masanya rontok di partai
oposisi, dan negara donor. Pada 1955, Ali Sastroamidjojo mengadakan
perombakan cabinet. Iskaq di copot. Pihak paling keras yang marah pada ulah
Iskaq ternyata orang bangsa sendiri.

6. Era Kolonial

A. Koeli Kontrak di Kebun Tebu


Sejarah ekonomi Hindia Belanda adalah buku tebal yang erat dengan
nuansa benci tapi rindu. Benci yang dimaksud karena seluruh negeri
Indonesia telah di explore oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah
tersebut telah menjadikan bumi Nusantara sebagai “keajaiban Asia” karena
kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh Negara Indonesia. Skala ekonomi
Hindia Belanda tergolong raksasa untuk ukuran Asia. Menjelang kemunduran
Belanda, organisasi Oost Indie sudah cukup canggih, bank-bank bertebaran,
dan pasar modal telah beroperasi.
Namun, di sisi lain, kegiatan ekonomi jauh dari niat untuk
memakmurkan rakyat. Pribumi tetap menjadi warga kelas tiga. Kehidupan
ekonomi pada era kolonial dengan potensi yang melimpah seperti pertanian,
pertambangan, perkebunan, dan manufaktur telah membuktikan bahwa
Indonesia adalah negara yang makmur, karena tidak hanya dipotensikan tapi
juga diefektifkan. Tetapi, yang menikmati kekayaan Indonesia bukanlah
masyarakat pribumi asli, melainkan di explore untuk memenuhi permintaan
dari Eropa seperti kopi, tembakau, dan beras.
Penguasaan potensi pasar yang lemah menjadikan pasar komoditi
Indonesia dikuasai oleh Eropa, sedangkan pasar-pasar yang ada di Indonesia
di blokir dari aktivitas jual-beli, untuk memenuhi permintaan pasar asing.
Potensi yang luar biasa yang belum dapat dikendalikan yaitu emas dari
perusahaan Freeport. Di sumatera juga terkenal dengan tembakau delhi yang
mana penjualannya bukan di Indonesia, tapi di Denmark dan Jerman. Dan,

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


28
hasil perkebunan seperti gula juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan
Eropa.
Dari hasil statistik tahun 1930 penerimaan dari Hindia Belanda
menunjukkan 59.1 juta, dan orang Indonesia hanya memperoleh 3,6 juta
gulden atau 0,54%. Sedangkan bagian terbesar 665 juta gulden atau 99.4%
dinikmati oleh warga kulit putih. Sistem ekonomi kolonial tidak hanya
meninggalkan kemelaratan, juga membawa budaya cocok tanam, sistem
uang, dan budaya industri. Sistem kolonial memang eksploitatif dan
diskriminatif. Tapi kecermatan dan akuntabilitasnya boleh ditiru.
Kedatangan orang-orang Belanda semata-mata bukan untuk
memakmurkan rakyatnya. Motif untuk mengambil alih harta dan kekayaan
yang membawa adanya ekspedisi dagang Belanda ke Nusantara, seperti yang
dirintis oleh Cornelis de Houtman yang membawa empat armada berkekuatan
kapal. Setelah tewasnya beliau dalam pelayaran, membuka mata pedagang
Belanda untuk kembali melakukan ekspedisi dengan menghimpun diri dalam
suatu organisasi VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang dibentuk
pada 20 Maret 1602 di Amsterdam.
Dalam lima tahun VOC mampu memobilisasi 15 armada dengan
kekuatan 65 kapal yang berbasis di Negeri Belanda. VOC juga memiliki hak-
hak istimewa antara lain membuat kontrak, membangun kekuatan militer, dan
boleh mencetak uang. Awalnya VOC menjual usaha dagang rempahnya
dengan cara barter ke warga dan penguasa pribumi. Selain itu, kekuatan
militer seperti benteng-benteng mulai muncul lengkap dengan meriam dan
tangsi militernya. Benteng tersebut berfungsi sebagai tempat mengepul
barang komoditas dan kekuatan penekan bagi penguasa pribumi, dan
memperoleh kontrak-kontrak eksklusif yang menguntungkan.
Setelah gagal menangani krisis keuangan, VOC dinyatakan bangkrut
pada 1799. Setelah VOC bubar, organisasi tersebut diambil alih oleh Prancis
dan Inggris, administrasi Hindia Belanda dipegang langsung oleh Nederland.
Meski singkat, gaya kekuasan Prancis dan Inggris ikut mewarnai sistem
ekonomi Hindia Belanda.

B. Mikul Duwur
Dari Cultur Stelsel ke IMF
Pada era kolonial yaitu dari tahun 1930-1970 muncul kebijakan
cultur stelsel atau yang dikenal dengan tanam paksa. Pemerintah kolonial di
bawah Gubernur Jenderal Van den Bosch memobilisasi lahan pertanian,
kerbau, sapi dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh,
tembakau, tebu yang permintaannya di pasar dunia sedang membumbung
dibudidayakan. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar
bagi aman keemasan kolonialis liberal Hindia Belanda pada tahun 1870-1940,
meskipun terdapat eksploitatif dalam prakteknya.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


29
Sampai pada suatu saat dimana Belanda kalah perang dengan
Jepang, Indonesia mulai memproklamasikan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945. Meskipun pada 5 tahun pertama, Indonesia masih sibuk
dengan perang kemerdekaan namun Indonesia mulai membangkitkan
ekonomi di tengah atmosfer sistem politik “parlementer-liberal” yang sangat
tidak stabil. Hal ini ditandai dengan jatuh bangunnya tujuh kabinet selama
tahun 1950-1957. Pembangunan ekonomi nasional dimulai dengan
pembangunan bank-bank, maskapai pelayaran, penerbangan dan perusahaan
perdagangan sebagai perusahaan negara. Bantuan kredit dan proteksi usaha
diberikan kepada pengusaha pribumi.
Pembangunan ekonomi ini dimulai oleh Perdana Menteri Moh.
Natsir dengan Program Benteng 1950. Namun, program ini bubar
dikarenakan banyak pengusaha yang menyalahgunakan bantuan kredit untuk
mencari keuntungan secara cepat. Hingga akhirnya, muncul dekrit presiden
yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Namun, periode
“demokrasi terpimpin” ini mengakibatkan ekonomi terbengkalai, inflasi
mencapai 330% pada tahun 1961-1966 dan pendapatan per kapita turun hinga
US$70.
Selanjutnya, posisi Soekarno digantikan oleh Jenderal Soeharto.
Pada awal pemerintahannya ada tiga langkah yang diprioritaskan, yaitu :
mengembalikan ekonomi pasar, membangun tatanan ekonomi baru dan
merangkul Barat. Pada periode pertamanya 1966-1973, stabilitas politik
dimutlakkan, modal asing diundang dan politik buruh ditekan. Periode
selanjutnya, 1973-1980 penerimaan negara dari minyak dan gas meningkat,
pembangunan infrastruktur berlangsung pesat, pertumbuhan ekonomi rata-
rata di atas 7%, manufaktur pun dipacu untuk substitusi impor, sekaligus
menampung tenaga kerja, politik beras dikedepankan dan hasilnya adalah
swasembada beras pada 1985-1987.
Namun, sejak 1982 harga minyak melemah, daya beli domestik
menyurut. Pemerintah meningkatkan ekspor melalui langkah-langkah
deregulasi usaha. Kontak dunia usaha nasional dengan korporasi
multinasional makin intensif. Memasuki tahun 1990-an, Indonesi mulai
digolongkan sebagai NICs, macan kecil bersama Malaysia dan Thailand.
Namun, pada tahun 1997 muncul krisis moneter yang mengakibatkan
Soeharto lengser pada Juni 1998 dengan meninggalkan utang negara sebesar
tujuh kali lipat dari posisi utang tahun 1980 yang menjadikan Indonesia
sebagai negara pengutang terbesar kelima di dunia.
Dekontstruksi-Rekonstruksi
Utang negara yang ditinggalkan oleh Soeharto menjadi beban bagi
B.J. Habibie, KH Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri yang
berkuasa pada 1998 hingga 2004. Mereka diberi mandat untuk melakukan
reformasi untuk tatanan ekonomi, melaksanakan agenda otonomi daerah,
demokratisasi juga liberalisasi. Namun, di sisi lain mereka diamanatkan oleh

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


30
IMF (Dana Moneter Internasional) untuk melakukan program rekapitulasi
bank yang berdampak pada membengkaknya beban utang swasta yang harus
ditanggung negara, privatisasi perbankan, kurs bebas, bank asing leluasa
beroperasi, membuka pintu investasi asing bagi perdagangan grosir dan
pembebasan tarif impor.
Jembatan emas kita sudah berusia 60 tahun, banyak catatan sejarah
ekonomi yang terlah tertoreh. Yang paling menonjol adalah betapa
gandrungnya setiap rezim penguasa kita memainkan dialektika politik:
dekonstruksi-rekonstruksi. Maka dari itu dibutuhkan kesinambungan untuk
menjaga dan mengamankan hasil-hasil pembangunan ekonomi dari zaman ke
zaman di tengah dinamika politik dan ekonomi yang ada. Untuk mencapai
kesimpungan perlu perencanaan jangka panjang dan sikap mikul duwur
mendem jero yang berarti rasa penghormatan dan penghargaan pada orang
tua atau pendahulu-pendahulu kita.

C. Manisnya Gula Menggoda Raja


Industri gula tanah air berkembang seiring dengan perjalanan
kolonialisme belanda di bumi nusantara. Bahkan pada tahun 1820 sampai
1890, industri gula di jawa mampu menguasai pasaran dunia, menggeser gula
bit produk Eropa. Pertumbuhan industri gula zaman Belanda didorong oleh
empat hal, yakni penggantian teknologi, restrukturisasi perusahaan gula
Belanda, penggantian varietas, dan pendirian lembaga riset. Hasilnya, pada
1930, Hindia Belanda adalah pengekspor gula terbesar kedua di dunia, setelah
Afrika Selatan.
Manisnya bisnis gula zaman Belanda sempat menggoda raja Jawa.
KGPAA Mangkunegoro IV mengoperasikan PG Tasikmadu. Dua pabrik gula
itu kini terletak di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Sayang pada 1998,
PG colomadu gulung tikar karena kekurangan pasokan tebu. PG tasikmadu
sekarang juga menghadapi persoalan semakin sempitnya lahan tebu. Untuk
memecahkan persoalan lahan, administrator PG Tasikmadu menjalin kerja
sama dengan petani tebu. Pabrik gula bertindak selaku pengolah tebu yang
ditanam petani. Gula yang dihasilkan dibagi dua : 56% untuk petani dan 44%
untuk pabrik.
Lewat cara seperti itu, PG Tasikmadu mendapat pasokan tebu dari
pelbagai daerah di luar kabupaten Karanganyar. Antara lain dari petani di
Grobogan, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri dan Boyolali. Sulitnya
mempertahankan industri pengolahan tebu juga dialami PG Djatiroto,
Lumajang, Jawa timur, yang berdiri sejak 1910. PG Djatiroto dapat bertahan
setelah melakukan perombakan total mesin produksinya pada 1978 dan 1989.
Namun memang banyak tebu yang digiling,tapi gula yang dihasilkan hanya
sedikit. Semakin sempitnya lahan, rendahnya rendemen, ditambah persoalan
teknologi pengolahan gula yang usang mengakibatkan sebagian besar pabrik

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


31
gula warisan Belanda gulung tikar. Pada tahun 1929, pabrik gula Belanda
mencapai 179 unit. Sekarang yang masih beroperasi tinggal 70 pabrik.

D. Tembakau Deli Sang Primadona


Di zaman colonial Belanda, tembakau Deli yang berada di kawasan
Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara merajai pasaran dunia. Pada
tahun 1863, pengusaha tembakau Belanda J.F Van Leuwen melakukan uji
coba penanaman tembakau di kawasan Tanjung Sepassal atas saran saudagar
Arab Said Abdullah bin Umar Bilsagih. Hasil uji coba itu membuktikan dari
tanah Deli itu tumbuh tembakau berkualitas tinggi. Kemudian Van Leuwen
menjual tembakau itu ke pasaran dunia dan dalam waktu singkat tembakau
Deli terkenal sebagai pembungkus cerutu terbaik sejagat. Perkebunan
tembakau Deli pun kian menjamur dan di tahun 1889 tercatat 170 perusahaan
perkebunan tembakau Belanda ada di Deli, luasnya mencapai 250.000 hektar.
Tembakau Deli menjadi primadona lelang tembakau sejagat di Bremen,
Jerman.
Masa keemasan tembakau Deli kian surut seiring kebijakan
pemerintah pada masa peralihan kedaulatan RI 1951 yang mengurangi
perusahaan perkebunan Belanda jadi 125.000 hektar dan sisanya
dikembalikan ke rakyat atau yang dikenal dengan tanah suguhan. Area
tembakau Deli saat itu berada di 4 kawasan penting yaitu Lubuk Pakam,
Medan, Binjai, dan Stabat. Akhir 1957, perkebunan tembakau milik Belanda
dinasionalisasi dan karena desakan rakyat, lahan tembakau Deli dikurangi
menjadi 59.000 hektar. Sejak saat itu, penggarapan lahan tembakau Deli
mengatasnamakan rakyat.
Kini perkebunan tembakau Deli yang digarap oleh PT Perkebunan
Nusantara II hanya 12.800 hektar. Berkurangnya lahan tembakau Deli
sebagian besar akibat ulah pemerintah pendudukan Jepang yang mengubah
lahan tembakau menjadi ladang tanaman pangan. Setelah merdeka,
perkebunan tembakau sempat terlantar dan kebijakan nasionalisasi Presiden
Soekarno memperparah kondisi tembakau Deli.
Kejayaan tembakau Deli kian pupus karena pemerintah Orde Baru
tidak mengembankan kembali komoditas unggulan itu dan justru
menghancurkan dan mempersempit lahan tembakau Deli. Akibatnya volume
produksi tembakau Deli merosot tajam. Pada bulan Juni 2005, PT Perkebunan
Nusantara II hanya mampu melelang 1.500 ton di Bremen padahal kebutuhan
dunia akan tembakau pembalut cerutu nomor satu itu sekitar 4.000 ton. Posisi
tembakau Deli di pasar Bremen pun tergeser oleh Brasil, Equador, Kamerun,
Kanada, dan Amerika Serikat. Kalau kondisi ini dibiarkan, tembakau Deli
pun akan lenyap di pasar global.

E. Angkutan Massal Para Saudagar

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


32
Stasiun Tanggung yang terletak di Desa Tanggung, Kabupaten
Grobogan adalah stasiun kereta api pertama di bumi nusantara. Stasiun ini
berdiri berbarengan dengan Stasiun Kemijen Semarang. Di jalur Tanggung-
Kemijen sepanjang 25km itu pula, kereta api pertama di negeri ini
dioperasikan untuk umum tahun 1867. Angkutan KA tersebut dikelola oleh
NV Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) swasta milik
Belanda. 4 tahun kemudian NISM meluncurkan KA jurusan Semarang-Solo
bersamaan dengan membuka jalur KA Semarang-Ambarawa dan kemudian
membuka jalur KA Semarang-Magelang-Yogyakarta. Hingga kini, Stasiun
Tanggung masih dilalui KA Jakarta-Surabaya yang melewati Semarang dan
Solo.
Selain NISM, ada Semarang Juwana Spoorweg Maatschappij di jalur
Semarang-Juwana-Pati dan juga Semarang Tjirebon Spoorweg Maatschappij
jurusan Semarang-Cirebon. Ketiga perusahaan itu memiliki stasiun sendiri di
Semarang yaitu Tawang, Poncol, dan Jumatan.
Tahun 1930an kereta api sebagai angkutan massal mencapai puncak
kejayaan dan menjadi pilihan utama saudagar dan ambtenaar. Bahkan
lokomotif tercepat di dunia era 1920an jenis C-28 dengan kecepatan
120km/jam diluncurkan di Jawa.
Namun pada zaman penjajahan Jepang, tentara Jepang memreteli rel
yang dibangun Belanda dan mengangkut lokomotif Belanda ke Burma
sehingga masa jaya perkeretaapian memudar. Panjang rel di Indonesia tahun
1935 mencapai 6.811 km berkurang sekitar 700km di tahun 1955. Kini,
panjang rel KA tinggal 4.030 km. Tahun 1939 terdapat 1.314 lokomotif dan
kini hanya tinggal 530.
Selain itu, di bidang armada dagang laut, tahun 1888 muncul
maskapai pelayaran besar Koninklijke Pakarvaart Maatschappij (KPM) yang
berhasil memonopoli angkatan laut perairan Nusantara. Pekembangan
angkatan laut juga memaksa pemerintah membangun pelabuhan baru yaitu
Tanjungpriok di Jakarta tahun 1893, menggantikan Sunda Kelapa. Di pantai
selatan Jawa dibangun Pelabuhan Cilacap sedangkan di Sumatera dibangun
Teluk Bayur di Padang dan Belawan di Medan. Namun, usaha pelayaran
itupun merosot pasca kemerdekaan karena KPM diambil alih oleh pemerintah
Indonesia lewat PP No 14 tahun 1960 yang kemudian digabungkan dengan
Pelni.

F. Bal Tiga Tinggal Kenangan


Sistem Tanam Paksa yang dijalankan Pemerintah kolonial Belanda,
Johannes van den Bosch, mewajibkan petani di Jawa menanam tanaman
komoditas ekspor. Mendirikan pabrik-pabrik gula di Jawa. Serta membuka
perkebunan kopi dan teh. Lahan sawah di Pulau Jawa digunakan untuk
penanaman tebu mencapai 41.000 bahu. Lahan produk pangan kian

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


33
berkurang, krisis pangan melanda pelbagai kawasan yang lahan pertaniannya
untuk menanam komoditas ekspor.
Akhirnya Belanda menghentikan Tanam Paksa dan menerapkan
sistem liberal pada 1870-1900. Modal swasta diberi peluang masuk ke Hindia
Belanda. Pembukaan perkebunan besar oleh swasta asing setelah Belanda
menerbitkan Undang-Undang Agraria 1870. Undang-undang ini melindungi
hak milik petani atas tanah mereka, ia memberikan kebebasan pengusaha
asing untuk menyewa tanah milik petani. Perusahaan swasta membuka
perkebunan baru di lahan yang belum dikuasai petani.
Pengusaha swasta Belanda melakukan investasi di bumi Nusantara.
Sebagian besar investor menggarap sektor pertanian dan perkebuna. Mereka
pendirikan pabrik gula di Jawa, serta membuka perkebunan teh, kopi, dan
tembakau.
Petani pedalaman dulu hanya melakukan barter atau tukar menukar
barang, kini telah mengenal jual-beli. Pengusaha perkebunan membayar sewa
tanah petani dengan uang. Petani bekerja mengolah tanah berkesempatan
bekerja di pabrik gula dan perkebunan Belanda dengan bayaran duit.
Perusahaan swasta Belanda mengalami pertumbuhan pesat.
Berkembang menjadi perusahaan multinasional. Muncul kelompok usaha The
Big Five. Internatio didirikan untuk menyelenggarakan perbankan komersial
di Hindia Belanda. Lindeteves merintis usaha sebagai importir mesin, geo
Wehry dan Borsumij di bidang perdagangan umum dan melebarkan sayap ke
bidang perkebunan, manufaktur, serta pertambangan.
Kehidupan rakyat pribumi tetap terpuruk miskin. Petani kehilangan
lahan, bekerja sebagai buruh di perusahaan perkebunan Belanda dengan upah
yang hanya cukup untuk makan. Sedangkan perusahaan swasta Belanda
mengalami pertumbuhan pesat.
Masuknya modal swasta Belanda dan meluasnya ekonomi uang
banyak dinikmati kapitalis Belanda. Petani Jawa tidak aktif memanfaatkan
peluang ekonomi terbuka untuk memperoleh keuntungan materi dan
meningkatkan taraf hidup.
Peluang ekonomi dicaplok orang Cina, yang bertindak selaku
pedagang perantara juga menjual barang kebutuhan petani. Cina berkembang
pesat di saentero tanah Jawa. Akhir abad ke-19 orang Cina mulai terjun ke
bisnis perkebunan tebu dan ekspor.
Oei Tiong Ham, mendirikan beberapa pabrik gula di Jawa, serta
membuka kantor perwakilan perdagangan di Singapura, Belanda, dan Inggris.
Tahun 1883 total kekayaan perusahaan dangan sebesar tiga juta gulden. Oei
Tiong Ham mendirikan Oei Tiong Ham Concern, yang dikelola dengan
manejemen modern serta menggaji tenaga ahli berkebangsaan Belanda.
Ia mengembangkan perdagangan candu yang memasuki pasar dunia.
Kemudian menekuni usaha perkapalan untuk memperkuat armada
dagangnya. Tapioka juga tidak lepas dari genggamannya. Oei Tiong Ham

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


34
menguasai bisnis dengan membuka perkebunan ubi kayu, untuk memasok
pabrik tapioka.
Sebelumnya ia sudah menerjuni bisnis real estate lewat unit usaha
khusus disebut Perusahaan Pertanahan dan Perkebunan. Oei Tiong Ham
paling berkibar di bisnis gula. Perusahaan Perseroan Pabrik Gula Oei Tiong
Ham yang berkembang dan berhasil mendirikan empat pabrik lainnya. Luas
perkebunan tebu mencapai lebih dari 7.000 hektare.
Keitka Oei Tiong Ham wafat, bisnis yang sudah menggurita harus
ambruk dalam sekejap setelah Indonesia merdeka. Akhir 1950-an dan awal
1960-an iklim politik Indonesia tidak mendukung keberadaan usaha ini.
Akhir dari masa kejaan konglomerasi Oei Tiong Ham “Raja Gula”
pada saat pengadilan ekonomi di Semarang menyita seluruh kekayaan Oei
Tiong Ham Concern tanggal 10 Juli 1961. Sisa usaha yang tampak masih saat
ini, industri farmasi Phapros dan PT Rajawali Nusantara Indonesia.
Dari kalangan pribumi muncul pengusaha besar rokok kretek
bernama Nitisemitro. Dia bisa membaca peluang bisnis di era kolonial. Ia
membangun pabrik rokok dengan merek dagang “Bal Tiga”. Pabrik tersebut
berkembang pesat sejak 1914 hingga Nitisemitro diberi julukan “Raja
Kretek”. Masa itu ia sudah mempraktekkan model pemasaran baru yang biasa
ditemukan sekarang. Ia juga menyelenggarakan penjualan berhadiah bagi
para pembeli rokok Bal Tiga.
Ketika usha ini berkembang pesat, muncul musibah pada akhir
Oktober 1918 pecah kerusuhan besar golongan pribumi dan warga Cina.
Dipicu persaingan usaha tidak sehat berdampak pada seluruh industri rokok
kretek. Banyak pabrik rokok dirusak dan dibakar. Banyak pula pengusaha
rokok yang gulung tikar.
Konflik internal dalam keluarga seputar ahli waris kerajaan bisnin
kretek. Ia dituduh mempraktekkan pembukan ganda dan menggelapkan pajak
sebesar 160.000 gulden. Tahun 1940-an perusahaan kian merosot. Setelah
pendirinya wafat anak cucuknya tidak lagi mampu membangkitkan kejayaan
Bal Tiga. Dan, nama Raja Kretek tinggal kenangan di tengah gempita bisnis
yang kini berkembang di tangan pengusaha etnis keturunan Cina.

G. Era Priyayi Tanpa Borjuasi


Paruh abad 19, Hindia Belanda ditandai dengan melemahnya peran
ekonomi kaum priyayi dan saudagar pribumi. Yang menonjol justru pedagang
Cina. Para saudagar Cina ini menjadi pengumpul, leveransir, agen barang
impor, dan penyedia kredit kecil bagi rakyat dan membangun industry
pengolahan produk pertanian rakyat. Mereka mendapat kemudahan akses
modal dan barang melebihi saudagar pribumi.
Sejak awal Belanda memang ingin berkuasa secara ekonomi dengan
sistem monopoli sejak abad 17. Saudagar bumiputra dan penguasa pribumi
terputus bisnisnya, namun pedagang Tionghoa mendapat kesempatan luas.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


35
Pada 1796 dari 8.535 desa di pantai utara yang dikuasai VOC, 1.143
diantaranya diserahkan kepada pedagang Cina sebagai pemungut pajak
pertanian. Memasuki pertengahan abad 19, borjuasi pribumi tetap mahal
meski ekonomi nasional menggebu. Pengusaha Cina semakin kuat,
sedangkan kelas menengah pribumi hanya bertumpu pada golongan penguasa
birokrat, mulai lurah, mantra, asisten wedana, ndoro wedono, hingga patih
dan kanjeng bupati. Di Jawa, di luar Vorstenlanden (daerah inti Kerajaan
Mataram) semua bupati dikontrol Belanda dan sebagian dari mereka sudah
digaji dan hanya sedikit memiliki lungguh atau tanah beserta petani yang
melayani majikan. Kebijakan Raffles yang memberi hadiah tanah pada
penguasa pribumi dipermak habis. Celakanya, penguasa pribumi tak pusing
dengan tanah lungguh, mereka lebih asyik dengan gaji, tip pajak, dan komisi
perdagangan hasil bumi. Bagi mereka, mengurus orang lebih luhur daripada
bisnis. Akibatnya tak banyak priyayi yang bisa mengakumulasikan modal
untuk memperbesar asetnya dan keturunannya enggan berdagang.
Yang terus gigih berniaga adalah saudagar pribumi muslim yang
mendirikan Sarekat Dagang Islam tahun 1912 dan membangun koperasi serta
memboikot produk Cina. Sarikat ini dimotori oleh H.Samanhudi, HOS
Tjokroaminoto dan sejumlah tokoh yang umumnya pengusaha tekstil dan
batik. Usaha mereka masih tergolong tradisional.
Tahun 1920an baru muncullah Nitisemito pengusaha pribumi
pertama yang berhasil membangun bisnis rokok kretek dengan mesin modern
yang memiliki buruh hampir 10.000 orang. Ia mempromosikan rokoknya
lewat banner yang ditarik pesawat terbang di Semarang kala itu.
Hingga Indonesia merdeka tahun 1945, Indonesia tak memiliki
borjuasi pribumi yang kuat. Eksperimen ekonomi oleh rezim politik berjalan
leluasa. Agenda ekonomi mudah berubah tanpa kontinuitas karena tak ada
kelas menengah pribumi yang menjadi penyeimbang. Saudagar Cina tak bisa
memainkan peran ini.

H. Dari Ladang Menjelma Tanah Uang


Nasib pabrik gula Kanigoro di Madiuntak jauh beda dengan pabrik
gula peninggalan Belanda lainnya. Industri gula Nusantara mencapai
kejayaan pada 1920-an. Di Jawa terdapat 178 pabrik gula. Total produksi gula
pertahun mencapai tiga juta ton. Kemakmuran Negeri Belanda mengapung di
lautan gula Jawa.
Pabrik gula di Jawa Timur memegang peran penting dalam produksi
gula nasional. Pada 1820-an Hindia Belanda membuka kesempatan kepada
para pemodal Eropa untuk berinvestasi di Industri gula.
Pabrik gula dengan komoditas pertanian yang berekembang adapun
tembakau dan kakao sebagai penopang kebutuhan hidup. Dibangun pula
pabrik yang menghasilkan peralatan berat. Industri rokok bermunculan serta

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


36
pelabuhan dengan jumlah kapal yang berlabuh. Perkembangan tak lepas dari
peran Bengawan Solo

7. Era Orde Lama

A. Cermin Kelam Program Tambal Sulam


Kebijakan ekonomi yang pada masa awal kemerdekaan tak pernah
berjalan dengan mulus, akibat adanya situasi dalam negeri yang penuh
dengan gejolak seperti masalah hiperinflasi karena beredarnya uang yang
tak terkendali. Akibat ekonomi yang lemah, pemerintah melarang
penggunaan uang Jepang tapi belum memiliki penggantinya. Maka,
pemerintah mengambil langkah dengan cara kompromi, menggunakan alat
pembayaran yang sah disepakati tiga macam, yaitu uang keluaran De
Javasche Bank, duit pendudukan Jepang, dan mata uang pemerintah Hindia
Belanda.
Keputusan itu, membuat para petani yang menyimpan uang banyak,
nilainya semakin tergerus karena Belanda melakukan blokade ekonomi,
tahun 1945. Pihak Belanda menduga bahwa Pemerintah RI terancam gulung
tikar karena kas negara kosong. Tapi, melalui Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP), Indonesia setuju untuk melakuka pinjaman kepada rakyatnya
sebesar Rp 1 milyar yang akan dikembalikan dalam jangka waktu 40 tahun.
Pada Juli 1946, seluruh rakyat Jawa dan Madura setuju untuk menyetorkan
uangnya ke Bank Tabungan Pos dan kantor gadai, terkumpul sebesar Rp
500 juta. Hal tersebut membuat dugaan dari Kolonial Belanda salah, RI
tidak bangkrut.
Saat kondisi ekonomi yang belum benar-benar stabil, dikeluarkan
uang baru oleh Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI atau Sekutu)
yaitu uang NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Di mana
serupiah (100sen) Jepang hanya dihargai 3sen uang NICA. Pemerintah RI
melarang rakyat menggunakan uang NICA, dan sebagai gantinya
pemerintah mengeluarkan uang kertas baru, Oeang Repoeblik Indonesia
(ORI). Yang mana serupiah ORI dihargai dengan 1.000 uang Jepang.
Pemerintah juga mendirikan Bank Negara Indonesia, 1 November 1947,
yang berfungsi menangani penukaran ORI dengan uang asing. Namun,
pengeluaran yang semakin banyak akibat perang dan hasil perkebunan dan
pertanian yang tidak dapat diekspor karena blokade ekonomi, pemerintah
berupaya menembus sekat itu dengan membantu India yang tengah
kelaparan dengan mengekspor 500.000 ton beras dan melakukan hubungan
dagang langsung dengan pihak asing.
Selain itu, menembus sekat juga dilakukan dengan upaya
membangun ketahanan ekonomi. Pada 6 Mei 1946, digelar konferensi
ekonomi kedua, Moh. Hatta menyarankan agar pabrik-pabrik gula
direhabilitasi, karena gula merupakan barang ekspor dan harus dikuasai

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


37
negara. Karena itu, keluar Peraturan Pemerintah No. 3/1946 tentang Badan
Penyelenggara Perusahaan Gula Negara. Perusahaan pelat merah yang
mengurusi gula dipimpin oleh Notosudirdjo. Untuk memperlancar produksi,
dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 4/1946 tentang Perusahaan
Perkebunan Negara (PPN) dengan tugas meneruskan pekerjaan kebun eks
Jepang, mengawasi kebun eks Belanda, dan mengawasi perkebunan lainnya.
A.K.Gani, Menteri Kemakmuran, membentuk Planning Board
(Badan Perancang Ekonomi), 19 Januari 1947. Tugasnya membuat rencana
pembangunan dua hingga tiga tahun. Setelah Badan Perancang bersidang,
Menteri Gani mengumumkan rencana pembangunan 10 tahun. Tapi,
rencana tersebut gagal akibat pertempuran lewat agresi militer Belanda.
Karena itu, dilakukan tindakan lebih realistis dan rasional. Rasionalisasi itu
mencakup penyempurnaan administrasi negara, angkatan perang, dan aparat
ekonomi. Kasimo, Menteri Urusan Bahan Makanan, menetapkan Rencana
Produksi Tiga Tahun, 1948 yang dikenal dengan Plan Kasimo. Ia
memerintahkan penanaman kembali lahan kosong di Sumatera Timur seluas
281.000 hektare. Badan Perancang Ekonomi diperluas menjadi Panitia
Pemikir Siasat Ekonomi, yang bertugas memberi masukan pada pemerintah
sebelum mengambil kebijakan dan menasihati pemerintah saat berunding
dengan Belanda. Rencana itu gagal dilaksanakan karena adanya
pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun, Jawa Timur,
September 1948.
Persatuan Tenaga Ekonomi di bawah pimpinan Basyaruddin
Rachman Motik menggiatkan kembali partisipasi pengusaha swasta.
Pemerintah juga membantu usaha-usaha PTE. PTE akhirnya hanya
berkonsentrasi dalam bidang perbankan. Setelah pengakuan kedaulatan, 27
Desember 1949, Indonesia dibebani utang akibat Konferensi Meja Bundar.
Maka, program yang direncanakan adalah mengurangi jumlah uang beredar
dan menekan kenaikan biaya hidup (inflasi). Pada 1951, pendapatan ekspor
turun, akibatnya program itu gagal karena kolusi. Akhirnya pemerintah
melakukan penghematan dengan menekan biaya ekspor, tapi tetap terjadi
defisit anggaran sebesar Rp 3 milyar pada 1952. Defisit itu ditutupi dengan
mencetak uang yang mengakibatkan inflasi yang melambung. Untuk
mengatasinya, Kabinet Ali Sastroamidjojo membentuk Biro Perancang
Negara yang bertugas merancang pembangunan jangka panjang.
Mei 1956, biro yang dipimpin Djuanda menghasilkan Rencana
Pembangunan Lima Tahun (RPLT) 1956-1961 yang disahkan DPR pada 11
November 1958. Tetapi, rencana ini gagal karena situasi keamanan yang
terganggu akibat pemberontakan PRRI/Premesta yang membutuhkan biaya
yang besar untuk menumpaskannya. Dalam rangka pembebasan Irian Barat,
pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 86/1958 tentang
Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda di Indonesia. Tujuannya member
manfaat pada masyarakat Indonesia serta memperkokoh keamanan dan

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


38
perdamaian negara. Nasionalisasi juga merambah perusahaan listrik dan
gas, penerbangan, perkebunan, dan minyak Belanda. Namun, nasionalisasi
justru memukul pasar modal Indonesia yang dirintis sejak 1950.

B. Dihadang Spekulasi Ali Baba


Saat harga minyak dunia melonak hingga US$ 60 per barel, seperti
bulan lalu, indonesia sebagai penghasil minyak takikut menikmati kenaikan
itu. Cerita ini berbeda dengan yang teradi pada 1950, etika harga minyak
dan karet melonjak akibat Perang Korea.
Pendapatan indonesia dari ekspor karet dan minyak, ketika itu,
sontak terdongkrak dan membuat anggaran belanja pemerintah 1951
surplus. Sayang , tambahan penghasilan itu tak lama. Gara-gara kaya
mendadak, nafsu mengimpor barang ang menguras devisa uga ikut tumbuh.
Meningkatnya impor kemudian diikuti meningkatnya upah dan harga yang
melecut inflasi.
Kondisi ini menyulitkan indonesia, apalagi keputusan ekonomi
KMB, 27 Desember 1949 membebani RI denganutang pada Belanda
sebagai bekas penjajah. Meskipun baru lahir, namun utang luar negeri Rp
1,5 milyar dan dalam negeri Rp 2,8 milyar.
Meski termehek-mehek, pemerinta tetap berusaha membayar utang.
Utang pada bekas penjajah membuat pemerintah RI terkilir
nasionalismenya. Pemerintah jengkel karena tidak bisa segera membangu
negara seperti negara negara merdeka lainnya. Negara negara tersebut tidak
dibebani utang pada bekas penjaahnya. Maka dicanangkannya Program
Benteng yang digagas oleh Sumitro Dijihadikusumo, Menteri Perdagangan
dan PerindustrianKabinet atsir. Program ini bertujuanuntuk menciptakan
industri impor milik pribumi, memberikan bantuan modal, dan melindungi
kepentingan pribumi.
Dalam rangka pembebasan irian barat, pemerintah mengeluarkan
UU No.86/1958 tentang asionalisasi Perusahaan Milik Belanda di
Indonesia. Nasionalisasi ini bertujuan untuk memberi manfaat pada
masyarakat Indonesia serta memperkokoh keamanan dan pertahanan negara.
Nasionalisasi terjadi pada perusahaan listrik dan gas, yang menjadikan PLN
dan Perusahaan Gas Negara, perusahaan penerbangan juga menjadi milik
indonesia, yaitu Garuda Indonesia Airlines.
Namun nasionalisasi malah memukul pasar modal indonesia yang
dirintis sejak 1950. Aktifitas bursa yang berkembang sejak Bank Industri
Negara mengeluarkan obligasi jadi hancur. Sebab pembeli obligasi yang
kebanyakan warga negara belanda, perorangan, dan badan hukum angkat
kaki. Akibatnya nasionalisasi yang diniatkan memberi manfaat kepada
masyarakat indonesia ustru membuat perekonomian indonesia makin
terpuruk. Pemerintah RI kesulitan mengendalikan perekonomian. Duit yang
beredar kian membengkak. Untuk membendungnya, pemerintah

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


39
menerbitkan Perpu No. 2/1959 yang menyunati nilai mata uang. Pecaan Rp
500 dan Rp 1000 digunting menjadi Rp 50 dan Rp 100. Simpanan di bank
juga dibekukan lewat Perpu No. 3/1959, untuk mengurangi peredaran uang
di Indonesia
Upaya tersebut berhasil mengurangi peredaran uang dari Rp 34
milyar menjadi Rp 13 milar. Tapi Cuma sementara, empat bulan kemudian
uang kembali banjir bahkan sampai Rp 34 milyar, pada akhir 1966
mencapai 22 trilyun.
Ekonomi indonesia pada awal kemerdekaan hingga 20 tahun
kemudian memang sepenggal sejarah kelam. Kebijakan yang carut marut
dan tambal sulam menenggelamkan kehidupan rakyat.mengutamakan gelora
politik, dengan mengabaikan pembangunan ekonomi, membuat negara
makin terpuruk. Sebuah pelajaran berharga bagi bangsa indonesia untuk
masa sekarang dan masa yang akan datang.

C. Jalan Pintas Masuk Peti Es


Bung Hatta, pada 23 Februari 1946, ia berpidato tentang “Ekonomi
Indonesia di Masa Depan”. Bagi Hatta, karena Indonesia negara agraris,
fondasinya harus dimulai dari pembangunan pertanian. Negara Indonesia
secara politik sudah merdeka, tapi secara ekonomi masih terjajah.
Undang-Undang No. 13/1946, pemerintah menghapus hak-hak
istimewa para elite desa di desa-desa perdikan di Banyumas. Langkah
redistribusi tanah berlanjut dengan diumumkannya Undang-Undang Darurat
No. 13/1948 untuk menetapkan semua tanah yang dikuasai oleh 40
perusahaan gula Belanda di Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta
didistribusikan ke petani tuna kisma.
Untuk Undang-Undang No.5/1969 tentang Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria oleh DPR-GR yang dipimpin oleh Zainul Arifin yang dikenal
dengan UUPA. Missal Undang-Undang No.56/1960 tentang Penetapan
Batas Luas Tanan Pertanian (Undang-Undang Landreform).
Sepanjang Orde Baru, UUPA masuk dalam Peti es begitu Soeharto
dan Orde Barunya berkuasa. Kebijakan mulai berbalik arah dari “berdaulat
dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam
kebudayaan”. Begitu UUPA dikeluarkan dari Peti Es pada 1978, pemerintah
Orde Baru merasa tidak perlu me-Landreform, sebab lewat Revolusi Hijau
produksi pangan bisa ditingkatkan. Namun, swasembada beras hanya
berjalan selama empat hingga lima tahun. Setelah itu, Indonesia jatuh jadi
importer beras. Sehingga, konflik Agraria rakyat melawan negara dan
pemuda melonjak akibat ketimpangan pangan kepemilikan dan penguasaan
tanah. Sejak tahun 2003 Badan Petanahan Nasional (BPN) diberikan mandat
untuk memperbaharui UUPA.

D. Cukongisme Itu Biasa

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


40
Pada 13 Mei 1998, Pasar Malaberg dibakar, Yulie adalah salah satu
yang selamat saat Jakarta dibalut kerusuhan masal berbau rasial. Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat korban tewas sebagian besar dari
keturunan Tionghoa. Pada 1740, ada peristiwa pembantaian di Batavia oleh
VOC karna sentimen rasial. Belanda juga membuat ghetto untuk
mengontrol dan mencegah orang Tionghoa melakukan kontak dengan
pribumi. Sentimen anti-China juga merasuki kaum pribumi. Akhirnya
terjadilah kerusuhan anti-China oleh pribumi di Solo (1912) dan Kudus
(1916).
Setelah Indonesia merdeka ada kebijakan rasial yaitu adanya
Program Benteng pada 1950 untuk memperkuat pengusaha pribumi agar
bisa bersaing dengan pengusaha Belanda dan keturunan Tionghoa.
Kegagalan kudeta oleh G30S membuat etnis Tionghoa terpojok. Lewat
Undang-undang No.6/1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri.
Mereka mendapatkan insentif Pemerintah. Upaya pemerintah mengndorong
pengusaha lemah tak berhasil akibatnya konsolidasi dan penguasaan
financial semakin memupuk sentiment anti China, hingga memuncak dan
meledak pada kerusuhan Mei 1998.

E. Ekonomi Bikin Saya Pusing


Awalnya hubungan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Mohammad Hatta ibarat pedang tajam bermata dua. Yang satu terfokus
pada politik dan yang satunya terfokus dibidang ekonomi. Namun, pasangan
tersebut harus terpecah karna Bung Karno sangat terobsesi dengan
Sosialisme ala Indonesia. Yang dia pikirkan adalah Revolusi Nasional,
ambisinya yang membuat pecah “Dwitunggal” itu.
Setelah Soekarna mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup,
Bung Hatta mengundurkan diri pada Desember 1956. Dampaknya tak ada
lagi sosok yang mampu member sumbangan pemikiran pembangunan sektor
ekonomi di Tanah Air. Setelah lepas dari penjajahan Jepang, Hatta adalah
aktor intelektual di balik perbaikan perekonomian. Bung Karno membangun
simbol-simbol nasionalisme, seperti Monumen Nasional (Monas) dan
Patung Dirgantara.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kekusaan politik Soekarno makin besar.
Ia meluncurkan kebijakan yang kian radikal: anti-imperialisme, anti-
kapitalis, dan anti-Barat yang diterjemahkan ke dalam slogan “penyelesaian
revolusi nasional”, “membangun ekonomi sosialis ala Indonesia”, dan
“berdiri di atas kaki sendiri (berdikari)”.
Indonesia juga ikut memprakasai Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
Asia Afrika pada 20-24 April 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. Bung
Karno juga mengikuti KTT Non-Blok, yang digelar pada 3-6 September
1961 di Beograd, Yugoslavia. Selama periode 1950-1965, negara ini harus
menghadapi kenyataan yang semakin memburuk di sektor ekonomi. Karena

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


41
tak punya basis pendapatan yang kuat, sehingga satu-satunya jalan keluar
dengan mencetak uang. Dampaknya berimbas pada inflasi yang bahkan
sampai pada taraf hiperinflasi yang mencapai tiga digit.

8. Era Orde Baru Awal


A. Kembali ke Pasar, Kembali ke Barat
Era Orde Baru awal dilakukan untuk menggeser dominasi pemerintah
pusat ke mekanisme pasar. Saat Soeharto menjadi presiden, beliau
memberikan tiga kebijakan yang berbeda 180° dengan Soekarno, yakni
“Mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan
merangkul Barat”. Karena pada masa Soekarno, Indonesia lebih suka
berhubungan dengan Timur. Sehingga, Soeharto mulai menarik negara-
negara Barat terutama lembaga donor seperti Bank Dunia dan Dana
Moneter Internasional (IMF) dengan tujuan dapat menarik modal mereka.
Meskipun, pada awal pemerintahan Soeharto dikatakan belum
melakukan pembangunan karena saat itu adalah masa rehabilitasi dan
stabilisasi ekonomi. Masa itu juga ditandai dengan kewajiban membayar
utang sekitar US$ 530 juta. Sedangkan, pendapatan negara dari ekspor
migas dan nonmigas hanya US$ 430 juta. Kemudian, Soeharto mengambil
kebijakan dengan membuat program “Pembangunan Lima Tahun (Pelita)”.
Langkah yang dilakukan yaitu menurunkan defisit anggaran dengan cara
menurunkan pengeluaran pemerintah. Soeharto juga menjalin kembali
hubungan dengan lembaga donor internasional, antara lain IMF dan Bank
Dunia, yang terputus pada zaman Soekarno.
IMF dan Bank Dunia memberikan pinjaman untuk membiayai defisit,
yang berasal dari pinjaman bilateral, antara lain Amerika Serikat. Itulah
kebijakan pertama kali dalam sejarah Indonesia. Pinjaman IMF dan Bank
Dunia baru terjadi pada Pelita II. Selain kebijakan tersebut, Soeharto juga
menerapkan kebijakan uang ketat untuk menurunkan inflasi. Hal ini
bertolak belakang dengan tindakan Soekarno yang justru mencetak uang
banyak untuk mengurangi defisit. Langkah tersebut menyebabkan inflasi
sangat tinggi.
Di sektor rill, liberalisasi perdagangan dan investasi dilakukan. Hal itu
ditandai dengan munculnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada
1967. Perusahaan yang dinasionalisasi pada masa Orde Lama dikembalikan
ke pemilikannya. Biarpun Indonesia berbalik ke negera-negara Barat,
Soeharto tetap menggandeng Timur seperti Uni Soviet. Namun, Uni Soviet
harus mau menerima syarat-syarat bantuan luar negeri yang sudah diperoleh
Indonesia dari Barat, agar masa pembayaran utang dapat dijadwal kembali
dan pembayarannya selunak utang yang diberikan oleh negara.

B. Pelita Mafia Berkeley

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


42
Kolonel Suwarto merupakan pimpinan Sekolah Komando Angkatan
Darat (Seskoad) pada 1957-1966, ia menjalin kerja sama dengan Universitas
Indonesia. Dari sinilah dimulai adanya kerja sama sipil-militer di bidang
ekonomi. Satu di antara pewira tentara yang aktif mengikuti kuliah ketika
itu adalah Soeharto. Kiprah Soeharto sebagai pemimpin nomor satu dimulai
ketika ia menjadi presidium setelah Soekarno lengser pada 1966. Soeharto
dibantu Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Utama, dan Adam
Malik bertanggung jawab untuk urusan luar negeri. Sultan berperan sebagai
figur transisi dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada kabinet 1966, Soeharto dibantu para menteri dan presidium juga
dibantu oleh tim penasihat ekonomi grup pertama yang berasal dari kelima
profesor. Selanjutnya, beberapa ahli ekonomi lain tergabung dalam tim
penasihat informal presiden. Presidium hanya bertahan hingga Maret 1967.
Pada saat itu, MPRS mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden. Di luar
tim penasihat ekonomi, Soeharto juga membentuk tim penasihat politik
yang diketuai Profesor Sarbini. Tim politik tak berumur panjang, akhirnya
tim Sarbini dibubarkan pada 1968.
Pada Juni 1968, ketika Soeharto diangkat sebagai presiden, ia
menempatkan anggota tim ekonominya sebagai menteri atau kepala
lembaga pemerintahan. Mereka tergabung dalam Kabinet Pembangunan I.
Masukan tim ekonomi dijadikan sebagai dasar kebijakan pembangunan
Indonesia. Program pembangunan itu dinamai Pembangunan Lima Tahun
(Pelita). Namun, M. Sadli tak sependapat kalau konsep Pelita itu
sepenuhnya dari tim ekonomi karena ada IMF di dalamnya. Dana Moneter
Internasional adalah lembaga donor yang beranggotakan negara-negara
Barat. Kiprah tim ekonomi mulai memudar pada akhir Pelita IV sampai
akhir 1988. Tetapi, mulai pada Pelita V, Soeharto kembali melirik para
ekonom muda yang berasal dari lulusan Berkeley.

C. Antiklimaks Setelah Melompat


Presiden Soeharto memutar haluan dengan mengorientasikan ekonomi
pada pembangunan industri. Tetapi, karena kekurangan modal, yang
dilakukan Soeharto bukan konsep industrialisasinya, melainkan konsep
akomodasi terhadap modal asing. Wujudnya Undang-Undang No. 1/1967
tentang Penanaman Modal Asing.
Orde Baru adalah rezim otoriter yang tidak disiplin. Implikasi
politiknya adalah lahirnya rezim otoriter. Ini bukan monopoli Indonesia,
melainkan terjadi di negara lain seperti Italia dan Jepang. Masalahnya, peran
pemerintah di era Soeharto tanpa dibarengi dengan konsep. Sebenernya
konsep itu ada bernama Repelita, tapi isinya amat normatif. Dan, sepanjang

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


43
Orde Baru industrialisasi selalu diwarnai dengan tarik-menarik kelompok
nasionalis versus kelompok teknokrat.
Pada 1982, terdapat 212 perusahaan pemerintah di bidang industri dan
pertanian, tapi nilai tambahnya kecil. Adanya tujuan mengurangi barang
impor tidak terwujud, Indonesia justru mengalami permintaan yang tinggi
akan barang tersebut. Sembari mengonsolidasi rezim politiknya, lewat
program New Economic Policy, Perdana Menteri Tun Abdul Razak
memprioritaskan etnis Melayu. Sistem pasar bebas diganti, industrialisasi
diubah dari industri substitusi impor ke industri orientasi ekspor (IOE).
Modal asing tidak dibiarkan bergerak secara bebas, tapi dimanfaatkan
sebagai alternatif pengganti modal etnis Tionghoa. Pemerintah juga
memaksa perusahaan asing untuk melakukan joint venture dengan
pengusaha etnis Melayu atau negara dengan Industrial Coordination Act
1975.

D. Konglomerasi Basa-basi
Era 1970-an menjadi lahan subur pembibitan kaum konglomerat.
Pemerintah melonggarkan berbagai aturan yang mendukung usaha swasta
dan mengobral modal dengan bunga yang murah. Kemudian, tahun 1980-
an, bayi konglomerat sudah merajalela. Berbagai kelompok usaha super
besar bermunculan. Produksi beraneka barang dan jenis, distribusi
produknya bahkan sampai ke mancanegara.
Om Liem adalah salah satu contoh yang memiliki perusahaan di
bidang dagang. Pak Harto lalu meminta pada Om Liem untuk tidak hanya
berdagang, melainkan juga membangun industri. Industri yang dibutuhkan
rakyat saat ini adalah pangan. Inilah yang disorot sebagai monopoli dan
bukan kolusi antara Pak Harto dan Om Liem, melainkan untuk kepentingan
bangsa dan negara. Kerajaan bisnis Liem berkembang pesat dan bergerak di
berbagai bidang. Mulai Perbankan (BCA), industri pangan (Indomie,
Bogasari, Chiki), properti, kimia, semen (Indocement), agrobisnis, hingga
otomotif (Indomobil).
Tahun 1986, pabrik Indocement hampir bangkrut. Tiga tahun
kemudian, ketika akan go public, Indocement belum memenuhi syarat
karena masih rugi. Syaratnya harus mendapat laba selama dua tahun
berturut-turut. Tahun 1989, BCA ingin menggunakan satelit untuk
komunikasi online dengan cabang-cabangnya di seluruh Indonesia. Menteri
Parpostel, Soesilo Soedarman, member izin kepada Liem memakai salah
satu saluran satelit Palapa. Izin tersebut tidak diberikan kepada konglomerat
lain. Di bisnis telekomunikasi, Liem juga mendapat hak penyiaran stasiun
televisi swasta yaitu Indosiar.

E. Macan di Atas Kertas

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


44
Macan Asia itu bernama Indonesia. Di era Orde Baru, pembangunan
negara ini terlihat memikat. Pertumbuhan ekonomi setiap tahun rata-rata
mencapai 7%. Pertumbuhan industri juga meyakinkan, rata-rata 14% setiap
tahun. Sumbangan sektor ini terhadap produksi negara (PDB) mencapai
31% pada 1991, hampir dua kali lipat dibandingkan dengan 1970. Catatan
ini melengkapi keberhasilan rezim Orde Baru menekan jumlah penduduk
miskin.
Pada 1976 terdapat 54,2 juta (40,08%) penduduk miskin, berkat
pembangunan jumlah itu dapat ditekan menjadi 27,2 juta jiwa (15,08%)
pada 1990. Begitu luasnya penguasaan ekonomi, membuat sekitar 58% PDB
dikuasai 200 konglomerat beras, akibatnya penyaluran kredit lebih banyak
mengacu ke perusahaan grup kroni penguasa dan kerugian negara juga
terjadi dari kredit perbankan yang macet. Hal tersebut menyebabkan
ekonomi Indonesia mudah lumpuh saat diterjadi krisis 1997.
Kebijakan ekonomi Orde Baru telah menciptakan banyak
kesenjangan, baik dari sektor industri dan pertanian, daerah pedesaan dan
perkantoran, serta antargolongan pendapatan. Pada awalnya, Orde Baru
mencoba meningkatkan pendapatan dari sektor pertanian. Pengembangan
pertanian, dilakukan dengan membuka lahan-lahan pertanian. Namun, dunia
industri lebih maju dibandingkan dengan pertanian.
Hampir selama 30 tahun masa Orde Baru, industri berkembang di
wilayah perkotaan. Pada 1969-1976, pengeluaran rill per kapita di perkotaan
tumbuh rata-rata 3,8%, sedangkan di pedesaan menurun minus 0,4%.
Perbedaan ini menunjukkan pembangunan industri ternyata telah
menelantarkan pertanian, yang menyebabkan adanya kesenjangan kota dan
desa, serta memperlebar jurang antara golongan kaya dan miskin.
Pemerintahan Orde Baru bukanya tutup mata terhadap kemiskinan
yang semakin parah. Berbagai cara dilakukan untuk menekan kemiskinan,
terutama di pedesaan. Misalnya dengan menggerakan Koperasi Unit Desa
(KUD). Namun, lembaga ini banyak terjadi praktek korupsi, yang
menyebabkan pemerintah gagal dalam menjalankan tugasnya. Pada 25
Agustus 1995, lahirlah “Deklarasi Jimbaran” yang berisi penggalangan dana
bagi keluarga miskin. Kemudian, dibentuklah Yayasan Dana Sejahtera
Mandiri atau Damandiri, untuk mengelola sumbangan tersebut. Melalui
yayasan, dana disalurkan dalam bentuk kredit kepada usaha kecil. Lagi-lagi,
cara yang dilakukan pemerintah tak membuahkan hasil, karena bisnis
konglomerat yang semakin meluas, sehingga tidak ada lagi ruang bagi
pengembangan ekonomi rakyat.

9. Era Orde Baru Akhir

A. Bisnis Tak Kenal Pesimis

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


45
Menteri Keuangan sebagai pemegang saham Taspen, tidak
memperkanankan BUMN penghimpun dana pensiunan pegawai negeri ikut
dalam proyek tol. Bisnis tol dianggap berisiko tinggi. Tutut, menguhubungi
bankir untuk bergabung mendanai pembangunan proyek idamannya.
Bankir-bankir BUMN itu tak ada satu pun yang menolak ajakannya. Semua
mendukung dan bersedia mendanai proyek jalan tol sepanjang 15,6
kilometer.
Untuk mengelola ruas tol Tanjungpriok-Cawang, konsorsium
kemudian membentuk perusahaan bernama PT Citra Marga Nusaphala
Persada (CMNP). Berkat dukungan banyak pihak, CMNP memenangkan
tender dengan menyingkirkan perusahaan pesaing seperti Jerman, Jepang,
Korea Selatan, dan Taiwan. Penempatan batu pertama pembangunan
dilaksanakan pada 30 Juni 1987. Untuk memperlancar peran CMNP,
Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 25 Tahun 1987,
yang mengatur tentang keterlibatan swasta secara aktif di bisnis jalan tol,
yang sebelumnya dikuasai PT Jasa Marga. CMNP dimungkinkan menjadi
pengelola jalan dengan sistem build, operate, and transfer selama 30 tahun.
Menteri Keuangan dan Perhubungan menerbitkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) No. 524/KPS/1989 dan No. 1216/KMK 013/1989. SKB di
era reformasi direvisi kembali lantaran dianggap tidak adil bagi Jasa Marga.
Sebab SKB mengatur pola bagi hasil dengan porsi 75% untuk CMNP,
sisanya untuk Jasa Marga. Dengan alasan agar investasi jalan tol menarik
bagi swasta, pada tahun 1990 Soeharto mengerluarkan Keppres No. 8
tentang Tarif Jalan Tol, yang menyatakan bahwa tarif tol ditentukan oleh
pemerintah. Jalan tol akhirnya menjadi lahan rezeki yang subur bagi Tutut.
Selain bisnis pembangunan jalan tol, PT PLN yang sebelumnya
memonopoli bisnis listrik, didorong untuk berbagi rezeki. Dengan alasan
untuk mengantisipasi konsumsi yang meningkat, Presiden Soeharto kala itu
menerbitkan Keppres No. 37/1992. Lewat keputusannya, swasta diajak
untuk berpartisipasi dalam pembangunan-pembangunan listrik.
Menjelang akhir Orde Baru, hampir di semua sektor usaha di bumi,
air, udara, dan kekayaan alam lainnya, nama putra-putri Soeharto naik ke
permukaan. Yang paling heboh adalah proyek mobil nasional milik Tommy
Soeharto. Keppres 42 Tahun 1996 menyatakan, PT Timur Putra Nasional,
milik Tommy, boleh mengimpor mobil utuh dari Korea Selatan tanpa bea
masuk. Tetapi, masa jaya tersebut tentu ada akhirnya. Ketika krisis moneter
terjadi, kekuasaan Soeharto mulai tumbang. Kontrak ekspor-impor miyak,
pembelian katalis, dan pengangkutan LNG di Pertamina juga dilepas dari
anak-anak Soeharto.

B. Yayasan Untuk Siapa


Soeharto memimpin sendiri setidaknya 12 yayasan. Antara lain
Supersemar, Dharma Bhakti Sosial, Dana Abadi Karya Bhakti, dan Amal

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


46
Bhakti Muslim Pancasila. Yayasan itu mengumpulkan dana dari berbagai
sumber. Kalau dilihat tujuannya, pendirian yayasan-yayasan itu terkesan
mulia. Yakni untuk mengelola dan mendanai kegiatan-kegiatan sosial yang
tidak dapat didanani oleh negara. Supersemar memberi banyak bantuan buat
pelajar dan mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan. Namun, bagi
pengkritiknya, yayasan itu menjadi sumber pendanaan bisnis Soeharto.
Yayasan juga bisa dipakai untuk menghindari pajak, Dengan alasan serupa,
anak-anak Soeharto mendirikan yayasan. Tapi, menurut Aditjondro,
yayasan tersebut tidak melulu untuk tujuan sosial. Yayasan Bhakti Putra
Bangsa dan Yayasan Ikatan Motor Indonesia, misalnya, lebih berhubungan
dengan hobi Tommy, seperti golf dan balap mobil.
Yayasan Tiara pun, misalnya, digunakan oleh Tutut untuk
menggembosi gerakan perlawanan siswa-siswa Timor Timur (kini Timor
Leste). Mereka direkrut menjadi buruh di pabrik-pabrik yang dimiliki
keluarga Soeharto. Aditjondro menuding, pola serupa diterapkan di pabrik
semen Indocement di Cibinong dan pabrik tekstil Kanindotex di Bawen
yang telah diambil alih Bambang Trihatmodjo. Demikian juga pabrik tekstil
Sritex di Sukoharjo dan pengolahan kayu Barito Pacific di Kalimantan.

C. Lengser Setalah Tak Berdaya


Kamis, pada 21 Mei 1998, usai Haji Muhammad Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI. Pada hari itu
juga, terjadi klimaks aksi unjuk rasa mahasiswa yang menuntut adanya
reformasi di negeri yang sudah dipimpin oleh Soeharto selama 32 tahun.
Setelah mengumumkan pengunduran dirinya, Soeharto digantikan oleh
Wakil Presiden B.J. Habibie, yang pada hari itu juga diambil sumpahnya di
Istana Merdeka, Jakarta.
Mundurnya Pak Harto tak bisa lepas dari adanya aliansi antara sivitas
akademika, kelas menengah, kaum intelektual, dan kalangan pengusaha.
Pak Harto mengakhiri jabatan sebagai presiden di usiannya yang menjelang
77 tahun. Di awal Orde Baru, Pak Harto berusaha keras memperbaiki
ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Tapi,
karena ekonomi pula, ia mengalami krisis politik yang mengantarkannya
mundur sebagai orang nomor satu di republik ini. Selain itu, di awal
kepemimpinannya pada 1966, ia dengan fasih menjelaskan tentang inflasi
yang mencapai 500% dan harga beras naik menjadi 900%. Defisit anggaran
belanja pun mencapai 300% dari pemasukan negara.
Dalam rangka mengatasi itu semua dan untuk membayar utang, Pak
Harto melobi negara-negara Barat dan blok Timur yang memberi pinjaman
pada pemerintahan sebelumnya, agar menangguhkan pembayaran kembali
utang Indonesia. Hasil dari lobi ke Barat melahirkan IGGI, yaitu kumpulan
negara donor untuk Indonesia.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


47
Dengan diuntungkannya “boom minyak” pendapatan per kapita naik
dari US$ 260 tahun 1970 menjadi lebih dari US$ 500 pada 1980.
Keberhasilannya memimpin Indonesia hingga mampu berswasembada
pangan pada 1980-an. Bahkan Indonesia dijadikan model pembangunan
untuk dunia ketiga. Keberhasilan tersebut telah mengantarkan Pak Harto
memperoleh penghargaan dari badan pengamat PBB, FAO, pada 1986.
Pembenahan di bidang ekonomi juga di ikuti dengan pembenahan
organisasi politik. Pak Harto melakukan penyederhanaan partai, yaitu cukup
dua partai politik dan satu Golongan Karya. Asas yang digunakan juga
harus seragam dengan Pancasila. Meski partai politik dikontrol ketat dan
ormas-ormas diawasi, Pak Harto tetap memperhatikan sektor ekonomi.
Hasilnya, selama 30 tahun, pertumbuhan ekonomi yang 6%-7% per tahun
dapat dipertahankan dan didistribusikan kepada masyarakat.
Tapi, ketika terjadi krisis moneter sejak Juli 1997, keadaan
pembangunan ekonomi yang hanya mengejar laju pertumbuhan tak mampu
menopang fondasi perekonomian Indonesia. Faktor ekonomi yang
diandalkannya selama 30 tahun untuk meraih dukungan masyarakat tak lagi
didapat. Robohnya perekonomian Indonesia, ditambah dengan penyakit
kronis korupsi, kolusi, dan nepotisme, membuat pemerintahan Pak Harto tak
lagi berdaya.
Pada 12 Mei 1998, terjadi penembakan gelap yang menewaskan
empat mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta. Gelombang demonstrasi
mulai menuju Gedung MPR/DPR-RI di Senayan. Kamis dini hari 14 Mei
1998, gelombang massa dari berbagai penjuru menyerbu Jakarta. Kondisi
itulah yang membuat dukungan politik atas dari Pak Harto memudar.
Pada 18 Mei 1998, tampaknya Pak Harto belum juga mundur dari
jabatannya. Ia berkehendak membuat Kabinet Reformasi untuk
menggantikan kabinet yang akan di-reshuffle. Ternyata, gagasan Kabinet
Reformasi tak disetujui. Menyadari tak lagi mendapatkan dukungan,
akhirnya Pak Harto mundur di hadapan Mahkamah Agung. Sebagai
penggantinya, sesaat kemudian Mahkamah Agung mengambil sumpah B.J.
Habibie sebagai presiden ketiga RI

D. Pasang Surut Politik Pangan


Konsep swasembada pangan di era Orde Baru dimulai dari upaya
pemerintah mengatasi krisis rawan pangan pada 1973 hingga 1974. Catatan
Walter P. Falcon menunjukkan, sejak awal 1960-an, Bulog menjadi bagian
tak terpisahkan dari proses kebijakan ekonomi Indonesia. Sebagai pelaksana
utama kebijakan pangan, Bulog menerapkan politik beras untuk menjaga
stabilisasi makroekonomi. Caranya dengan mengendalikan harga lewat
penyeimbangan pasokan dan permintaan. Dengan begitu, petani dapat
mengambil keputusan dalam investasi jangka panjang. Di sisi lain,

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


48
pemerintah menata basis bagi infrastruktur pedesaan yang bermanfaat untuk
masyarakat.
Namun, kata Falcon, titik berat sesungguhnya dalam menjalankan
kebijakan ekonomi tidak berdasarkan pada kebijakan pertanian, melainkan
pada kebijakan pangan. Ada perbedaan penting dari kedua kebijakan
tersebut, yaitu kebijakan pertanian difokuskan pada kesejahteraan para
petani, maka kebijakan pangan dititikberatkan pada konsumen dan
produsen. Faktor penyeimbang pada proses ini adalah harga pangan.
Dengan demikian, Bulog tidak hanyan menjaga harga komoditas beras,
melainkan juga komoditas pangan lainnya, seperti jagung dan gula.
Pada 1966-1967 diwujudkan dalam bentuk pancausaha tani untuk
menyebarkan beras padi IR-5 dan IR-6, mengantarkan Indonesia menjadi
para pengekspor beras. Tetapi, program swasembada pangan kemudian
memudar saat Soeharto lengser dari kursi kekuasaannya. Lalu, mekanisme
harga bahan dipatok kembali oleh pasar. Bulog berubah wujud menjadi
perusahaan umum pada 10 Mei 2003. Kalaupun masih ada, hanya bertugas
menjaga stabilitas harga, yang dibatasi pada komoditas beras.
Desakan untuk menghilangkan peran Bulog dilakukan oleh IMF, salah
satu alasannya karena monopoli Bulog. Praktek korupsi, kolusi, dan
nepotisme kerap mendampingi tugas-tugasnya dalam menyerang harga dan
stok pangan. Tapi, di sisi lain, liberalisme pasar komoditas pangan dituding
sebagai penyebab kekacauan dalam distribusi yang mengancam program
ketahanan pangan di Indonesia. Adanya politik perdagangan bebas yang
dipaksakan negara-negara maju, membuat Indonesia dipaksa untuk
memperkuat ketahanan pangannya dan mengoptimalkan pemanfaatan
SDAnya.
Di mata Menteri Pertanian Anton Apriyanto, pembangunan pentanian
identik dengan kegiatan produksi usaha tani. Orientasi pengembangan
pertanian lebih diarahkan ke proses budi daya atau agronomi yang
mengagungkan komoditas primer, sehingga sektor hilir kurang diberi
peluang untuk berkembang. Tapi, ketika krisis ekonomi melanda, pertanian
masih mampu berperan sebagai sektor penyelamat pembangunan nasional.
Karena itu, program revitalisasi bidang pertanian diarahkan untuk
menjadikan pertanian sebagai basis industri nasional. Dan, pada tahun 2008,
Indonesia diharapkan kembali meraih swasembada pangan, yang tidak lain
hanya mengandalkan komoditas beras.

10. Era Reformasi

A. Melenceng Dari Target

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


49
Kamis, 15 Januari 1998, Presiden Soeharto mengumumkan bahwa
pemerintah baru saja menekan memorandum kerja sama dengan Dana
Moneter Internasional (IMF). Ada 50 butir kesepakatan, yang intinya
Indonesia setuju melakukan reformasi ekonomi. Untuk mengatasi beban
pemerintah yang makin berat, lembaga finansial internasional bersedia
menyalurkan dana siaga sebesar US$ 43 milyar.
Ekonomi Indonesia yang pernah dikagumi lantaran pertumbuhan
ekonomi mencapai 6%-7% rapuh dan turun hingga 0% setahun. Untuk
mencegah penurunan nilai rupiah, selain berbicara dengan IMF, Soeharto
menyinggung rencana menerapkan currency board system. Pemerintah juga
berancang-ancang membentuk Dewan Mata Uang. Dewan ini bertindak
sebagai pengganti bank sentral yang punya kendali terhadap uang beredar
dan deposito melalui kebijaksanaan moneter. Dewan itu hanya
mengeluarkan uang kertas dan logam.
Pemerintah bersepakat dengan IMF, terbukti dengan kesepakatan yang
membuat Indonesia sulit bergerak. IMF tak cuma mengatur Indonesia
dengan pembenahan di sektor keuangan dan perbanka, melainkan
mencampuri urusan lingkungan, ekspor, fiskal, perdagangan luar negeri,
bahkan tata niaga. Setiap tindakan yang ditempuh dituangkan dalam letter
of intent (Lol).
Dalam hal tata niaga, Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh
dihapuskan. Ia menilai IMF lebih bersifat politis karena mencampuri urusan
non-perbankan. Untuk memenuhi peratan itu, berbagai tindakan dilakukan
pemerintah. Setelah Pak Harto lengser, Presiden B.J. Habibie sempat
menerapkan kebijaksanaan uang ketat. Tujuannya untuk menaikkan pamor
rupiah dan mencegah pelarian modal, serta unga perbankan dinaikkan.
Langkah Habibie ini membuat beban pemerintah makin berat. Untuk
membayar bunga, pemerintah harus mengeluarkan dana cukup besar. Di sisi
lain, kredit perbankan tetap rendah. Dengan kondisi ekonomi Indonesia
yang terus memburuk, Rahardi berharap pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono dapat mengubah dan meningkatkannya secara bertahap.

B. Loyo Dihadang IMF


Di tengah – tengah kurs rupiah yang terus anjlok, datang seseorang
ahli ekonomi dari Amerika Serikat Steve Harcld Hanke pada tahun 1996
menyarankan Indonesia menggunakan currency board system (CSB) untuk
mengatasi gejolak kurs dan krisis ekonomi.
Dengan CSB, system bank sentral tak dipakai. CSB menggunakan
system kurs tetap, dan uang yang beredar dikaitkan dengan cadangan
devisa. Instrumen moneter lain, seperti penentuan suku bunga, operasi pasar
uang, dan alokasi kredit, tak lagi menjadi wewenang bank sentral.
Lewat CSB, nilai tukar rupiah diikat pada mata uang tertentu yang
punya pamor bagus dipasar uang dunia. Sebagai konsekuensi pematokan

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


50
kurs, system bank sentral yang selama ini berlaku harus di berangus.
Lembaga otoritas moneter dalam CSB hanya dibolehkan mencetak atau
menarik uang beredar, berdasarkan jumlah cadangan devisa yang dimiliki.
Namun persyaratan CBS ini cukup berat. Karena CBS tak bisa
memoneterisasi defisit anggaran belanja, pemerintah harus punya surplus
anggaran belanja yang bisa dipakai untuk mengatasi resesi.
Pengamat ekonomi Anwar Nasution mengatakan, CBS hanya
diterapkan di 11 negara yang perokonomiannya amburadul. Negara yang
paling sukses menjalankan CBS adalah Hong Kong. Di Argentina, meski
harga-harga tak melambung akibat sukses menekan inflasi, daya beli
masyarakat turun drastis. Tak ada lapangan kerja baru. Sepertiga dari
jumlah penduduk tergolong miskin.
Di mata IMF, CBS melanggar salah satu dari 50 poin kesepaakatan
yang dibuat antara pemerintah dan IMF. Disitu disepakati, pemerintah
berkomitmen memberikan otonomi yang lebih besar kepada Bank
Indonesia. Alasan lain, cadangan devisa Indonesia masih tipis, tak kuat
menyangga nilai rupiah.
Akhirnya, hingga Soedradjad Djiwandono lengser dari Bank
Indonesia pada tahun 1999, dan Indonesia berganti presiden empat kali,
CBS tak pernah diterapkan. Yang jadi masalah, meski CBS tak jadi di
terapkan, rupiah hingga kini tidak juga digdaya.

C. Gajah Bengkak Tetap Lesu


Tiga mantan Direktur Bank Indonesia (BI) hanya pasrah ketika
dijemput tim Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Ketiganya dipidana penjara
satu setengah tahun karena melakukan korupsi dana bantuan likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) hingga Rp 17 milyar. Dugaan ketidakberesan pengucuran
dana BLBI sampai pada Badan Pemeriksa Keuangan ketika memberi rapor
disclaimer pada neraca awal BI, enam tahun silam.
Terbitnya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang BI. Sejak itu,
lembaga ini tak lagi jadi kasir pemerintah. Pada masa itu, jika anggaran
pemerintah habis, BI terpaksa meminjamkan dana terlebih dahulu. Dengan
posisi seperti itu, BI jadi serba salah. BI juga harus bertanggung jawab
terhadap semua kebutuhan likuiditas bank. Akhirnya, pemerintah
memutuskan untuk membantu bank nasional yang sehat tetapi mengalami
likuiditas. Sedangkan, bank yang sakit diupayakan untuk digabungkan atau
diakuisisi dengan bank yang sehat. Jika dalam melaksanakan tugasnya BI
masih mengalami masalah dan gagal, barulah dilikuidasi. Sebab, mengacu
pada Undang-Undang Bank Sentral, itu adalah kewenangan BI sebagai
lender of the last resort dalam rangka penyelamatan bank. Untuk
menyehatkan sistem ekonomi dan keuangan Indonesia, pemerintah juga
menjamin seluruh kewajiban bank umum.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


51
Studi Bank Dunia, “ Bank Restructuring, Lessons from 1980’s”,
melaporkan Bank Sentral Filipina pada rentang 1980-1987 telah menutup
173 bank. Perbankan Argentina telah melikuidasi tidak kurang dari 200
bank. Namun, keduanya sama-sama negara Asia yang dihantam krisis, juga
tidak menanggung beban biaya semahal perekonomian Indonesia. Itu
tampak pada perbandingan kredit macet (NPL) dan biaya restrukturisasi
perbankan (terhadap produk domestik bruto/GDP). Pantaslah restrukturisasi
perekonomian Indonesia dinobatkan sebagai yang termahal sepanjang
sejarah perbankan dunia.
Apa hasilnya ? Menurut Masyhud Ali, meskipun biaya
restrukturisasinya besar, perbankan Indonesia pasca-rekap belum mampu
mengembangkan kapasitas internalnya untuk mencetak laba dan
memberikan kontribusi yang sebanding dalam menggerakan dunia usaha
yang lemah lewat fungsi intermediasi.

D. Sulit Masuk Jalur Cepat


Pertumbuhan ekonomi melemah ? No way. Bagi pejabat besar di
dunia bisnis, perekonomian Indonesia memberikan harapan yang cerah.
Itulah yang tergambar dalam “Laporan Ekonomi Akhir Tahun 2004”.
Dilihat dari semua indikator yang ada, kinerja perbankan dan pasar modal
juga membaik. Pasar modal sempat mendekati indeks 1.000. Mantan Ketua
Kamar Dagang dan Industri Indonesia menyimpulkan, semua itu merupakan
indikator kepercayaan pada kinerja ekonomi Indonesia dari para pelaku
pasar.
Membaiknya kinerja ekonomi Indonesia terlihat dari pertumbuhan
ekonomi nonmigas sebesar 5,3%. Dalam APBN Perbaikan yang disetujui
DPR, Juni 2005, pemerintah mengerek asumsi pertumbuhan ekonomi tahun
2005 sebesar 6% dari semula 5,5%. Asumsi pertumbuhan ekonomi setinggi
6% dinilai tidak didasari perhitungan realistis. Secara logis, janji
pertumbuhan 6% itu, pemerintah mesti memiliki investasi paling tidak 30%
dari pendapatan domestik bruto (PDB). Artinya, investasi yang dibutuhkan
mencapai Rp 600 trilyun.
Dengan asumsi rasionya naik, berarti pertumbuhan investasinya harus
lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi. Karena nilai investasi bersumber
dari tabungan. Dari sisi fundamental, ekonomi masih sangat lemah. Faktor
krusial yang melahirkan kelambanan penyelesaian krisis ekonomi adalah
ketidakjelasan visi pembangunan di jajaran kabinet dan tim ekonomi
Megawati.
Menurut Human Development Report 2003, indeks pembangunan
manusia Indonesia melorot dari 0,684 (2002) menjadi 0,682 (2003). Posisi
HDI Indonesia jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya. Dalam sebuah
tulisan berjudul “Reformasi Kebijakan dan Fragmentasi Politik: Sebuah
hipotesis tentang pemulihan ekonomi Indonesia”, kedua peneliti itu

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


52
meyakini problem utama yang memicu keterpurukan Indonesia adalah
tersendatnya reformasi struktural ekonomi. Karena Indonesia mengalami
apa yang diistilahkan dengan krisis kembar. Yakni, selain terguncanganya
sendi-sendi perekonomian, secara bersamaan meruntuhkan rezim otoritarian
dan berangsur-angsur menuju format demokratis. Namun, Indonesia sukses
menghindari keruntuhan sistem ekonomi-politik di tengah krisis kembarnya.
Krisis kembar di Rusia berbeda dengan di Indonesia. Indonesia telah
memiliki institusi yang dibutuhkan sistem ekonomi pasar.
Di lain pihak, proses yang mendadak ini melemahkan pemerintah
pusat. Di era Habibie, hampir semua pihak unjuk diri membela kepentingan
masing-masing. Akibatnya, proses perumusan dan pengambilan kebijakan
sulit mendapat dukungan politik. Perlunya dukungan politik dalam
pemulihan ekonomi juga menjadi penekanan. Dalam buku berjudul Strategi
Pembangunan Indonesia Pasca-IMF, ditarik kesimpulan bahwa faktor
politik berperan penting mengatasi krisis ekonomi. Hal tersebut juga terlihat
di Thailand serta Korea Selatan.

E. Susahnya Mendongkrak Pos Penting


Sebagai badan usaha milik negara, sesuatu yang menimpa Pertamina
berdampak sangat luas. Pada tahun finansial yang berakhir Maret 2005,
keuntungan Petronas naik 55% menjadi 58,03 milyar ringgit dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, yang hanya 37,44 milyar ringgit.
Membandingkan kinerja perusahaan minyak negeri tetangga dengan
Pertamina bukanlah hal tabu. Kesimpulannya, kinerja Pertamina masih jauh
tertinggal ketimbang Petronas. Rendahnya kinerja Pertamina tampaknya
bisa menjadi cermin kinerja BUMN lain.
Besarnya porsi Pertamina dalam perekonomian nasional itu tercermin
dari dominasi penerimaan minyak di dalam APBN. Tahun selanjutnya,
peran swasta lebih dominan daripada BUMN, dan meningkatnya peran
swasta itu dituangkan dalam APBN 1995/1996.

F. Dari Pusat Kembali ke Asal


Aksi kekerasan tak terhindarkan dalam pemilihan kepala daerah
(pilkada) langsung yang digelar sejak Juni lalu. Sejumlah KPU daerah
(KUPD) menjadi sasaran. Sebagian hak istimewa atas nama otonomi bakal
dihapus. Hal itu berkaitan dengan berlakunya Undang-Undang Pemerintah
Daerah No. 32 Tahun 2004, Desember lalu. Intinya menarik kembali
kekuasaan ke Jakarta. Muatan amandemen Undang-Undang Pemerintah
Daerah No. 22 Tahun 1999 itu sangat jelas mengandung strategi
resentralisasi.
Kultur birokratis dan konservatif membantu dalam menghentikan
BUMN agar tidak terjerat dalam utang. Membesarnya peran BUMN dalam
perekonomian nasional tidak otomatis mampu menarik perekonomian

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


53
nasional keluar dari krisis. Krisis ekonomi pada 1997 membuat kinerja
perusahaan-perusahaan pelat merah menurun lagi. Kini, di tengah era
pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu, tercatat sebanyak 158 BUMN.
Sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah, BUMN tentu menjadi harapan
saat keuangan negara mengalami masalah seperti deifisit.
Untuk mengatasi defisit, tim kabinet ekonomi mengharapkan
kontribusi dari beberapa pos. Tentu, sumbangan BUMN menjadi salah satu
alternatif yang penting. Jadi, kunci masalah BUMN adalah public
accountability dan pemisahan conflict of interest. Maksudnya, selama asas
transparansi dilakukan, dan praktek korupsi BUMN terus berlangsung maka
segala upaya dalam menyehatkan BUMN akan sia-sia.
Di balik semua itu, ada kesuksesan ekonomi di sejumlah daerah yang
tidak bisa diabaikan, seperti Tarakan dan Bontang di Kalimantan Timur.
Kunci keberhasilan dari keduanya adalah penyelenggaraan pemerintahan di
bidang perekonomian yang toleran. Kelemahan daerah dalam meningkatkan
kinerja perekonomiannya, tidak lepas dari kelemahan umum
penyelenggaraan otonomi daerah.
Kesenjangan antara gagasan dan implementasi otonomi daerah, antara
lain disebabkan lowongnya perangkat peraturan pelaksana. Proses supervise
tidak jalan karena acuannya tidak ada. Dari evaluasi pemerintah terhadap
1.000 Perda yang terbit sejak otonomi daerah diberlakukan, sedikitnya ada
100 Perda yang melanggar aturan. Otonomi juga membuat sejumlah
perusahaan asing menjadi ketar-ketir.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


54
BAB III
KESIMPULAN

Indonesia telah mengalami banyak perubahan sistem ekonomi sejak


zaman kolonialisme. Pada saat kolonialisme, sumber daya Indonesia banyak
dieksploitasi oleh penjajah. Tapi tidak selamanya buruk, di zaman itu Indonesia
mulai mengenal banyak metode penanaman, manajerial, dan pengetahuan baru
lainnya. Pengalaman-pengalaman yang didapat akan diaplikasikan sejak zaman
kemerdekaan. Bukan berarti langsung menjadi baik, sejak zaman kemerdekaan
Indonesia harus menghadapi berbagai macam kendala dari dalam seperti
bagaimana memproses sumber daya yang ada, dan dari luar seperti bagaimana
berhubungan dengan negara lain. Bangsa Indonesia juga mencoba membangun
sebagai negeri swasembada pangan. Dahulu awal kemerdekaan sistem politik
dan ekonomi di Indonesia lebih condong ke Blok Timur, namun setelah berganti
orde baru sistem politik dan ekonomi bangsa Indonesia berganti atau cenderung
ke Blok Barat atau sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme seperti yang
diterapkan penjajah ternyata malah cocok di Indonesia dan sistem ini lah yang
menjadi awal Indonesia keluar dari keterpurukan. Karena sistem ini juga
Indonesia mampu mendapat banyak bantuan pinjaman modal asing. Serta juga
Indonesia bisa menjalin hubungan perdagangan dengan negara-negara lain.
Sumber daya Indonesia yang diolah pada saat itu dikelola dengan sistem
sistematis lima tahun (Repelita) yang beriorientasi pada swasembada pangan dan
industrialisasi. Pembangunan Indonesia ini perlu dipertimbangkan lebih lanjut
dan dengan matang untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna upaya
pembnagunan yang lebih baik dalam masa mendatang.

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


55
DAFTAR PUSTAKA

Ichimura, Shinichi. (1989). Pembangunan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Penerbit


Universitas Indonesia (UI-Press).

Perekonomian Indonesia /Pembangunan Ekonomi Indonesia


56

Anda mungkin juga menyukai