Anda di halaman 1dari 34

PENYAKIT DAN KECELAKAAN AKIBAT KERJA DI RUMAH SAKIT

DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU)


MATA KULIAH: KESELAMATAN KERJA

DOSEN PEMBIMBING: Ns. YUNI DWI HASTUTI, M.Kep.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 5:


SUSILO HARTONO (22020119183157)
WARSONO (22020119183164)
INDRA A RAHMAN FAUZI (22020119183167)
MOHAMAT MUTAJIR (22020119183169)
NINA MARIYANA (22020119183168)
YUNIARTI DWI ASTUTI (22020119183176)
YOHANA HALE HERET (22020119183183)

DEPARTEMEN ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan sarana untuk menangani masalah kesehatan,
pemulihan, serta pemeliharaan kesehatan. Sebagai layanan masyarakat, rumah sakit
mempunyai kegiatan berupa unit pelayanan gawat darurat, rawat inap, ruang operasi,
dan pelayanan penunjang seperti radiologi, laboratorium, farmasi, dan lain – lain.
Rumah sakit diharapkan mampu memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan
baik untuk masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Rumah sakit merupakan tempat yang berisiko terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK)
serta Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) dan pekerja rumah sakit mempunyai risiko yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja industri lain untuk terjadinya penyakit akibat
kerja dan kecelakaan akibat kerja (Kementerian Kesehatan, 2010).
Bahaya potensial di rumah sakit disebabkan oleh faktor biologi, faktor kimia,
faktor ergonomi, faktor fisik, faktor psikososial. Bahaya faktor–faktor tersebut dapat
menyebabkan kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja yang dapat
menyebabkan penurunan kemampuan fisik atau mental, cacat, atau bahkan kematian.
Berkurangnya kemampuan merupakan penurunan atau sama sekali tidak produktif
yang berarti pula berkurangnya penghasilan atau pendapatan (Soeripto, 2008). Hal ini
juga dapat merugikan rumah sakit sebagai tempat kerja. Kerugian yang ditimbulkan
berupa biaya yang dikeluarkan bagi terjadinya kecelakaan, upah selama pekerja tak
mampu bekerja, hingga biaya atas kerusakan bahan, alat atau bahkan mesin
(Suma’mur, 2009).
Estimasi tingkat kecelakaan kerja rata rata diseluruh dunia adalah 14 orang
setiap 100.000 pekerja. Tingkat tertinggi sebesar 23,1 per 100.000 pekerja adalah di
wilayah Asia, dimana Korea, Thailand dan Indonesia dilaporkan mempunyai tingkat
kecelakaan yang tinggi. Untuk Amerika tingkat kematian terjadi setiap 3,2 per 100.000
pekerja (Jovanovic, 2004). Selama tahun 2010, kasus kecelakaan kerja di Indonesia
yang dilaporkan sebanyak 98.711 kasus. Ditinjau dari sumber kecelakaan, penyebab
terbesar adalah mesin, pesawat angkut, dan perkakas kerja tangan. Sementara

1
berdasarkan tipe kecelakaan, yang terbanyak adalah terbentur, bersinggungan dengan
benda tajam yang mengakibatkan tergores, terpotong, tertusuk dan sebagainya.
Perawat merupakan salah satu profesi yang secara khusus dididik untuk
melakukan perawatan bagi orang sakit atau bidang tertentu, karena tugas dan
profesinya tersebut perawat sering melakukan kontak dengan pasien dan melakukan
beberapa tindakan medis yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit atau
kecelakaan kerja seperti tertusuk jarum suntik. Pada tahun 2011, rumah sakit di
Amerika mencatat 58.860 pekerja cidera dan terpapar penyakit akibat kerja. Hampir
48% dari cidera tersebut disebabkan karena kelelahan, kesalahan mengangkat beban,
bending, atau nyeri sendi, hal ini sering terjadi ketika sedang menangani pasien.
Gangguan sistem muskoloskeletal seperti terkilir menyumbang sebesar 54% cidera
setiap harinya di tempat kerja. Pada tahun yang sama, terdapat 16.680 kasus dimana
pekerja kehilangan pekerjaannya akibat cidera muskoloskeletal, dimana sebagian
besar adalah perawat dan asisten perawat yang terkena cidera tersebut. Karena cidera
muskoloskeletal dirumah sakit bersifat kumulatif, sehingga perlu langkah atau cara
untuk meminimalkan risiko tersebut (Occupational Safety and Health Administration,
2013).
Data mengenai K3 rumah sakit di Indonesia diantaranya pada tahun 2006,
sebanyak 83,3% pekerja rumah sakit mengeluh low back pain, penderita terbanyak
pada usia 30 – 49 tahun: 63,3% terjadi pada instalasi bedah sental di RSUD di Jakarta.
Penelitian dr. Joseph pada tahun 2005 – 2007 mencatat bahwa kecelakaan kerja akibat
needle stick injury (NSI) mencapai 38 – 73% dari total petugas kesehatan. Selain itu
sebanyak 17,7% perawat di suatu rumah sakit di Jakarta mengalami gangguan mental
emosional akibat stressor kerja (Kementerian Kesehatan, 2010).
Sebanyak 80% hingga 90% kecelakaan kerja dipicu oleh perilaku tidak aman.
Pekerja sering berperilaku tidak aman karena selama melakukan pekerjaan tersebut
tidak pernah sekalipun terjadi kecelakaan kerja (Cooper, 2001). National Safety
Council pada tahun 2011, melaporkan 9100 orang meninggal dunia dan 3,2 juta terluka
karena kecelakaan yang terjadi ditempat kerja pada tahun 1993 total biaya yang
dikeluarkan sebesar $111,9 miliar. Banyaknya akibat dari kecelakaan kerja tersebut
disebabkan oleh perilaku tidak aman karena tidak adanya motivasi pekerja untuk
bekerja secara aman (Komaki, 1983). Heinrich menyebutkan bahwa perilaku tidak

2
aman disebabkan oleh sikap yang buruk, kurangnya pengetahuan dan ketrampilan, dan
lingkungan kerja yang tidak aman (Cooper, 2001).
Pengetahuan tentang keselamatan sangat penting dalam rangka menciptakan
lingkungan kerja yang aman dan meningkatkan kesadaran akan keselamatan.
Pengetahuan yang kurang akan dapat menyebabkan kecelakaan karena pekerja tidak
patuh terhadap aturan, sadar tetapi tidak memahami aturan, keliru dalam menerapkan
aturan, mengabaikan aturan dan kurang terlatih atau tidak memiliki latar belakang
pendidikan yang sesuai. Penelitian lain mengatakan bahwa pengetahuan keselamatan
adalah faktor yang memberikan kontribusi dalam menciptakan lingkungan
keselamatan kerja yang baik (Neal, 2000).
Berdasarkan uraian di atas, penyusunan makalah ini ditujukan untuk
mengidentifikasi penyakit dan kecelakaan akibat kerja yang ada di rumah sakit,
khususnya di ruang Intensive Care Unit (ICU). Analisa terhadap potensi tersebut akan
dikaitkan dengan konsep dan teori, serta penelitian-penelian yang ada. Selanjutnya dari
analisis tersebut akan dirumuskan penyelesaian masalah, sehingga diharapkan upaya
penerapan manajemen resiko bisa dilakukan secara optimal.

B. Tujuan
1. Diharapkan kelompok dan pembaca mampu mengenal penyakit dan kecelakaan
akibat kerja yang ada di rumah sakit
2. Diharapkan kelompok dan pembaca mampu mengidentifikasi penyakit dan
kecelakaan akibat kerja yang ada di satuan kerja masing-masing
3. Diharapkan kelompok dan pembaca mampu mengenal sistem pengendalian
penyakit dan kecelakaan akibat kerja yang sudah dilakukan di rumah sakit
khususnya di satuan kerja masing-masing
4. Diharapkan kelompok dan pembaca mampu mengikuti prosedur pengendalian
penyakit dan kecelakaan akibat kerja dan menerapkan kepada pengunjung,
keluarga pasien dan peserta didik yang ada di lingkungan rumah sakit

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Penyakit dan Kecelakaan Akibat Kerja


Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat
kerja, bahan, proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian, penyakit akibat
kerja merupakan penyakit yang artifisual atau man made disease. Sejalan dengan
hal tersebut terdapat pendapat lain yang menyatakan bahwa Penyakit Akibat Kerja
(PAK) ialah gangguan kesehatan baik jasmani maupun rohani yang ditimbulkan
ataupun diperparah karena aktivitas kerja atau kondisi yang berhubungan dengan
pekerjaan (Hebbie Ilma Adzim, 2013).
Sedangkan kecelakaan akibat kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga
Kerja Nomor 03/Men/98 adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak
diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda.
OHSAS 18001:2007 menyatakan bahwa kecelakaan kerja didefinisikan sebagai
kejadian yang berhubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan cidera
atau kesakitan (tergantung dari keparahannya), kejadian kematian, atau kejadian
yang dapat menyebabkan kematian. Kejadian yang dapat menyebabkan kerusakan
lingkungan atau yang berpontensi menyebabkan merusak lingkungan. Selain itu,
kecelakaan kerja atau kecelakaan akibat kerja adalah suatu kejadian yang tidak
terencana dan tidak terkendali akibat dari suatu tindakan atau reaksi suatu objek,
bahan, orang, atau radiasi yang mengakibatkan cidera atau kemungkinan akibat
lainnya (Heinrich et al., 1980).

4
B. Penyebab
Tedapat beberapa penyebab Penyakit dan Kecelakaan Kerja yang umum
terjadi di rumah sakit, berikut ini beberapa jenis yang digolongkan berdasarkan
penyebab dari penyakit dan kecelakaan yang ada di tempat kerja:
1. Penyebab Fisik
a Mekanik
Resiko bahaya ini dapat dikelompokkan dalam 5 kelompok yaitu:
1) Benda-benda lancip, tajam dan panas dengan resiko bahaya tertusuk,
terpotong, tergores, dan lain-lain. Resiko bahaya ini termasuk salah satu
yang paling sering menimbulkan kecelakaan kerja yaitu tertusuk jarum
suntik / jarum jahit bekas pasien. Resiko bahaya ini sebenarnya bukan
hanya resiko bahaya fisik karena dimungkinkan jarum bekas yang
menusuk tersebut terkontaminasi dengan kuman dari pasien.
2) Benda-benda bergerak yang dapat membentur. Seperti kita ketahui di
rumah sakit banyak digunakan kereta dorong untuk mengangkut pasien
dan barang-barang logistik. Resiko yang dapat muncul adalah pasien
jatuh dari brankart/ tempat tidur, terjepit / tertabrak kereta dorong, dan
lain-lain.
3) Resiko terjepit, tertimbun dan tenggelam. Resiko ini dapat terjadi
dimana saja meskiput kejadiannya tidak terlalu sering. Hal-hal yang
perlu diperhatikan terutama di ruang perawatan anak dan ruang
perawatan jiwa. Pastikan tidak ada pintu, jendela atau fasilitas lain yang
memiliki resiko untuk terjepit/tenggelam tersebut.
4) Resiko jatuh dari ketinggian yang sama: terpeleset, tersandung, dan
lain-lain. Resiko ini terutama pada lantai-lantai yang miring baik di
koridor, ramp atau batas lantai dengan halaman. Pastikan area yang
beresiko licin sudah ditandai dan jika perlu pasanglah handriil atau
pemasangan alat lantai anti licin serta rambu peringatan “awas licin”.
5) Jatuh dari ketinggian berbeda. Resiko ini pada ruang perawatan anak
dan jiwa. Selain itu perlu diperhatikan pada pekerjaan konstruksi
bangunan atau pembersihan kaca pada posisi yang cukup tinggi. Jika
pekerjaan dilakukan pada ketinggian lebih dari 2 meter sebaiknya

5
pekerja tersebut menggunakan abuk keselamatan. Pada ruang
perawatan anak dan jiwa yang terletak di lantai atas pastikan jendela
yang ada sudah terpasang teralis pengaman dan anak-anak selalu dalam
pengawasan orang dewasa saat bermain.
b Resiko bahaya radiasi
Pengendalian resiko bahaya radiasi dilakukan untuk pekerja radiasi, peserta
didik, pengunjung dan pasien hamil. Pekerja radiasi harus sudah
mendapatkan informasi tentang resiko bahaya radiasi dan cara
pengendaliannya. Selain APD yang baik, monitoring tingkat paparan radiasi
dan kepatuhan petugas dalam pengendalian bahaya radiasi merupakan hal
yang penting. Sebagai indikator tingkat paparan, semua pekerja radiasi
harus memakai personal dosimetri untuk mengukur tingkat paparan radiasi
yang sudah diterima sehingga dapat dipantau dan tingkat paparan tidak
boleh melebihi ambang batas yang diijinkan. Untuk pengunjung dan pasien
hamil hendaknya setiap ruang pemerikasaan atau terapi radiasi terpasang
rambu peringatan “Awas bahaya radiasi, bila hamil harus melapor kepada
petugas”. Resiko bahaya radiasi dapat dibedakan menjadi:
1) Bahaya radiasi pengion adalah radiasi elektromagnetik atau partikel
yang mampu menghasilkan ion langsung atau tidak langsung. Contoh
di rumah sakit: di unit radiodiagnostik, radiotherapi dan kedokteran
nuklir.
2) Bahaya radiasi non pengion adalah Radiasi elektromagnetik dengan
energi yang tidak cukup untuk ionisasi, misal radiasi infra merah atau
radiasi gelombang mikro.
c Resiko bahaya akibat kebisingan
Resiko kebisingan diakibatkan alat kerja atau lingkungan kerja yang
melebihi ambang batas tertentu. Resiko ini mungkin berada di ruang boiler,
generator listrik, dan peralatan yang menggunakan alat-alat cukup besar
dimana tingkat kebisingannya tidak dipantau dan dikendalikan. Berdasar
peraturan menteri kesehatan RI No 1204 tahun 2004 tentang pengendalian
lingkungan fisik di rumah sakit, seluruh area pelayanan pasien harus
dipantau dan dikendalikan tingkat kebisingannya minimal 3 bulan sekali. Di

6
rumah sakit pemantauan ini sudah dilakukan oleh ISLRS dan hasil temuan
yang tidak memenuhi persyaratan di analisa dan dikendalikan bersama
IPSRS dan Unit K3 serta dilaporkan kepada Manajemen rumah sakit.
d Resiko bahaya akibat pencahayaan
Resiko pada lingkungan kerja dengan pencahayaan yang kurang atau
berlebih. Tingkat pencahayaan di seluruh area rumah sakit juga telah
dipantau dan dilaporkan seperti resiko bahaya kebisingan tersebut. Hal yang
harus diperhatikan adalah jika terjadi kerusakan lampu, pastikan lampu
pengganti setara tingkat pencahayaannya dengan lampu sebelumnya,
sehingga tidak terjadi perubahan dalam tingkat pencahayaan pada area
tersebut.
e Resiko bahaya listrik
Resiko yang diakibatkan oleh bahaya konsleting listrik dan kesetrum arus
listrik. Pengendalian yang telah dilakukan adalah melakukan preventif
maintenance seluruh peralatan elektrik yang dilakukan oleh IPSRS.
Kalibrasi peralatan medis dan penggantian peralatan yang telah out off date.
Untuk mencegah bahaya kebakaran akibat peralatan listrik yang dibawa
peserta didik dan keluarga pasien dilakukan sosialisasi kepada seluruh
peserta didik pada saat orientasi dan untuk keluarga pasien informasi
diberikan pada saat pasien masuk rumah sakit khususnya pasien rawat inap.
f Resiko bahaya akibat iklim kerja
Resiko yang berhubungan dengan suhu ruangan dan tingkat kelembaban.
Jika suhu dan kelembaban di rumah sakit tidak dikendalikan dapat
mempengaruhi lingkungan kerja dan kualitas hasil kerja. Pemantauan secara
berkala telah dilakukan oleh ISLRS dan jika ditemukan kondisi tidak
memenuhi peresyaratan akan dilakukan pengendalian oleh IPSRS, PPI, Unit
K3RS dan ISLRS yang dipimpin oleh Direktur Umum dan Operasional.
g Resiko bahaya akibat getaran
Resiko ini tidak banyak ditemukan di rumah sakit tetapi mungkin masih ada
terutama pada kedokteran gigi yang menggunakan bor dengan motor listrik
dan pada bagian housekeeping/rumah tangga yang menggunakan mesin
pemotong rumput (bagian taman).

7
2. Biologi
a Resiko dari kuman-kuman patogen dari pasien (nosokomial). Resiko ini di
rumah sakit sudah dikendalikan oleh bagian Petugas Pemantau Infeksi
Rumah Sakit (PPIRS) berkoordinasi dengan Unit K3, Instalasi Sanitasi
Lingkungan RS (ISLRS) dan Satuan kerja pemberi pelayanan langsung
kepada pasien.
b Resiko dari binatang (tikus, kecoa, lalat, kucing, dan lain-lain). Resiko ini
dikendalikan oleh ISLRS dan harus didukung dengan housekeeping yang
baik dari seluruh karyawan dan penghuni rumah sakit.

3. Kimia
Pengendalian bahan kimia dilakukan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan
seluruh satuan kerja. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pengadaan B3,
penyimpanan, pelabelan, pengemasan ulang /repacking, pemanfaatan dan
pembuangan limbahnya. Pengadaan bahan beracun dan berbahaya harus sesuai
dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Penyedia B3 wajib menyertakan
Lembar Data Keselamatan Bahan (Material Safety Data Sheet / MSDS),
petugas yang mengelola harus sudah mendapatkan pelatihan pengelolaan B3,
serta mempunyai prosedur penanganan tumpahan B3. Penyimpanan B3 harus
terpisah dengan bahan bukan B3, diletakkan diatas palet atau didalam lemari
B3, memiliki daftar B3 yang disimpan, tersedia MSDS, safety shower, APD
sesuai resiko bahaya dan Spill Kit untuk menangani tumpahan B3 serta tersedia
prosedur penanganan Kecelakaan Kerja akibat B3. Pelabelan dan pengemasan
ulang harus dilakukan oleh satruan kerja yang kompeten untuk memjamin
kualitas B3 dan keakuratan serta standar pelabelan. Dilarang melakukan
pelabelan tanpa kewenangan yang diberikan oleh pimpinan rumah sakit.
Pemanfaatan B3 oleh satuan kerja harus dipantau kadar paparan ke lingkungan
serta kondisi kesehatan pekerja. Pekerja pengelola B3 harus memiliki pelatihan
teknis pengelolaan B3, jika belum harus segera diusulkan sesuai prosedur yang
berlaku. Pembuangan limbah B3 cair harus dipastikan melalui saluran air kotor
yang akan masuk ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Limbah B3

8
padat harus dibuang ke Tempat Pengumpulan Sementara Limbah B3 (TPS B3),
untuk selanjutnya diserahkan ke pihak pengolah limbah B3.
a. Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang
meliputi: Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk
dekontaminasi lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel
lantai, desinfeksi peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-
lain.
b. Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan
mencuci permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-
lain.
c. Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan
peralatan lainnya.
d. Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
e. Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk
pengobatan pasien.
f. Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan
penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen,
nitrit oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.

4. Resiko Bahaya Fisiologi / Ergonomi


Resiko ini terdapat pada hampir seluruh kegiatan di rumah sakit berupa
kegiatan: angkat dan angkut, posisi duduk, ketidak sesuaian antara peralatan
kerja dan ukuran fisik pekerja. Pengendalian dilakukan melalui sosialisasi
secara berkala oleh Unit K3.

5. Resiko Bahaya Psikologi


Resiko ini juga dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa ketidak harmonisan
hubungan antar manusia didalam rumah sakit, baik sesama pekerja, pekerja
dengan pelanggan, maupun pekerja dengan pimpinan.

9
C. Hasil Penelitian terkait Penyakit dan Kecelakaan Akibat Kerja di Ruang
ICU
Berdasarkan hasil survey kecelakaan kerja, didapatkan hal – hal sebagai
berikut:
1. Penelitian yang dilakukan di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta Tahun
2016, didapatkan data sebanyak 23,81% perawat Intensive Care Unit (ICU)
mengaku pernah mengalami kejadian kecelakaan kerja umum seperti terpeleset
dan terjatuh. Perawat yang paling banyak mengalami bahaya mekanik adalah
perawat bagian ICU (32,69%). Rata – rata perawat di seluruh unit mengaku
pernah mengalami kejadian seperti tertusuk benda tajam. Faktor psikososial
seperti beban kerja berlebih, shift kerja, dan stress akibat kerja terbanyak
dialami oleh perawat pada unit Instalasi Bedah Sentral (IBS) (31,82%) perawat
pada unit ICU (27,27%), bangsal arafah dan IMC Mina (18,18%).
2. Penelitian yang pernah dilakukan di Ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh menunjukkan pola kuman yang berpotensi
sebagai infeksi nosokomial adalah Staphylococcus aureus (72,72%),
Pseudomonas aeruginosa (18,18%), dan Acinetobacter baumannii (9,09%).

10
BAB III
ANALISIS SITUASI

Terjadinya kecelakaan di rumah sakit bisa datang dari unsafe act factor ataupun
unsafe condition factor. Unsafe act misalnya datang dari sikap dan tingkah laku pekerja
yang kurang baik, kurang pengetahuan dan ketrampilan, cacat tubuh yang tidak terlihat,
keletihan kelesuan, dan sebagainya. Sementara untuk unsafe condition karena mesin yang
atau alat yang digunakan, lingkungan kerja, proses kerja, sifat pekerjaan, cara kerja, dsb.
Beberapa regulasi yang mengatur mengenai pelaksanaan K3 di Rumah Sakit diataranya
UU Nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamata Kerja, Permenkes Nomor
432/Menkes/SK/IV/2007 tentang pedoman Manajemen K3 Rumah Sakit, Permenkes
nomor 432/Menkes/SK/VIII/2010 tentang Standar K3 Rumah Sakit. Dimana secara
keseluruhan memiliki tujuan spesifik mengenai K3 Rumah Sakit yaitu untuk terciptanya
cara kerja yang sehat, lingkungan kerja yang aman, nyaman dan dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan karyawan Rumah Sakit.
Intensive Care Unit (ICU) adalah suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri
(instalasi dibawah direktur pelayanan), dengan staf dan perlengkapan khusus yang
ditujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit,
cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam nyawa
dengan prognosis dubia. Ruang ICU menyediakan kemampuan dan sarana, prasarana
serta peralatan khusus untuk menunjang fungsi-fungsi vital dengan menggunakan
ketrampilan staf medik, perawat dan staf lain yang berpengalaman dalam pengelolaan
keadaan-keaadaan tersebut.

11
Beberapa Penyakit dan Kecelakaan Akibat Kerja yang mungkin terjadi di Ruang
ICU, antara lain:

Penyakit dan Kecelakaan Kerja yang


No. Penyebab
Mungkin Terjadi

1. Fisik Mekanik - Tertusuk jarum suntik : tertular


HIV, Hepatitis B.
- Terjepit benda bergerak (trolly
emergency, bed pasien, trolly
tindakan), terpeleset karena lantai
licin : fraktur, dislokasi, cedera
kepala.

Bising Suara monitor atau alarm ventilator :


gangguan pendengaran

Getaran Tidak ada


Cahaya Tidak ada
Radiasi Resiko terpapar radiasi, karena foto
rontgent yang dilakukan di dalam
Ruang ICU : Kanker.

Iklim Suhu ruangan yang dingin


berhubungan dengan menjaga suhu
optimal alat-alat medis : influenza,
demam, alergi.

Listrik - Hampir semua alat-alat di ICU


terhubung dengan sumber listrik
(resiko tersetrum listrik) : luka
bakar, heart attack.

12
2. Kimia Cairan Menyebabkan alergi dan iritasi :
desinfektan dermatitis.

Oksigen Resiko terjadi kebocoran dan


ledakan: luka bakar.

3. Biologi Darah Pengambilan darah, pemasangan


infus, tranfusi darah : beresiko
terinfeksi HIV/AIDS atau virus
Hepatitis B dari pasien yang dirawat
di ICU bila penggunaan APD tidak
sesuai.

Droplet Terkena percikan dahak pasien


terinfeksi bakteri tuberculosa : TBC.

Keringat Kontak fisik dengan pasien terinfeksi


virus hepatitis : penyakit Hepatitis.

Airborne Kontak dengan udara yang


terkontaminasi kuman / bakteri : flu
burung, MRSA.

4. Fisiologi/Ergonomi Pasien Mengangkat, memindahkan,


mengubah posisi pasien tidak
menggunakan teknik yang tepat : low
back pain, HNP, kelainan struktur
tulang belakang.

13
Tindakan Medis Posisi yang kurang tepat saat
memasang ETT, perawatan luka,
injeksi, Resusitasi Jantung Paru : low
back pain, HNP, kelainan struktur
tulang belakang.

5. Psikologi Analisis Beban Jumlah pasien dengan tenaga perawat


Kerja tidak berimbang, menyebabkan
beban kerja dan stressor meningkat :
stress, gastritis, vertigo, cephalgia.

Keluarga pasien Komplain keluarga atas


ketidakpuasan pelayanan : stress,
vertigo, cephalgia.

Beberapa alat dengan resiko bahaya di ruang ICU: Defibrilator (resiko bahaya fisik:
listrik); bed pasien, trolly emergency (resiko bahaya fisik: mekanik)

14
BAB IV
PEMBAHASAN

Penyakit akibat kerja di rumah sakit ruang Intensif Care Unit (ICU) umumnya
berkaitan dengan faktor biologi (kuman patogen yang umumnya berasal dari pasien,
penularan penyakit melalui airborne, droplet dan kontak), faktor kimia (antiseptik pada
kulit, disinfektan), faktor ergonomi (angkat dan angkut, posisi duduk/membungkuk lama,
body mass pasien, yaitu ukuran fisik perawat-pasien yang timpang ketika perawat
melakukan personal hygiene, perawatan luka, melakukan tindakan RJP/pemasangan ETT
dengan posisi kurang tepat, dsb), faktor fisika (terkena benda tajam, lancip, panas, bahaya
listrik spt penggunaan DC Shock tidak sesuai SPO).
A. Bahaya Biologi
Bahaya Biologi adalah penyakit atau gangguan kesehatan yang
diakibatkan oleh mikroorganisme hidup seperti bakteri, virus, riketsia, parasit dan
jamur. Sedangkan infeksi nosokomial adalah suatu keadaan infeksi yang diperoleh
dari dalam lingkungan rumah sakit, dapat merupakan suatu infeksi endogen yang
berasal dari penderita sendiri atau suatu infeksi eksogen yang berasal
dari luar penderita.
Upaya pencegahan infeksi di rumah sakit ruang Intensif terdiri dari
penerapan 2 tingkat kewaspadaan, yaitu kewaspadaan universal dan kewaspadaan
khusus.
1. Kewaspadaan Universal
Prinsip utama prosedur kewaspadaan universal pelayanan kesehatan adalah
menjaga higiene sanitasi individu, higiene sanitasi ruangan dan sterilisasi
peralatan. Ketiga prinsip tersebut dijabarkan menjadi 5 (lima) kegiatan pokok
yaitu:
a. Cuci tangan guna mencegah infeksi silang
b. Pemakaian alat pelindung diantaranya pemakaian sarung tangan
guna mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain
c. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
d. Pengelolaan jarum suntik dan alat tajam untuk mencegah perlukaan
e. Pengelolaan limbah dan sanitasi ruangan

15
2. Kewaspadaan khusus terdiri dari tiga jenis kewaspadaan yaitu :
a. Kewaspadaan terhadap penularan melalui udara (airborne)
Yaitu digunakan untuk menurunkan penularan penyakit melalui udara
baik yang berupa bintik percikan di udara (ukuran 5 µm atau lebih kecil)
atau partikel kecil yang berisi agen infeksi pada pasien yang diketahui
atau diduga menderita penyakit serius dengan penularan melalui percikan
halus di udara. Penyakit yang dapat ditularkan melalui udara antara lain :
Campak, Varisela, Tuberkulosis.
b. Kewaspadaan terhadap penularan melalui percikan (droplet)
Kewaspadaan ini ditujukan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit
dari pasien yang diketahui atau diduga menderita penyakit serius dengan
penularan percikan partikel besar (diameter> 5 µm) dari orang yang
terinfeksi mengenai lapisan mukosa hidung, mulut atau konjungtiva mata
orang yang rentan.
Percikan dapat terjadi pada waktu seseorang berbicara, batuk, bersin
ataupun pada waktu pemeriksaan jalan nafas seperti intubasi atau
bronkhoskopi.
Transmisi melalui percikan besar berbeda dengan transmisi penularan
melalui udara karena pada transmisi percikan memerlukan kontak yang
dekat antara sumber dengan penerima, karena percikan besar tidak dapat
bertahan lama di udara dan hanya dapat berpindah dari dan ke tempat yang
dekat.
Beberapa penyakit yang ditularkan melalui droplet diantaranya:
1) Haemophyllus Influenza invasive type B, termasuk meningitis,
pneumonia dan sepsis.
2) Neisseria Meningitis invasive, termasuk meningitis, pneumonia
dan sepsis.
3) Staphylococcus Pneumonia invasive multidrug resisten, termasuk
meningitis pneumonia, sinusitis, dan otitis media.
4) Bakteri infeksi saluran nafas lain dengan transmisi droplet :
Diptheria (faringeal), Mycoplasma pneumonia, Pertusis, Pneumonia
plague, Streptococcal pharingitis, fever pada bayi dan anak, pneumonia,

16
atau scarlet
5) Infeksi virus serius dengan transmisi percikan, termasuk:
Adenovirus, Influenza, Mumps, Parvovirus B 19, Rubella.
c. Kewaspadaan terhadap penularan melalui kontak
Digunakan untuk mencegah penularan penyakit dari pasien yang
diketahui atau diduga menderita penyakit yang ditularkan melalui kontak
langsung (misalnya kontak tangan atau kulit ke kulit) yang terjadi selama
perawatan rutin, atau kontak tak langsung (persinggungan) dengan
benda di lingkungan pasien. Contoh penyakit yang ditularkan melalui
kontak adalah :
1) Infeksi gastrointestinal, respirasi, kulit luka atau kolonisasi bakteri
yang multidrug resisten sesuai pedoman program
pemberantasan
2) Infeksi interik dengan dosis infeksi rendah atau berkepanjangan
termasuk : Clostridium difficile, Enterohemorrhagic E. Coli, Shigella,
hepatitis A, atau rotavirus pada pasien inkontenensia.
3) RSV, virus para influenza, atau infeksi enteroviral pada bayi dan anak-
anak.
d. Infeksi kulit yang sangat menular atau yang biasa timbul pada kulit
kering, termasuk: Difteri (kulit), H e r p e s simpleks (neonatus
a t a u mukoneonatus), Impetigo, Abses besar, selulitis atau decubitus,
Pedikulosis, Skabies, Stapilococcal furunculosis pada bayi dan anak-
anak, Stapilococcal scalded skin syndrome, Zoster (diseminata atau
immunocompromised host), Viral hemorrhagic conjungtivitis, Viral
hemorrhagic fever (demam lessa atau virus Marburg)
e. Ketentuan umum pencegahan
1) Tempatkan pasien pada tempat yang terpisah atau bersama pasien
lain dengan infeksi aktif organisme yang sama dan tanpa infeksi
lain.
2) Melaksanakan kewaspadaan universal.
3) P erawat a n l i n gkun ga n yai t u den ga n membersihkan setiap
hari peralatan dan permukaan lain yang sering tersentuh oleh

17
pasien.
4) Peralatan perawatan pasien gunakan terpisah satu sama lain, jika
terpaksa harus digunakan satu sama lain secara bersama maka
peralatan tersebut harus selalu dibersihkan dan didesinfeksi sebel u m
di gunaka n pad a yan g l ai n .
f. Tindakan yang harus dilakukan
1) Tempatkan pasien pada ruang tersendiri atau bersama pasien lain
dengan ruang kerja lainnya.
2) Mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja pada air yang
mengali r atau alcuta.
3) Menggunakan alat pelindung kerja seperti masker, gaun
pelindung dan sarung tangan.
4) Melakukan tindakan desinfeksi, dekontaminasi dan sterilisasi, terhadap
berbagai peralatan yang digunakan, meja kerja, lantai dan lain-lain
terutama yang sering tersentuh oleh pasien.
5) Melaksanakan penanganan dan pengolahan limbah dengan cara
yang benar, khususnya limbah infeksi.
6) Memberikan pengobatan yang adekuat pada penderita.

3. Penyakit Akibat Kerja di ICU


a. Tuberkulosis Paru
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Asam
(BTA). Penularan penyakit ini dapat melalui droplet- droplet yang dibawa
oleh udara tuberkulosis yang berbentuk batang (basil) dan disebut pula
Basil Tahan Asam dari seseorang yang terinfeksi dengan tuberkulosis.
Kecurigaan adanya tuberkulosis paru adalah batuk lebih dari 4 minggu,
dahak bercampur darah, nyeri dada, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, berkeringat pada malam hari, demam dan sesak nafas.
1) Ketentuan umum pencegahan :
a) Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tetap (SOP).
b) Memberikan penyuluhan kesehatan melalui pertemuan
berkala, seminar ilmiah, sel ebaran , post e r dan l ai n -l ai n .

18
c) Melaksanakan kewaspadaan universal (Universal Precaution)
d) Melaksanakan kewaspadaan khusus, dengan cara
menempatkan pasien pada tempat tersendiri dengan tekanan
tinggi terpantau, minimal pergantian udara enam kali setiap jam,
pembuangan udara keluar memadai.
e) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan
pemeriksaan kesehatan berkala.
2) Tindakan yang harus dilakukan :
a) Mengupayakan ventilasi dan pencahayaan yang baik dalam ruang
perawatan, ruang konseling dan ruang kerja lainnya.
b) Mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja pada air yang
mengalir atau alcuta.
c) Menggunakan alat pelindung kerja seperti masker dan sarung
tangan.
d) Melakukan tindakan desinfeksi, sterilisasi, dan dekontaminasi
terhadap berbagai peralatan yang digunakan, meja kerja, lantai
dan lain-lain terutama bila terkena bahan infeksi.
e) Mel a ks an ak a n pe n an ga n a n dan pengolahan limbah
dengan cara yang benar, khususnya limbah infeksi.
f) Melaksanakan pemeriksaan kesehatan secara berkala termasuk
pemeriksaan radiologi.
g) Memberikan pengobatan yang adekuat pada penderita.
b. Influenza
Penyakit infeksi saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus influenza,
yang penularannya dapat melalui batuk, bersin, dan tangan yang tidak
dicuci setelah kontak dengan cairan hidung/mulut.
Gejala-gejala influenza dapat berupa: Demam, kedinginan, mata
kemerahan, otot/tulang sakit, batuk, hidung berair yang mungkin
menetap selama 1-2 minggu setelah gejala lain hilang.
1) Ketentuan umum pencegahan :
a) Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tetap (SOP).
b) Memberikan penyuluhan kesehatan melalui pertemuan

19
berkala, seminar ilmiah, leaflet/brosur, poster dan lain-lain.
c) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan
pemeriksaan kesehatan berkala
d) Melakukan pengaturan/pemisahan penderita untuk
menghindari terjadinya penularan.
e) Melaksanakan kewaspadaan universal (Universal Precaution).
f) Instruksikan pada pasien untuk tutup mulut saat batuk/bersin.
2) Tindakan yang harus dilakukan:
a) Mengupayakan ventilasi dan pencahayaan yang baik dalam ruang
perawatan, ruang konseling. Tempatkan pasien pada ruang
tersendiri dan atau bersama pasien lain dengan ruang kerja
lainnya.
b) Mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja pada air yang
mengalir atau alcuta.
c) Menggunakan alat pelindung kerja seperti masker N 95 bila
berada/bekerja dengan jarak kurang dari 1 m dari pasien, dan
sarung tangan.
d) Mel a kuk a n t i nd a k a n d esi n fe ksi , dekontaminasi dan
sterilisasi, terhadap berbagai peralatan yang digunakan, meja
kerja, lantai dan lain-lain terutama bila terkena bahan infeksi.
e) Mel a ks an ak a n pe n an ga n a n dan pengolahan limbah
dengan cara yang benar, khususnya limbah infeksi.
f) Melaksanakan pemeriksaan kesehatan secara berkala termasuk
pemeriksaan radiologi.
g) Memberikan pengobatan yang adekuat pada pasien.
c. Hepatitis
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus Hepatitis B (HBV), yang
manifestasinya dapat sebagai Hepatitis B akut maupun dalam bentuk sebagai
pengidap (karier) kronik HBsAg. Cara penularannya dapat melalui
darah atau cairan tubuh lainnya dari penderita HBV maupun pengidap
HBsAg. Gejala penyakitnya dapat berupa demam, lemah, mual/muntah,
rasa tak enak di epigastrium dan kem ungki na n di sert a i i kt eri k .

20
1) Ketentuan umum pencegahan:
a) Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tetap (SOP).
b) Memberikan penyuluhan kesehatan melalui pertemuan
berkala, seminar ilmiah, sel ebaran , post e r dan l ai n -l ai n .
c) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan
pemeriksaan kesehatan berkala
d) Melakukan pengaturan/pemisahan pasien untuk menghindari
terjadinya penularan.
e) Tutuplah luka bila ada.
2) Tindakan yang harus dilakukan :
a) Meni ngk at ka n pen get ahua n dan kepedulian perawat
terhadap penyakit hepatitis B dan penularannya.
b) Mencuci tangan sebelum dan sesudah bekerja pada air yang
mengalir atau alcuta.
c) Menggunakan alat pelindung kerja seperti masker dan sarung
tangan.
d) Melakukan tindakan desinfeksi, sterilisasi, dan dekontaminasi
terhadap berbagai peralatan yang digunakan, meja kerja,
lantai dan lain-lain terutama bila terkena bahan infeksi.
e) Mel a ks an ak a n p en a n gan a n d an pengolahan limbah
dengan cara yang benar, khususnya limbah infeksi.
f) Memberikan vaksinasi kepada petugas.
g) Melaksanakan pemeriksaan kesehatan secara berkala termasuk
pemeriksaan radiologi.
h) Memberikan pengobatan yang adekuat pada penderita.
d. Resistensi
Suatu keadaan dimana mikroba sudah tidak peka lagi terhadap antimikroba
pada pemberian yang rasional. Resistensi di instalasi farmasi dan
intensif care dapat terjadi karena kita menghirup atau terpajan
antimikroba atau sitostatika dalam pembuatan dan peracikan obat. Ciri-
ciri resistensi adalah bila kita terinfeksi dengan mikroba tertentu

21
kemudian diberi antimikroba yang sesuai namun tidak memberikan respon
yang positif.
1) Ketentuan umum pencegahan :
a) Melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur tetap (SOP).
b) Melakukan pekerjaan dengan sarana dan prasarana yang
memenuhi syarat.
c) Memberikan pengetahuan tentang resistensi serta bahaya
resistensi terhadap tubuh.
d) Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan
sesudah bekerja secara berkala.
2) Tindakan yang harus dilakukan:
a) Cuci tangan sebelum bekerja.
b) Gunakan alat pelindung diri seperti sarung tangan, masker, baju
lab, tutup kepala sebelum bekerja.
c) Bekerja pada tempat yang memenuhi syarat.
d) Laporkan hasil pemeriksaan berkala.
e) Jika terjadi kelainan maka perlu dilakukan tindak lanjut pekerjaan.
f) Berikan pengobatan sesuai dengan standar medis.

B. Bahaya Kimia
Adanya zat-zat kimia di rumah sakit dapat menimbulkan bahaya bagi
pasien, maupun bagi para pekerjanya, baik bagi para dokter, perawat, teknisi dan
semua yang berkaitan dengan pengelolaan rumah sakit terutama ruang ICU.
Resiko dari bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi yang
meliputi:
1. Desinfektan yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk dekontaminasi
lingkungan dan peralatan di rumah sakit seperti; mengepel lantai, desinfeksi
peralatan dan permukaan peralatan dan ruangan, dan lain-lain.
2. Antiseptik yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk cuci tangan dan mencuci
permukaan kulit pasien seperti alkohol, iodine povidone, dan lain-lain.
3. Detergen yaitu bahan-bahan yang digunakan untuk mencuci linen dan
peralatan lainnya.

22
4. Reagen yaitu zat atau bahan yang dipergunakan untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium klinik dan patologi anatomi.
5. Obat-obat sitotoksik yaitu obat-obatan yang dipergunakan untuk pengobatan
pasien.
6. Gas medis yaitu gas yang dipergunakan untuk pengobatan dan bahan
penunjang pengobatan pasien seperti oksigen, karbon dioxide, nitrogen, nitrit
oxide, nitrous oxide, dan lain-lain.
7. Gas Oksigen
a. Sifat-sifat oksigen: Stabil pada suhu dan tekanan normal, berbentuk gas
dan cair, bersifat oksidator, membantu pembakaran, tidak berwarna,
sedikit berbau dan tidak berasa. Berat molekul = 31.9988 gr/mol, titik
didih pada 1 Atm = - 182,920C, dapat larut di alkohol.
b. Tipe bahaya : Kebakaran
1) Bahaya: bersifat oksidator, membantu proses pembakaran/
memperbesar nyala api.
2) Pencegahan: jauhkan gas oksigen dari minyak, oli, gemuk, api, dan
zat-zat lain yang mudah terbakar.
3) Tindakan: Jika terjadi kebakaran gunakan pemadam api; Dry
Chemical, CO2, semprotkan air pada silinder O2 yang ada di
sekitarnya supaya dingin.
c. Bahaya: Ledakan.
1) Bahaya: Bisa menimbulkan ledakan, pecahnya tabung silinder.
2) Pencegahan: jauhkan dari api atau sumber panas lainnya, terutama
pada tabung bertekanan tinggi (150 atm) dapat meledak/pecah jika
terkena panas tinggi, pasang safety.
d. Pemaparan: Inhalasi.
1) Gejala akut: Menyebabkan iritasi, pusing jika terhirup oksigen murni
dalam jumlah besar.
2) Pencegahan: hindari hirup O2 dalam julah besar, pindahkan, jika ada
tabung bocor.
3) Pertolongan pertama: Bawa penderita ke tempat yang segar dan
istirahatkan.

23
e. Pemaparan: Kulit.
1) Gejala akut: Kulit melepuh atau luka beku karena pengaruh dingin
jika terkena O2 cair.
2) Pencegahan: Pakai sarung tangan, sepatu pelindung, hindari kontak
kulit dnegan O2 cair.
3) Pertolongan pertama: Siram dengan air hangat (30-400C) pada
bagian kulit yang terbakar atau luka.
f. Pemaparan: Mata
1) Gejala akut: Penglihatan kabur dan iritasi mata.
2) Pencegahan: Pakai pelindung mata saat menangani O2 cair.
3) Pertolongan pertama: Bilas mata dengan air bersih ± 15 menit.

C. Bahaya Ergonomi
Risiko bahaya ergonomik, yang merupakan hasil dari ketidak sesuaian
antara kapasitas atau kemampuan pekerja dengan cara kerja dan lingkungan
kerjanya. Permasalahan ergonomi di instalasi perawatan intensif berkaitan
dengan postur, kekuatan dan frekuensi.
Permasalahan ergonomi di instalasi perawatan intensif bisa diidentifikasi
berdasarkan:
1. Rutinitas dan pendistribusian, seperti Angkat dan angkut, posisi
duduk/membungkuk lama saat melakukan pemasangan infus atau tindakan
keperawatan, ketidak sesuaian antara peralatan dan postur tubuh perawat (saat
memberikan makanan via NGT posisi tangan terus diangkat), selisih body
mass pasien dengan ukuran fisik perawat (ketika perawat melakukan personal
hygiene, perawatan luka, memindahkan pasien dari brankar ke tempat tidur),
saat melakukan RJP/pemasangan ETT dengan posisi kurang tepat.
2. Permasalahan ergonomik lainnya adalah yang berhubungan dengan
lingkungan kerja seperti display unit, yaitu penataan ruang kerja termasuk
pencahayaan dan warna nya yang apabila tidak ergonomik akan
menimbulkan masalah dan kecelakaan kerja. Spt tinggi tangga lantai dengan
langit-langit yang terlalu rendah.

24
3. Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah masalah manajemen waktu
dan hubungan antar manusia dilingkungan pekerjaannya.
Pengendalian ergonomik dipakai untuk menyesuaikan tempat kerja
dengan pekerja. Pengendalian ergonomik berusaha mengatur agar tubuh pekerja
berada di posisi yang baik dan mengurangi risiko kerja. Pengendalian ini harus
dapat mengakomodasi segala macam pekerja. Pengendalian ergonomik
dikelompokkan dalam tiga kategori utama, yang disusun sesuai dengan metoda
yang lebih baik dalam mencegah dan mengendalikan risiko ergonomik.
1. Pengendalian teknik adalah metoda yang lebih diutamakan karena lebih
permanen dan efektif dalam menghilangkan risiko ergonomi.
2. Pengendalian teknik yang bisa dilakukan adalah memodifikasi, mendesain
kembali tata ruang atau mengganti tempat kerja, bahan/objek/desain tempat
penyimpan dan pengoperasian peralatan di ruang ICU
3. Pengendalian administratif yang berhubungan dengan bagaimana pekerjaan
disusun, seperti: jadwal kerja, penggiliran kerja dan waktu istirahat, program
pelatihan dan serta program perawatan dan perbaikan.
4. Pengendalian cara kerja yang berfokus pada cara pekerjaan dilakukan, yakni:
menggunakan mekanik tubuh yang baik dan menjaga tubuh untuk berada
pada posisi netral.

D. Bahaya Fisika
Faktor fisika merupakan salah satu beban tambahan bagi pekerja di rumah
sakit yang apabila tidak dilakukan upaya-upaya penanggulangannya dapat
menyebabkan penyakit akibat kerja. Faktor fisika di IFRS terdiri dari mekanik,
bising, listrik, dan radiasi.
1. Mekanik
a. Potensial bahaya : tertusuk jarum suntik, terjepit benda bergerak (trolly
emergency, bed pasien, trolly tindakan), terpeleset karena lantai licin
b. Pengendalian resiko bahaya:
1) Resiko yang paling sering terjadi adalah tertusuk jarum. Pengendalian
yang dapat dilakukan antara lain: penggunaan safety box limbah tajam
dan kebijakan dilarang menutup kembali jarum bekas.

25
2) Pemasangan keramik anti licin pada koridor dan lantai yang miring,
pemasangan rambu “awas licin”.
2. Bising
a. Potensial bahaya: suara monitor atau alarm ventilator
b. Pengendalian resiko bahaya :
1) Suara monitor disetting sesuai dengan standar
2) Segera mencari penyebab dan selesaikan masalah mengapa alarm
berbunyi
3. Listrik
a. Potensial bahaya :
1) Hampir semua alat-alat di ICU terhubung dengan sumber listrik
2) Resiko tersetrum listrik dari stop kontak yang terbuka atau kabel yang
terurai ke lantai atau saat operasional DC Shock melakukan
Kardioversi/Defibrilasi tidak sesuai dengan SPO, sehingga
petugas/perawat ikut terkena strum aliran listrik.
b. Keluhan : terasa panas dan kedutan
c. Walk through survey : adanya aliran listrik yang tidak terpelihara
d. Efek kesehatan : luka bakar ditempat tersengat aliran listrik, kaku pada otot
ditempat yang tersengat listrik, tahanan tubuh membesar
e. Pengendalian
1) Pemasangan grounding (pertanahan) sesuai ketentuan.
2) Pengukuran jaringan/instalasi listrik
3) NAB bocor arus 50 miliamper, 60 Hz (sakit)
4) Pemasangan pengamanan/alat pengamanan sesuai ketentuan
5) Pemasangan tanda-tanda bahaya dan indikator
4. Radiasi
Efek radiasi terhadap kesehatan dapat akut atau kronik. Efek kesehatan ini
tergantung dosis dan waktu pemajanan mulai dari gejala akut ringan sampai
kematian.
a. Radiasi yang akut dapat menimbulkan : sindrom sistem syaraf pusat,
gangguan gastrointestinal, gangguan sistem hemopeoetik

26
b. Radiasi yang kronik menimbulkan : Leukomogenesis, Karsiogenesis,
Kerusakan genetik
c. Pengendalian
1) Peralatan ditaruh pada ruang isolasi (beton-Fb)
2) Operator harus dilindungi dari paparan
3) Penggantian operator X-ray bila film badge telah mencapai NAB
4) Alat pelindung diri : apron

E. Bahaya Psikososial dan Stress


Pekerja yang bekerja di rumah sakit seperti pekerja juga ditempat lain
dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor psikososial yang dapat mempengaruhi
kesehatan, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Faktor-faktor
psikososial adalah faktor psikologi individu misalnya faktor personalitas dan
perilaku, sedangkan faktor sosial dalam kelompok misalnya pola interaksi dalam
kelompok/dalam keluarga. Pengaruh negatif dari bahaya psikososial ini adalah
memacu terjadinya stres.
1. Penyebab Stres di Tempat Kerja.
a. Bentuk tugas
Monoton, tugas yang tidak berarti, tidak ada variasi, tugas yang tidak
menyenangkan, tugas yang tidak disukai.
b. Beban dan kecepatan kerja
Terlalu banyak atau terlalu sedikit dan bekerja dibawah tekanan waktu.
c. Jam kerja
Jadwal kerja yang ketat dan tidak fleksibel, Jam kerja yang panjang, Jam
kerja yang tidak dapat diprediksi. Rancangan sistem shift yang buruk.
d. Kontrol dan partisipasi
Tidak berpartisipasi dalam penentuan kebijakan. Tidak adanya kontrol
dalam sistem kerja misalnya jam kerja, jam lembur.
e. Pengembangan karir, status dan pembayaran
Posisi kerja yang tidak didukung atau tidak aman, Tidak adanya prospek
promosi. Promosi yang kurang atau berlebihan, Nilai sosial kerja rendah,

27
Sistem penggajian yang tidak memuaskan. Sistem evaluasi yang tidak adil.
Tugas tidak sesuai dengan kemampuan, terlalu tinggi atau terlalu rendah.
f. Peran di organisasi
Peran tidak jelas, Peran yang menimbulkan masalah, Terlalu besar
tanggung jawab, terus menerus menyelesaikan masalah.
g. Hubungan antar individu
Hubungan antar sesame-antar posisi tidak baik, Tidak ada dukungan,
Terisolasi atau pekerjaan yang terisolasi. Pelecehan termasuk pelecehan
seks, dijahati, ditekan.
h. Kultur organisasi
Kepemimpinan dan komunikasi yang buruk. Tujuan dan struktur
organisasi yang tidak jelas.
i. Lingkungan kerja
Tidak nyaman, berbahaya, bising, polusi.
j. Lain-lain
Konflik antara beban tugas di tempat kerja dan di rumah.Tidak adanya
dukungan di tempat kerja bila ada masalah di rumah atau sebaliknya.
2. Akibat dari Stres
Pengaruh stress pada setiap orang berbeda. Perubahan yang timbul akibat
stres dapat berupa perubahan perilaku dan mempengaruhi kesehatan mental
dan fisik. Stres yang berkepanjangan dapat menyebabkan masalah psikologis
yang mengarah ke psikiatri penyalahgunaan obat, minum alkohol dan
kemudian tidak datang untuk bekerja. Stres juga dapat menurunkan daya
tahan tubuh sehingga mudah terserang infeksi.
a. Masalah psikologis yang mungkin muncul akibat stress
1) Lebih mudah tersinggung atau sedih
2) Makan berlebihan
3) Tidak dapat berkonsentrasi atau santai
4) Sulit berfikir secara logis dan sulit mengambil keputusan
5) Sulit menikmati pekerjaan dan tidak patuh
6) Merasa lelah, tertekan dan terganggu.
7) Sulit/gangguan tidur

28
8) Histeri dan gangguan psikiatri
9) Bunuh diri
b. Masalah fisik yang mungkin muncul akibat stres
1) Penyakit kardiovaskuler seperti peningkatan tekanan darah
2) Gangguan saluran cerna seperti dispepsia, ulkus peptikus.
3) Gangguan neuro-musculoskeletal seperti sakit punggung/ pinggang,
sakit kepala.
4) Kanker
c. Pengaruh stres pada organisasi/rumah sakit
1) Sering tidak masuk
2) Komitmen bekerja menurun
3) Produktivitas menurun
4) Peningkatan terjadinya kecelakaan kerja
5) Peningkatan ketidakpuasan pelanggan
6) Merusak citra
3. Pencegahan dan Pengelolaan Stres
Adanya masalah stres di tempat kerja merupakan tantangan organisasi untuk
menyehatkan organisasi dan pekerjanya. Ada dua hal yang dapat dilakukan
oleh organisasi yaitu:
a. Terapi organisasi/pencegahan stress
Hal ini adalah cara langsung untuk mengurangi stres di tempat kerja.
Pendekatan yang dilakukan adalah: mengidentifikasi penyebab stress
(stressor), mengembangkan strategi untuk menurunkan atau
menghilangkan penyebab stres tersebut. Metode ini sering tidak disukai
pimpinan karena dapat mempengaruhi rutinitas jadwal kerja atau bahkan
dapat mengubah struktur organisasi.
b. Terapi individu/Pengelolaan stress
Pendekatan ini adalah pendekatan yang berfokus pada individu dan cara
untuk mengatasi sesuai dengan kebutuhan melalui penyusunan program
pengelolaan stres. Pekerja belajar dari program tersebut mengenai sifat,
sumber stres, efek pada kesehatan dan kemampuan/ketrampilan untuk
mengurangi stres. Cara ini mudah untuk diterapkan tetapi ada

29
kelemahannya yaitu hanya berkonsentrasi pada individu sehingga sering
akar masalah penyebab stres terabaikan. Perubahan yang terjadi pada satu
RS adalah penurunan kesalahan medikasi sebanyak 5%. Hasil dari 22 RS
menunjukkan penurunan malpraktek sebanyak 70% dan pada 22 RS
pembanding yang tidak menerapkan program tersebut tidak terjadi
penurunan malpraktek.

30
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut Kepmenkes NOMOR 432/MENKES/SK/IV/2007 tentang
Pedoman Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit,
upaya K3 menyangkut tenaga kerja, cara atau metode kerja, alat kerja, proses kerja
dan lingkungan kerja. Upaya ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan
dan pemulihan. Kinerja setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan
resultan dari tiga komponen K3 yaitu kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan
kerja.
Penerapan program K3 di Rumah Sakit masih perlu banyak perbaikan.
Salah satunya adalah melakukan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian akan
bahaya dari kecelakaan kerja dalam bentuk apapun. Oleh karena itu, pencegahan
sebagai upaya meminimalisir kecelakaan akibat kerja di rumah sakit mulai dari
identifikasi hazard, investigasi setelah kejadian kecelakaan, evaluasi, controlling
hingga memfollow up program penanggulangan perlu dilakukan secara sistematis
dan lebih ditingkatkan, agar tupoksi K3RS sendiri dapat tercapai.

B. Saran
1. Merekomendasikan kepada pihak menajemen rumah sakit untuk membuat
instrument safe/unsafe action khusus perawat
2. Mengadakan refresing SOP baru tiap 3 bulan, training/pelatihan bagi karyawan
baru maupun karyawan lama sehingga dapat meningkatkan kesadaran masing-
masing individu untuk melatih budaya kerja secara aman (safe act culture).
Rumah Sakit perlu secara rutin mengevaluasi penyelenggaraan K3 RS untuk
menilai apakah kinerjanya sudah maksimal ataukah masih memerlukan
perbaikan sistem K3RS yang selanjutnya. Selain itu, rumah sakit harus selalu
mengidentifikasi sumber bahaya, penilaian dan pengendalian faktor risiko yang
selalu ada di rumah sakit.
3. Membuat kebijakan terkait advokasi status kesejahteraan perawat dengan
memberikan jaminan kesehatan yang baik melalui pemeriksaan kesehatan pra

31
pekerja, berkala (baik yang sudah terpapar/beresiko ataupun tidak) dan
pemeriksaan khusus (termasuk pemeriksaan sebelum pensiun) untuk
mengetahui adanya Penyakit Akibat Kerja (PAK) serta penatalaksanaannya dan
pemberian vaksinasi sebagai tindakan pencegahannya.
4. Semua pihak yang terkait dengan RS secara tanggung jawab melaksanakan
standar operasional prosedur (SOP) K3 RS sesuai dengan peraturan,
perundangan dan ketentuan mengenai K3 lainnya yang berlaku. Bagi perawat
agar tetap berupaya meminimalkan factor-faktor pemungkin dan membekali
dirinya dengan meningkatkan pengetahuan melalui seminar, media internet atau
buku guna mendapatkan informasi terbaru tentang K3 sehingga dalam
menerapkan asuhan keperawatan selalu memperhatikan budaya kerja K3 secara
aman dengan penekanan pada universal pre caution.

32
DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Bina Kesehatan Kerja. (2010). Pedoman Tata Laksana Penyakit Akibat Kerja
bagi Petugas Kesehatan. Departemen Kesehatan
Soeripto M. Higiane Industri. Balai penerbit FK UI. Jakarta; 2008
Suma’mur. Higiane perusahaan dan kesehatan kerja. Jakarta; 2009
Workplace Violence Prevention-Health Care and Social Service Workers, U.S.
DEPARTMENT OF LABOR, OCCUPATIONAL SAFETY AND HEALTH
ADMINISTRATION, http://1.usa.gov/12rwWAN (viewed on May 20, 2013).
Cooper, CL; Hart, PM; Anderson, DS; Ones, HK; Sinangil dan Viswesvran, C 2001.
Occupational stress: toward a more integrated framework. New York: Oxford.
Handbook of industrial work and organization psychology
Neal, A. & Griffin, M. A. (2000). Safety climate and safety behaviour. Australian Journal
of Management, 27 (special issues), 67‐73.

33

Anda mungkin juga menyukai