EFEKTIF
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
Pengantar Konseling
Yang dibina oleh Lutfi Fauzan
Oleh:
Achmad Faris Yulianto (130111613636)
Ahmad Abdullah (13011160003642)
Azizah (130111600059)
Samawatul Chofiyah (130111613639)
C. Kemampuan Konseptual
Masalah besar berkenaan dengan apa yang terjadi dalam konseling adalah
tentang pemahaman. klien mendatangi konselor karena mereka putus asa
dengan kemampuan mereka untuk memahami apa yang terjadi atau untuk
memutuskan apa yang harus dilakukan. Mereka akan kecewa ketika konselor
menyatakan bahwa akan lebih baik bagi klien untuk mendapatkan pemahaman
dan keputusan tersebut seorang diri. Namun demikian, konselor harus mampu
menghadapi klien dalam daerah yang sulit ini, dank arena itu harus kompeten
dalam memikirkan apa yang terjadi. Dalam ulasan literatur, Beutler, et al.
(1986) menemukan tidak ada hubungan antara kompetensi akademik konselor,
yang diukur dengan kinerja mereka pada gelar sarjana, dan keberhasilan
mereka pada kursus pelatihan. Hal ini bukan merupakan hasil yang
mengejutkan, karena dengan menyelesaikan program strata satu, konselor telah
mendemonstrasikan kompetensi intelektual yang cukup untuk menjadi seorang
konselor. Akan tetapi, hal tersebut mengkonfirmasi pandangan yang diterima
umum bahwa prestasi akademik tidak berkaitan dengan efektivitas konseling
yang tinggi. Martin, et al. (1989) menemukan bahwa konselor yang lebih
berpengalaman akan memandang klien berdasarkan sistem konstruksi yang
kompleks secara kognitif. Dengan tidak adanya studi penelitian terhadap
kemampuan konselor yang efektif, maka akan sangat berguna dan informatif
untuk melihat hasil penelitian terhadap manajer yang sukses, sebuah bidang
yang kerap menjadi bahan riset. Klemp dan McClelland (1986) melaksanakan
penelitian tentang kompetensi yang ditunjukkan oleh manajer yang efektif
dalam sejumlah organisasi yang berbeda, dan menemukan kompetensi “inti”
yang cenderung teridentifikasi dalam semua manajer yang sukses. Salah satu
hasil utama dari studi ini adalah adanya bukti yang jelas bahwa manajer yang
lebih efektif memiliki kapasitas yang lebih baik untuk mengkonseptualisasikan
masalah.
D. Kompetensi Personal
Berbeda dengan riset terhadap kompetensi kognitif atau konseptual,
terdapat sejumlah besar riset substansial yang menjadi dasar pembahasan nilai
penting faktor kepribadian dan kesehatan mental umum sebagai variabel yang
terkait dengan efektivitas konseling. Studi ini berkonsentrasi pada dua isu
utama: mengidentifikasi karakteristik kepribadian terapis yang efektif, dan
memberikan penilaian terhadap nilai terapi personal bagi praktisi. Semangat
yang mendasari studi ini digambarkan oleh McConnaughy (1987:304) dalam
pernyataannya bahwa: teknik aktual yang digunakan oleh terapis kurang
penting dibandingkan dengan karakter dan kepribadian unik terapis itu sendiri.
Terapis memilih teknik dan teori berdasarkan “siapa mereka” sebagai seorang
individu. Dengan kata lain, strategi terapi tersebut merupakan manifestasi
kepribadian terapis. Dengan demikian, sebagai individu, terapis merupakan
instrumen pengaruh utama dalam bidang terapi. Sebuah konsekuensi dari
prinsip ini adalah bahwa semakin banyak terapis menerima dan menilai dirinya
sendiri, semakin efektif ia dalam membantu klien untuk mengenal dan
menghargai diri mereka sendiri. terdapat bukti yang cukup bahwa konselor
yang baik adalah orang-orang yang menunjukkan tingkat penyesuaian
emosional umum yang lebih tinggi dan kemampuan membuka diri yang besar.
Harus dicatat bahwa variabel kepribadian yang tampaknya tidak diasosiasikan
dengan kesuksesan konseling adalah variable tertutup-terbuka dan
submisivitas-dominan. Studi lain telah mengeksplorasi kemungkinan
diasosiasikannya hasil dengan kemiripan atau perbedaan ciri kepribadian antara
konselor dan klien. Banyak pelatihan konselor yang menganjurkan terapi
personal bagi para peserta pendidikan sebagai cara memastikan pertumbuhan
kepribadian dalam bidang penyesuaian diri dan keterbukaan. Terdapat pula
bukti bahwa terapi personal bermuara pada peningkatan efektivitas profesional
konselor dan psikoterapis dengan memberikan basis yang kuat bagi
kepercayaan diri dan penggunaan diri (Baldwin 1987) yang tepat dalam
hubungan dengan klien. Terapi pribadi merupakan sarana yang unik untuk
belajar tentang terapi proses, yang memberikan wawasan tentang peran klien
dan, akhirnya, terapi tersebut memberikan kontribusi terhadap peningkatan
umum kesadaran diri dalam diri peserta pendidian. Namun demikian, terdapat
beberapa kesulitan mendasar yang ditimbulkan oleh praktik terapi pribadi bagi
para peserta pendidikan. Pertama, klien diwajibkan untuk hadir, bukan
tergantung pada partisipasi sukarela. Kedua, apabila peserta terlalu jauh
terbenam dalam kerja terapeutik, maka hal tersebut dapat menghancurkan
kemampuan emosionalnya terhadap klienya sendiri. Ketiga, dalam sebagian
institut penyelenggara pendidikan, terapis personal merupakan anggota staff
pelatihan, dan karena itu bukan hanya melaporkan perkembangan para peserta
dalam terapi personal tersebut, tapi juga apabila peserta merampungkan
program tersebut pada gilirannya menjadi kolega dari seseorang yang
merupakan mantan kliennya. ada alasan untuk berasumsi bahwa terapi pribadi
dapat dihubungkan dengan kompetensi konselor yang lebih besar, sebagaimana
juga terdapat asumsi sebaliknya. Studi barkaitan dengan terapi pribadi
mencerminkan pandangan yang seimbang ini. Misalnya, walaupun Buckley, et
al. (1981) menemukan bahwa 90 persen terapis yang menjadi sampel mereka
melaporkan bahwa terapi pribadi telah memberikan kontribusi positif terhadap
perkembangan kepribadian dan profesional mereka. Norcross, et al. (1988b)
menemukan bahwa 21 persen merasa, bagi mereka, terapi pribadi menyakitkan.
Peebles (1980) melaporkan bahwa terapi pribadi dikaitkan dengan tingkat
empati, keselarasan dan penerimaan yang lebih tinggi dalam diri terapis,
sementara Garfield dan Bergin (1971) menyimpulkan dari penelitian skala
kecil bahwa terapis yang tidak menerima terapi pribadi lebih efektif daripada
yang menerimanya. Sandell, et al. (2000) menafsirkan hasil ini dengan adanya
kemungkinan terapis yang merasa tidak terlalu baik dalam menangani klien
untuk memasuki terapi pribadi sebagai sarana untuk meningkatkan sensitivitas
dan kinerja mereka. Saat ini, terapi pribadi yang ditetapkan oleh asosiasi
profesional dan badan perizinan didasarkan pada adat, praktek dan pemahaman
klinis ketimbang bukti penelitian. Memberikan terapi pribadi merupakan suatu
elemen yang berpotensi penting dari pelatihan dan melanjutkan pengembangan
profesional dalam diri konselor, dan karena terapi begitu mahal, maka tidak
adanya pembuatan kebijakan riset terinformasi menjadi sesuatu yang patut
disayangkan.
E. Menguasai Teknik
Terdapat gerakan substansial dalam beberapa tahun terakhir ini untuk
mengidentifikasi kompetensi konselor sebagai hal utama dalam penguasaan
teknik. Kompetensi konselor dinilai dalam kerangka seberapa dekat dia dapat
mengikuti manual. salah satu karakteristik konselor yang sangat kompeten atau
berbakat adalah kemahiran mereka dalam memodifikasi secara kreatif teknik
atau latihan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing klien. Namun harus
dicatat bahwa dalam studi yang menggunakan manual instruksi, hasil buruk
amat berkaitan dengan kesalahan atau kekeliruan dalam teknik. Oleh karena
itu, menguasai teknik mungkin merupakan hal yang penting. Harus diakui
bahwa memiliki serangkaian teknik, atau apa yang terkadang disebut teknik
cadangan, akan menguntungkan. Lazarus (1989a,b) penemu eklektisisme
sistematis, dengan jelas merekomendasikan bahwa konselor yang kompeten
harus akrab dengan berbagai strategi intervensi. Mahrer mengklasifikasikan
teknik ke dalam kategori luas dan menggunakan rangkaian kategori operasi
terapis untuk menganalisis perilaku beberapa “pakar terapis” terkenal seperti
Carl Rogers dan Irving Polster. Ia menemukan bahwa masing-masing orang
dari mereka secara regular menggunakan cakupan strategi yang sangat terbatas.
Walaupun pendekatan yang lebih jauh jelas diperlukan, hasil yang dicapai oleh
Mahrer tampaknya menyiratkan bahwa pemahaman yang menyeluruh tentang
kisaran sempit teknik mungkin lebih berharga daripada kapasitas yang lebih
dangkal untuk menggunakan jangkauan yang lebih luas. Mahrer tidak setuju
dengan kesimpulan ini, dan melihat salah satu tujuan dari program risetnya
adalah mendorong konselor dan terapis untuk memperoleh cadangan operasi
lebih luas.
F. Kemampuan untuk Paham dan Bekerja dalam Sistem Sosial
Dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan dari pendekatan konseling
kontemporer adalah pandangan yang mereka anut terlalu individualistik
terhadap proses konseling. Mereka fokus pada skenario di mana klien duduk di
sebuah kursi yang berhadapan dengan konselor yang duduk di kursi lainnya.
Walaupun demikian, dalam realitasnya terdapat audien bagi pertunjukkan ini,
termasuk keluarga dan teman klien, dan pengawas serta rekan konselor.
Konselor dan klien selalu bertindak dalam sistem sosial, dan tindakan mereka
memengaruhi sistem tersebut. Karena itu, nilai penting kompentensi adalah
kemampuan untuk menyadari pengoperasian dalam sistem sosial. Konselor
yang bekerja dalam agensi akan menyadari tuntutan dan tekanan yang dibuat
organisasi. Tekanan tersebut, yang yang dijelaskan pada Bab 16, dapat berupa
tekanan untuk membocorkan rahasia klien, harapan untuk mempengaruhi
perilaku klien dan pembatasan terhadap pekerjaan yang dapat dilakukan oleh
klien. Konselor yang efektif dalam system social seperti ini harus sangat
kompeten dalam menghadapi sistem sosial yang menjadi tempat kerja mereka.
A. Kesimpulan
Peran konselor mencakup serangkaian tugas dan kompetensi. Konsep
keterampilan hanya menggambarkan satu komponen kompetensi konselor.
Konselor harus memiliki keterampilan interpersonal seperti: komunikasi, seni
mendengarkan, dan perilaku nonverbal. Konselor yang efektif adalah mereka yang
dapat mendemonstrasikan fleksibilitas kognitif dan kemampuan untuk
mengkonseptualisasi. Model pengembangan kompetensi mengingatkan konselor
akan kekuatan dan kelemahan yang unik, pemberian dan pengeluaran, dan semua
itu akan membawa mereka ke dalam pertemuan konseling, dan berdasarkan fakta
bahwa pengembangan tersebut tidak akan pernah selesai.
B. Saran
Penulis berharap bahwa dengan adanya pemaparan tentang keterampilan
dalam konseling, klien dapat menggunakan jasa para konselor dan memberikan
kepercayaan bahwa konselor dapat membantu klien dalam pemecahan masalah
melalui keterampilan dan kualitas konselor yang efektif.
C.
DAFTAR PUSTAKA
McLeod, John. 2006 . Pengantar Konseling Teori dan Studi Kasus . Jakarta:
Kencana.