Anda di halaman 1dari 33

PEMBINAAN HUBUNGAN KONSELING

=====================================
=======================
Oleh: Eko Darminto
Disajikan dalam Pendidikan & Latihan Profesi Guru
Bimbingan dan Konseling
Rayon Unesa tahun 20011
TUJUAN:
Setelah mengikuti pelatihan ini para peserta diharapkan
memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan konsep dan aspek-aspek dalam
hubungan konseling yang efektif
2. Mendemonstrasikan penerapan setiap keterampilan
teknis dan interpersonal dalam mengembangkan
hubungan konseling dengan konseli baik dalam
situasi bermain peran maupun praktek nyata.
A. PENDAHULUAN
Keberhasilan konselor dalam membantu konseli melalui
pendekatan konseling dalam rangka memecahkan kesulitan
yang sedang dialaminya dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Faktor-faktor itu bisa berasal dari konselor, konseli, situasi,
dan sistem pendukung atau ketersediaan perlengapan dan
sumber-sumber yang diperlukan guna memperlancar proses
dan keefektifan pencapaian tujuan konseling. Namun
demikian, faktor konselor dinilai paling menentukan karena
konselor menjadi tokoh sentral dalam proses konseling baik
dalam mengelola proses konseling, memotivasi konseli,
maupun memanfaatkan atau memberdayakan sumber-sumber
yang ada atau tersedia.
Salah satu aspek krusial yang berasal dari faktor konselor
adalah kemampuan konselor dalam mengembangkan
hubungan konseling. Banyak ahli sepakat bahwa hubungan
konseling menjadi kondisi yang krusial dalam mempengaruhi
keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan konseling (Egan,
1997; Cormier & Cormier, 1985; Hackney & Cormier, 2001;
Okun, 1988). Hubungan konseling dikatakan sebagai kondisi
yang krusial karena hubungan konseling akan mempengaruhi
iklim atau aliansi terapeutik antara konselor dan konseli.
Hubungan konseling yang berkembang dengan baik akan
memungkinkan konseli membuang perasaan-perasaan cemas,
takut, atau malu untuk membicarakan atau mendiskusikan
masalahnya dengan konselor termasuk rahasia-rahasia
pribadi yang dimilikinya. Konseli juga mengembangkan rasa
percaya kepada konselor bahwa konselor dapat menjadi
pendengar yang baik dan punya kesungguhan untuk
menolongnya. Kemauan konseli untuk mau membicarakan
masalahnya konselor menjadi kondisi awal yang sangat
esensial, karena dengan itu konselor dapat memperoleh
informsi yang luas, mendalam, dan akurat tentang masalah
konseli, dan atas dasar itu ia akan lebih mungkin dapat
mengembangkan langkah-langkah strategis yang lebih efisien.
Jika konselor gagal dalam mengembangkan hubungan yang
efektif, maka konseli menjadi enggan untuk berbicara dan
bahkan melawan upaya-upaya bantua yang akan diberikan.
Sejumlah hasil penelitian telaha membuktikan jika hubungan
konseling secara konsisten mempengaruhi keberhasilan
dalam pencapaian tujuan-tujuan konseling (Gelso & Carter,
1985). Hubungan konseling sering juga disebuat
sebagai rapport atau aliansi terapeutik.
Hakney & Cormier (2001) mengemukakan lima tahapan
dalam proses konseling dan menempatkan hubungan
konseling pada tahapan yang paling awal dalam keseluruhan
proses konseling. Tahap berikutnya setelah pengembangan
hubungan konseling adalah asesmen masalah, pemilihan dan
implementasi strategi atau teknik/metode bantuan, dan
evaluasi an tindak lanjut. Tahapan-tahapan tersebut disajikan
dalam bagan berikut.

TAHAP 2:

Asesmen masalah

Berikut adalah uraian singkat dari masing-


masing tahapan tersebut.
Bagan 1. Tahapan-tahapan dalam hubungan
konseling (diadaptasi dari Hakcney &
Cormeier, 2001)

Kotak hubungan konseling yang ditempatkan


di luar rangkain dan arah anak panah yang
menuju ke arah paling tinggi menyatakan
bahwa hubungan konseling merupakan tahap
paling awal dan jika telah terbentuk maka ia harus
tetap dipertahankan bahkan diperkuat pada tahapan-tahapan
selanjutnya. Artinya, setiap tahapan dalam proses konseling
memerlukan adanya iklim hubungan yang baik agar konseli
tetap termotivasi untuk mengikuti proses dan melaksanakan
tugas-tugas konseling. Jika hubungan menjadi rusak, maka
ada kemungkinan konseli akan berhenti melanjutkan proses
konseling.
Pentingnya hubungan konseling mengimplikasikan bahwa
pengusaan teknik-teknik intervensi oleh konselor tidaklah
mencukupi untuk melakukan suatu konseling yang berhasil.
Meskipun konselor telah mengusai cukup banyak teknik atau
strategi intervensi, jika ia tak mamiliki keterampilan untuk
mengembangkan hubungan baik dengan konselinya, maka ia
tak akan berhasil dalam mencapai tujuan-tujuan konseling
(Egan, 1987). Untuk posisi saat ini, hampir semua ahli dalam
berbagai pendekatan teoretik konseling setuju jika hubungan
konseling memainkan peran penting dalam mempengaruhi
hasil-hasil konseling. Bahkan pendekatan perilaku yang
dulunya sangat menekankan pada teknik, saat ini – tepatnya
sejak kemunculan neobehaviorism – telah mengakui bahwa
hubungan baik antara konselor dengan
konselinya merupakan aspek krusial dalam
proses konseling.
B. Kerangka Kerja Teoretik
Banyak ahli dan penulis tentang berbagai aspek penting
dalam pengembangan hubungan konseling. Namun pada
umumnya para ahli sependapat jika keterampilan
interpersonal merupakan hal esensial guna mengembangkan
hubungan konseling yang berhasil. Keterampilan
interpersonal itu sendiri sangat banyak macamnya. Demikian
pula nama dan jumlah keterampilan interpersonal yang
dituliskan oleh para ahli bisa bervariasi antara ahli yang satu
dengan ahlilainnya. Namun, dalam hal ini, banyak ahli yang
merujuk pada pemikiran Carl Rogers ketika mereka
membahas pendekatan-pendekatan dalam pengembangan
hubungan konseling.
Carl Rogers adalah salah satu tokoh dalam teori konseling
dan ahli dalam psikologi dari pendekatan humanistik. Di
bidang psikologi ia mengembangkan teori fenomenologis, dan
di bidang konseling ia mengembangkan teori konseling tidak
mengarahkan (non direktif) yang kemudian berubah menjadi
berpusat pada konseli (client centered). Oleh para pengikut
pengikutnya yang tergabung dalam
komunitas Rogerian, teori client centered kemudian
dikembangkan menadi teori berpusat pada pribadi (person
centered). Jika dalam konseling tak mengarahkan konselor
hanya memainkan peran sebagai pendengar dan sangat
permisif terhadap perasaan dan tindakan konselinya, maka
dalam konseling berpusat pada konseli konselor memainkan
peran lebih aktif. Segala tindakan terapeutiknya diarahkan
demi kesejahteraan konseli dan tidak esktrem membiarkan
apapun kemauan konselinya. Ketika para pengikut model ini
merasa kurang nyaman karena dituntut untuk hanya
memikirkan konselinya, mereka lalu mengembangkan teori
berpusat pada pribadi, suatu model yang lebih
memanusiawikan bukan hanya konseli tetapi juga konselor
dengan cara mengakui keberadaan, keunikan, dan
keterlibatan dua pribadi dalam proses konseling. Jadi dalam
proses konseling tidak hanya ditekankan pada pemberian
respek oleh konselor terhadap konseli, tetapi konselor perlu
melibatkan pribadi secara utuh ke dalam proses. Konselor
tidak boleh menyembunyikan realitas perasaan dan
pikirannya, tetapi harus jujur dan terbuka terhadap
konselinya. Jadi jika ia merasa jengkel dengan konselinya
yang tampak menggodanya, maka perasaan itu harus
diakuinya khususnya jika konseli dapat menangkap dan
menanyakannya. Namun demikian, itu tidak berarati konselor
boleh meninggalkan konseli. Ia tetap memperlihatkan
kesungguhan dan komitmen yang tinggi untu menolong
konselinya (Cormier & Cormier, 1985).
Dalam teorinya Rogers menegaskan bahwa hubungan
konseling merupakan aspek yang krusial (necessary) dan
mencukupi (sufficient) bagi terjadinya perubahan perilaku
konseli (Belkin, 1981; Corey, 2004, George & Christiani,
1981; Ivey, 199, Thompson & Rudolph, 2004). Penggunaan
kata “mencukupi” tersebut menegaskan bahwa dalam
konseling Rogerian tidak diperlukan teknik-teknik khusus
pengubahan perilaku. Dalam teori konseling “tak
mengarahkan,” teknik utama yang perlu ditampilkan oleh
konselor dalam proses konseling adalah “mendengarkan,”
lengkapnya “mendengarkan dengan sungguh-sungguh”
(active listening). Dalam hal ini Rogers memiliki keyakinan
bahwa hanya dengan didengarkan, individu seringkali dapat
memecahan masalahnya.
Para ahli dari pendekatan teoretik lain
mengapresiasi pemikiran Rogers tersebut
dengan mengakui bahwa hubungan konselor-
konseli merupakan aspek penting dalam
mendukung hasil-hasil konseling. Namun, tak
seperti halnya Rogers yang cukup hanya
mengandalkan pada teknik-teknik
keterampilan interpersonal, para ahli dari
pendekatan lain masih menekankan pada
penggunaan teknik-teknik khusus untuk
mengubah perilaku konseli. Sebagai contoh,
pendekatan perilaku yang dulunya tak
mengakui aspek-aspek interpersonal dalam
proses konseling, belakangan
mengapresiasinya namun tetap menekankan
pada penggunaan teknik pengubahan
perilaku. seperti dikemukakan oleh Wolpe
(1982), bahwa hubungan konselor-konseli
merupakan variabel penting dalam proses
konseling. Para konselor perilaku tidak
selayaknya bersikap impersonal dan hanya
menekankan pada teknik-teknik modifikasi
perilaku dan menjadikan para konseli
sebagai individu yang pasif yang bisa
diprogram menurut kemauan konselor.
Namun perlu tetap diingat bahwa meskipun
para ahli dalam konseling kognitif-perilaku
mengakui pentingnya sikap empatik,
penerimaan, ketulusan, dan penghargaan
positif, hal itu belum mencukupi untuk
menimbulkan perubahan. Artinya, hubungan
baik antara konselor-konseli diperlukan
hanya untuk memfasilitasi keefektifan
implementasi teknik.

Dalam perspektif Rogers, hubungan


konsleing mengandung faktor-faktor
interpersonal seperti pemahaman, ketulusan,
respek atau penghargan yang berpotensi
menurunkan rasa cemas konseli dan
mendorong rasa percaya. Jadi hubungan
konseling menunjuk pada iklim psikologis
yang muncul dari kontak interpersonal antara
konselor dan konseli. Hubungan konseling
dikatakan baik jika ia mampu mendorong
pertumbuhan psikologis yang positif pada diri
konseli, sedangkan hubungan yang buruk
akan menyebabkan munculnya perilaku yang
kontraproduktif. Tentu ini mengandung
implikasi bahwa untuk berhasil
mengembangkan hubungan konseling
konselor perlu menguasai aspek-aspek dalam
kompetensi interpersonal dan
tidak hanya membekali dirinya dengan
kompetensi profesional belaka tetapi juga
perlu sensitif dan memahami faktor-faktor
budaya dalam dirinya sendiri maupun orang
lain. Konseli-konseli yang memiliki kepekaan
budaya akan membaca pesan-pesan verbal
dan non verbal konselor dan memaknai
kualitas-kualitas tersebut. Itu akan menjadi
kesan pertama konseli dan akan
mempegaruhi hubungan selanjutnya.

Pada awal karirnya Rogers mengusulkan


enam kondisi konseling yang ia pandang
perlu dan mencukupi untuk menghasilkan
perubahan kepribadian yang konstruktif pada
konseli. Namun dalam tulisan-tulisannya yang lebih
belakangan khususnya dalam teori berpusat pada pribadi,
Rogers dan para pengikutnya mengemukakan tiga sikap
konselor yang disebutnya sebagai kondisi ini (core condition)
atau kondisi fasilitatif (fasilitative) hubungan konseling,
yakni:
 pemahaman yang empatik (emphatic understanding);

 keautentikan (genuineneess); dan

 respek atau penghargaan positif tanpa syarat


(unconditional positive regard) (Cormier & Cormier,
1985).
Masing-masing sikap tersebut mengandung beberapa
komponen. Tiga sikap konselor terebut oleh banyak hali
dipandang sebagai aspek-aspek dari keterampilan
interpersonal. Sehingga dalam hal ini, penguasaan
kompetensi interpersonal merupakan hal yang esensial yang
perlu dikuasai oleh konselor Rogerian.
C. Aspek-Aspek Esensial dalam
Pengembangan Hubungan Konseling

Berikut adalah pembahasan tentang aspek-


aspek esensial dalam pengembangan
hubungan konseling yang didasarkan pada
kerangka kerja Rogerian seperti teah
dikemukakan.

1. Empati

a. Batasan

Rogers (1989) mendefinisikan empati sebagai


suatu kondisi psikologis yang menyatakan
bahwa konselor memahami perasaan yang
sedang dialami oleh konseli. sedangkan
Cormier & Cormier (1985), mendefinisikan
empati sebagai suatu bentuk kemampuan
untuk mengerti/memahami orang lain sesuai
dengan sudut pandang yang digunakan oleh
orang lain itu. Pada tataran yang paling tinggi
(dalam konseling), empati menunjuk pada
kemampuan konselor untuk memasuki dunia
pribadi konseli sehingga ia dapat
memperjelas bukan hanya perasaan-
perasaan atau pikiran yang disadari oleh
konseli tetapi juga yang tidak disadarinya.
Jelas bahwa berempati bukan hal yang
mudah karena untuk dapat menampilkannya
dengan berhasil maka konselor perlu
memahami dan menghargai sudut pandang
konseli, atau menempatkan dirinya ke dalam
dunia subyektif konseli.

b. Tujuan pemberian empati

Dalam konseling, setiap bentuk perilaku


konselor – verbal maupun non verbal – harus
menagandung ilai terapeutik tertentu atau
dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan
tertentu yang terkait dengan upaya
memabawa kemajuan konseli. Demikian pula
halnya dengan empati. Agar memiliki efek,
dalam konseling empati harus
dikomunikasikan dan dapat ditangkap oleh
konseli. Cormier & Cormier (1985)
mengemukakan tiga tujuan pengkomuniksian
empati oleh konselor pada konseli, yakni:

· Untuk mengembangkan iklim psikologis


yang kondusif (rapport). Rapport adalah
suatu bentuk hubungan yang ditandai oleh
adanya keterbukaan, kejujuran, dan
kepercayaan.
· Untuk memperoleh informasi yang akurat
dari konseli. Dengan mengkomunikasikan
empati, maka konseli akan mengembangkan
sikap percaya dan terbuka kepada konselor.
Sikap ini sangat potensial untuk mendorong
konseli membicarakan kesulitan-
kesulitannya atau masalahanya,
perasaannya, pikirannya, dan tindakan-
tindakannya secara terbuka dan terus terang.
Keterbukaan ini tentu saja akan
memungkinkan konselor memperoleh banyak
informasi tentang konselinya beserta dengan
seluruh aspek perkembangan dan latar
belakangnya.
· Untuk mendorong konseli mengeksplorasi
dirinya. Setelah konseli bersedia
membicarakan dirinya secara terbuka dan
terus terang, ini tentu saja akan
memudahkan terjadinya eksplorasi
(pengungkapan) diri. Dari pengungkapan diri
ini maka akan dapat diketahui bukan hanya
masalah atau kesulitan konseli tetapi juga
potensi-potensi (keunggulan) dan kelemahan-
kelemahannya. Data atau infomasi yang
diperoleh dari ekplorasi diri ini tentu saja
akan sangat bermanfat untuk kepentingan
merancang program-program perlakuan atau
intervensi.
c. Teknik mengkomuniksikan empati

Empati dapat dikomunikasikan secara verbal


(disebut empati verbal) maupun non verbal
(disebut empati non verbal). Berikut adalah
bentuk-bentuk empati non verbal dan verbal
beserta contoh-contohnya yang disalin an
diadaptasikan dari Cormier & Cormier (1985).

(1) Empati non verbal

Cormier & Cormier (1985) mengemukakan


tujuh teknik non verbal untuk
mengkomunikasikan, yaitu:

· Kontak mata. Konselor dapat memandang


langsung ke arah mata konseli ketika sedang
berkomuniksi untuk menyatakan bahwa ia
sungguh-sungguh mendengarkan dan ingin
memahami. Agar memiliki sifat empatik,
tatapan mata tersebut tidak boleh kaku dan
membuat takut atau menyebabkan konseli
menjadi tidak nyaman, seperti menatap
dengan cara melotot dan terus menerus.
Untuk menyatakan empati, konselor dapat
memandang ke arah titik tengah antara dua
mata konseli dengan cara yang lembut dan
mengalihkan tatapannya untuk tiap beberapa
saat dengan cara mengikuti arah pandangan
mata konseli. Dalam kaitan dengan tatapan
mata ini tentu bisa bervariasi menurut latar
belakang budaya konseli.
· Sikap badan. Ketika mendengarkan konseli,
konselor perlu mencondongkan badannya ke
arah konseli dan bukan condong ke belakang,
baik ketika duduk maupun berdiri.
Mencondongkan bada ke arah belakang (ke
sandaran kursi atau dinding) dinilai sebagai
respon yang tidak empatik.
· Eksprsi tangan dan kaki. Berpangku tangan,
bersedeku, atau selalu menggerak-gerakkan
tangan dan kaki merupakan bentuk perilaku
nonverbal yang tidak empatik. Untuk itu
perilaku-perilaku tersebut sebaiknya
dihindari. Untuk memperlihatkan respon
empatik, konselor dapat meletakkan kedua
tangan pada tangan kursi atau di atas
pangkuannya. Demikian pula kaki jangan
diangkat ke atas dan/atau digerak-gerakkan.

· Pacing. Pacing adalah tindakan mengikuti


gerakan konseli. Mengikuti gerakan konseli
berarti menyesuiakan perilaku non verbal
kita dengan perilaku konseli. Misalnya, kita
mengikuti arah pandangan mata konseli,
menyesuikan posisi duduk kita dengan posisi
duduk mereka, menghadapkan badan kita ke
badan mereka ketika sedang berkomunikasi
(tidak miring), dan sebaginya.
· Sentuhan. Dalambatas-batas tertentu,
sentuhan tangan konselor pada konseli
ketika sedang berkomunikasi dapat
mengkomuniksika empati. Sentuhan dapat
dilakukan dengan cara menepuk-nepuk
punggung konseli atau memegang
tangannya. Memeluk konseli ketika ia sedang
mengekspresikan kesedihan yang mendalam,
atau menjabat tangannya dengan hangat
sebagai ucapan selamat dan turut senang
ketika konseli sedang bersuka cita
merupakan salah satu bentuk empati non
verbal.
· Jarak fisik. Konselor sbaiknya tidak
menempatkan dirinya tertalu jauh atau
terlalu dekat dengan konseli. Jarak fisik
antara konselor-konseli yang umumnya
dipandang mengandung nilai empati adalah
sekitar satu meter, baik ketika duduk
maupun berdiri. Namun untuk situasi
tertentu, jarak ini bisa lebih dekat. Yang
esensial adalah cara konselor menampatkan
dirinya ketika sedang duduk atau berdiri
tidak mengindikasikan ia menghindari
konseli atau sengaja ingin merapat ke
konseli. Jarak perlu diatur sedemikian rupa
sehingga konselor dan konseli dapat saling
mendengar percakapan dengan jelas.
· Waktu. Waktu juga dapat digunakan untuk
mengkomuniksikan empati. Datang tepat
waktu atau sesuai janji akan membuat
konseli merasa diterima dan dihargai
dibandingkan jika konselor sering terlambat
menemui konseli.
(2) Empati verbal

Hackney & Cormier (2001) mengemukakan


beberapa teknik verbal untuk
mengkomunikasikan empati, yakni: perhatian
verbal (verbal attentiveness), klarifikasi,
parafrase, bertanya, refleksi, dan rangkuman.
Berikut adalah pengertian dan contoh-contoh
dari teknik-teknik tersebut.
· Perhatian verbal. Cara paling umum untuk
mengkomuniksikan perhatian verbal adalah
dengan menggunakan dorongan-dorongan
verbal singkat seperti, “Mm-hmm,” “Saya
tahu,” “Bagus,” dan sebaginya. Teknik ini
perlu digunakan secara selektif karena
penggunaannya secara berlebihan justru
dapat menghambat eksplorasi diri konseli.
· Klarifikasi

Klarifikasi digunakan untuk meminta


penjelasan terhadap atau mengkonfimasikan
pesan konseli yang kurang jelas atau ambigu
dengan mengajukan pertanyaan. Di antara
pesan-pesan yang mungkin samar adalah
yang menggunakan istilah-istilah inklusif
(dia, mereka), frase ambigu (Bapak tahu...,
Ibu tahu...,), dan kata-kata yang memiliki
makna ganda (Bapak saya memang keras....).
Klarifikasi selalu dimulai dengan bentuk
pertanyaan dan diawali dengan frase seperti:
"Apa yang Anda maksud dengan ........" atau
"Dapatkakah menceriterakan lebih detil
tentang..........?" atau “Siapa yang kamu
maksudkan ......” diikuti dengan mengulang
sebagian atau seluruh pernyataan konseli
yang ingin Anda klarifikasi.

· Parafrase

Parafrase adalah suatu bentuk respon yang


dibuat dengan cara menyatakan kembali
kata-kata atau pokok pikiran konseli, atau
seluruh pernyataan konseli. Dengan kata lain,
parafrase memusatkan perhtian pada bagian
kognitif dari pesan konseli. Parafrase juga
memungkinkan konseli untuk lebih
memusatkan perhatian pada situasi, perilaku,
dan pikiran tertentu.

Penggunaan parafrase dalam hubungan


konseling memiliki beberapa tujuan.
Pertama, penggunaan parafrase dapat
menyatakan kepada konseli bahwa konselor
memahami apa yang mereka katakan. Kedua,
parafrase dapat mendorong konseli untuk
mengelaborasi pokok pikirannya. Ketiga,
penggunaan parafrase dalam hubungan
konseling dapat membantu konseli untuk
memusatkan perhatian pada situasi atau
peristiwa khusus, pikiran, atau perilaku.

Contoh parafrase:

Konseli: "Iya pak, saya mengerti jika saya


hanya duduk-duduk saja di kelas tanpa
berusaha menangkap apa yang dijelaskan
guru dan membuat catatan-catatan penting,
saya tidak akan berhasil dengan baik.”

Konselor: "Bagus, kamu tahu jika kamu ingin


barhasil maka kamu seharusnya tidak hanya
diam saja di tempat dudukmu tanpa berusaha
mengikuti pelajaran dengan baik.”

· Refleksi

Refleksi pada dasarnya sama dengan


parafrase tetapi berbeda fokus. Jika
parafrase memusatkan perhatian
pada isi pesan (bagian kognitf), refleksi
memusatkan perhatian pada perasaan yang
menyertai pesan (bagian afektif).
Konseli seringkali menyatakan perasaanya
dengan kata-kata seperti cemas, depresi,
risau, dan sebaginya yang seringkali itu tidak
benar-benar menggambarkan apa yang
sesunguhnya sedang dirasakannya. Sebagai
contoh, konseli mungkin mengatakan “Saya
gelisah” untuk menyatakan perasaan marah,
sebal, kecewa, atau depresi.
Contoh refleksi:

Konseli

"Saya bosan, benci, dan tidak tahan lagi


dengan kehiduapan saya ini. Sepertinya
hidup saya sudah berakhir.”

Refleksi

“Sepertinya kamu merasa putus asa dengan


hidup yang kamu alami saat ini.”

· Bertanya

Dalam konseling, konselor seringkali ingin


mengungkap hal-hal yang tidak diceriterakan
oleh konseli atau harus mendorong konseli
untuk berbicara lebih banyak atau lebih jauh
tentang apa yang telah diceriterakan. Untuk
mencapai tujuan ini, konselor juga dapat
mengajukan pertanyaan (bertanya). Bentuk
pertanyaan yang dipandang paling baik untuk
mengungkap informasi adalah pertanyaan
terbuka, atau pertanyaan yang mengarahkan
pada jawaban luas. Bentuk pertanyaan ini
seringkali disebut pertanyaan ekploratif atau
pertanyaan untuk menggali informasi
(probing).
Contoh pertanyaan eksploratif:

Konseli

"Hidup saya berubah sejak ayah meninggal.


Saya benar-benar kehilangan. Ayah saya
sangat mencintai saya, demikian juga saya.
Setelah ayah meninggal, kami menjadi susah.
Itu karena kami semua biasa mengandalkan
ayah. Ibu tidak bekerja, dan kami sudah
terbiasa hidup dengan mudah..... semuanya
telah disediakan oleh ayah.... “

Pertanyaan

“Apa saja yang telah dilakukan oleh


keluargamu untuk menangani situasi
tersebut?” atau,

“Apakah kamu merasa tidak bisa berbuat


apa-apa setelah ayahmu meningggal?

· Merangkum
Dalam konteks konseling, merangkum berarti
mengintegrsikan atau menyatukan beberapa
pesan konseli ke dalam satu tema. Jadi,
Secara operasional, rangkuman dapat
didefinisikan sebagai penggabungan dari dua
atau lebih parafrase dan/atau refleksi untuk
memadatkan pesan-pesan konseli pada
setiap akhir sesi, atau dari pesan-pesan
konseli yang kompleks dan panjang yang
mengandung banyak elemen. Rangkuman
dapat diberikan pada setiap akhir sesi.
Rangkuman juga berfungsi untuk mereviu
kemajuan yang telah dicapai dari setiap
tahapan konseling.

2. Keautentikan

a. Batasan
Keautentikan (genuineness) menyatakan
menjadi diri sendiri, jujur, tidak memainkan
suatu peran, sungguh-sungguh, dan tulus
dalam menghadapi dan menolong konseli.
Konselor menolong konseli bukan karena
tekanan, keterpaksaan, atau karena
mengharapkan sesuatu, melainkan karena itu
menjadi tanggung jawab dan tuntutan
profesinya.
Seperti halnya empati - konselor dapat
mengkomunikasian keautentikan secara
verbal dan non verbal. Secara non verbal,
konselor dapat mengkomunikasikan
keautentikan melalui kontak mata, ekspresi
wajah, posisi badan, dan jarak fisik. Konselor
juga harus kongruen atau konsisten, yakni
menjaga konsistensi atau kelurusan antara
kata-kata, perasaan, dan tindakannya.
Keautentikan juga dapat dinyatakan melalui
respon yang spontan, membuka diri (self-
disclosure) dan bersedia berbagai
(sharing)secara emosional, kognitif, dan
tindakan dengan konseli. Membuka diri
diartikan sebagai kemauan memberikan
informasi tentang diri kepada konseli.
b. Cara mengkomunikasikan
keaslian/kesungguhan
Hackney & Cormier (2001) mengemukakan
tiga teknik untuk mengkomunikasikan
keautentikan, yakni: kongruensi,
keterbukaan diri, dan imediasi. Sedangkan
Cormier & Cormier (1985) mengemukakan
lima komponen perilaku yang menandakan
kesungguhan, yakni: perilaku non verbal yang
mendukung, perilaku peran, kongruensi, dan
spontanitas. Berikut adalah penjelasan dan
contoh dari masing-masing kelas perilaku
tersebut.

· Perilaku non verbal


Keautentikan dapat dikomunikasikan oleh
konselor melalui perilaku nonverbal yang
tepat seperti kontak mata, senyuman, dan
condong kearah konseli ketika duduk.
Meskipun demikian, perilaku non verbal
tersebut dapat digunakan secara diskrit atau
kadang-kadang. Sebagai contoh, kontak mata
yang langsung tapi tidak terus-menerus
mungkin dipersepsi sebagai lebih sungguh-
sungguh ketimbang menatap mata konseli
secara terus-menerus. Demikia juga,
senyuman atau mencondongkan badan
secara terus menerus ke arah konseli
mungkin dipandang palsu dan artifisial
(dibuat-buat).

 Perilaku peran
Konselor yang tidak terlalu menekankan
pada perilaku peran, otoritas, atau status
mungkin dipersepsi lebih autentik oleh
konseli. Sebaliknya, jika konselor terlalu
menekankan posisi perannya dapat
menciptakan suatu jarak emosional dalam
hubungan konseling, konseli mungkin merasa
terintimidasi bahkan menjadi benci. Konselor
yang autentik adalah mereka yang merasa
nyaman dengan dirinya sendiri dan dengan
berbagai macam orang dan situasi. Konselor
yang asli tidak akan berubah ketika mereka
bersama dengan orang yang berbeda, dalam
arti bahwa mereka tidak harus mengadopsi
peran baru agar dapat diterima oleh orang
lain .

 Kongruen
Kongruensi menunjuk pada konsistensi kata-
kata, tindakan, perasaan, dan/atau pikiran.
Konseli yang sensitif akan mudah
menemukan konselor yang kongruen dan
tidak kongruen. Konselor yang tidak
kongruen mengindikasikan bahwa ia kurang
kompeten dan sungguh-sungguh dan
berpotensi merusak hubungan terapeutik.

Contoh konselor yang tidak kongren adalah


ketika ia mengatakan, “ Sungguh, saya di sini
akan mendengarkan apa yang akan engkau
ceriterakan,” namun ia tidak memandang ke
arah konseli, tampak gelisah dan tidak sabar,
atau mencondongkan badan ke belakang.
Banyak konseli yang peka terhadap ketidak
kongruenan konselor, meskipun mereka tidak
tahu bagaimana menginterprtasikannya. Jika
konselor tampak tidak kongruen di mata
konseli, maka konseli tentu saja akan
memberikan reaksi negatif yang tidak
mendukung proses konseling.

 Keterbukaan
Keterbukaan menunjuk pada kesediaan
untuk membuka diri secara jujur. Membuka
diri dapat bersifat positif dan negatif.
Membuka diri bersifat positif jika ia
menyatakan kekuatan pribadi, pengalaman
keberhasilan, dan pengalaman-pengalaman
lain yang sama dengan konseli. Sebaliknya,
membuka diri negatif menyatakan informasi
tentang keterbatasan pribadi, kegagalan,
perilaku tidak tepat, dan pengalaman-
pengalaman yang tidak sama dengan konseli.
Membuka diri juga dapat bersifat sejajar dan
tidak sejajar dengan ke dalaman isi pesan
konseli. Membuka diri dikatakan sejajar jika
respon konselor memiliki kaitan yang erat
dengan pernyataan konseli.

Contoh:

Membuka diri positif :


"Saya orang yang mudah percaya pada orang
lain. Jika Saya memiliki sesuatu yang harus
diceriterakan, Saya selalu berusaha untuk
mengatakannya kepada mereka dengan cara
yang hati-hati."

Membuka diri negatif:


"Saya juga memiliki kesulitan untuk
membuat keputusan untuk diri saya sendiri
tanpa harus meminta saran pada orang lain."
Membuka diri sejajar:
Konseli:

"Saya sungguh-sungguh tertekan. Ayah saya


sering memarahi saya, dan saya sering
berpikir bahwa apa yang dikeluhkan oleh
ayah saya mungkin benar. Saya telah
melakukan banyak kesalahan."

Konselor:

Konselor 2:

"Saya juga akan merasa jengkel jika dimarahi


terus-terusan. Saya malah akan
membalasnya dengan marah juga."

3. Penghargaan Positif

a. Batasan
Penghargaan positif (positive regard) –
menunjuk pada kemampuan konselor untuk
meresek, menghargai, dan menerima konseli
sebagai mana adanya dengan segala
keunikannya. Secara operasional,
penghargaan positif dikomunikasikan oleh
konselor melalui komitmen untuk membantu
konseli, berusaha memahami konseli, tidak
menilai konseli, dan hangat.
b. Cara mengkomunikasikan penghargaan
Cormier & Cormier (1985) mengidentifikasi
empat komponen perilaku yang dapat
digunakan oleh konselor untuk
mengkomunikasikan penghargaan, yakni:
komitmen, pemahaman, sikap tidak menilai,
dan hangat. Berikut adalah penjelasan
singkat dari keempat komponen tersebut.

 Komitmen
Komitmen menunjuk pada kesediaan
konselor untuk bekerja dengan konseli dan
berminat untuk melaksanakannya. Komitmen
dapat diterjemahkan ke dalam beberapa
tindakan seperti: menepati janji pertemuan,
menjaga privasi selama sesi-sesi konseling,
menjaga kerahasiaan, dan menerapkan
semua ketrampilan yang dimiliki untuk
membantu konseli.

 Pemahaman
Konseli akan merasa dihargai jika mereka
tahu bahwa konselor sedang berusaha untuk
memahami dirinya dan menangani
kesulitannya dengan penuh perhatian.
Konselor dapat menyatakan upaya-upaya
memahami ini dengan cara memperlihatkan
respon empatik, dan mengajukan pertanyaan
untuk memperoleh informasi penting tentang
konseli. Konselor juga dapat menyatakan
pemahaman dengan menggunakan respon-
respon mendengarkan yang telah dibicarakan
di depan, yakni parafrase atau refleksi
perasaan.

 Sikap tidak menilai


Sikap tidak menilai menunjuk pada
kemampuan konselor untuk tidak menilai
motif atau tindakan konseli, dan menghindari
tindakan menyalahkan atau menghukum
perasaan, pikiran, atau tindakan konseli.
Sikap tidak menilai juga dapat digambarkan
sebagai penerimaan konselor terhadap
konseli tanpa kondisi atau reservasi,
meskipun itu tidak berati bahwa konselor
mendukung ataum menyetujui semua yang
dikatakan atau dilakukan oleh konseli.

 Hangat
Kehangatan (warmth) konselor merupakan
salah satu bentuk respek yang paling banyak
digunakan. Respon hangat ini dapat
dinyatakan secara verbal maupun nonverbal.
Salah satu bentuk respon verbal untuk
menyatakan sikap hangat adalah
memberikan respon dengan segera atau
imediasi (immediacy), yakni respon konselor
yang menyatakan apa yang terjadi dalam
suatu sesi menyangkut konselor, konseli, dan
hubungan antara konselor-konseli. Jadi ada
tiga bentuk imediasi, yakni: (1) imediasi
konselor (refleksi pikiran, perasa, dan
perilaku konselor); imediasi konseli (refleksi
pikiran, perasa, dan perilaku konseli); dan (3)
imediasi hubungan (refleksi beberapa aspek
hubungan).
Contoh imediasi (diterjemahkan dari Cormier
& Cormier, 1985):

Imediasi konselor: konselor menyatakan


perasaan atau pikirannya pada saat sekarang
ketika menghadapi konseli):
· "Senang sekali saya bisa melihat Anda lagi
hari ini."

· "Wah maaf, Saya kurang mendengar apa


yang Anda bicarakan. Saya ingin Anda
mengulanginya lagi dengan agak keras."

Imediasi konseli: Konselor memberikan


umpan balik pada klein tentang perilaku atau
perasaan konseli yang tampak ketika
wawancara.
· "Anda tampak gelisah hari ini."

· "Anda benar-benar dapat tersenyum


sekarang, mata Anda berbinar-binar. Anda
kelihatan sangat berbahagia."
Imediasi hubungan (konselor menyatakan
perasaan/pikiran tentang bagaimana ia
mengalami hubungan yang sedang
berlangsung).
· "Saya senang karena Anda mau
bekerjasama dengan saya dalam proses ini."

· "Ini membuat Saya senang karena akhirnya


Anda datang juga menemui saya hari ini."

Contoh respon-respon non verbal yang


menyatakan kehangatan

Kehangatan juga apat dikomunikasikan


melalui berbagai bentuk perilaku non verbal
seperti digambarakan pada tabel berikut:

Dimensi

Indikator

Hangat

Dingin

Suara

Lembut, layak dengar

Keras, tak berperasaan

Ekspresi wajah
Tersenyum, berminat

Tak berperasaan, mengkerut, tak berminat

Kontak mata

Melihat langsung ke mata konseli dengan


sorot lembut

Menghindari kontak mata

Posture

Rileks, condonmg ke arah konseli

Tegang, condong ke belakang

Sentuhan

Memegang, menepuk pelan

Menghindari semua bentuk sentuhan

Gestur

Tangan terbuka, tidak sedeku

Tangan sedeku

Jarak fisik

Dekat-layak

Menjauh
Diadaptasikan dari Cormier & Cormier (1985:
32).

D. Simpulan

Hubungan konseling merupakah aspek yang


sangat krusial dalam mempengaruhi
keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan
konseling. Pengaruh nyata dari hubungan
konseling pada keefektifan proses konseling
berkaitan dengan fakta bahwa iklim
hubungan konseling mempemgaruhi
keterbukaan konseli, dan ketebuakan konseli
menyebabkan konselor dapat memperoleh
informasi yang akurat tentang permasalahan
konseli. Informasi akurat ini bermanfaat
untuk menetapkan konfigurasi dan
mengembangkan hipotensis tentang masalah
konseli sebagai dasar guna merancang
program intervensi. Hubungan konseling apat
dikembangkan melalui keterampilan
interpersonal konselor. Aspek-aspek
keterampilan interpersonal yang banyak
dirujuk oleh para ahli dan penulis dalam
bidang konseling berakar pada kerangka
kerja konseling Rogerian, yang meliputi:
empati, keautentikan, dan penghargaan
positif. Ketiga aspek tersebut merupakan
kondisi inti hubungan konseling yang
fasilitatif yang dapat dan perlu
dikomunikasikan oleh konselor kepada
konseli melalui teknik-teknik respon
mendengarkan dan tindakan seperti:
klarifikasi, parafrase, refleksi, merangkum,
dan bertanya.

DAFTAR PUSTAKA

Corey, G. (2005). Theory and Practice of


Counseling and Psychotherapy (Sevent
ed.). California: Brooks/Cole Publishing
Company.
Cormier, WH., dan Cormier, LS.
(1985). Interviewing Strategies for Helper.
Fundamentals Skills and Cognitive Behavioral
Interventions (second ed.). Monterey,
California: Brooks/Cole Publishing Company.
Egan, G. (1987). The Skilled Helper. A
Systematic Approach to effective
Helping (third ed.). California: Brooks/Cole
Publishing Company.
George, R.L. dan Cristiani, T.S.
(1981). Theory, Methods,and Process of
Counseling and Psychotherapy. Englewood
Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Gladding, Samuel T. (1995). Groups Work: A
Counseling Specialty (second ed.). New
Jersey: Merrill, An Imprint of Prentice-Hall.
Hackney, H.L. & Cormier, L.S. (2001). The
Profesiojal Counselor. A Process Guide to
Helping. Boston: Allyn & Bacon.
Shertzer, B. & Stone, S.C.
(1980). Fundamentals of Counseling (third
ed.). Boston: Houghton Mifflin Company.
Thompson, C.L. & Rudolph, L.B.
(1983). Counseling Children. Monterey,
California: Brooks/Cole Publishing Company.

Anda mungkin juga menyukai