=====================================
=======================
Oleh: Eko Darminto
Disajikan dalam Pendidikan & Latihan Profesi Guru
Bimbingan dan Konseling
Rayon Unesa tahun 20011
TUJUAN:
Setelah mengikuti pelatihan ini para peserta diharapkan
memiliki kemampuan untuk:
1. Menjelaskan konsep dan aspek-aspek dalam
hubungan konseling yang efektif
2. Mendemonstrasikan penerapan setiap keterampilan
teknis dan interpersonal dalam mengembangkan
hubungan konseling dengan konseli baik dalam
situasi bermain peran maupun praktek nyata.
A. PENDAHULUAN
Keberhasilan konselor dalam membantu konseli melalui
pendekatan konseling dalam rangka memecahkan kesulitan
yang sedang dialaminya dipengaruhi oleh sejumlah faktor.
Faktor-faktor itu bisa berasal dari konselor, konseli, situasi,
dan sistem pendukung atau ketersediaan perlengapan dan
sumber-sumber yang diperlukan guna memperlancar proses
dan keefektifan pencapaian tujuan konseling. Namun
demikian, faktor konselor dinilai paling menentukan karena
konselor menjadi tokoh sentral dalam proses konseling baik
dalam mengelola proses konseling, memotivasi konseli,
maupun memanfaatkan atau memberdayakan sumber-sumber
yang ada atau tersedia.
Salah satu aspek krusial yang berasal dari faktor konselor
adalah kemampuan konselor dalam mengembangkan
hubungan konseling. Banyak ahli sepakat bahwa hubungan
konseling menjadi kondisi yang krusial dalam mempengaruhi
keberhasilan pencapaian tujuan-tujuan konseling (Egan,
1997; Cormier & Cormier, 1985; Hackney & Cormier, 2001;
Okun, 1988). Hubungan konseling dikatakan sebagai kondisi
yang krusial karena hubungan konseling akan mempengaruhi
iklim atau aliansi terapeutik antara konselor dan konseli.
Hubungan konseling yang berkembang dengan baik akan
memungkinkan konseli membuang perasaan-perasaan cemas,
takut, atau malu untuk membicarakan atau mendiskusikan
masalahnya dengan konselor termasuk rahasia-rahasia
pribadi yang dimilikinya. Konseli juga mengembangkan rasa
percaya kepada konselor bahwa konselor dapat menjadi
pendengar yang baik dan punya kesungguhan untuk
menolongnya. Kemauan konseli untuk mau membicarakan
masalahnya konselor menjadi kondisi awal yang sangat
esensial, karena dengan itu konselor dapat memperoleh
informsi yang luas, mendalam, dan akurat tentang masalah
konseli, dan atas dasar itu ia akan lebih mungkin dapat
mengembangkan langkah-langkah strategis yang lebih efisien.
Jika konselor gagal dalam mengembangkan hubungan yang
efektif, maka konseli menjadi enggan untuk berbicara dan
bahkan melawan upaya-upaya bantua yang akan diberikan.
Sejumlah hasil penelitian telaha membuktikan jika hubungan
konseling secara konsisten mempengaruhi keberhasilan
dalam pencapaian tujuan-tujuan konseling (Gelso & Carter,
1985). Hubungan konseling sering juga disebuat
sebagai rapport atau aliansi terapeutik.
Hakney & Cormier (2001) mengemukakan lima tahapan
dalam proses konseling dan menempatkan hubungan
konseling pada tahapan yang paling awal dalam keseluruhan
proses konseling. Tahap berikutnya setelah pengembangan
hubungan konseling adalah asesmen masalah, pemilihan dan
implementasi strategi atau teknik/metode bantuan, dan
evaluasi an tindak lanjut. Tahapan-tahapan tersebut disajikan
dalam bagan berikut.
TAHAP 2:
Asesmen masalah
1. Empati
a. Batasan
· Parafrase
Contoh parafrase:
· Refleksi
Konseli
Refleksi
· Bertanya
Konseli
Pertanyaan
· Merangkum
Dalam konteks konseling, merangkum berarti
mengintegrsikan atau menyatukan beberapa
pesan konseli ke dalam satu tema. Jadi,
Secara operasional, rangkuman dapat
didefinisikan sebagai penggabungan dari dua
atau lebih parafrase dan/atau refleksi untuk
memadatkan pesan-pesan konseli pada
setiap akhir sesi, atau dari pesan-pesan
konseli yang kompleks dan panjang yang
mengandung banyak elemen. Rangkuman
dapat diberikan pada setiap akhir sesi.
Rangkuman juga berfungsi untuk mereviu
kemajuan yang telah dicapai dari setiap
tahapan konseling.
2. Keautentikan
a. Batasan
Keautentikan (genuineness) menyatakan
menjadi diri sendiri, jujur, tidak memainkan
suatu peran, sungguh-sungguh, dan tulus
dalam menghadapi dan menolong konseli.
Konselor menolong konseli bukan karena
tekanan, keterpaksaan, atau karena
mengharapkan sesuatu, melainkan karena itu
menjadi tanggung jawab dan tuntutan
profesinya.
Seperti halnya empati - konselor dapat
mengkomunikasian keautentikan secara
verbal dan non verbal. Secara non verbal,
konselor dapat mengkomunikasikan
keautentikan melalui kontak mata, ekspresi
wajah, posisi badan, dan jarak fisik. Konselor
juga harus kongruen atau konsisten, yakni
menjaga konsistensi atau kelurusan antara
kata-kata, perasaan, dan tindakannya.
Keautentikan juga dapat dinyatakan melalui
respon yang spontan, membuka diri (self-
disclosure) dan bersedia berbagai
(sharing)secara emosional, kognitif, dan
tindakan dengan konseli. Membuka diri
diartikan sebagai kemauan memberikan
informasi tentang diri kepada konseli.
b. Cara mengkomunikasikan
keaslian/kesungguhan
Hackney & Cormier (2001) mengemukakan
tiga teknik untuk mengkomunikasikan
keautentikan, yakni: kongruensi,
keterbukaan diri, dan imediasi. Sedangkan
Cormier & Cormier (1985) mengemukakan
lima komponen perilaku yang menandakan
kesungguhan, yakni: perilaku non verbal yang
mendukung, perilaku peran, kongruensi, dan
spontanitas. Berikut adalah penjelasan dan
contoh dari masing-masing kelas perilaku
tersebut.
Perilaku peran
Konselor yang tidak terlalu menekankan
pada perilaku peran, otoritas, atau status
mungkin dipersepsi lebih autentik oleh
konseli. Sebaliknya, jika konselor terlalu
menekankan posisi perannya dapat
menciptakan suatu jarak emosional dalam
hubungan konseling, konseli mungkin merasa
terintimidasi bahkan menjadi benci. Konselor
yang autentik adalah mereka yang merasa
nyaman dengan dirinya sendiri dan dengan
berbagai macam orang dan situasi. Konselor
yang asli tidak akan berubah ketika mereka
bersama dengan orang yang berbeda, dalam
arti bahwa mereka tidak harus mengadopsi
peran baru agar dapat diterima oleh orang
lain .
Kongruen
Kongruensi menunjuk pada konsistensi kata-
kata, tindakan, perasaan, dan/atau pikiran.
Konseli yang sensitif akan mudah
menemukan konselor yang kongruen dan
tidak kongruen. Konselor yang tidak
kongruen mengindikasikan bahwa ia kurang
kompeten dan sungguh-sungguh dan
berpotensi merusak hubungan terapeutik.
Keterbukaan
Keterbukaan menunjuk pada kesediaan
untuk membuka diri secara jujur. Membuka
diri dapat bersifat positif dan negatif.
Membuka diri bersifat positif jika ia
menyatakan kekuatan pribadi, pengalaman
keberhasilan, dan pengalaman-pengalaman
lain yang sama dengan konseli. Sebaliknya,
membuka diri negatif menyatakan informasi
tentang keterbatasan pribadi, kegagalan,
perilaku tidak tepat, dan pengalaman-
pengalaman yang tidak sama dengan konseli.
Membuka diri juga dapat bersifat sejajar dan
tidak sejajar dengan ke dalaman isi pesan
konseli. Membuka diri dikatakan sejajar jika
respon konselor memiliki kaitan yang erat
dengan pernyataan konseli.
Contoh:
Konselor:
Konselor 2:
3. Penghargaan Positif
a. Batasan
Penghargaan positif (positive regard) –
menunjuk pada kemampuan konselor untuk
meresek, menghargai, dan menerima konseli
sebagai mana adanya dengan segala
keunikannya. Secara operasional,
penghargaan positif dikomunikasikan oleh
konselor melalui komitmen untuk membantu
konseli, berusaha memahami konseli, tidak
menilai konseli, dan hangat.
b. Cara mengkomunikasikan penghargaan
Cormier & Cormier (1985) mengidentifikasi
empat komponen perilaku yang dapat
digunakan oleh konselor untuk
mengkomunikasikan penghargaan, yakni:
komitmen, pemahaman, sikap tidak menilai,
dan hangat. Berikut adalah penjelasan
singkat dari keempat komponen tersebut.
Komitmen
Komitmen menunjuk pada kesediaan
konselor untuk bekerja dengan konseli dan
berminat untuk melaksanakannya. Komitmen
dapat diterjemahkan ke dalam beberapa
tindakan seperti: menepati janji pertemuan,
menjaga privasi selama sesi-sesi konseling,
menjaga kerahasiaan, dan menerapkan
semua ketrampilan yang dimiliki untuk
membantu konseli.
Pemahaman
Konseli akan merasa dihargai jika mereka
tahu bahwa konselor sedang berusaha untuk
memahami dirinya dan menangani
kesulitannya dengan penuh perhatian.
Konselor dapat menyatakan upaya-upaya
memahami ini dengan cara memperlihatkan
respon empatik, dan mengajukan pertanyaan
untuk memperoleh informasi penting tentang
konseli. Konselor juga dapat menyatakan
pemahaman dengan menggunakan respon-
respon mendengarkan yang telah dibicarakan
di depan, yakni parafrase atau refleksi
perasaan.
Hangat
Kehangatan (warmth) konselor merupakan
salah satu bentuk respek yang paling banyak
digunakan. Respon hangat ini dapat
dinyatakan secara verbal maupun nonverbal.
Salah satu bentuk respon verbal untuk
menyatakan sikap hangat adalah
memberikan respon dengan segera atau
imediasi (immediacy), yakni respon konselor
yang menyatakan apa yang terjadi dalam
suatu sesi menyangkut konselor, konseli, dan
hubungan antara konselor-konseli. Jadi ada
tiga bentuk imediasi, yakni: (1) imediasi
konselor (refleksi pikiran, perasa, dan
perilaku konselor); imediasi konseli (refleksi
pikiran, perasa, dan perilaku konseli); dan (3)
imediasi hubungan (refleksi beberapa aspek
hubungan).
Contoh imediasi (diterjemahkan dari Cormier
& Cormier, 1985):
Dimensi
Indikator
Hangat
Dingin
Suara
Ekspresi wajah
Tersenyum, berminat
Kontak mata
Posture
Sentuhan
Gestur
Tangan sedeku
Jarak fisik
Dekat-layak
Menjauh
Diadaptasikan dari Cormier & Cormier (1985:
32).
D. Simpulan
DAFTAR PUSTAKA