Kelompok 8:
1. Anita Nur Oktavia | 201601500488
2. Meisty Cynthia Larasari | 201601500556
3. Nurtania | 201601500585
4. Sri Herlina | 201601579007
A. Rapport
1. Definisi Rapport
Konseling pada dasarnya merupakan suatu hubungan helping relationship. Sheldon
Eisenberg dan Daniel J. Delaney (dalam Jones, 1995:2) menyebutkan bahwa konselor
(seorang yang profesional dalam bidang konseling) menganggap diri sebagai seorang
helper. Mereka menganggap diri hadir untuk menyediakan layanan helping bagi orang-
orang yang ingin atau butuh bantuan. Menurut Jones (1995:2) konseling merupakan suatu
hubungan bantuan yang bersifat pribadi (as a special kind of helping relationship),
sebagai bentuk intervensi (as a repertoire of interventions), dan sebagai proses psikologis
(as a psychological process) untuk mencapai tujuan. Mengembangkan hubungan
konseling adalah upaya konselor untuk meningkatkan keterlibatan dan keterbukaan
konseli, sehingga akan memperlancar proses konseling dan mencapai tujuan konseling
yang diinginkan konseli atas bantuan konselor. Bentuk utama hubungan konseling adalah
pertemuan pribadi dengan pribadi (konselor-konseli) yang dilatarbelakangi oleh
lingkungan (internal-eksternal). Hubungan konseling harus dikembangkan menjadi lebih
kondusif agar konseli bisa terbuka. Dalam hal ini dituntut skill dan pengalaman konselor,
antara lain adalah kemampuan untuk menangkap perilaku nonverbal konseli. Konselor
harus akurat dalam menebak emosional, buah pikiran, isi hati konseli yang terlihat dalam
bahasa tubuh seperti roman muka, sorot mata, gerak tubuh, cara duduk, dan sebagainya
(Willis, 2004). Keterbukaan konseli juga ditentukan oleh bahasa tubuh konselor. Untuk
menciptakan situasi kondusif bagi keterbukaan dan kelancaran proses konseling, maka
sifat-sifat empati, jujur, asli, mempercayai, toleransi, respek, menerima, dan komitmen
terhadap hubungan konseling, amat diperlukan dan dikembangkan terus oleh konselor.
Sifat-sifat tadi akan memancar pada perilaku konselor sehingga konseli terpengaruh, dan
kemudian konseli mengikutinya, maka konseli akan menjadi terbuka dan terlibat dalam
pembicaraan (Rao, 2006:242).
Hubungan konseling pada prinsipnya ditekankan bagaimana konselor
mengembangkan hubungan konseling yang rapport (akrab) dan dengan memanfaatkan
komunikasi verbal dan nonverbal. Hubungan konseling yang menumbuhkan kepercayaan
konseli terhadap konselor adalah penting. Sehingga konseli akan terbuka dan mau terlibat
pembicaraan (Pangaribuan, 2011).
“En Rapport” mempunyai makna sebagai suatu kondisi saling memahami dan
mengenai tujuan bersama. Tujuan utama teknik rapport adalah untuk menjembatani
hubungan antara konselor dengan klien, sikap penerimaan bagi minat yang mendalam
terhadap klien dan masalahnya. Dalam rapport ini akan tercipta suasana yang akrab yang
ditandai saling mempercayai.
Rapport adalah suatu hubungan (relationship) yang ditandai dengan keharmonisan,
kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik menarik. Rapport merupakan suatu hubungan
yang akrab antara konselor dan konseli yang ditandai dengan saling mempercayai.
Ada beberapa hal yang perlu dipelihara dan merupakan contoh rapport dalam
hubungan konseling, yakni (Lutfi, dkk., 2008):
a. Kehangatan, artinya konselor membuat situasi hubungan konseling itu demikian
hangat dan bergairah, bersemangat. Kehangatan disebabkan adanya rasa
bersahabat, tidak formal, dan rasa humor.
b. Hubungan yang empati, yaitu konselor merasakan apa yang dirasakan konseli dan
memahami akan keadaan diri serta masalah yang dihadapinya.
c. Keterlibatan konseli, yaitu terlihat konseli bersungguh-sungguh mengikuti proses
konseling dengan jujur mengemukakan persoalannya, perasaannya, dan
keinginannya. Selanjutnya, konseli bersemangat mengemukakan ide, alternatif
dan upaya-upaya.
B. Structuring
1. Definisi Structuring
Strukturing dalam sebuah proses konseling menurut Day & Sparacio memiliki tiga
fungsi penting yaitu fungsi fasilitatif, fungsi teraupetik, dan fungsi protektif. Namun pada
dasarnya structuring termasuk dalam fungsi fasilitatif. Fungsi fasilitatif adalah
memfasilitasi munculnya rasa tanggung jawab, komitmen, dan keterlibatan atau
partisipasi aktif konseli dalam proses konseling. Menurut Lutfi dkk, structuring adalah
teknik penyepakatan dan penginformasian akan perlunya dan diikutinya batasan-batasan
tertentu dalam proses konseling agar dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip layanan
profesional. Menurut Day & Sparacio (1980, dalam Hariastuti & Darminto, 2007: 69)
structuring merupakan teknik atau alat yang digunakan oleh konselor untuk membatasi
aturan-aturan dan arahan dalam proses konseling yang di dalamnya meliputi kegiatan
informing, proposing, suggesting, recommending, negotiating, stipulating, contracting,
dan compromising.
Sedangkan menurut Brammer & Shostrom (1982, dalam Hariastuti & Darminto,
2007: 69) structuring berisi pembatasan-pembatasan konselor berkenaan dengan sifat,
kondisi, batas-batas, dan tujuan dari proses konseling.
Jones (1990, dalam Hariastuti & Darminto, 2007: 69) juga mengungkapkan bahwa
structuring merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku-perilaku
yang digunakan oleh konselor untuk membawa kliennya mengetahui peran konselor dan
klien pada setiap tahapan hubungan atau proses konseling.
Definisi lain mengenai structuring diungkapkan oleh Supriyo & Mulawarman
(2006: 27), yakni teknik yang digunakan konselor untuk memberikan batas-
batas/pembatasan agar proses konseling berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan
dalam konseling.
Dari beberapa definisi tentang structuring diatas dapat disimpulkan bahwa definisi
dari structuring (pembatasan) adalah teknik yang digunakan konselor untuk memberikan
batas-batas atau pembatasan agar proses konseling berjalan sesuai dengan apa yang
menjadi tujuan dalam konseling.
Aspek-aspek structuring :
Konselor
Konselor “Dalam masalah yang anda kemukakan tadi, setidaknya ada tiga
hal yang menjadi masalah yaitu masalah berkonsentrasi dalam
belajar, masalah dengan bergaul dengan lawan jenis, dan masalah
penyesuaian diri. Nah, dari ketiga masalah tersebut, mana yang
mendesak untuk kita bicarakan terlebih dahulu?”
Konselor “Tenang-tenang, anda boleh mengutarakan apa saja disini, tetapi satu
hal yang tidak boleh anda lakukan disini yaitu mengotori ruangan ini.”
C. Resistance
1. Definisi Resistance
Keterlibatan konseli dalam proses konseling ditentukan oleh faktor keterbukaan
dirinya dihadapan konselor. Jika konseli diliputi keengganan dan resistance, maka konseli
tidak akan jujur mengeluarkan perasaannya (Rao, 2006:243)‘ Gejala-gejala resistance
konseli yang perlu dikenal konselor adalah (Pangaribuan. 2011) :
1) Konseli berbicara amat formal. hanya dipermukaan saja, dan menutup hal hal
yang sifatnya pribadi.
2) Konseli enggan untuk bicara sehingga lebih banyak diam.
3) Konseli bersifat defensif, artinya bertahan dan tidak mau berbagi,
mempertahankan kerahasiaan, menghindar, atau menolak dan membantah.
1) Konseli dihadirkan seem paksa, mungkin atas desakan orang tua amu guru.
2) Konselor bersifat kaku, curiga, kurang bersahabat. Konselor terlalu
mendominasi proses konseling dengan banyak nasihat dan kata kata yang kurang
disenangi konseli.
D. Transference
1. Definisi Transference
Istilah transference (pemindahan) dalam pengertian yang luas menunjukan
pernyataan perasaan-perasaan klien terhadap konselor, apakah berupa reaksi rasional
kepada pribadi konselor atau proyeksi yang tidak sadar dari sikap-sikap dan stereotype
sebelumnya. Secara psikoanalisa pemindahan merupakan satu proses dimana sikap klien
sebelumnya ditanyakan kepada orang lain atau secara tidak sadar diproyeksi kepada
konselor.
Transference (pemindahan) mengacu kepada perasaan apapun yang dinyatakan
atau dirasakan klien (cinta, benci, marah, ketergantungan) terhadap konselor, baik berupa
reaksi rasional terhadap kepribadian konselor atau pun proyeksi terhadap tingkah laku
awal dan sikap-sikap selanjutnya konselor. Penyebab terjadinya transference
(pemindahan) adalah konselor mampu memahami klien lebih dari klien memahami diri
mereka sendiri dan dikarenakan konselor mampu bersifat ramah dan secara emosional
bersifat hangat. Jenis transference; positif (proyeksi perasaan bersifat kasih sayang, cinta,
ketergantungan) dan negatif (proyeksi rasa permusuhan dan penyerangan).
E. CounterTransference
1. Definisi CounterTransference
Istilah transference berasal dari Sigmund Freud. Pertama kali gejala transference
ditemukan Freud pada pekerjaan klinisnya di mana konselinya memiliki perasaan dan
fantasi yang kuat terhadap terapisnya yang sebenarnya tidak berbasis realitas. Oleh
banyak ahli, perasaan dan fantasi konseli yang kuat terhadap terapis ini sebenarnya
merupakan proyeksi dari situasi-situasi relasi antara anak dan orang tua di masa kanak-
kanaknya. Proyeksi itu sendiri berkaitan dengan “unfinished business” atau persoalan
yang belum terselesaikan dari relasi-relasi di masa lalu dengan orang-orang yang berarti
dalam kehidupan konseli. Menurut Numberg, transference merupakan proyeksi terhadap
gambaran ayah pada diri terapis. Namun, Zetzel melihat sumber proyeksi secara lebih
luas, yaitu bukan hanya gambaran ayah melainkan gambaran orang tua.
Bila transference berupa pelimpahan perasaan dan harapan secara tidak disadari
dan berlangsung secara spontan oleh konseli kepada konselor, maka sebaliknya
pelimpahan perasaan dan harapan secara tidak disadari dan berlangsung secara spontan
oleh konselor/terapis kepada konseli disebut counter transference.
Counter transference adalah suatu gejala yang terjadi ketika ada perasaan yang
tidak wajar dari pihak terapis terhadap konseli. Gejala itu tampak,misalnya, terapis
kehilangan objektivitas di dalam relasi (Corey, 1991).
F. Bahasa
1. Definisi Bahasa
Bahasa dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang, namun definisi yang
banyak dipakai adalah, bahasa merupakan suatu sistem simbol lisan yang arbiter yang
dipakai oleh anggota suatu masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar
sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki. Seperti yang telah diketahui
secara umum bahwa bahasa merupakan sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang
lain dan menyimpan informasi.
Bahasa merupakan tema yang sangat menarik bagi para ahli psikologi dan
psikolinguistik. karena bahasa merupakan aspek penting dari perilaku manusia. Hal ini,
disebabkan karena bahasa merupakan sarana utama dalam pewarisan budaya dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Karena tanpa adanya bahasa maka keberagaman budaya
yang kita kenal saat ini tidak akan pernah kita kenal. Oleh karena itu, bahasa menjadi
suatu concern para ahli psikologi lintas budaya yang memiliki minat khusus pada bahasa.
Penggunaan bahasa dalam komunikasi memainkan peranan penting dalam
pemahaman kita terhadap budaya dan pengaruh budaya dalam perilaku individu sehari-
hari. Menurut Ernst Cassirer (1944), manusia merupakan hewan symbolicum, yaitu
makhluk yang memahami simbol-simbol. Pemahaman dan penggunaan simbol-simbol
dalam kehidupan manusia, membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Ada
tiga macam simbol pada manusia, yaitu:
Hubungan yang dimiliki oleh bahasa dan budaya merupakan hubungan timbal
balik yang saling mempengaruhi. Dengan kata lain, bahasa menciptakan budaya yang
dimiliki manusia, namun budaya juga mempengaruhi bahasa yang digunakan manusia.
Budaya pengaruhi
bahasa
Budaya pengaruhi Bahasa perkuat
pikiran, Perasaan budaya
dan motif
Hikmawati, Fenti. 2016. Bimbingan dan Konseling (Edisi Revisi). Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya - Buku Teks Utama Dalam
Kelas Psikologi Lintas Budaya Tingkat Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Sarwono, Sarlito W. 2016. Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
http://fatimahkonselor.blogspot.com/2017/11/penerapan-teknik-structuring-dalam.html