Anda di halaman 1dari 21

KONSELING LINTAS BUDAYA

HAMBATAN-HAMBATAN KONSELOR DAN KLIEN PADA BIDANG:


RAPPORT, STRUCTURING, RESISTANCE, TRANSFERENCE,
COUNTER TRANSFERENCE, DAN BAHASA

Kelompok 8:
1. Anita Nur Oktavia | 201601500488
2. Meisty Cynthia Larasari | 201601500556
3. Nurtania | 201601500585
4. Sri Herlina | 201601579007
A. Rapport
1. Definisi Rapport
Konseling pada dasarnya merupakan suatu hubungan helping relationship. Sheldon
Eisenberg dan Daniel J. Delaney (dalam Jones, 1995:2) menyebutkan bahwa konselor
(seorang yang profesional dalam bidang konseling) menganggap diri sebagai seorang
helper. Mereka menganggap diri hadir untuk menyediakan layanan helping bagi orang-
orang yang ingin atau butuh bantuan. Menurut Jones (1995:2) konseling merupakan suatu
hubungan bantuan yang bersifat pribadi (as a special kind of helping relationship),
sebagai bentuk intervensi (as a repertoire of interventions), dan sebagai proses psikologis
(as a psychological process) untuk mencapai tujuan. Mengembangkan hubungan
konseling adalah upaya konselor untuk meningkatkan keterlibatan dan keterbukaan
konseli, sehingga akan memperlancar proses konseling dan mencapai tujuan konseling
yang diinginkan konseli atas bantuan konselor. Bentuk utama hubungan konseling adalah
pertemuan pribadi dengan pribadi (konselor-konseli) yang dilatarbelakangi oleh
lingkungan (internal-eksternal). Hubungan konseling harus dikembangkan menjadi lebih
kondusif agar konseli bisa terbuka. Dalam hal ini dituntut skill dan pengalaman konselor,
antara lain adalah kemampuan untuk menangkap perilaku nonverbal konseli. Konselor
harus akurat dalam menebak emosional, buah pikiran, isi hati konseli yang terlihat dalam
bahasa tubuh seperti roman muka, sorot mata, gerak tubuh, cara duduk, dan sebagainya
(Willis, 2004). Keterbukaan konseli juga ditentukan oleh bahasa tubuh konselor. Untuk
menciptakan situasi kondusif bagi keterbukaan dan kelancaran proses konseling, maka
sifat-sifat empati, jujur, asli, mempercayai, toleransi, respek, menerima, dan komitmen
terhadap hubungan konseling, amat diperlukan dan dikembangkan terus oleh konselor.
Sifat-sifat tadi akan memancar pada perilaku konselor sehingga konseli terpengaruh, dan
kemudian konseli mengikutinya, maka konseli akan menjadi terbuka dan terlibat dalam
pembicaraan (Rao, 2006:242).
Hubungan konseling pada prinsipnya ditekankan bagaimana konselor
mengembangkan hubungan konseling yang rapport (akrab) dan dengan memanfaatkan
komunikasi verbal dan nonverbal. Hubungan konseling yang menumbuhkan kepercayaan
konseli terhadap konselor adalah penting. Sehingga konseli akan terbuka dan mau terlibat
pembicaraan (Pangaribuan, 2011).
“En Rapport” mempunyai makna sebagai suatu kondisi saling memahami dan
mengenai tujuan bersama. Tujuan utama teknik rapport adalah untuk menjembatani
hubungan antara konselor dengan klien, sikap penerimaan bagi minat yang mendalam
terhadap klien dan masalahnya. Dalam rapport ini akan tercipta suasana yang akrab yang
ditandai saling mempercayai.
Rapport adalah suatu hubungan (relationship) yang ditandai dengan keharmonisan,
kesesuaian, kecocokan, dan saling tarik menarik. Rapport merupakan suatu hubungan
yang akrab antara konselor dan konseli yang ditandai dengan saling mempercayai.

2. Identifikasi Hambatan Bidang Rapport


Hubungan saling percaya dan yakin merupakan hal yang mendasari pembentukan
ikatan antara konselor dan konseli. Rapport memungkinkan konseli untuk bereaksi
spontan, hangat dan penuh simpati. Hubungan antara konselor dan konseli harus bersifat
responsif (Rao, 242: 2006). Tujuan helping relationship atau hubungan konseling adalah
untuk dapat memenuhi kebutuhan konseli dan bukan untuk memenuhi kebutuhan
konselor. Secara luas dikatakan bahwa konseli harus dapat mempunyai tanggung jawab
mengenai dirinya, dan membuat keputusan berdasarkan alternatif-alternatif yang dia
tentukan atas bantuan konselor. Untuk mencapai tujuan yang baik tersebut, maka dalam
hubungan konseling harus terjadi rapport antara konseli dan konselor.
Jika sudah terjadi persetujuan dan rasa persamaan, timbullah kesukaan terhadap
satu sama lain. Di dalam konseling, seorang konselor harus mampu menciptakan rapport
dengan cara (Pangaribuan, 2011):
a. Pribadi konselor harus empati, merasakan apa yang dirasakan konselinya. Dia
juga harus terbuka, menerima tanpa syarat, dan mempunyai rasa hormat dan
menghargai.
b. Konselor harus mampu membaca perilaku nonverbal konseli. Terutama yang
berhubungan dengan bahasa lisannya.
c. Ada rasa kebersamaan, intim, akrab, dan minat membantu tanpa pamrih. Artinya
ada keikhlasan, kerelaan, dan kejujuran pada diri konselor.

Ada beberapa hal yang perlu dipelihara dan merupakan contoh rapport dalam
hubungan konseling, yakni (Lutfi, dkk., 2008):
a. Kehangatan, artinya konselor membuat situasi hubungan konseling itu demikian
hangat dan bergairah, bersemangat. Kehangatan disebabkan adanya rasa
bersahabat, tidak formal, dan rasa humor.
b. Hubungan yang empati, yaitu konselor merasakan apa yang dirasakan konseli dan
memahami akan keadaan diri serta masalah yang dihadapinya.
c. Keterlibatan konseli, yaitu terlihat konseli bersungguh-sungguh mengikuti proses
konseling dengan jujur mengemukakan persoalannya, perasaannya, dan
keinginannya. Selanjutnya, konseli bersemangat mengemukakan ide, alternatif
dan upaya-upaya.

Perez (dalam Banner, 1979:4) mengungkapkan temuan penelitian yang


menunjukkan bahwa pengalaman, orientasi teoritis dan teknik yang digunakan bukanlah
penentu utama dalam keefektifan seorang terapis, akan tetapi kualitas pribadi konselor,
bukan pendidikan dan pelatihannya sebagai kriteria dalam evaluasi keefektifannya.
Kompetensi pribadi (personal competencies) merujuk kepada kualitas pribadi konselor
yang berkenaan dengan kemampuan untuk membina hubungan baik antar pribadi
(rapport) secara sehat, etos kerja dan komitmen profesional, landasan etik dan moral
dalam berperilaku, dorongan dan semangat untuk mengembangkan diri, serta berkaitan
dengan kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah.
Jika dilihat dalam perspektif lintas budaya, orang Timur dalam meningkatkan
hubungan baik (rapport) dengan orang lain umumnya dilakukan dengan cara memberikan
senyuman yang tulus, bersalaman (berjabat tangan), mempersilahkan duduk, menjaga
sikap, peduli dengan cerita yang diungkapkan, memperhatikan bahasa yang digunakan,
dan lain-lain. Berbeda dengan orang Barat kebanyakan menjalin hubungan baik seperti
itu hanya dengan orang-orang tertentu yang dirasa dibutuhkan (dalam Banner, 1979:6).

B. Structuring
1. Definisi Structuring
Strukturing dalam sebuah proses konseling menurut Day & Sparacio memiliki tiga
fungsi penting yaitu fungsi fasilitatif, fungsi teraupetik, dan fungsi protektif. Namun pada
dasarnya structuring termasuk dalam fungsi fasilitatif. Fungsi fasilitatif adalah
memfasilitasi munculnya rasa tanggung jawab, komitmen, dan keterlibatan atau
partisipasi aktif konseli dalam proses konseling. Menurut Lutfi dkk, structuring adalah
teknik penyepakatan dan penginformasian akan perlunya dan diikutinya batasan-batasan
tertentu dalam proses konseling agar dapat berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip layanan
profesional. Menurut Day & Sparacio (1980, dalam Hariastuti & Darminto, 2007: 69)
structuring merupakan teknik atau alat yang digunakan oleh konselor untuk membatasi
aturan-aturan dan arahan dalam proses konseling yang di dalamnya meliputi kegiatan
informing, proposing, suggesting, recommending, negotiating, stipulating, contracting,
dan compromising.
Sedangkan menurut Brammer & Shostrom (1982, dalam Hariastuti & Darminto,
2007: 69) structuring berisi pembatasan-pembatasan konselor berkenaan dengan sifat,
kondisi, batas-batas, dan tujuan dari proses konseling.
Jones (1990, dalam Hariastuti & Darminto, 2007: 69) juga mengungkapkan bahwa
structuring merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku-perilaku
yang digunakan oleh konselor untuk membawa kliennya mengetahui peran konselor dan
klien pada setiap tahapan hubungan atau proses konseling.
Definisi lain mengenai structuring diungkapkan oleh Supriyo & Mulawarman
(2006: 27), yakni teknik yang digunakan konselor untuk memberikan batas-
batas/pembatasan agar proses konseling berjalan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan
dalam konseling.
Dari beberapa definisi tentang structuring diatas dapat disimpulkan bahwa definisi
dari structuring (pembatasan) adalah teknik yang digunakan konselor untuk memberikan
batas-batas atau pembatasan agar proses konseling berjalan sesuai dengan apa yang
menjadi tujuan dalam konseling.

Structuring dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

a. Melalui struktur konseling dapat mengkomunikasikan kepada konseli tentang


peran dan tanggung jawab dirinya dan diri konseli dalam proses konseling serta
arah dari proses konseling yang akan dilaksanakan.
b. Struktur dapat menurunkan atau mengurangi jumlah, intensitas, atau dampak
dari kesalahan pengertian antara konselor dan konseli.
c. Struktur dapat digunakan oleh konselor sebagai alat untuk menangani
perbedaan-perbedaan, khususnya perbedaan dalam asumsi dan harapan konselor
dan konseli.
d. Struktur juga dapat digunakan oleh konselor untuk menangani munculnya
perasaan tidak pasti dan kecemasan konseli berkenaan dengan hubungan atau
proses konseling yang akan dilaksanakan.
e. Adanya struktur dapat membuat proses konseling menjadi lebih efisien, karena
struktur memformulasikan komponen-komponen atau variabel-variabel
prosedur perlakuan dengan dirumuskan dengan spesifik.
f. Struktur akan dapat membuat konselor lebih comfortable dan percaya diri.

Aspek-aspek structuring :

Pada pokoknya structuring adalah penggambaran tentang proses konseling,


structuring adalah kerangka kerja yang digunakan pembimbing (konselor) kepada
kliennya. Kerangka kerja ini diberitahukan kepada klien dengan jalan membicarakannya
secara singkat tentang 4 aspek yaitu :

a. Tanggung jawab, konselor memberikan informasi kepada klien tentang


tanggung jawab.
b. Tujuan, konselor menjelaskan kepada klien tentang proses konseling tersebut
sehingga klien dapat mengutarakan permasalahan-permasalahan yang ada
dalam dirinya dengan baik dan hasil yang dicapai dalam proses konseling
menjadi optimal.
c. Fokus, agar konseling dapat efektif, klien harus mengerti bahwa proses
konseling akan berpusat pada satu masalah khusus.
d. Keterbatasan, baik konselor maupun klien harus dapat menyadari tentang
keterbatasan-keterbatasan yang ada dalam proses konseling.

2. Identifikasi Hambatan Bidang Structuring

Structuring (Penataan, Pembatasan) teknik penginformasian dan penyepakatan


akan perlunya dan diikutinya batasan-batasan tertentu dalam proses konseling agar dapat
berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip layanan professional.
Jenis-jenis structuring terdiri atas beberapa macam, antara lain sebagai berikut:

a. Kontrak (contract), persetujuan structuring. kontrak ini biasanya digunakan


untuk konseli-konseli yang cenderung bersifat formal. Dalam kontrak ini
berisikan daftar tentang hak, tanggung jawab, bonus, dan sanksi, bagaimana dan
oleh siapa kontrak di monitor. Kontrak juga memiliki fisibel, artinya batasan-
batasan yang dinyatakan di dalam proses yang berlangsung.
b. Time limit (pembatasan waktu), menyepakati pertemuan konseling akan
dilakukan seberapa lama. Dalam konseling lintas budaya, masalah pembatasan
waktu sangat perlu diperhatikan apalagi proses konseling terjadi antara konselor
dan konseli yang berbeda negara. Sebagai contoh, apabila konselor dan konseli
memiliki perbedaan waktu negara 8 jam, maka proses konseling yang dilakukan
melalui cyber counselling akan dilaksanakan pada situasi waktu yang berbeda.
Apabila situasi waktu di wilayah konseli pagi hari dan waktu di wilayah konselor
adalah malam hari. Maka perlu diberlakukan pembatasan waktu proses konseling,
untuk menjaga keefektifan proses konseling tersebut.
c. Role limit (pembatasan peran), menjelaskan peran konselor yang pokok agar
tidak salah persepsi mengenai tugas dan tanggung jawab konselor.

Konseli “Akhir-akhir ini saya sulit sekali mengkonsentrasikan diri Dalam


belajar, karena itu saya menemui bapak untuk meminta nasihat
bagaimana cara belajar yang baik.”

Konselor

“Anda meminta nasihat dari saya? Perlu diketahui bahwa saya


tidak dapat memberikan nasihat sebagaimana yang anda minta,
tetapi marilah kita bicarakan bersama masalah yang sedang anda
alami kemudian kita cari jalan keluarnya.”

d. Problem limit (pembatasan masalah)


Konseli “Pak, saya sulit sekali berkonsentrasi dalam belajar, sehingga
ketika ujian berlangsung saya tidak dapat mengerjakannya dengan
baik, maka dari itu nilai saya menjadi jelek. Disamping itu, di kelas
saya juga sulit sekali bergaul dengan lawan jenis dan satu hal lagi
pak, bagaimana ya caranya agar saya dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru?”.

Konselor “Dalam masalah yang anda kemukakan tadi, setidaknya ada tiga
hal yang menjadi masalah yaitu masalah berkonsentrasi dalam
belajar, masalah dengan bergaul dengan lawan jenis, dan masalah
penyesuaian diri. Nah, dari ketiga masalah tersebut, mana yang
mendesak untuk kita bicarakan terlebih dahulu?”

e. Action limit (pembatasan tindakan), meminta konseli untuk mengendalikan


tindakannya agar tidak mengarah pada pemerusakan.

Konseli “(datang ke ruang konseling dengan marah-marah, wajah memerah,


dan dengan menyobek-nyobek kertas)”

Konselor “Tenang-tenang, anda boleh mengutarakan apa saja disini, tetapi satu
hal yang tidak boleh anda lakukan disini yaitu mengotori ruangan ini.”

f. Confidentiality limit (batasan jaminan kerahasiaan), meyakinkan konseli


bahwa semua yang diceritakan akan sepenuhnya dijaga kerahasiaannya. Konselor
diharuskan mengarahkan pembicaraan agar konseli bisa bercerita lebih bebas
tanpa takut rahasianya akan tersebar. Kerahasiaan menjadi hambatan dalam
konseling lintas budaya, dikarenakan masih banyak suku-suku di Indonesia yang
hidup dengan mengasingkan diri dengan hanya mempercayai ajaran-ajaran
leluhur, sehingga akan sulit bagi konselor untuk memperoleh kepercayaan konseli
dan merasakan kenyamanan untuk mengungkapkan permasalahannya dengan
konselor.
g. Service limit (pembatasan layanan), yaitu menjelaskan jenis-jenis dan sifat-sifat
layanan yang diberikan oleh konselor. Perbedaan tradisi dalam setiap budaya
mengakibatkan banyak pula perilaku-perilaku khas yang menjadi kebiasaan bagi
masyarakat budaya tersebut. Dalam hal ini, konseli seringkali tidak sadar perilaku
khas kebudayaannya adalah sesuatu yang asing bagi orang-orang diluar
masyarakat budayanya. Sehingga, konselor perlu memeberi pengertian terhadap
konseli mengenai layanan-layanan apa saja yang diberlakukan konselor selama
proses konseling terjadi.
h. Topic limit (pembatasan topik), mengajak konseli memilih masalah diantara
sejumlah masalah yang ada.
i. Goal limit (pembatasan tujuan), mem-spesifikasikan tujuan yang diharapkan
akan tercapai dalam proses konseling.
j. Cost limit (pembatasan biaya), penginformasian biaya jika dalam konseling yang
dilakukan dikenakan biaya.

C. Resistance
1. Definisi Resistance
Keterlibatan konseli dalam proses konseling ditentukan oleh faktor keterbukaan
dirinya dihadapan konselor. Jika konseli diliputi keengganan dan resistance, maka konseli
tidak akan jujur mengeluarkan perasaannya (Rao, 2006:243)‘ Gejala-gejala resistance
konseli yang perlu dikenal konselor adalah (Pangaribuan. 2011) :
1) Konseli berbicara amat formal. hanya dipermukaan saja, dan menutup hal hal
yang sifatnya pribadi.
2) Konseli enggan untuk bicara sehingga lebih banyak diam.
3) Konseli bersifat defensif, artinya bertahan dan tidak mau berbagi,
mempertahankan kerahasiaan, menghindar, atau menolak dan membantah.

Penyebab konseli menjadi resistance disebabkan amara lain (Lutfi, dkk.,2008):

1) Konseli dihadirkan seem paksa, mungkin atas desakan orang tua amu guru.
2) Konselor bersifat kaku, curiga, kurang bersahabat. Konselor terlalu
mendominasi proses konseling dengan banyak nasihat dan kata kata yang kurang
disenangi konseli.

2. Identifikasi Hambatan Bidang Resistance


a. Konselor Mengalami Resistance (penolakan)
Keterlibatan klien dalam proses konseling ditentukan oleh faktor keterbukaan
dirinya di hadapan konselor. Jika klien diliputi keengganan dan resistance, maka klien
tidak akan jujur mengeluarkan perasaannya (Rao, 243: 2006). Gejala-gejala resistance
klien yang perlu dikenal konselor adalah (Pangaribuan, 2011):
1) Klien berbicara amat formal, hanya dipermukaan saja, dan menutup hal-hal yang
sifatnya pribadi.
2) Klien enggan untuk berbicara sehingga lebih banyak diam.
3) Klien bersifat defensif, artinya bertahan dan tidak mau berbagi, mempertahankan
kerahasiaan, menghindar atau menolak dan membantah.
Penyebab klien menjadi resistance disebabkan antara lain (Lutfi, dkk, 2008):
1) Klien dihadirkan secara paksa, mungkin atas desakan orang tua atau guru.
2) Konselor bersifat kaku, curiga, kurang bersahabat. Konselor terlalu mendominasi
proses konseling dengan banyak nasihat dan kata-kata yang kurang disenangi
konseli.
3) Situasi ruang konseling kurang mendukung klien untuk terbuka, misalnya dekat
dengan ruang lain yang mudah mendengarkan pembicaraan. atau tempat lalu
lalang orang, atau ruang di sebelah bising dan sebagainya.
4) Faktor pribadi klien seperti keangkuhan karena jabatan. title (gelar) kekayaan dan
sebagainya. Biasanya seorang pejabat yang terbiasa didengarkan, sulit baginya
untuk mendengarkan orang lain dan tidak mau terbuka.
Jika klien itu resistance, perlu ada upaya konselor untuk mengatasinya seperti
mengalihkan topik. memberi motivasi, atau menurunkan dan menaikkan level diskusi
tergantung tingkat kemampuan klien (Rao, 243: 2006). Akan tetapi jika klien terus juga
resistance walaupun telah diupayakan maka sebaiknya klien itu direferal secara baik
dengan istilah Okun (dalam Lutfi, dkk., 2008) adalah sabbatical Ieave/ i'm helping
(dialihkan pada konselor yang cocok). Dampak resistance pada keterlibatan klien dapat
digambarkan sebagai berikut.
Contoh bentuk resistance klien adalah klien yang tidak mau melaksanakan
konseling dikarenakan rasa terpaksa hanya untuk memenuhi panggilan wali kelas
sehingga saat proses konseling pun klien sangat tertutup dalam menjawab pernyataan
konselor dan bahkan memiliki rasa enggan untuk terlibat dengan konselor. Hasil
penelitian menyatakan bahwa sebab klien melakukan resistance adalah adanya anggapan
bahwa konselor adalah eksekutor yang tugasnya memberikan hukuman dan kinerja
konselor sekolah tidak efektif. Menurut uraian Shertze dan Shelley (I980), hasil penelitian
di Amerika Serikat menunjukan bahwa konselor yang efektif dan konselor yang kurang
efektif dapat dibedakan atas dasar tiga dimensi yaitu pengalaman, corak hubungan antar
pribadi dan faktor-faktor non-kognitif. Faktor-faktor non-kognitif meliputi hal-hal seperti
motivasi, nilai-nilai kehidupan. perasaan terhadap orang lain, ketenangan dalam
menghadapi situasi wawancara. kemampuan untuk menjaga jarak dan tidak terlihat
emosional dan kelincahan dalam pergaulan sosial pada umumnya.

b. Konselor Mengalami Resistance (penolakan)


Terjadinya resistance pada konselor akan menghambat proses konseling. karena
klien akan mudah tertular resistance dari konselor. Banyak faktor yang menyebabkan
resistance konselor, antara lain (Lutfi. dkk., 2008):
1) Kecemasan, mungkin dari kekalutan pikiran karena masalah keluarga, pekerjaan,
dan faktor ekonominya.
2) Konselor yang sedang mengalami frustasi dan konflik.
3) Konselor yang merangkap pejabat, biasa memerintah, menasehati dan mengatur.
Dia melihat hubungan konseling sebagai hubungan bawahan dan atasan. Klien
adalah bawahan, karenanya layak diintruksi, dinasehati. bahkan dimarahi.
Mungkin guru yang merangkap menjadi konselor adalah contoh yang demikian.
Komunikasi konselor adalah kapasitas untuk mendengarkan, memberikan
perhatian. merasa, dan merespon dengan verbal dan non-verbal kepada klien maka klien
akan terbuka dan terlibat dalam pembicaraan. dan menampakkan kepada klien bahwa
konselor selalu mendengarkan. dan merasakan secara akurat. Contoh konselor mengalami
resistance adalah ketika seorang klien datang ke ruang konseling namun konselor
menolak dengan alasan bahwa konselor sedang frustasi akibat anak beliau masuk ke
rumah sakit sehingga harus meninggalkan sekolah, hal tersebut lebih baik dilakukan
karena apabila dipaksa untuk melaksanakan konseling, dikhawatirkan justru tujuan
konseling tidak tercapai dan hanya akan membuang waktu.
Hasil penelitian menunjukan orang akan memperlihatkan gangguan kognitif berat
jika berhadapan dengan stressor yang serius. Mereka sulit berkonsentrasi, sulit
mengorganisir pikiran secara logis. Akhirnya kemampuan mereka untuk melakukan
pekerjaan, terutama pekerjaan yang kompleks cenderung memburuk (Lazarus, 1999).

D. Transference
1. Definisi Transference
Istilah transference (pemindahan) dalam pengertian yang luas menunjukan
pernyataan perasaan-perasaan klien terhadap konselor, apakah berupa reaksi rasional
kepada pribadi konselor atau proyeksi yang tidak sadar dari sikap-sikap dan stereotype
sebelumnya. Secara psikoanalisa pemindahan merupakan satu proses dimana sikap klien
sebelumnya ditanyakan kepada orang lain atau secara tidak sadar diproyeksi kepada
konselor.
Transference (pemindahan) mengacu kepada perasaan apapun yang dinyatakan
atau dirasakan klien (cinta, benci, marah, ketergantungan) terhadap konselor, baik berupa
reaksi rasional terhadap kepribadian konselor atau pun proyeksi terhadap tingkah laku
awal dan sikap-sikap selanjutnya konselor. Penyebab terjadinya transference
(pemindahan) adalah konselor mampu memahami klien lebih dari klien memahami diri
mereka sendiri dan dikarenakan konselor mampu bersifat ramah dan secara emosional
bersifat hangat. Jenis transference; positif (proyeksi perasaan bersifat kasih sayang, cinta,
ketergantungan) dan negatif (proyeksi rasa permusuhan dan penyerangan).

Sumber transference (perpindahan) perasaan itu berasal dari:

a. Pengalaman-pengalaman masa lalu klien yang mengalami kegagalan dalam


perkembangan yang diistilahkan Gestalt dengan situasi yang tak terselesaikan,
klien membawa berbagai alat manipulasi lingkungan, tetapi cenderung kurang
memiliki dukungan dari diri sendiri yang merupakan suatu kualitas penting untuk
bertahan.
b. Klien merasa takut akan penolakan dan ketidakpercayaan, hal ini merupakan
bentuk perlawanan, sehingga klien manipulasi konselornya dengan memakai
topeng seolah-olah dia orang yang baik.

Fungsi transference (perpindahan): membantu hubungan dengan memberikan


kesempatan kepada klien untuk mengekspresikan perasaan yang menyimpang,
mempromosikan atau meningkatkan rasa percaya diri klien, membuat klien menjadi sadar
tentang pentingnya dan asal dari perasaan ini pada kehidupan mereka di masa sekarang
melalui interpretasi perasaan tersebut.
Dalam psikoterapi perkembangan dan proses pemindahan dipandang sebagai
bagian perubahan kepribadian dalam jangka panjang. Penyelesaian pemindahan perasaan
dapat dicapai apabila konselor menjaga sikap menerima dan memahami, dan juga
menerapkan teknik-teknik refleksi, bertanya dan interpretif.

2. Identifikasi Hambatan Bidang Transference


Dalam kondisi konseling, Benyamin menemukan transference menggejala dalam
perilaku-perilaku konseli terhadap konselor (terapis) dengan tanda-tanda sebagai berikut:
a. Konseli sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi.
b. Setelah satu atau dua kali pertemuan, konseli sangat memuji pribadi dan pekerjaan
konselor.
c. Konseli meminta konselor mengubah jadwal pertemuan agar sesuai dengan
jadwal konseli. Jadi, konselor yang menyesuaikan diri dengan keadaan konseli.
d. Konseli membawakan hadiah untuk konselor.
e. Konseli secara berulang-ulang mengundang konselor untuk menghadiri acara-
acara sosial dan merasa ditolak bila konselor menjelaskan tentang adanya
pemisahan yang tegas antara pekerjaan profesional dan kehidupan sosial.
f. Konseli meminta konselor untuk memecahkan masalah konseli.
g. Konseli sering menanyakan sesuatu di luar keahlian konselor. Meskipun konselor
telah menjelaskan bahwa hal-hal yang ditanyakan bukan keahlian, namun konseli
terus menerus mengulangi pertanyaan tersebut.
h. Konseli sering mengatakan bahwa konselor mengingatkan dia pada seseorang.
i. Konseli mengalami kesulitan mengatur batas-batas fisik dan berusaha menyentuh
konselor secara tidak tepat di setiap akhir pertemuan.
j. Konseli mengalami kesulitan mengakhiri pertemuan dan terus menerus. berusaha
mengajak konselor meneruskan percakapan. Konseli menceritakan kepada
konselor tentang detail-detail yang sangat pribadi (intim) dari kehidupan
pribadinya.

Melihat gejala-gejala transference yang timbul, maka muncullah identifikasi


masalah yang kemungkinan akan dihadapi oleh konselor ketika melakukan konseling
lintas budaya, antara lain:
a. Pemahaman dan penyadaran perasaan konselor pada konseli.
Timbulnya perasaan tertentu di pihak konselor terhadap konseli lebih dipicu oleh
sikap atau perasaan konseli terhadap konselor. Seperti misalnya, perasaan bosan
konselor terhadap konseli mungkin karena ketidakdekatan konseli kepada
konselor. Kebencian atau kemarahan konselor terhadap konseli mungkin karena
penolakan konseli, atau perasaan takut terhadap konselor. Hal ini berarti
transference tidak ditanggapi dengan countertransference.
b. Pemberian penjelasan atau interpretasi mengapa konseli dapat berperasaan atau
berharap tertentu terhadap konselor.
Konselor menjelaskan bagaimana pengalaman traumatik yang belum
terselesaikan di masa-masa lalu (unfinished business) mempengaruhi relasinya
dengan individu-individu di masa sekarang. Secara profesional, penjelasan
interpretasi ini tergantung dari orientasi teoritis konselor. Sebagai contoh,
pandangan psikoanalisa akan menelusuri pengalaman-pengalaman traumatik dan
persoalan-persoalan yang belum terselesaikan dari masa kanak-kanak sehingga
menghasilkan kesulitan emosional atau psikologis di masa sekarang, kemudian
konselor memampukan konseli menemukan insight melalui pengaruh-pengaruh
dari pengalaman-pengalaman ini di hidupnya sekarang.
c. Penyadaran akan peran konselor.
Konselor tidak sedang memainkan peran atau menggantikan peran sebagai orang
tertentu yang sangat berarti dalam kehidupan konseli. Dengan demikian,
pandangan konseli terhadap konselor (sedikit demi sedikit) beralih dari ayahnya,
atau ibunya, atau saudara kandung ke konselor sebagai pribadi konselor.
d. Penemuan insight melalui hubungan konseling yang profesional.
Relasi konselor-konseli merupakan hubungan here-and-now experience. Pada
intinya relasi dengan konselor sebagai sumber utama perubahan di dalam diri
konseli. Hal ini berarti bahwa seolah-olah pengalaman traumatic hadir kembali di
dalam relasi konseling/terapeutik, namun direspon secara berbeda. Kehadiran
pengalaman traumatik itu harus disadari oleh konseli. Oleh sebab itu, sosok
konselor dapat diibaratkan sebagai “cermin”, sehingga konseli dapat ‘melihat’
dengan jelas apa yang telah terjadi selama ini sehingga relasi dengan orang lain di
masa sekarang berlangsung tertentu.

E. CounterTransference
1. Definisi CounterTransference
Istilah transference berasal dari Sigmund Freud. Pertama kali gejala transference
ditemukan Freud pada pekerjaan klinisnya di mana konselinya memiliki perasaan dan
fantasi yang kuat terhadap terapisnya yang sebenarnya tidak berbasis realitas. Oleh
banyak ahli, perasaan dan fantasi konseli yang kuat terhadap terapis ini sebenarnya
merupakan proyeksi dari situasi-situasi relasi antara anak dan orang tua di masa kanak-
kanaknya. Proyeksi itu sendiri berkaitan dengan “unfinished business” atau persoalan
yang belum terselesaikan dari relasi-relasi di masa lalu dengan orang-orang yang berarti
dalam kehidupan konseli. Menurut Numberg, transference merupakan proyeksi terhadap
gambaran ayah pada diri terapis. Namun, Zetzel melihat sumber proyeksi secara lebih
luas, yaitu bukan hanya gambaran ayah melainkan gambaran orang tua.

Bila transference berupa pelimpahan perasaan dan harapan secara tidak disadari
dan berlangsung secara spontan oleh konseli kepada konselor, maka sebaliknya
pelimpahan perasaan dan harapan secara tidak disadari dan berlangsung secara spontan
oleh konselor/terapis kepada konseli disebut counter transference.

Counter transference merupakan proyeksi berbagai pengalaman akan nilai-nilai


dan emosi-emosi dalam diri konselor yang ditekan sehingga ketika ia memberi konseling
berbagai pengalaman tersebut muncul kembali, terutama saat berhadapan dengan konseli
yang mempunyai pengalaman yang mirip dengan dirinya. Akibatnya, proses konseling
bisa menjadi pelimpahan perasaan konselor terhadap konseli secara intensif. Dalam
tradisi psikoanalisa, diskusi tentang tema countertransference tidak banyak dibandingkan
dengan transference. Banyak ahli berasumsi bahwa terapis adalah pribadi yang matang,
biasanya berusia lebih tua dibandingkan pasiennya sehingga sangat jarang terjadi
proyeksi figure ayah di dalam diri pasien.

Counter transference adalah suatu gejala yang terjadi ketika ada perasaan yang
tidak wajar dari pihak terapis terhadap konseli. Gejala itu tampak,misalnya, terapis
kehilangan objektivitas di dalam relasi (Corey, 1991).

2. Identifikasi Hambatan Bidang Counter Transference

Sebagaimana yang telah dinyatakan dalam sub materi mengenai transference.


Benyamin juga menemukan counter transference menggejala dalam perilaku-perilaku
konseli terhadap konselor (terapis) dengan tanda-tanda sebagai berikut:

a. Konselor merasa sangat tertarik terhadap konseli.


b. Konselor jatuh cinta kepada konseli yang berlainan jenis.
c. Konselor merasa benci kepada konseli.
d. Konselor merasa marah kepada konseli.
e. Konselor merasa gelisah karena konseli menyinggung suatu hal yang bagi
dirinya sendiri merupakan persoalan.
f. Konselor mengharapkan konseli tertentu sering menghubunginya karena
konselor mendapat kepuasaan pribadi dari pertemuan dengan konselinya.
g. Konselor mengharapkan konseli menerima semua nasihatnya karena konselor
cenderung ingin menguasai orang.
h. Konselor mengharapkan konseli cepat menunjukkan tanda-tanda kemajuan
selama proses konseling dan konselor merasa cemas bila tanda kemajuan belum
tampak.

F. Bahasa
1. Definisi Bahasa
Bahasa dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang, namun definisi yang
banyak dipakai adalah, bahasa merupakan suatu sistem simbol lisan yang arbiter yang
dipakai oleh anggota suatu masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi antar
sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki. Seperti yang telah diketahui
secara umum bahwa bahasa merupakan sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang
lain dan menyimpan informasi.
Bahasa merupakan tema yang sangat menarik bagi para ahli psikologi dan
psikolinguistik. karena bahasa merupakan aspek penting dari perilaku manusia. Hal ini,
disebabkan karena bahasa merupakan sarana utama dalam pewarisan budaya dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Karena tanpa adanya bahasa maka keberagaman budaya
yang kita kenal saat ini tidak akan pernah kita kenal. Oleh karena itu, bahasa menjadi
suatu concern para ahli psikologi lintas budaya yang memiliki minat khusus pada bahasa.
Penggunaan bahasa dalam komunikasi memainkan peranan penting dalam
pemahaman kita terhadap budaya dan pengaruh budaya dalam perilaku individu sehari-
hari. Menurut Ernst Cassirer (1944), manusia merupakan hewan symbolicum, yaitu
makhluk yang memahami simbol-simbol. Pemahaman dan penggunaan simbol-simbol
dalam kehidupan manusia, membedakan manusia dengan makhluk-makhluk lainnya. Ada
tiga macam simbol pada manusia, yaitu:

1. Konservatif, yaitu mitologi dan agama.


2. Progresif, yaitu seni dan ilmu pengetahuan.
3. Relatif, yaitu bahasa.

Simbol konservatif, dalam mitologi dapat diambil contoh bahwa masyarakat


Yunani mempercayai Zeus melambangkan dewa langit. Sedangkan dalam keagamaan,
dipercaya bahwa Tuhan adalah zat yang maha kuasa. Selama ribuan tahun, kepercayaan
tersebut tidak berubah hingga saat ini, yang berubah adalah jumlah orang yang
mempercayainya. Hal tersebutlah yang menyebabkan simbol-simbol tersebut disebut
dengan konservatif. Simbol lainnya adalah seni dan ilmu pengetahuan yang paling
progresif. Hal ini ditunjukan dengan perubahan dalam seni dan pengetahuan yang
berubah setiap saat. Contoh dari ilmu pengetahuan adalah teknologi, hingga kita
merasakan adanya gadget yang merupakan produk hasil ilmu pengetahuan dan berbagai
model desain yang merupakan hasil dari seni rupa yang sama sekali tidak terpikirkan oleh
manusia 20 atau 30 tahun yang lalu. Selanjutnya menurut Casirer, simbol yang
digolongkan paling relatif adalah bahasa. hal ini merujuk kepada bahasa haruslah berubah
sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia, namun perubahan yang terjadi tidak
boleh terlalu progresif sehingga tidak membingungkan manusia yang menggunakannya.
Oleh karena itu, dikatakan bahwa bahasa memiliki hubungan dengan kebudayaan.

Hubungan yang dimiliki oleh bahasa dan budaya merupakan hubungan timbal
balik yang saling mempengaruhi. Dengan kata lain, bahasa menciptakan budaya yang
dimiliki manusia, namun budaya juga mempengaruhi bahasa yang digunakan manusia.

Hubungan timbal balik:


Bahasa → Budaya

Budaya pengaruhi
bahasa
Budaya pengaruhi Bahasa perkuat
pikiran, Perasaan budaya
dan motif

Dalam ilmu konseling lintas budaya pemerolehan bahasa (language acquisition)


adalah suatu aspek yang penting, karena akan membantu konselor memahami isu-isu
perilaku manusia yang lebih luas. Contohnya, dengan mencari tahu proses pemerolehan
bahasa seorang klien apakah bahasa yang universal atau yang lebih khas/spesifik pada
suatu budaya tertentu. Pemahaman tentang perolehan budaya juga penting karena alasan-
alasan praktis. Hal ini disebabkan oleh dunia saat ini yang telah menjadi sebuah "desa
global" (global village, dimana berbagai bangsa menjadi semakin saling tergantung),
pengetahuan mengenai lebih dari satu bahasa menjadi alat vital untuk memahami dan
berkomunikasi dengan masyarakat dari kebudayaan lain. Hal ini berlaku baik dalam
konteks sebuah masyarakat yang plural dan multikultural seperti Indonesia maupun antar
orang-orang yang berbeda kebangsaan. Psikolog dan konselor dapat memainkan peran
yang penting dalam memfasilitasi pertemuan-pertemuan antar budaya atau semacamnya.
Sedangkan menurut hipotesis Sapir-Whorf menyatakan bahwa orang yang
berbeda bahasa, dan perbedaan ini menghasilkan pemikiran yang berbeda. Karena budaya
yang berbeda biasanya memiliki bahasa yang berbeda pula. Hipotesis ini penting
khususnya dalam pemahaman mengenai berbagai perbedaan dan persamaan kultural
dalam cara berpikir dan perilaku sebagai fungsi bahasa.

2. Identifikasi Hambatan Bidang Bahasa


Komunikasi dalam lintas budaya sangatlah rentan mengalami masalah. Menurut
Barna (1994), ada enam kendala atau stumbling block dalam tercapainya komunikasi
lintas budaya yang efektif, antara lain:
a. Asumsi Kesamaan
Salah satu mengapa kesalahpahaman terjadi dalam komunikasi lintas budaya
adalah orang secara naif mengasumsikan bahwa bahasa semua orang sama, atau
paling tidak cukup mirip untuk membuat komunikasi menjadi lebih mudah. hal
ini sungguh tidak benar karena setiap manusia memiliki keunikannya masing-
masing yang terasah melalui budaya dan masyarakat.
b. Perbedaan Bahasa
Ketika seseorang berusaha untuk berkomunikasi dalam bahasa yang tidak ia fasih,
ia cenderung berpikir mengenai kata, frasa, atau kalimat yang memiliki makna
tunggal, yaitu makna yang berusaha ia sampaikan. Dalam hal ini, seringkali tanpa
sadar kita mengabaikan beberapa sumber lain dari sinyal pesan yang coba
disampaikan, seperti ekspresi non-verbal, nada bicara, orientasi tubuh, dan
perilaku lainnya.
c. Kesalahpahaman non-verbal
Seperti yang telah diketahui, perilaku non-verbal memberikan pesan komunikasi
paling banyak dalam seluruh budaya. namun, akan sulit sekali bagi orang untuk
memahaminya apabila bukan berasal dari budaya tersebut.
d. Prekonsepsi dan stereotipe
kedua hal ini merupakan proses psikologis alami dan tidak terelakan yang dapat
memengaruhi semua persepsi dan komunikasi. Terlalu bersandar pada stereotipe
akan mempengaruhi objektivitas dalam melihat orang lain dan memahami pesan
komunikasinya. hal tersebut rentan membawa dampak yang negatif dalam proses
komunikasi yang terjadi.
e. Kecenderungan untuk menilai negatif
Nilai-nilai dalam budaya juga memengaruhi atribusi terhadap orang lain dan
sekitar. perbedaan nilai dapat mengakibatkan munculnya penilaian negatif
terhadap orang lain, yang kemudian dapat menjadi rintangan untuk membangun
komunikasi lintas budaya yang efektif.
f. Kecemasan tinggi atau ketegangan
Komunikasi lintas budaya seringkali berhubungan dengan kecemasan dan
ketegangan yang tinggi dibandingkan dengan komunikasi intrabudaya.
kecemasan dan ketegangan yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi proses
berpikir dan perilaku kita. hal tersebut rentan menjadi rintangan dalam proses
komunikasi yang berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA

Hikmawati, Fenti. 2016. Bimbingan dan Konseling (Edisi Revisi). Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada

Matsumoto, David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya - Buku Teks Utama Dalam
Kelas Psikologi Lintas Budaya Tingkat Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Sarwono, Sarlito W. 2016. Psikologi Lintas Budaya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

http://fatimahkonselor.blogspot.com/2017/11/penerapan-teknik-structuring-dalam.html

Anda mungkin juga menyukai