Anda di halaman 1dari 8

Teknik Konseling

Pada saat pelaksanaan konseling, teknik konseling yang tepat juga akan mempengaruhi
keberhasilan suatu konseling. Penggunaan teknik konseling yang tepat dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor. Penentuan teknik konseling dari sisi konselor dapat dipengaruhi oleh dasar teori
yang dikuasai dan disenangi, sedangkan dari pihak klien bergantung pada kompleksitas masalah
yang dihadapi maupun persoalan waktu yang tersedia dari pihak klien untuk menjalankan proses
konseling.

Secara umum, pendekatan atau teknik konseling dalam pandangan tradisional dibagi menjadi
tiga, yaitu: teknik langsung (directive), tidak langsung (non directive) dan ekletik (ecletic).

Berikut ini akan dibahas lebih lanjut mengenai ketiga Teknik tersebut:

A. Pendekatan Langsung (Directive Approach)


Pendekatan langsung disebut juga sebagai pendekatan yang terpusat pada konselor
(counselor-centered approach) untuk menunjukkan bahwa dalam interaksi ini, konselor
lebih banyak berperan untuk menentukan sesuatu. Pendekatan langsung bisa diberikan
secara langsung dalam berbagai cara setelah konselor meyakini ada dasar teori yang
mantap untuk memberikan sesuatu secara seketika. Dengan demikian pendekatan ini
dapat dipandang menyerupai sebagai suatu kegiatan dengan dasar atau pendekatan untuk
segera melakukan tindakan (action approach). Pendekatan ini memiliki kekhasan yang
sama dengan pendekatan simtomatis atau behavioristik. Oleh sebab itu pendekatan
langsung dapat diberikan kepada klien yang membutuhkan waktu, tetapi biasanya tidak
lama atau bisa dilakukan secara seketika.
Tokoh yang dianggap sebagai pendiri dari teknik ini adalah Williamson. Menurutnya,
konselor dengan semua pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki memahami keadaan
klien dan membantunya mengatasi masalah serta menyesuaikan diri dengan keadaan
yang tidak menyenangkan. Dalam pendekatan ini konselor bertindak aktif dalam
mengajarkan sesuatu atau menanamlan pengertian baru kepada klien. Konselor berperan
sangat aktif dan mendominasi seluruh interaksinya dengan klien. Sebaliknya, peran klien
adalah sangat pasif dan cenderung menerima serta tentunya diharapkan akan menyetujui
dan melaksanakan sesuai dengan petunjuk sesuai dengan yang diberikan oleh
konselornya.
Pendekatan secara langsung dapat dilakukan dengan cara sederhana dan diarahkan
langsung pada masalahnya, yaitu dengan cara: mengarahkan, membimbing,
mempengaruhi atau memberikan hal-hal yang diperlukan klien agar bisa mengikuti apa
yang ditentukan secara otoriter oleh konselor. Konselor dapat memperkenalkan ide,
sikap, atau isi pikiran yang tidak dikemukakan klien sebelumnya. Teknik lain yang dapat
digunakan dalam pendekatan ini adalah: pemberian nasihat, dorongan, saran dan bujukan.
Teknik ini hanya bisa diberikan kepada klien yang tidak memiliki pengertian (insight)
sama sekali dalam menghadapi masalah, yang tidak bisa menciptakan hubungan dengan
konselor, yang tidak memiliki informasi memadai untuk memecahkan masalah atau yang
terhambat maupun tertutup untuk bisa mengatasi masalahnya sendiri. Jadi, singkatnya
pendekatan langsung hanya bisa diberikan kalau klien jelas-jelas tidak akan bisa
mengatasi masalahnya sendiri. Teknik pendekatan langsung juga dipandang baik untuk
diterapkan kepada klien yang tidak memiliki sumber- sumber untuk mengatasi persoalan
atau tidak memiliki motivasi maupun yang motivasinya terhambat. Sebaliknya,
pendekatan ini dipandang kurang sesuai jika diberikan kepada klien yang memiliki taraf
intelegensi tinggi dan bermotivasi tinggi yang mampu mengatasi masalahnya sendiri.
Besarnya peran konselor selama proses konseling berlangsung dapat membuat klien
menjadi bergantung pada konselornya. Mengingat dalam pendekatan ini konselor lebih
banyakmemberikan arahan sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi oleh klien.
Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah konselor
diharapkan jangan memberikan nasihat kecuali jika nasihat yang akan diberikan benar-
benar sudah teruji secara mantap.
B. Pendekatan Tidak Langsung (Non Directive Approach)
Pendekatan tidak langsung disebut juga dengan pendekatan terpusat oleh klien (client
centered approach) dengan tokoh Carl Rogers. Dalam perkembangannya pendekatan ini
mengalami perubahan menjadi person centered approach, yang menitikberatkan peran
konselor sebagai pendengar atau memberikan dorongan kepada klien. Artinya, klien
bertanggung jawab penuh atas proses intervensi karena hanya klienlah yang paling
mengetahui kondisi dirinya sendiri. Selain itu klien juga bertanggung jawab dalam segala
proses perkembangan yang terjadi atas dirinya. Dengan demikian posisi konselor pada
pendekatan ini adalah sebagai fasilitator. Rogers menjelasan terdapat tiga kondisi yang
perlu dan dianggap cukup untuk konseling, yaitu: empati, penerimaan tak bersyarat
(positive regard/acceptance), dan congruence (genuineness).
 Empati adalah kemampuan konselor untuk merasakan bersama dengan klien dan
menyampaikan pemahaman ini kembali ke klien. Empati juga dipandang sebagai
usaha untuk berpikir bersama tentang atau untuk mereka. Berdasarkan hasil
penelitian, Rogers menjelaskan bahwa empati dalam suatu hubungan mungkin
adalah faktor yang paling berpengaruh dan sudah pasti merupakan salah satu
faktor yang membawa perubahan dan pembelajaran. Dengan empati konselor
mampu memahami orang lain dari sudut kerangka berpikir kliennya.
 Positive regard yang dikenal juga sebagai akseptansi, merupakan penerimaan
yang tulus (genuine caring) dan mendalam untuk klien sebagai pribadi, artinya
konselor sangat menghargai klien karena keberadaannya. Seorang konselor harus
mampu menerima kliennya dengan nilai-nilai yang mereka anut, sehingga jangan
mengharap klien memiliki nilai-nilai yang sama dengan yang dipunyai konselor.
 Kongruensi adalah kondisi transparan dalam hubungan terapeutik dengan tidak
memakai topeng atau pulasan-pulasan. Artinya, seorang konselor yang baik
adalah konselor yang memahami dirinya sendiri yang terlihat dari adanya
keserasian antara pikiran, pengalaman dan perasaan. Dengan memiliki
pemahaman yang baik akan dirinya, maka konselor mampu membedakan dirinya
dengan orang lain. Pendekatan person centered dalam teknik konseling
menekankan pada aspek hubungan pribadi antara klien dengan konselornya.

Sikap dan perilaku konselor dipandang lebih utama daripada

pengetahuan, teori maupun teknik-teknik konseling yang dikuasai

sebagaimana penjelasan dalam counselor centered approach.

Dalam pendekatan ini klien sebagai individu memiliki kesempatan

untuk membuat keputusan bagi diri mereka sendiri dan memun-

culkan kekuatan pribadi yang mereka miliki. Klien didukung agar


senantiasa mengembangkan dirinya menjadi pribadi sebagaimana

yang mereka inginkan.

perubahan menjadi person centered approach, yang

menitikberatkan peran konselor sebagai pendengar atau

memberikan dorongan kepada klien. Artinya, klien bertanggung

jawab penuh atas proses intervensi karena hanya klienlah yang

paling mengetahui kondisi dirinya sendiri. Selain itu klien juga

bertanggung jawab dalam segala proses perkembangan yang

terjadi atas dirinya. Dengan demikian posisi konselor pada

pendekatan ini adalah sebagai fasilitator.

Rogers menjelasan terdapat tiga kondisi yang perlu dan dianggap

cukup untuk konseling, yaitu: empati, penerimaan tak bersyarat

(positive regard/acceptance), dan congruence (genuineness).

• Empati adalah kemampuan konselor untuk merasakan

bersama dengan klien dan menyampaikan pemahaman ini

kembali ke klien. Empati juga dipandang sebagai usaha

untuk berpikir bersama tentang atau untuk mereka.

Berdasarkan hasil penelitian, Rogers menjelaskan bahwa

empati dalam suatu hubungan mungkin adalah faktor yang

paling berpengaruh dan sudah pasti merupakan salah satu

faktor yang membawa perubahan dan pembelajaran.

Dengan empati konselor mampu memahami orang lain dari


sudut kerangka berpikir kliennya.

• Positive regard yang dikenal juga sebagai akseptansi,

merupakan penerimaan yang tulus (genuine caring) dan

mendalam untuk klien sebagai pribadi, artinya konselor

sangat menghargai klien karena keberadaannya. Seorang

konselor harus mampu menerima kliennya dengan nilai-

nilai yang mereka anut, sehingga jangan mengharap klien

memiliki nilai-nilai yang sama dengan yang dipunyai

konselor.

• Kongruensi adalah kondisi transparan dalam hubungan

terapeutik dengan tidak memakai topeng atau pulasan-

pulasan. Artinya, seorang konselor yang baik adalah

konselor yang memahami dirinya sendiri yang terlihat dari

adanya keserasian antara pikiran, pengalaman dan

perasaan. Dengan memiliki pemahaman yang baik akan

dirinya, maka konselor mampu membedakan dirinya

dengan orang lain.

Pendekatan person centered dalam teknik konseling menekankan

pada aspek hubungan pribadi antara klien dengan konselornya.


Sikap dan perilaku konselor dipandang lebih utama daripada

pengetahuan, teori maupun teknik-teknik konseling yang dikuasai

sebagaimana penjelasan dalam counselor centered approach.

Dalam pendekatan ini klien sebagai individu memiliki kesempatan

untuk membuat keputusan bagi diri mereka sendiri dan memun-

culkan kekuatan pribadi yang mereka miliki. Klien didukung agar

senantiasa mengembangkan dirinya menjadi pribadi sebagaimana

yang mereka inginkan.

84 Teknik Konseling

Teknik Konseling 82

Meski diakui memberikan sumbangan yang cukup signifikan dalam

perkembangan teknik konseling, person centered approach juga

memiliki berbagai keterbatasan. Fokus dalam pendekatan ini

adalah memberikan kebebasan bagi klien untuk menentukan

tujuan/goal mereka masing-masing. Hal ini membuat minimnya

peran konselor untuk memberikan arahan maupun tantangan

kepada klien demi keberhasilan proses terapi. Proses terapi dapat

berlangsung lebih lama terutama jika klien tidak dapat menentukan

tujuan yang spesifik atas proses terapi yang tengah berlangsung.


C. Pendekatan Eklektik (Integrative Approach)

Sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, bahwa

baik pendekatan langsung maupun tak langsung memiliki berbagai

keterbatasan jika digunakan sebagai pendekatan tunggal dalam

kegiatan konseling. Selain itu Corey (2009) menjelaskan bahwa

tidak ada satu pendekatan tunggal pun yang dapat memberikan

penjelasan secara komprehensif mengenai betapa kompleksnya

perilaku manusia. Untuk mengatasi hal tersebut, ada pula pende-

katan lain yang dapat mengatasi keterbatasan pada dua pendeka-

tan sebelumnya. Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan

ekletik atau pendekatan integratif (integrative approach).

Dalam pendekatan integratif, ciri utamanya adalah adanya

keterbukaan terhadap berbagai integrasi (penggabungan) teori

maupun teknik. Oleh sebab itu konselor yang akan menggunakan

pendekatan ini harus memiliki wawasan dan pemahaman yang

baik akan berbagai macam teori dan dan teknik konseling. Tujuan

utama dari pendekatan ini yaitu untuk memperoleh proses

konseling yang efisien, efektif dan mudah diaplikasikan.

Anda mungkin juga menyukai