Anda di halaman 1dari 2

Senja Yang Tak Sempurna

Aku tercenung menatap ke luar. Di luar sana hujan tercurah dari langit, bersamaan dengan
saat datangnya senja. Aku berpikir, terlalu banyak yang ku pikirkan. Tentang senja, tentang
gerimis, tentang hujan, tentang purnama, tentang fajar, dan tentang sunnatullah lainnya.
Aku lebih suka gerimis senja. karena apa? karena di balik kemegahan siluet di cakrawala itu
tersimpan keangkuhan dan duka. Bola api angkuh itu akan menenggelamkan diri nantinya
sembari memberi insan pemandangan surgawi nan memesona yang layak ditunggu setiap
senjanya, tenggelam bersama keyakinannya untuk terbit esok hari dan meninggalkan bumi
dalam gelapnya kelam. Lembayung senja tak terhitung jam, hanya sesaat, itu pun tak pernah
ku temui senja yang sempurna. Duka, aku selalu menggambarkan hujan sebagainya. Kau
tahu? Saat hujan tiba, emosiku meluap menjadi tangis, rinduku menguap menjadi isakan
lirih, kebencianku berubah menjadi cinta tertahan, dan segala yang ada di dalam dadaku
meluap, menguap, dan berubah semaunya.

“Apa yang kau lihat dari senja? Masih sama dengan senja kemarin, senja kemarinnya lagi,
senja waktu itu, senja dahulu, dan senja-senja sebelumnya.” Dia mempertanyakan
pertanyaan bodoh itu berulang kali, untunglah kupingku sudah kebal akannya. Rintik hujan
masih menari riang di luar sana, rumput di sekitar bersyukur memuaskan dahaga. Aku masih
bergeming, dan akan selalu begitu. Seharusnya saat ini aku berada di pantai, memandangi
rintik hujan menari di atas buih ombak, lelehan hujan membuat parit kecil di pasir putih, lalu
aku memandanginya terkagum-kagum di bawah pohon berdaun cukup lebat. Namun tanpa
remang senja, karena langit kelabu saat awan hitam berarak. Namun tidak, aku bukan di
sana. Aku sedang menghadap hujan di luar, menatap lirih lewat jendela kusam di
hadapanku. Menyentuh embun di kaca jendela, lalu membasuh wajahku dengan lembut.
Sesekali ku tadahi air hujan yang mengalir, lalu ku teguk menikmati, seketika kesedihanku
terbasuh bersih dalam ragaku, namun tetap tanpa senja.

“Apa itu senja yang tak sempurna?” Dia bertanya lagi padaku, aku mengerang
menanggapinya, menjawab pertanyaan itu sama saja aku harus membiarkan jantungku
memukuli dadaku dengan keras. “Senja tanpamu.” Wajahnya terlihat bingung, lalu
tertunduk, mungkin mencoba menelaah atau mencerna jawabanku. Ia mengernyitkan dahi,
tak mengerti apa yang terjadi. Sejujurnya aku juga tak mengerti, hujan membawaku begitu
saja.

Pernah aku meminta seandainya dikabulkan, bisakah hujan membawa aku melaut? Dari
parit yang sempit, ku lalui dunia bersama kumpulan air hujan di sana, mengalir ke tempat
yang rendah, membawa, menghanyutkan apa dan siapa pun yang hendak ikut. Dan singkat
cerita sampai di laut, ikut mengarungi samudera, terombang-ambing di antara ombak, lalu
dihempaskan di pulau tak berpenghuni, dan memulai semua dari awal lagi.

“Jadi semua senjamu sebelumnya tidak sempurna?” Dia kembali menyemburkan


pertanyaan padaku, rasa penasaran lebih tinggi daripada gengsinya. Aku menghela napas
sembari berusaha membentuk segaris lengkungan senyum mengarah padanya, dia pun
tersenyum, manis, sangat manis.
“Sangat amat tidak sempurna. Aku hanya ingin senja yang tak sempurna, karena aku tahu,
senja yang sempurna tidak akan pernah aku dapatkan.” Aku berujar seperti seorang
pesakitan yang akan segera menghadap maut, meminta permintaan terakhirnya dikabuli.
Namun jika memang begitu, tentu saja senja datang lebih awal padaku. Bukan senja
kemerahan menyala, lalu berganti keemasan dalam remang, tapi senja sendu bagai
perpisahan yang menyedihkan, kerapuhan yang segera menghadap keruntuhan.

Seperti senja sebelum-sebelumnya, aku selalu menunggu datangnya dia dan senja. Aku
duduk bersila di atas pasir dengan telapak telanjang, matahari akan segera menghampiri
peraduan, air laut mulai tampak tenang saat akan menghadap senja. Aku bergumam, “Ini
senja yang ku inginkan, senja yang tak sempurna, dan tak akan pernah sempurna.” Aku
sendirian, benar-benar sendirian di tepi pantai ini, begitu banyak orang lalu lalang di
kejauhan, namun tak ada yang ku kenali.

Air mataku mulai mengalir, cinta, rindu, dan benciku menjadi satu. Di depanku terhampar
tirai gerimis, membelakangi senja berjubah keemasan. Aku mendapatkannya, gerimis senja,
senja yang tak sempurna. Ya, senja yang tak sempurna, senja yang datang tanpa dia, namun
digantikan oleh gerimis. Tanpa disadari, aku tersenyum kecut, inilah takdirku, jalanku yang
dihiasi duka, namun aku menyukai dan mencintainya. Aku menahan napas menikmati
sesuatu yang telah ku tunggu bertahun-tahun itu, takut deru napasku dapat membuat
gerimis senja berlalu begitu cepat. Andai saja aku dapat mendapatkannya setiap senja, aku
tak perlu tersiksa saat kerinduan pada dia mencapai puncak, dia akan digantikan gerimis
senja yang begitu aku cinta, sama dengannya.

Per sekian detik, gerimis tiba-tiba mereda, aku berdiri terheran-heran memandangi indah
rona senja yang ditinggalnya. Aku mendengus kesal membalikkan badan siap memaki
manusia yang menjemput gerimisku, namun lidahku kelu saat menatap siapa yang
tersenyum manis padaku, dia datang. “Bolehkah aku membuat senjamu sempurna?” Dia
menawarkan diri, menarikku untuk duduk di sebelahnya, aku masih bingung antara percaya
atau tidak. Lagi-lagi dia tersenyum begitu manis seraya menoleh sekilas padaku, lalu
menatap lurus memandangi matahari kemerahan yang sudah hampir tenggelam penuh, air
laut pun mulai tampak kehitaman.

“Kau merusak senjaku, ” Aku menggerutu kesal, dia tersenyum lagi dan lagi, dengan lembut
diusapnya rambutku, aku tak mengerti dengan lakuannya.
“Senja yang tak sempurna.” Dia berkata seakan tahu apa yang sedang ada di benakku. “Jika
tanpaku, ada gerimis. Namun jika tanpa gerimis, ada aku. Selalu ada yang pergi, diganti yang
datang.” Dia memelukku dengan erat, seakan tidak akan melepaskanku saat perpisahan itu
menjelang nanti. Kerapuhan semula membatu, membangun karang yang kokoh. Tempat di
mana aku mendapati senja yang tak sempurna. Kamu yang akan selalu meninggalkanku
disaat senja, aku yang selalu menangis memintamu untuk tak pergi.

Anda mungkin juga menyukai