Disusun oleh:
Astrid Nova Fortuna 1810711059
Elfrida Juniartha 1810711093
Fauziana Dzulhia P. 1810711102
Vernanda Erlita V. 1810711108
B. Penolakan Transplan
1. Penolakan Yang Diperantarai Sel T
Penolakan akut klasik pada pejamu yang nonimunosupresif terjadi dalam 10-
14 hari, hal ini sebagian besar terjadi akibat imunitas selular, baik yang
melibatkan mekanisme DTH maupun CTL. Karena satu-satunya perbedaan
antigenik utama antara jaringan pejamu dan donor adalah molekul
histokompalibilitasnya, penolakan terjadi sebagai respon terhadap MHC.
Pengenalan pejamu dan respons terhadap MHC donor terjadi melalui dua
mekanisme:
a) Pengenalan tak langsung.
Dalam contoh ini, Sel T CD4+ pejamu mengenali HLA donor
setelah diproses dan disajikan oleh APC donor serta pemrosesan
HLA yang berasal dari sel donor dan serupa dengan pemrosesan
fisiologis serta penyajian antigen asing lainnya (misalnya, mikroba).
Secara jelas, bentuk pengenalan ini terutama mengaktivasi jalur
DTH.
b) Pengenalan langsung
Dalam contoh ini, pejamu memberikan respons terhadap HLA
donor yang dikeluarkan secara langsung pada sel donor. Pengenalan
langsung bertolak belakang hal itu tampaknya melanggar aturan
restriksi MHC; hal ini telah dijelaskan dengan menganggap MHC
allogenik dan peptide terikat, dalam beberapa halsecara structural
menyerupai MHC sendiri dan antigen asing. Karena sel dendrit
donor mengeluarkan MHC I dan MHC II dalam kadar tinggi, dan
merupakan molekul kostimulator yang penting, sel tersebut paling
mungkin merupakan APC dalam pengenalan langsung (sel makrofag
serta endotel secara potensial juga terlibat). Sel T helper CD4+
pejamu dipicu untuk berproliferasi dan memproduksi sitokin melalui
pengenalan molekul MHC II (HLA-D) donor dan mendorong
respons DTH. Sel T CD8+ secara potensial dapat mengenali MHC I
(HLA-A, -8, -C) pada setiap tipe sel, tetapi sel T CD8+ mungkin pula
memerlukan kostimulasi yang disiapkan oleh APC "profesional";
Dengan bantuan sitokin sel T CD4+, sel T CD8+ akan
berdiferensiasi menjadi CTL
Begitu allograft donor telah dikenali sebagai benda asing,
penolakan berlanjut melalui mekanisme efektor. CTL yang matur
melisis target dalam jaringan yang ditanamkan, menyebabkan
kematian sel parenkim, dan mungkin yang lebih penting lagi adalah
kematian sel endotel (mengakibatkan trombosis serta iskemia graft).
Sel T CD4+ yang menyekresi sitokin meningkatkan permeabilitas
vaskular serta terjadi akumulasi lokal sel mononuclear (limfosit dan
makrofag). Respons DTH dengan jejas mikrovasknlar yang
menyertai juga mengakibatkan iskemia jaringan yang bersama
dengan penghancuran yang diperantarai oleh makrofag terakumulasi
merupakan suatu mekanisme penting penghancuran graft.
2. Penolakan Yang Diperantarai Antibodi
Meskipun sel T mempunyai makna terpenting dalam penolakan allograft,
antibodi juga memerantarai beberapa bentuk penolakan.
a) Antibodi humoral anti-HLA muncul bersamaan dengan penolakan
yang diperantarai sel-T (Gbr. 5-17). Sasaran utama perusakan yang
diperantarai oleh antibody dalam keadaan ini adalah endotel
vaskular, dengan antibodi yang terikat menyebabkan jejas (dan
thrombosis sekunder) melalui jalur yang diperantarai komplemen,
kompleks imun, atau ADCC. Agregasi dan kongagulasi trombosit
(disebabkan oleh aktivasi komplemen) akan menyamarkan kerusakan
vaskular imunologis, yang akan memperberat keadaan iskemik pada
cedera yang merugikan. Secara histologis, bentuk penolakan ini
menyerupai vaskulitis yang telah digambarkan sebelumnya untuk
hipersensitivitas tipe I II.
b) Penolakan hiperakut adalah bentuk khusus penolakan yang terjadi
pada keadaan munculnya antibodi antidonor preformed dalam
sirkulasi pejamu sebelum transplan. Hal ini dapat terjadi pada
perempuan multipara yang mempunyai antibodi anti-HLA yang
melawan antigen paternal yang berasal dari janin atau dari pajanan
terhadap HLA asing (pada trombosit atau leukosit) dari transfusi
darah sebelumnya. Yang jelas, antibodi semacam itu dapat pula
muncul pada seorang pejamu yang telah menolak suatu transplan.
Dalam setiap kejadian, transplantasi pada keadaan ini mengakibatkan
penolakan yang cepat (beberapa menit hingga beberapa jam) karena
antibodi dalam sirkulasi segera berikatan dengan endotel organ yang
ditanamkan, kemudian diikuti dengan fiksasi komplemen serta
trombosis.
C. Imunodefisiensi Primer
Imunodefisiensi adalah keadaan di mana komponen sistem imun tidak dapat
berfungsi secara normal. Akibatnya, penderita imundefisiensi lebih rentan terhadap
infeksi virus, jamur atau bakteri, kanker, dan juga infeksi berulang (reaktivasi infeksi
laten) Gangguan imundefisiensi dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu
imunodefisiensi primer (kongenital) dan sekunder (imunodefisiensi didapat).
Imunodefisiensi primer disebabkan oleh kelainan genetik pada satu atau lebih
komponen sistem imun. Sedangkan, imunodefisiensi sekunder merupakan kerusakan
sistem imun yang disebabkan infeksi, kekurangan nutrisi, ataupun efek dari
pengobatan.1
Hingga tahun 2010, sebanyak lebih dari 130 jenis kelainan imunodefisiensi
primer telah ditemukan. Berbagai kelainan tersebut dapat mempengaruhi
perkembangan dan atau fungsi sistem imun serta dapat diwariskan kepada
keturunannya. Umumnya gejala imunodefisiensi primer dapat terdeteksi sejak kecil.
Namun, gejala muncul dapat berbeda-beda antara satu pasien dengan pasien lainnya
sebagai dampat dari pengaruh genetik dan lingkungan2.
1
Jan Tambayong. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal. 58-60
2
JCE Underwood. 1999. Patologi: Umum dan Sistemik. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Editor: Sarjadi. Edisi 2. Hal 225-227.
Penyakit Kelainan / Kerusakan yang Dampak klinis
disebabkan
1. Defisiensi imunitas Penurunan jumlah sel T, sel B, sel Rentan terhadap infeksi virus, fungi, dan
kombinasi (Severe NK, dan/atau antibodi. bakteri karena kecacatan pada sistem
Combined kekebalan seluler dan humoral.
Immunodeficiency/S
CID)
2. Agammaglobulinemi Kegagalan maturasi sel B di sumsum Penurunan atau sama sekali tidak ada
a terkait kromosom-X tulang belakang. produksi sel B dan antibodi.
4. Sindrom Wiskott- Mutasi pada gen WAS menyebabkan Rentan terhadap ekzema atopik dan infeksi
Aldrich kerja protein WASP kurang yang mudah kambuh.
fungsional yang mengganggu fungsi
sitoskeleton aktin dalam
perkembangan sel darah dan
pembentukan sinapsis imunologi.
5. Sindrom Hiper-IgM Cacat pada sel B sehingga tidak dapat Kadar IgM di dalam tubuh berlebihan dan
melakukan pergantian kelas antibodi kekurangan IgA, IgG & IgE. Menyebabkan
(imunoglobulin) terjadinya infeksi berulang.
Perawatan
Perawatan umum untuk cacat ini biasanya melibatkan terapi antibiotik untuk
mengobati infeksi akut. Terapi antibiotik profilaksis juga digunakan. Beberapa
pasien memerlukan perawatan imunoglobulin dan terapi pergantian
imunoglobulin.