Anda di halaman 1dari 11

REAKSI PENGENALAN DAN PENOLAKAN ORGAN TRANSPLAN,

IMUNODEFISIENSI PRIMER, KERUSAKAN IMUNITAS BAWAAN DAN


ADAPTIF

Makalah disusun guna memenuhi tugas


mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu: Ns. Tatiana Siregar, S.Kep, MM

Disusun oleh:
Astrid Nova Fortuna 1810711059
Elfrida Juniartha 1810711093
Fauziana Dzulhia P. 1810711102
Vernanda Erlita V. 1810711108

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
S1 KEPERAWATAN
2018
A. Reaksi Pengenalan
Transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari
suatu tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang lain dengan persyaratan dan
kondisi tertentu. Dalam dunia kedokteran pemberian organ disebut donor, dan
penerima organ disebut resipien, sedangkan organ itu sendiri disebut graft atau
transplant. Terdapat beberapa tipe donor organ tubuh, dan masing-masing tipe
mempunyai permasalahan tersendiri, yaitu:
1. Donor dalam keadaan hidup sehat
2. Donor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal segera
3. Donor dalam keadaan mati.
Secara medis ada persyaratan yang harus dipenuhi untuk melakukan donor organ.
Diantaranya adalah memiliki DNA, golongan darah, jenis antigen yang cocok antara
donor dan resipien, tidak terjadi reaksi penolakan secara antigen dan antibodi oleh
resipien, harus dipastikan apakah sirkulasi, perfusi dan metabolisme organ masih
berjalan dengan baik dan belum mengalami kematian (nekrosis).
Klasifikasi Pemindahan Organ
Berdasarkan hubungan antara donor dan resipien, pemindahan jaringan/organ terbagi
atas empat tipe yaitu:
1. Autograft (Autologous Graft) adalah proses pemindahan jaringan/organ yang
berasal dari suatu individu dan digunakan untuk dirinya sendiri.
2. Allograft (Allogeneic Graft) / Allogeneic adalah proses pemindahan
jaringan/organ antarindividu dimana individu-individu tersebut masih satu spesies.
3. Isograft (Isogeneic Graft) / Syngeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ
antarindividu yang secara genetic kembar identik.
4. Xenograft / Xenogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu
yang berbeda spesies (Shetty 2005).
Pathway

B. Penolakan Transplan
1. Penolakan Yang Diperantarai Sel T
Penolakan akut klasik pada pejamu yang nonimunosupresif terjadi dalam 10-
14 hari, hal ini sebagian besar terjadi akibat imunitas selular, baik yang
melibatkan mekanisme DTH maupun CTL. Karena satu-satunya perbedaan
antigenik utama antara jaringan pejamu dan donor adalah molekul
histokompalibilitasnya, penolakan terjadi sebagai respon terhadap MHC.
Pengenalan pejamu dan respons terhadap MHC donor terjadi melalui dua
mekanisme:
a) Pengenalan tak langsung.
Dalam contoh ini, Sel T CD4+ pejamu mengenali HLA donor
setelah diproses dan disajikan oleh APC donor serta pemrosesan
HLA yang berasal dari sel donor dan serupa dengan pemrosesan
fisiologis serta penyajian antigen asing lainnya (misalnya, mikroba).
Secara jelas, bentuk pengenalan ini terutama mengaktivasi jalur
DTH.
b) Pengenalan langsung
Dalam contoh ini, pejamu memberikan respons terhadap HLA
donor yang dikeluarkan secara langsung pada sel donor. Pengenalan
langsung bertolak belakang hal itu tampaknya melanggar aturan
restriksi MHC; hal ini telah dijelaskan dengan menganggap MHC
allogenik dan peptide terikat, dalam beberapa halsecara structural
menyerupai MHC sendiri dan antigen asing. Karena sel dendrit
donor mengeluarkan MHC I dan MHC II dalam kadar tinggi, dan
merupakan molekul kostimulator yang penting, sel tersebut paling
mungkin merupakan APC dalam pengenalan langsung (sel makrofag
serta endotel secara potensial juga terlibat). Sel T helper CD4+
pejamu dipicu untuk berproliferasi dan memproduksi sitokin melalui
pengenalan molekul MHC II (HLA-D) donor dan mendorong
respons DTH. Sel T CD8+ secara potensial dapat mengenali MHC I
(HLA-A, -8, -C) pada setiap tipe sel, tetapi sel T CD8+ mungkin pula
memerlukan kostimulasi yang disiapkan oleh APC "profesional";
Dengan bantuan sitokin sel T CD4+, sel T CD8+ akan
berdiferensiasi menjadi CTL
Begitu allograft donor telah dikenali sebagai benda asing,
penolakan berlanjut melalui mekanisme efektor. CTL yang matur
melisis target dalam jaringan yang ditanamkan, menyebabkan
kematian sel parenkim, dan mungkin yang lebih penting lagi adalah
kematian sel endotel (mengakibatkan trombosis serta iskemia graft).
Sel T CD4+ yang menyekresi sitokin meningkatkan permeabilitas
vaskular serta terjadi akumulasi lokal sel mononuclear (limfosit dan
makrofag). Respons DTH dengan jejas mikrovasknlar yang
menyertai juga mengakibatkan iskemia jaringan yang bersama
dengan penghancuran yang diperantarai oleh makrofag terakumulasi
merupakan suatu mekanisme penting penghancuran graft.
2. Penolakan Yang Diperantarai Antibodi
Meskipun sel T mempunyai makna terpenting dalam penolakan allograft,
antibodi juga memerantarai beberapa bentuk penolakan.
a) Antibodi humoral anti-HLA muncul bersamaan dengan penolakan
yang diperantarai sel-T (Gbr. 5-17). Sasaran utama perusakan yang
diperantarai oleh antibody dalam keadaan ini adalah endotel
vaskular, dengan antibodi yang terikat menyebabkan jejas (dan
thrombosis sekunder) melalui jalur yang diperantarai komplemen,
kompleks imun, atau ADCC. Agregasi dan kongagulasi trombosit
(disebabkan oleh aktivasi komplemen) akan menyamarkan kerusakan
vaskular imunologis, yang akan memperberat keadaan iskemik pada
cedera yang merugikan. Secara histologis, bentuk penolakan ini
menyerupai vaskulitis yang telah digambarkan sebelumnya untuk
hipersensitivitas tipe I II.
b) Penolakan hiperakut adalah bentuk khusus penolakan yang terjadi
pada keadaan munculnya antibodi antidonor preformed dalam
sirkulasi pejamu sebelum transplan. Hal ini dapat terjadi pada
perempuan multipara yang mempunyai antibodi anti-HLA yang
melawan antigen paternal yang berasal dari janin atau dari pajanan
terhadap HLA asing (pada trombosit atau leukosit) dari transfusi
darah sebelumnya. Yang jelas, antibodi semacam itu dapat pula
muncul pada seorang pejamu yang telah menolak suatu transplan.
Dalam setiap kejadian, transplantasi pada keadaan ini mengakibatkan
penolakan yang cepat (beberapa menit hingga beberapa jam) karena
antibodi dalam sirkulasi segera berikatan dengan endotel organ yang
ditanamkan, kemudian diikuti dengan fiksasi komplemen serta
trombosis.

C. Imunodefisiensi Primer
Imunodefisiensi adalah keadaan di mana komponen sistem imun tidak dapat
berfungsi secara normal. Akibatnya, penderita imundefisiensi lebih rentan terhadap
infeksi virus, jamur atau bakteri, kanker, dan juga infeksi berulang (reaktivasi infeksi
laten) Gangguan imundefisiensi dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu
imunodefisiensi primer (kongenital) dan sekunder (imunodefisiensi didapat).
Imunodefisiensi primer disebabkan oleh kelainan genetik pada satu atau lebih
komponen sistem imun. Sedangkan, imunodefisiensi sekunder merupakan kerusakan
sistem imun yang disebabkan infeksi, kekurangan nutrisi, ataupun efek dari
pengobatan.1
Hingga tahun 2010, sebanyak lebih dari 130 jenis kelainan imunodefisiensi
primer telah ditemukan. Berbagai kelainan tersebut dapat mempengaruhi
perkembangan dan atau fungsi sistem imun serta dapat diwariskan kepada
keturunannya. Umumnya gejala imunodefisiensi primer dapat terdeteksi sejak kecil.
Namun, gejala muncul dapat berbeda-beda antara satu pasien dengan pasien lainnya
sebagai dampat dari pengaruh genetik dan lingkungan2.

Tabel contoh gangguan imunodefisiensi primer.

1
Jan Tambayong. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Hal. 58-60
2
JCE Underwood. 1999. Patologi: Umum dan Sistemik. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Editor: Sarjadi. Edisi 2. Hal 225-227.
Penyakit Kelainan / Kerusakan yang Dampak klinis
disebabkan

1. Defisiensi imunitas Penurunan jumlah sel T, sel B, sel Rentan terhadap infeksi virus, fungi, dan
kombinasi (Severe NK, dan/atau antibodi. bakteri karena kecacatan pada sistem
Combined kekebalan seluler dan humoral.
Immunodeficiency/S
CID)

2. Agammaglobulinemi Kegagalan maturasi sel B di sumsum Penurunan atau sama sekali tidak ada
a terkait kromosom-X tulang belakang. produksi sel B dan antibodi.

3. Sindrom DiGeorge Ketidaksempurnaan Rentan terhadap infeksi virus dan fungi


perkembangan organ timus dan karena kegagalan sistem imunitas humoral.
kegagalan maturasi sel T.

4. Sindrom Wiskott- Mutasi pada gen WAS menyebabkan Rentan terhadap ekzema atopik dan infeksi
Aldrich kerja protein WASP kurang yang mudah kambuh.
fungsional yang mengganggu fungsi
sitoskeleton aktin dalam
perkembangan sel darah dan
pembentukan sinapsis imunologi.

5. Sindrom Hiper-IgM Cacat pada sel B sehingga tidak dapat Kadar IgM di dalam tubuh berlebihan dan
melakukan pergantian kelas antibodi kekurangan IgA, IgG & IgE. Menyebabkan
(imunoglobulin) terjadinya infeksi berulang.

D. Kerusakan Imunitas Bawaan


Kerusakan imunitas bawaan adalah kerusakan atau cacat pada respons imunitas
bawaan yang menumpulkan respons terhadap infeksi. Cacat ini dapat terjadi pada
monosit , neutrofil , sel pembunuh alami , basofil , sel mast atau protein komplemen .
Pasien dengan defek imun bawaan umumnya memiliki sistem imun adaptif yang utuh
dengan antibodi normal dan sel-T . Gejala utamanya adalah meningkatnya kadar
eosinofil dalam darah, tetapi kadar imunoglobulin E (IgE) yang meningkat juga
mungkin muncul. Diagnosis dibuat pada pasien yang dicurigai dengan mengukur
produksi sitokin oleh sel darah putih , setelah stimulasi oleh produk bakteri.
Pengujian fungsi TLR menjadi tersedia melalui laboratorium referensi komersial.
Dengan tes abnormal biasanya dilakukan pengujian ulang dan juga pengujian genetik.
Presentasi klinis gangguan PID
Penyakit gangguan immunodefisiensi primer (PID) adalah kelompok gangguan
genetik heterogen yang mempengaruhi komponen yang berbeda dari sistem
kekebalan tubuh bawaan dan adaptif. Manifestasi kardinal PID termasuk infeksi
saluran pernapasan dan pencernaan yang sering dengan gejala sistemik seperti
demam, penurunan berat badan, dan gagal tumbuh. Kemajuan terbaru dalam biologi
molekuler telah mengidentifikasi lebih dari 120 gen yang berbeda, dengan bentuk
kelainan mencapai lebih dari 150 berbagai bentuk PID. Oleh karena komplikasi
serius yang berhubungan dengan PID dan pengembangan alat diagnostik beberapa
tahun terakhir ini, dokter telah berusaha untuk menentukan tingkat kejadian PID
melalui pengumpulan data klinis untuk meningkatkan tingkat diagnosis dan
pengobatan. Namun, masih banyak subyek yang tidak dilaporkan atau tidak
terdiagnosis. Kebanyakan penelitian telah dilakukan pada populasi Eropa dan
Amerika Utara, ada beberapa studi yang telah meneliti kejadian PID antara berbagai
ras dan kelompok etnis. Data registry yang diterbitkan telah menunjukkan variasi
baik ras dan geografis dalam prevalensi dan pola PID. Dalam tahun 10 lalu, data PID
dari Timur Tengah dan Amerika Latin telah diterbitkan. Di Asia, prevalensi PID telah
sebagian besar tidak diketahui. (McCusker,2011;3)

 Gangguan Defisiensi Sel T dan Combined Immunodefisiensi Disorder (CID)


Manifestasi klinis dari gangguan sel T (seluler) dan CIDs akan bervariasi
tergantung pada cacat tertentu yang mendasari dalam respon imun adaptif. Oleh
karena itu, kecurigaan klinisi menjadi hal yang penting untuk diagnosis dengan
tepat waktu gangguan yang terjadi. Pasien dengan gangguan spesifik sel T
kemungkinan akan mengalami lymphopenic (limfosit berada dalam tingkat
abnormal rendah) dan neutropenia (neutrofil berada dalam tingkat abnormal
rendah). Dalam bentuk yang paling parah CID (juga dikenal sebagai
immunodeficiency gabungan yang parah [Severe combined
immunodeficiencyes / SCID]) dimana terjadi kekurangan sel T fungsional dan
fungsi kekebalan tubuh.
Gangguan ini jarang terjadi dan umumnya dikategorikan ke dalam ada tidak
adanya sel T; dengan kehadiran sel B (T-, B +), atau tidak adanya kedua T dan
sel B (T-, B-). Jumlah sel natural killer (NK cells) juga informatif untuk
menentukan fenotip genetik SCID. Meskipun demikian, jumlah normal sel T
tidak mengecualikan kemungkinan cacat sel T dan pada pasien dengan presentasi
klinis immunodefisiensi yang konsisten, maka penyelidikan lebih lanjut dari
fungsi sel T menjadi hal yang menjamin akuransi yang tepat diagnosis
immunodifiensi. Pasien dengan SCID biasanya dalam tahun pertama kehidupan
mengalami diare kronis dan gagal tumbuh, berat, infeksi berulang dengan
patogen oportunistik (misalnya Candida albicans [sariawan], Pneumocystis
jiroveci, atau cytomegalovirus) serta ruam kulit. Beberapa pasien mungkin juga
mengalami cacat neurologis. SCID adalah kondisi darurat pediatrik karena
infeksi sering menyebabkan kematian dimana transplantasi sumsum tulang
(BMT) dapat bersifat kuratif.
 Gangguan difensiensi sel B
Gangguan defisiensi sel B (defisensi antibodi) adalah jenis yang paling umum
dari immunodefisiensi, terhitung sekitar 50% dari seluruh diagnosis PID.
Defisiensi ini terdiri dari sekelompok gangguan heteregon yang ditandai dengan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi saluran pernapasan, terutama oleh
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae. Pasien biasanya secara
berulang dan sering parah menderitainfeksi sinopulmonary seperti otitis media,
sinusitis, dan pneumonia. Diare, kelelahan, manifestasi autoimun (terutama
sitopenia autoimun), dan gangguan pendengaran sensorineural. Pasien dengan
defisiensi humoral sering memiliki kondisi berkurang atau tidak ada kadar
imunoglobulin serum, tetapi juga dapat menunjukkan jumlah normal atau
meningkatnya kadar imunoglobulin serum dengan fungsi abnormal.
 Gangguan Imunodefisiensi Bawaan
Pasien dengan gangguan imunodefisiensi bawaan dapat terjadi pada usia berapa
pun, seringkali dengan kondisi sulit memberantas infeksi. Tanda-tanda yang khas
dari gejala gangguan fagosit adalah piogenik yang parah, bakteri dan infeksi
jamur pada kulit, saluran pernapasan, dan organ internal, serta luka yang
menyakitkan sekitar mulut. Granulomatosa penyakit kronis (CGD) adalah cacat
fagosit umum. Hiper-IgE syndrome merupakan gangguan fagosit ditandai dengan
infeksi Staficoccus pada kulit, tulang dan paru-paru, kelainan tulang dan tingkat
IgE yang tinggi. Baru-baru ini ditemukan hasil dari mutasi pada transduser sinyal
dan aktivator transkripsi 3 (STAT3) yang mempengaruhi sel fagositik
Staphylococcus serta fungsi osteoklas yang terlibat dalam remodeling tulang.
Dari semua PID, kekurangan komplemen memiliki presentasi kurang dari 1%
dari kasus diidentifikasi. Pasien dengan gangguan ini cenderung menderita
dengan penyakit autoimun sistemik yang menyerupai lupus eritematosus atau
dengan infeksi berat atau berulang dengan organisme encapsulated.
(McCusker,2011:3-4).

Perawatan
Perawatan umum untuk cacat ini biasanya melibatkan terapi antibiotik untuk
mengobati infeksi akut. Terapi antibiotik profilaksis juga digunakan. Beberapa
pasien memerlukan perawatan imunoglobulin dan terapi pergantian
imunoglobulin.

E. Kerusakan Imunitas Adaptif


Sel T dan sel B adalah sel utama dari sistem kekebalan adaptif tubuh. Sel B
memediasi produksi antibodi dan oleh karena itu memainkan peran utama dalam
antibodi-mediated (humoral) imunitas. Di sisi lain, sel T mengatur respon sel yang
dimediasi sistem imun. Cacat yang terjadi pada setiap pengembangan, diferensiasi
dan pematangan sel T mengarah pada gangguan immunodefisiensi sel T, sedangkan
cacat yang berkaitan dengan sel B mengarah pada pengembagan sel B dan/atau
gangguan hasil pematangan sel B (defisiensi antibodi), karena produksi antibodi sel B
yang diperantarai sel B membutuhkan fungsi sel T. Oleh karenanya gabungan
gangguan sel T dan sel B akan menyebabkan gangguan immunodefisiensi sel B dan
sel T(Combined Immunodeficiensies/ CIDs)
 Severe Combined Immunodeficiency (SCID)
Gangguan yang terjadi pada rangkaian proses perkembangan sel limfosit T yang
dapat / tidak akan berdampak pada pematangan B. Gangguan ini dapat
berdampak secara langsung pada sistem imun humoral maupun imunitas yang
dimediasi oleh sel T disebut Severe combined immunodeficiency (SCID) dengan
beragam faktor penyebab dan dampaknya. Penyakit ini dikarakteristikan dengan
defisiensi dari sel B maupun sel T atau hanya sel T. Kasus ini dampak pada
sistem humoral terjadi karenan tidak adanya bantuan dari sel T. Anak-anak
dengan SCID biasanya memiliki infeksi selama satu tahun masa kehidupannya
dan akan terus berulang kecuali bila mereka diterapi. Proses perkembangan sel T
dan sel B dari hematopoietic stem cell hingga limfosit kompetent fungsional yang
matang melibatkan progenitor lymphosit awal, penataulang (rearragement) lokus
yang mengkoding satu rantai dari reseptor antigen diikuti dengan seleksi sel yang
telah dibuat dalam tatanan produksi penataan titik antigen reseptor, ekspresi pada
kedua rantai dari reseptor antigen dan seleksi spesifikasi sel yang dibutuhkan.
Gangguan dari setiap tahap ini akan berdampak pada bentuk SCID
 Defisiensi Antibodi
Pada saat kegagalan perkembangan sel T atau perkembangan sel T dan sel B
berkontribusi pada fenotipe SCID, maka kegagalan perkembangan sel B dan
fungsinya akan berdampak pada gangguan abnormalitas sintesis antibodi. Pada
salah satu dampak yaitu sindrom hyper IgM, defisiensi antibodi juga berkorelasi
dengan gangguan pada aktivasi makrofag dan Antigen Precenting Cell (APC)
yang akan berpengaruh pada attenuated cell-mediated immunity. Manifestasi
klinis dari kegagalan pematangan antibody akan berdampak pada beberapa
gangguan; di antaranya adalah Agammaglobulinemias,
Hypogammaglobulinemias dan Hyper-IgM syndrome. Agammaglobulinemias
atau yang biasa disebut Bruton’s agammaglobulinemias dikarakteristikkan
dengan tidak adanya gamma globulin pada darah. Disebabkan mutasi atau delesi
yang mengkoding enzym Bruton Tyrosine Kinase (Btk).
Hypogammaglobulinemias erat kaitannya dengan gangguan atau mutasi yang
mengatur metylasi DNA. Hyper-IgM syndrome terjadi karena adanya kesalahan
dalam switching sel B menjadi isotype IgG atau IgA.
 Gangguan Aktivasi dan Fungsi Sel T
Abnormalitas kongenital dalam aktivasi sel lymfosit T semakin meningkat
dengan pemahaman kita tentang proses molekular yang mempengaruhi
pematangan sel limfosit T. Gangguan tersebut meliputi kegagalan dalam ekspresi
MHC, kegagalan dalam signaling sel T dan familial seshemophagocytic
lymphohistiocyto. Kegagalan dalam ekspresi MHC dapat disebabkan oleh
kegagalan dalam respon IFN-l mutasi beberapa faktor seperti RFX5, CIITA dan
lain sebagainya. Kegagalan dalam signaling sel T disebabkan adanya mutasi pada
gen yang mengkode berbagai protein sel T, dimana akan mempengaruhi ekspresi
CD4+ atau CD 8+. Sebagai contoh defisiensi ZAP-70 akan menurunkan jumlah
CD8+ tetapi tidak mempengaruhi ekspresi CD4+ 2,3.
DAFTAR PUSTAKA
Abul K. Abbas, Andrew H. H. Lichtman. 2014. Basic Immunology: Functions and
Disorders of the Immune System. Saunders Elsevier.
Jan Tambayong. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
JCE Underwood. 1999. Patologi: Umum dan Sistemik Edisi 2. Editor: Sarjadi. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kusumo, Pratiwi Dyah. 2012. Gangguan Imunodefisiensi Primer (PID). Jurnal Ilmiah
Widya, Tahun 29 Nomor 324.
Prasetyo, Awal, Brahm U. Pendit dan Toni Priliono. 2004. Buku Ajar Patologi Ed. 7 Vol.
1. Terjemahan Vinay Kumar, Ramzi S. Conan dan Stanley L. Robbins dari Robbins
Basic Pathology 7th (2003). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai