Anda di halaman 1dari 55

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas penyakit menular yang sangat tinggi pada bayi, anak-

anak dan orang usia lanjut didunia. Sebesar 20% kematian terjadi pada anak

kurang dari lima tahun akibat ISPA dengan perhitungan sekitar 2,04 juta

kematian per tahun (Selvaraj, K. dkk 2014, dalam Halim, Y. & Pambudi, W.

2019). ISPA salah satu penyebab kematian utama didunia dan penyebab

turunnya kualitas hidup (disability adjusted life years atau DALY) khususnya

terhadap balita. (Mokdad, A. H. 2017, dalam Zahra & P, Assetya, O. 2017).

Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering dijumpai pada masyarakat,

khususnya bayi dibawah usia lima tahun (balita) mulai dari ISPA ringan

sampai berat. ISPA adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian

atau lebih dari satu saluran napas, dan berlangsung selama 14 hari. ISPA yang

berat jika masuk kedalam jaringan paru-paru akan menyebabkan Pneumonia.

Pneumonia merupakan penyakit infeksi yang dapat menyebabkan kematian

terutama pada anak-anak. (Dinkes Sultra. 2016, dalam Jalil, 2018). Pada ISPA

dikenal tiga cara penyebaran infeksi yang pertama melalui aerosol yang lembut

terjadi saat batuk, melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk

dan bersin, dan yang terakhir melalui kontak langsung/tidak langsung dari

1
2

benda yang telah dicemari jasad renik (hand to hand transmission). (Alsagaff,

H. & Mukty, A. 2010).

Menurut data WHO (World Health Organization) memperkirakan insiden

ISPA di negara berkembang Asia dan Afrika seperti: India (48%), Indonesia

(38%), Ethiopia (4,4) dan China (3,3), dengan angka kematian balita di atas 40

per 1000 kelahiran hidup adalah 15-20% pertahun pada golongan usia balita.

Asia Tenggara memiliki prevalensi menempati peringkat pertama pada

kejadian ISPA, diperkirakan lebih dari 80%. Berdasarkan Riskesdas (Riset

Kesehatan Dasar) 2018, diketahui bahwa prevalensi ISPA di Indonesia sebesar

4,4%. Provinsi yang memiliki prevalensi tertinggi adalah Papua sebesar 10,5%,

Provinsi Jawa Barat memiliki prevalensi 5%, dan Provinsi DKI Jakarta

memiliki prevalensi 2,5%. Profil Kesehatan Dinas Jawa Barat (2017)

menjelaskan, porsi kematian balita di Jawa Barat tahun 2017 sebesar 3,6/1000

kelahiran hidup.

Angka kematian balita yang dilaporkan di Kabupaten Karawang tercatat

sebanyak 4,03% dari 27 Kabupaten di Jawa Barat. Menurut Badan Pusat

Statistik (BPS) Kabupaten Karawang, kasus penyakit sering terjadi pada tahun

2018 adalah ISPA dengan jumlah 178.891 kasus. Menurut data laporan kasus

di UPTD Puskesmas Tanjung Pura pada tahun 2018, memiliki angka kejadian

ISPA tertinggi tercatat ada 4094 kasus dan masuk sepuluh besar penyakit

terbanyak yang sering di derita oleh masyarakat setempat. Sepanjang tahun

2019, ISPA masih dalam catatan sepuluh besar penyakit dan menempati posisi
3

pertama dengan jumlah sebanyak 1556 kasus. 551 kasus terjadi pada balita.

Dalam 2 tahun terakhir kejadian ISPA di UPTD Puskesmas Tanjung Pura

cenderung turun karena faktor dukungan keluarga untuk balita berobat.

Penyakit ISPA pada balita dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab,

diantaranya adalah faktor individu (umur, berat badan lahir (BBL), status

imunisasi, gizi, dan pemberian ASI Eksklusif), faktor lingkungan (ventilasi,

kepadatan huian di dalam rumah, dan pencemaran udara yang terjadi di dalam

rumah), dan faktor perilaku seseorang. (Niki & Mahmudiono. 2019). Faktor

lingkungan yang saat ini perlu diperhatikan terkait wabah yang sedang terjadi

adalah Perilaku Hidup Bersih dan Sehat atau PHBS diantaranya mencuci

tangan dengan air bersih dan sabun, dan menjaga kesehatan lingkungan..

Banyak faktor yang menjadi perhatian dalam tingginnya jumlah kasus ISPA

pada balita, menurut Niki & Mahudiono (2019) ada beberapa faktor

diantaranya faktor Individu (umur, BBL, status imunisasi, gizi, pemberian

ASI), faktor lingkungan (ventilasi, kepadatan hunian, pencemaran udara), dan

faktor perilaku seseorang. Menurut Zahra & P. Assetya (2017) diantaranya

faktor kondisi lingkungan rumah, asap rokok dalam rumah, jenis bahan bakar

memasak, dan kondisi jendela rumah. Sedangkan menurut Jalil (2018) adalah

pemberian ASI eksklusif, lingkungan fisik rumah, kebiasaan merokok, dan

pengetahuan ibu.
4

Lingkungan menjadi fakor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada

balita khususnya di UPTD Puskesmas Tanjung Pura namun selain lingkungan

salah satu faktor yang juga berhubungan dengan ISPA pada balita adalah

pengetahuan terutama pengetahuan ibu terhadap terjadinya ISPA pada balita,

faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan diantaranya pendidikan,

informasi, sosial, budaya dan usia. Menurut Notoatmodjo 2003 dalam Budiman

& Riyanto, A. 2013. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi

setelah orang melakukaan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. (Budiman

& Riyanto, A. 2013).

Upaya yang telah dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini yaitu dengan

meningkatkan penemuan ISPA pada balita. Dalam rangka untuk menurunkan

angka kejadian ISPA sangat diperlukan peran petugas kesehatan yaitu terutama

yang berhubungan dengan ISPA dan cara pencegahannya. Upaya dalam

mencapai tingkat kesejahteraan hidup masyarakat yang optimal memerlukan

kesadaran akan pentingnya hidup bersih dan sehat.

PHBS merupakan modal utama bagi pencegahan penyakit ISPA. Perilaku

bersih dan sehat tersebut berhubungan dengan pengetahuan. Dengan makin

meningkatnya pengetahuan di masyarakat diperkirakan akan berpengaruh

positif terhadap pemahaman masyarakat dalam menjaga kesehatan balita agar

tidak terkena penyakit ISPA, yaitu melalui upaya memperhatikan rumah sehat

dan lingkungan sehat. Diperlukan pula dukungan faktor lingkungan, perilaku


5

individu, serta penyediaan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan yang

mudah dan terjangkau (accessible). Dalam kegiatan ini upaya pemerintah

sangat diperlukan salam mencapai derajat kesehatan masyarakat yaitu sebagai

penyedia fasilitas pelayanan kesehatan, pembuat kebijakan. (Niki &

Mahmudiono, 2019)

Berdasarkan data laporan UPTD Puskemas Tanjung Pura dalam 3 bulan

terakhir yaitu dari bulan Desember 2019 hingga Februari 2020 tercatat kurang

lebih 300 kasus ISPA yang terjadi pada masyarakat sekitar Tanjung Pura.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Februari 2020 di

UPTD Puskesmas Tanjung Pura dengan responden berjumlah 10 ibu yang

membawa balita penderita ISPA, peneliti telah melakukan wawancara kepada

10 ibu secara acak. Dari 10 ibu yang diwawancarai didapatkan data bahwa

sebanyak 9 ibu tidak mengetahui apa itu ISPA, gejala dan tanda, pencegahan,

pengobatan, komplikasi ISPA pada balita, serta tidak tahu bagaimana perilaku

hidup dan sehat yang benar, 8 ibu tinggal dengan perokok aktif bersama balita

dalam satu rumah dan kurang dalam pelaksanaan prilaku hidup bersih dan

sehat.

B. Rumusan Masalah

Infeksi Saluran Pernapasan Akut atau ISPA merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas penyakit menular yang sangat tinggi pada bayi, anak-

anak dan orang usia lanjut di dunia. ISPA adalah proses peradangan yang

disebabkan oleh virus maupun infeksi bakteri, Penyakit ISPA sering dijumpai
6

pada masyarakat, khususnya bayi dibawah usia lima tahun (balita). Menurut

data laporan kasus di UPTD Puskesmas Tanjung Pura dalam 2 tahun terakhir

kejadian ISPA di UPTD Puskesmas Tanjung Pura cenderung turun karena

faktor dukungan keluarga untuk balita berobat.

ISPA pada balita dipengaruhi oleh berbagai faktor penyebab, diantaranya

adalah faktor individu itu sendiri, faktor lingkungan, dan faktor perilaku

seseorang. (Niki & Mahmudiono. 2019). Banyak faktor yang berhubungan

dengan pengetahuan diantaranya pendidikan, informasi, sosial, budaya dan

usia. Selain pengetahuan ada juga faktor yang berhubungan dengan lingkungan

terkait PHBS yaitu cuci tangan dengan air bersih, dan pencemaran udara yang

terjadi didalam rumah) Berdasarkan penjelasan di atas maka masalah penelitian

yang dapat dirumuskan adalah faktor apa saja yang berhubungan dengan

pengetahuan ibu terhadap kejadian ISPA pada balita di UPTD Puskesmas

Tanjung Pura Tahun 2020. Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti diatas

dapat disimpulkan lingkungan terkait PHBS dan pengetahuan sebagain besar

berhubungan terhadap kejadian kejadian ISPA pada balita.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
7

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pengetahuan ibu

dan kondisi lingkungan rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di UPTD

Puskesmas Tanjung Pura Tahun 2020.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik demografi (umur, pedidikan terakhir,

pekerjaan) responden yang memiliki balita dengan ISPA di UPTD

Puskesmas Tanjung Pura Tahun 2020

b. Mengetahui gambaran distribusi frekuensi pengetahuan ibu yang

memiliki balita dengan ISPA di UPTD Puskesmas Tanjung Pura Tahun

2020

c. Mengetahui gambaran distribusi frekuensi kondisi lingkungan rumah

terkait PHBS ibu yang memiliki balita dengan ISPA di UPTD

Puskesmas Tanjung Pura Tahun 2020

d. Mengetahui hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada

balita di UPTD Puskesmas Tanjung Pura Tahun 2020

e. Mengetahui hubungan kondisi lingkungan rumah terkait PHBS ibu

dengan kejadian ISPA pada balita di UPTD Puskesmas Tanjung Pura

Tahun 2020

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi
8

Hasil penelitian ini diharapkan agar di mata kuliah keperawatan anak

ditekankan dalam memberikan guidance atau pedoman sesuai dengan faktor

yang terdapat pada penelitian ini.

2. Bagi Puskesmas

Proposal ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bentuk sharing atau

berbagi pengetahuan bagi pihak UPTD Puskesmas Tanjug Pura


BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep ISPA

1. Definisi

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses peradangan yang

disebabkan oleh virus, infeksi bakteri, atipikal (Mycoplasma) atau aspirasi

zat asing, yang melibatkan salah satu atau seluruh bagian saluran

pernapasan (Wilson & Hockenberry, 2008, dalam Kardiyudian & Susanti,

2019). Secara lebih lanjut, Sari (2013) menjelaskan bahwa infeksi saluran

pernapasan akut merupakan radang akut saluran pernapasan atas maupun

bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun

reketsia tanpa atau disertai dengan radang parenkim paru. Gejala ISPA

umumnya berlangsung selama 14 hari.

ISPA yang mengenai saluran napas bawah, misalnya bronkitis, bila

menyerang kelompok umur bayi, anak-anak, dan orang tua, akan

memberikan gambaran klinik yang berat dan sering kali berakhir dengan

kematian. (Alsagaff & Mukty, 2010). Dari definisi diatas dapat disimpulkan

bahwa ISPA merupakan Infeksi Saluran Pernapasan Akut yang dapat terjadi

pada saluran atas maupun bawah, ISPA umunya terjadi pada balita, anak-

anak, dan orang dewasa disebabkan oleh bakteri ataupun virus. ISPA yang

akan jelaskan pada proposal ini adalah ISPA pada balita atau anak dibawah

lima tahun.
9
10

2. Epidemiologi

ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak. Insiden menurut

kelompok umur balita yang diperkirakan 0,29 kasus per anak/tahun di

negara berkembang dan 0,05 kasus per anak/tahun di negara maju. Ini

menunjukkan bahwa terdapat 156 juta kasus baru di dunia per tahun di

mana 151 juta kasus (96,7%) terjadi di negara berkembang. Berdasarkan

Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) 2018, diketahui bahwa prevalensi ISPA

di Indonesia sebesar 4,4%. Provinsi yang memiliki prevalensi tertinggi

adalah Papua sebesar 10,5%, Provinsi Jawa Barat memiliki prevalensi 5%.

Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Jawa Barat (2017) menjelaskan, porsi

kematian balita di Jawa Barat tahun 2017 sebesar 3,6/1000 kelahiran hidup.

ISPA merupakan salah satu penyakit utama dengan kunjungan pasien di

Puskesmas sebesar 40-60% dan kunjungan rumah sakit sebersar 15-30%

(Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, 2016, dalam buku

Kardiyudian & Susanti, 2019)

3. Patofisiologi dan Etiologi

Menurut Libianingsing & Rahayu (2014) dalam Kardiyudian & Susanti

(2019) menyatakan bahwa ketahanan saluran pernapasan terhadap infeksi

maupun partikel dan gas yang ada di udara sangat tergantung pada 3 unsur

alamiah yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu: utuhnya epitel mukosa

dan gerak mukosilia, makrifag alveoli, dan sntibodi setempat. ISPA dapat

menjadi jalan masuk bagi virus. Hal ini dapat terjadi pada kondisi yang
11

penuh sesak. Setelah itu, kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel. Apabila

lapisan epitel telah terkikis, maka perlahan jaringan inofoif superficial

bereaksi sehingga dapat terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi

lapisan epitel dari saluran napas sebagai akibat dari radang.

ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia. Bakteri yang

menjadi penyebab ISPA antara lain beradal dari genus Streptococcus,

Stafilococcus, Pnemococcus, Hemofilus, Brodetella, dan Corinebakterium.

Virus yang menjadi penyebab ISPA antara lain berassal dari golongan

Micsovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, dan

Herpesvirus. Bakteri dan virus yang paling sering menjadi penyebab ISPA

(di antaranya bakteri stafilokokus dan streptokokus serta virus influenza)

yang ada di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran

pernapasan bagian atas yaitu tenggorokan dan hidung (Sari, 2013, dalam

Kardiyudian & Susanti, 2019).

Bakteri dan virus tersebut umunya menjangkiti anak-anak usia dibawah 2

tahun yang masih memiliki kekebalan tubuh yang lemah atau belum

sempurna. Peralihan musim kemarau ke musim hujan juga memperbersar

risiko serangan ISPA. Beberapa faktor lain yang juga diperkirakan turut

berkontribusi terhadap kejadian ISPA pada anak-anak ialah rendahnya

asupan antioksidan, status gizi kurang, dan buruknya sanitasi lingkungan

(Sari, 2013, dalam Kardiyudian & Susanti, 2019).


12

Menurut Hartono & H, Dwi. (2012) dalam bukunya yang berjudul ISPA

Gangguan Pernafasan Pada Anak, menjelaskan bahwa jumlah penderita

infeksi pernafasan akut kebanyakan pada anak. Etiologi dan infeksinya

mempengaruhi umur anak, musim, kondisi tempat tinggal, dan masalah

kesehatan yang ada.

a. Agen Penginfeksi

Sistem pernafasan menjadi terpengaruh oleh bermacam-macam

organisme terinfeksi. Banyak infeksi disebabkan oleh virus, terutama

respiratory syncytial virus (RSV). Agen lain melakukan serangan

pertama atau kedua melibatkan grup A ß-Hemolytic Streptococcus,

Staphylococci, Haemophilus influenzae, Chlamydia trachomatis,

Mycoplasma, dan Pneumococci.

b. Umur

Bayi umur di bawah 3 bulan mempunyai angka infeksi yang rendah,

karena fungsi pelindung dari antibody keibuan. Infeksi meningkat pada

umur 3-6 bulan, pada waktu ini antara hilangnya antibody keibuan dan

produksi antibody bayi itu sendiri. Sisa infeksi dari virus berkelanjutan

pada waktu balita dan prasekolah. Pada waktu anak-anak berumur 5

tahun, infeksi pernafasan yang disebabkan virus akan berkurang

frekuensinya, tetapi pengaruh infeksi Mycoplasma pneumoniae dan grup

A ß-Hemolytic Streptococcus akan meningkat. Beberapa agen virus

membuat sakit ringan pada anak dewasa tetapi menyebabkan sakit yang

hebat di sistem pernapasan bagian bawah atau batuk asma pada balita.
13

c. Ukuran

Ukuran anatomi mempengaruhi respon infeksi sistem pernapasan.

Diameter saluran pernapasan terlalu kecil pada anak-anak menjadi

sasaran radang selaput lender dan peningkatan produksi sekresi.

Disamping itu jarak antara struktur dalam sistem yang pendek pada

anak-anak. Pembuluh Eustachius relatiif pendek dan terbuka pada anak

kecil dan anak muda yang mebuat pathogen mudah untuk masuk ke

telinga bagian tengah.

d. Daya Tahan

Kemampuan untuk menahan organisme penyerang dipenuhi banyak

faktor. Kekurangan sistem kekebalan pada anak beresiko terinfeksi.

Kondisi lain yang mengurangi daya tahan adalah malnutrisi, anemia,

kelelahan, dan tubuh yang melemah. Kondisi yang melemahkan

pertahanan pada sistem pernapasan dan cenderung yang menginfeksi

melibatkan alergi (seperti alergi rhinitis), asma, kelainan jantung yang

disebabkan tersumbatnya paru-paru, dan cystic fibrosis. Khususnya jika

orangtua perokok juga meningkat kemungkinan terinfeksi.

e. Variasi Musim

Banyaknya pathogen pada sistem pernapasan yang muncul dalam wabah

selama bulan musim dingin, tetapi infeksi mycoplasma sering muncul

pada perubahan awal musim panas. Infeksi yang berkaitan dengan asma

(seperti asma bronkhitis) frekuensi banyak muncul selama cuaca dingin.

Musim dingin dan semi adalah tipe “Musim RSV”.


14

ISPA merupakan penyakit tertinggi yang sering terjadi setiap tahunnya,

seperti yang sudah dijelaskan di atas banyak faktor yang dapat

menyebabkan ISPA terjadi, salah satunya adalah virus. Virus pandemik

yang sedang terjadi di dunia pada saat ini adalah Severe Acute Respiratory

Syndrome – Related Coronavirus 2 / Covid-19 atau masyarakat

menyebutnya dengan virus corona. Virus corona menjadi penyebab utama

mortalitas dan morbiditas penyakit menular pada semua umur khususnya

balita.

Virus corona terjadi pada bulan Desember 2019 di Tiongkok China, wabah

virus yang awalnya hanya terjadi di kota Wuhan China dengan cepat

berubah menjadi epidemik yang menyerang satu negara China, dan hanya

dalam beberapa bulan virus corona menyebar ke negara-negara lain, seperti

Korea Selatan, Italia, bahkan Indonesia. WHO menetapkan virus corona

sebagai global pandemic karena menyerang hampir seluruh negara di

belahan dunia. Adapun penjelasan wabah, epidemik, dan pandemik merujuk

pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah sebagai berikut:

a. Wabah

Kata wabah dalam KBBI berarti penyakit menular yang terjangkit

dengan cepat, menyerang sejumlah besar orang di daerah yang luas.

Wabah adalah terjadinya suatu penyakit dalam masyarakat, dimana

jumlah orang terjangkit lebih banyak daripada biasanya. Dikatakan

wabah ketika penyakit baru yang sebelumnya tidak diketahui, dan


15

penyakit tersebut adalah yang pertama kali menjangkit masyarakat di

daerah tersebut.

b. Epidemi

Epidemi adalah penyakit menular yang menjangkit dengan cepat di

daerah yang luas dan menimbulkan banyak korban, misalnya penyakit

yang tidak secara tetap menjangkit di daerah itu. Pengertian lain epidemi

yaitu wabah yang menyebar di area geografis yang lebih luas. Virus

corona yang awalnya menjadi wabah di kota Wuhan setelah menjangkit

seluruh negara China maka penyakit tersebut dikatakan sebagai epidemi.

c. Pandemi

Istilah pandemi menurut KBBI dimaknai sebagai wabah yang berjangkit

serempak, meliputi daerah geografi yang sangat luas. Dalam pengertian

yang paling klasik, ketika sebuah epidemi menyebar ke beberapa negara

atau wilayah dunia. Jika ada kasus terjadi di beberapa negara lainnya

selain negara asal, tetap digolongkan sebagai pandemi.

Menurut Kementrian Kesehatan Indonesia virus corona mempunyai

manifestasi klinis sama seperti penyakit ISPA lainnya, diantaranya sakit

tenggorokkan, batuk, pilek, sesak napas, demam disertai sakit kepala, letih,

dan lesu. Masa inkubasi penyakit ini juga sama berkisar antara 2-14 hari,

balita yang terjangkit virus corona akan dilakukan pengisolasian

dipelayanan kesehatan. Pemerintah menerapkan menjaga jarak atau social


16

distancing bagi masyarakat agar dapat memutus mata rantai penularan

virus.

Di Klinis Dikenal 6 Gambaran Sindroma ISPA yang Disebabkan Virus:

a. Sindroma Korisa (Coryzal/Common Cold Syndrome)

Sindroma ini ditandai dengan peningkatan sekresi hidung, bersin-bersin,

hidung buntu, kadang-kadang disertai sekresi air mata dan konjungtivitis

ringan. Sekresi hidung mula-mula cair kemudian mucoid dan

selanjutnya menjadi prulen. Obstruksi sinus paranasalis dan tuba

eustachi disebabkan oleh sembab mukosan dan sering menimbulkan

nyeri kepala.

b. Sindroma Faring (Pharyngeal Syndrome)

Gambaran klinis yang menonjol adalah suara serak dan nyeri

tenggorokan dengan derajat ringan sampai berat. Terdapat keradangan

faring dan pembesaran adenoid serta tonsil, kadang-kadang adenoid

sangat besar sehingga menimbulkan obstruksi pada hidung. Kadang

bercak-bercak serta eksudasi yang berwarna pada permukaan tonsil

disertai pembesaran kelenjar di leher.

c. Sindroma Faringokonjungtiva

Merupakan varian dari sindroma faring yang disebabkan oleh virus yang

sama. Gejala klinik diawali dengan faringitis yang berat kemudian

diikuti dengan konjungtivitis yang sering kali bilateral. Dapat pula


17

dimulai dengan konjungtivitis yang berlangsung 1-2 minggu sebelum

gejala faringitis itu sendiri. Sindroma ini banyak terdapat pada anak

sekolah.

d. Sindroma Influenza

Gambaran yang menonjol pada sindroma influenza adalah gangguan

fisik cukup berat, dengan gejala batuk, meriang, panas, lemah, nyeri

kepala, nyeri tenggorokan, nyeri retrosternal, nyeri seluruh tubuh,

malaise dan anoreksia. Gejala-gejala ini terjadi secara mendadak dan

dengan cepat dapat menular ke semua anggota keluarga dalam satu

rumah.

e. Sindroma Herpangina

Gambaran klinis sindoma herpagina berupa vesikel-vesikel yang

terdapat di dalam mulut dan faring. Vesikel ini kemudian

mengakibatkan nyeri kepala dan panas. Penyebab sindroma herpagina

adalah virus coxsackie A dan umumnya menyerang anak-anak.

f. Sindroma Laringotrakeobronkitis Obstruktif Akuta (Croup

Syndrome)

Pada anka-anak, gambaran klinis dari sindroma laringotrakeobronkitos

obstruktif akuta tampak gawat dan berat berupa batuk, sesak napas yang

disertai stridor inspirasi, sianosis serta gangguan-gangguan sistemik


18

lain. Gejala awal sering ringan yaitu berupa sindroma korisa, kemudian

cepat memburuk berupa obstruksi jalan napas yang hebat dengan

penarikan-penarikan sela antar iga toraks bagian bawah serta

penggunaan otot-otot napas bantu secara menonjol.

ISPA yang Disebabkan Oleh Jasad Renik Bukan Golongan Virus Maupun

Bakteria

a. ISPA yang Disebabkan Oleh Mikoplasma Pneumonia

Mikoplasma pneumonia termasuk dalam golongan pleuropneumonia-

likeorganism (PPLO) karena tidak dapat dimasukkan ke dalam golongan

virus maupun bakteri. Mikoplasma menyerang semua kelompok umur,

baik secara sporadic maupun epidemi dalam skala kecil. Penularan

banyak terjadi melalui kontak yang erat seperti yang terjadi di dalam

keluarga. Epidemi yang menonjol dalam masyarakat jarang dijumpai

walaupun ISPA tipe ini terjadi sepanjang tahun dengan puncak kejadian

di musim dingin.

b. Psitakosis-Ornitosis

Psitakosis-Ornitosis menyebabkan epizoonosis pada beberapa burung.

Agen psitakosis didapatkan pada burung parkit atau nuri, sedang

ornitosis banyak terdapat pada burung merpati. Kedua jasad renik ini

didapatkan dalam tinja dan air liur burung, serta tahan terhadap
19

kekeringan. Cara infeksi terjadi melalui pernapasan, juga dari benda-

benda yang tercemar atau melalui gigitan.

4. Manifestasi Klinis

Menurut Wilson & Hockenberry (2011) dalam Kardiyudian & Susanti

(2019). Tanda dan gejala ISPA ialah demam, emingismus, anoreksia, mual

dan muntah, diare, nyeri abdomen, sumbatan nasal, keluaran nasal, batuk,

dan sakit tenggorokan. Pada stadium awal, gejala ISPA ditunjukkan dengan

rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diiringi bersin

terus-menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri

kepala. Permukaan mukosa hidung bertambah. Bila tidak terdapat

komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari.

Gambaran klinik secara umum sering didapat adalah: rhinitis, nyeri

tenggorokan, batuk dengan dahak kuning/putih kental, nyeri retrosternal

dan konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4-7 hari, disertai malaise,

myalgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah-muntah dan insomnia.

Kadang-kadang dapat juga terjadi diare. Bila peningkatan suhu berlangsung

lama biasanya menunjukkan adanya penyulit.


20

5. Faktor Risiko

Menurut Dewi (2011) dalam Kardiyudian & Susanti (2019), yang

meningkatkan risiko penularan infeksi saluran pernapasan akut diantaranya

adalah sebagai berikut.

a. Anak berusia di bawah lima tahun (balita)

b. Anak ada di tempat penitipan anak/playgroup, sehingga ia dapat tertular

oleh penderita batuk lain.

c. Anak tinggal di lingkungan polusi dan lingkungan perokok

d. Bayi lahir prematur

e. Bayi tidak mendapatkan ASI atau medapat ASI tetapi tidak memadai,

kurang gizi, imunisasi tidak lengkap

f. Anak tinggal di hunian padat atau di lingkungan yang tidak sehat.

g. Sedang terjadi pergantian cuaca, sehingga menyebabkan terhirupnya

asap/debu secara berulang-ulang.

h. Sedang terjadi musim hujan.

i. Anak penderita penyakit kronis seperti asma, HIV, penyakit gangguan

darah, jantung, dan system imunologi.

Penyakit yang disebabkan oleh virus ataupun bukan bila tidak mendapatkan

penanganan yang cepat, tepat, dan khusus dapat menimbulkan komplikasi

terutama penyakit ISPA pada balita,


21

6. Komplikasi

Menurut Kunoli (2012) ada beberapa yang menjadi komplikasi atau

keadaan atau gambaran klinis berat yang terjadi pada ISPA diantaranya:

a. Napas cepat bila anak usia balita (bawah lima tahun)

b. Penentuan adanya tanda bahaya, bila terdapat satu atau lebih gejala

sebagai berikut berarti ada tanda bahaya; tidak bisa minum, kejang,

kesadaran menurun, stridor, gizi buruk, demam atau dingin (khusus

untuk bayi berusia < 2 bulan)

c. Klasifikasi penyakit: tanpa napas cepat dapat diartikan bukan

peneumonia, dengan napas cepat saja dapat diartikan pneumonia, dan

jika ada tanda bahaya dapat juga diartikan pneumonia dan mungkin

dapat terjadi sinusitis, faringitis, infeksi telinga tengah, infeksi saluran

tuba eustachi, hingga bronkhitis (radang paru).

Komplikasi dapat dicegah apabila dilakukan upaya penatalaksanaan berupa

pencegahan maupun pengobatan, baik pengobatan secara farmakologi

ataupun non-farmakologi.
22

7. Penatalaksanaan dan Pengobatan

Penemuan dini penderita pneumonia dengan penatalaksaan kasus yang

benar merupakan strategi untuk mencapai dua dari tiga tujuan program

(turunnya kematian karena pneumonia, turunnya penggunaan antibiotik,

dan obat batuk yang kurang tepat pada pengobatan penyakit ISPA).

Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar

pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan

antibiotik untuk kasus-kasus pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat

batuk yang kurang bermanfaat. Ada dua macam pengobatan yang dapat

dilakukan yaitu pengobatan secara farmakologi dan asuhan keperawatan.

a. Pengobatan Farmakologi

1) Pneumonia berat: dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik

parenteral, oksigen dan sebagainya

2) Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroal. Bila

penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan

pemberian kotrimoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai

obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksilin, atau penisilin

prokain.

3) Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan

perawatan dirumah, untuk batuk dapat digunakan obat batuk

tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung zat yang

merugikan seperti kodein, dexrometorphan, dan anti-histamin. Bila

demam diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita


23

dengan gejala batuk pilek bila pada pemeriksaan tenggorokam

didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai pembersaran

kelenjar getah bening di leher, di anggap sebagai radang tenggorokan

oleh kumah streptococcus dan harus diberikan

b. Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan merupakan proses atau rangkaian kegiatan pada

praktik keperawatan yang diberikan secara langsung kepada

klien/pasien, asuhan keperawatan dalam penelitian ini difokuskan

kepada responden atau ibu dengan balita ISPA, dalam pelaksanaan

asuhan keperawatan ada lima proses keperawatan yang harus dilakukan

yaitu: pengkajian, diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

Lima tahapan inilah yang masih digunakan sebagai langkah – langkah

proses keperawatan (Deswani, 2011 dalam Ginting, 2019).

1) Pengkajian

a) Keluhan Utama: keluhan dapat berupa pertanyaan ibu yang

menanyakan masalah yang sedang terjadi

b) Riwayat Penyakit Sekarang: keluhan dapat ditambah dengan

tidak menerapkan PHBS di ligkungan rumah

c) Riwayat Penyakit Dahulu: ibu sebelumnya pernah mengalami

keadaan seperti sekarang dengan balitanya menderita ISPA atau

baru mengalaminya
24

d) Riwayat Penyakit Keluarga: keluarga balita menderita ISPA

e) Riwayat Sosial: ibu tinggal dilingkungan yang kumuh atau padat

penduduk serta tinggal dilingkungan dengan masyarakat yang

berwawasan rendah.

2) Diagnosa Keperawatan

Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) dari

beberapa diagnosa keperawatan yang muncul, yang menjadi

diagnosa prioritas adalah defisit pengetahuan berhubungan dengan

prilaku sehat.

3) Tujuan dan Kriteria Hasil

Menurut Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) berdasarkan

diagnosis diatas adalah kecukupan informasi kognitif yang berkaitan

dengan prilaku sehat dengan kriteria hasil terjadinya peningkatan

tingkat pengetahuan.

4) Rencana Keperawatan

Adapun rencana keperawatan utama menurut Standar Intervensi

Keperawatan Indonesia (SIKI) berdasarkan diagnosa keperawatan

prioritas yaitu defisit pengetahuan berhubungan dengan prilaku sehat

adalah edukasi kesehatan, dengan tindakan sebagai berikut:


25

a) Observasi: identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima

informasi, indentifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan

dan menurunkan motivasi perilaku hidup bersih dan sehat

b) Terapeutik: sediakan materi dan media pendidikan kesehatan,

jadwalkan pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan, berikan

kesempatan untuk bertanya. pengobatan non-farmakologi yang

dilakukan pada penderita ISPA khususnya pada balita bisa

dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:

(1) Kompres air hangat

Jika anak atau balita mengalami kenaikan suhu ada baiknya

sebelum menggunakan obat-obatan gunakan kompres dengan

air hangat, walaupun frekuensi meredanya panas lebih lambat

dari pada penggunaan obat, namun kompres air hangat ini

tidak memiliki efek samping pada tubuh balita. Posisi yang

tepat untuk mengompres bisa dilakukan diarea yang berlipat

seperti di area leher atau ketiak.

(2) Hindari polusi udara

Polusi udara salah satu penyebab terjadinya ISPA pada balita

contohnya seperti asap rokok. Selama dalam pengobatan,

balita dihindarkan dari paparan polusi udara secara langsung

baik diruangan terbuka maupun ruangan tertutup. Polusi udara

yang terhirup oleh balita dapat memperburuk pernapasan


26

balita diantaranya dapat mengakibatkan batuk berat atau

bahkan sesak napas.

(3) Istirahat yang cukup

Istirahat yang cukup diperlukan bagi siapa saja baik itu dalam

keadaan sehat ataupun sakit, dalam keadaan sakit istirahat

yang cukup sangat diperlukan karena tubuh sedang melawan

penyakit yang ada didalam tubuh, dengan istirahat yang cukup

tubuh dapat memaksimalkan kerjanya dalam melawan

penyakit tersebut.

(4) Pastikan memperbanyak minum

Air sangat berguna bagi tubuh salah satunya untuk

membersihkan tubuh dari bakteri yang ada didalam tubuh,

dengan memperbanyak minum bakteri atau kuman yang

bersarang ditubuh kita akan terbawa oleh aliran air tersebut

menuju kandung kemih dan akhirnya akan ikut terbuang lewat

urin.

c) Edukasi: jelaskan faktor risiko yang dapat memengaruhi

kesehatan, ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat, ajarkan

strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku

hidup bersih dan sehat.

Dalam rangka pencegahan ISPA termasuk penanganan pasien yang

terjangkit virus corona akan dilakukakan pengisolasian di pelayanan


27

kesehatan dan Pemerintah juga menerapkan menjaga jarak atau social

distancing bagi masyarakat agar dapat memutus mata rantai penularan

virus ini, selain dengan menerapkan social distancing masyarakat juga

dihimbau agar menerapkan Prilaku Hidup Bersih dan Sehat atau PHBS,

diantaranya mencuci tangan menggunakan air bersih dan sabun atau

handsanitizer dan menjaga kesehatan diri dan lingkungan sekitar.

8. Definsi PHBS

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah semua perilaku kesehatan

yang dilakukan atas kesadaran sehingga anggota keluarga atau keluarga

dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif

dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat. Menurut Tim Field Lab

FK UNS, PHBS adalah wujud pemberdayaan masyarakat yang sadar, mau

dan mampu mempraktekkannya. Kesadaran masyarakat untuk selalu

menjaga kesehatan diri dan lingkungan sekitarnya masih rendah.

Berdasarkan Riskesdas Tahun 2013 Persentase rumah tangga di Indonesia

yang mempraktikkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat baru mencapai 55%.

Dalam rangka mendorong peningkatan penerapan perilaku hidup sehat oleh

masyarakat, diperlukan dukungan regulasi melalui kebijakan yang

mendukung PHBS di daerah khususnya di rumah tangga.

PHBS di Rumah Tangga dilakukan untuk mencapai Rumah Tangga Sehat.

Rumah Tangga Sehat adalah rumah tangga yang melakukan 10 indikator


28

PHBS di Rumah Tangga yaitu, pertolongan persalinan oleh tenaga

kesehatan, pemberian ASI eksklusif kepada bayi, menimbang bayi dan

balita setiap bulan, menggunakan air bersih, mencuci tangan dengan air

bersih dan sabun, menggunakan jamban sehat, memberantas jentik di rumah

sekali seminggu, makan buah dan sayur setiap hari, melakukan aktivitas

fisik setiap hari, dan tidak merokok di dalam rumah.

PHBS merupakan modal utama bagi pencegahan penyakit ISPA. Perilaku

bersih dan sehat tersebut sangat erat hubungannya dengan pengetahuan

penduduk. Dengan semakin meningkatnya tingkat pengetahuan di

masyarakat diperkirakan akan berpengaruh positif terhadap pemahaman

masyarakat khususnya ibu dalam menjaga kesehatan balita agar tidak

terkena penyakit ISPA

B. Konsep Lingkungan

1. Definisi Lingkungan

Lingkungan merupakan komponen dalam paradigma keperawatan yang

memiliki implikasi sangat luas bagi kelangsungan hidup manusia,

khususnya terkait status kesehatan seseorang. Lingkungan dapat berupa

lingkungan internal dan eksternal yang berpengaruh pada individu,

kelompok, atau masyarakat, baik secara langsung maupun tidak, seperti

lingkungan yang bersifat biologis, psikologis, sosial, kultural, spiritual,


29

iklim, ekonomi, dan politik (Mubarak dan Chayatin, 2013, dalam

Ratnawati, 2017).

Menurut Kunoli (2012) lingkungan adalah segala sesuatu yang berada

disekitar manusia serta pengaruh luar. Dari pengertian di atas dapat

disimpulkan bahwa lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada

disekitar manusia dan memiliki peranan penting bagi kelangsungan dan

perkembangan hidup manusia, mulai dari individu, kelompok, maupun

masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

2. Komponen Lingkungan

Ada beberapa komponen lingkungan yang berpengaruh pada kesehatan

menurut Florence Nightingale, yaitu: udara segar, air bersih, saluran

pembuangan yang efisien (ventilasi), kebersihan, dan cahaya. Menurut

Florence Nightingale dalam Akbar (2019) ada beberapa macam komponen

umum, yaitu

a. Kesehatan Rumah

Rumah yang sehat adalah rumah yang bersih, sehingga seseorang

nyaman. Beberapa komponen dalam kesehatan rumah diantaranya,

ventilasi: merupakan perhatian utama dari teori Nightingale. Ventilasi

merupakan indikasi yang berhubungan dengan komponen lingkungan

yang menjadi sumber penyakit dan dapat juga sebagai pemulihan

penyakit dan cahaya, pengaruh nyata terhadap tubuh manusia.

b. Kesehatan Lingkungan Sekitar Rumah


30

Lingkungan sekitar rumah yang dimaksud adalah area luar rumah

termasuk halaman dan sekitarnya, beberapa komponen kesehatan

lingkungan sekitar rumah diantaranya kebisingan, ditimbulkan oleh

aktivitas fisik dilingkungan atau ruangan. Variasi keanekaragaman,

berbagai macam faktor menyebabkan penyakit bagi seseorang, misalnya

makanan, dan kebersihan halaman, kebersihan halaman berpengaruh

bagi kesehatan. Oleh karena itu, pembersihan sangat perlu dilakukan

pada kamar dan halaman.

C. Konsep Pengetahuan

1. Definisi

Pengetahuan dapat diperoleh seseorang secara alami atau diintervensi baik

langsung maupun tidak langsung. Perkembangan teori pengetahuan telah

berlangsung sejak lama. Filsuf pengetahuan yaitu Plato menyatakan

pengetahuan sebagai “Kepercayaan sejati yang dibenarkan (valid)”

(justified true belief). Menurut Notoatmodjo (2003) dalam Budiman &

Riyanto (2013), menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu

dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek

tertentu. Dalam Wikipedia, pengetahuan adalah informasi atau maklumat

yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Dari definisi pengetahuan

diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan hasil tahu yang

didapat dari proses pembelajaran yang telah dilakukan dengan berbagai cara

salah satunya menempuh pendidikan.


31

2. Jenis Pengetahuan

Pemahaman masyarakat mengenai pengetahuan dalam konteks kesehatan

sangat beraneka ragam. Pengetahuan merupakan bagian perilaku kesehatan.

Jenis pengetahuan di antaranya sebagai berikut. (Budiman & Riyanto,

2013)

a. Pengetahuan Implisit

Pengetahuan implisit adalah pengetahuan yang masih tertanam dalam

bentuk pengalaman seseorang dan berisi faktor-faktor yang tidak

bersifat nyata, seperti keyakinan pribadi, perspektif, dan prinsip.

Pengetahuan seseorang biasanya sulit untuk ditransfer ke orang lain baik

secara tertulis ataupun lisan. Pengetahuan implisit sering kali berisi

kebiasaan dan budaya bahkan bisa tidak disadari.

b. Pengetahuan Eksplisit

Pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang telah didokumentasikan

atau disimpan dalam wujud nyata, bisa dalam wujud perilaku kesehatan.

Pengetahuan nyata dideskripsikan dalam tindakan-tindakan yang

berhubungan dengan kesehatan.

3. Tahapan Pengetahuan

Menurut Budiman & Riyanto (2013) ada 6 tahapan pengetahuan

diantaranya sebagai berikut:

a. Tahu (Know)
32

Kemampuan untuk mengenali dan mengingat peristilahan, definisi,

fakta-fakta, gagasan, pola, urutan, metodologi, prinsip dasar, dan

sebagainya. Dalam proposal ini ketika seorang Ibu diminta untuk

menjelaskan tentang definisi ISPA, bagaimana tanda dan gejala,

pencegahan serta pengobatannya, orang yang berada pada tahapan ini

akan dapat menguraikan definisi ISPA, bagaimana tanda dan gejala,

pencegahan serta pengobatannya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mejelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan

materi tersebut secara benar. Jika seorang ibu sudah mengatahui konsep

ISPA dapat menjelaskannya serta menginterpretasikan materi tersebut

secara benar maka ibu sudah masuk ke tahapan memahami

(comprehension).

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

tersebut secara benar. Jika ibu sudah dapat melalui tahapan memahami

selanjutnya pemahaman mengenai ISPA tersebut dapat di aplikasikan,

misalnya cara pengobatan ISPA salah satunya dengan mengistirahatkan

balita sebanyak mungkin, maka ibu termasuk ke tahapan aplikasi

(application).
33

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu

struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Setelah ibu

dapat mengaplikasikan setiap tindakan yang ibu ketahui dengan baik,

ibu dapat menganalisis masalah yang ada pada balita dengan tetap

mengacu pada teori yang ibu ketahui, misalnya ibu mengetahui anaknya

demam dengan mengacu pada teori ISPA maka ibu dapat membedakan

apakan balita tersebut memiliki tanda gejala ISPA atau bukan.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis merujuk pada suatu kemampuan untuk meletakan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Jika ibu mampu menghubungkan suatu permasalahan sehingga

dapat memunculkan solusi maka ibu termasuk ke tahapan sintesis,

misalnya ibu mengetahui jika tindakan cuci tangan itu dapat mencegah

penularan covid-19 karena dari droplet dapat masuk ke mulut, hidung,

atau mata lalu virus dapat berkembang biak didalam tubuh, namun akan

lebih praktis jika menggunakan handsanitizer untuk bepergian diluar

rumah dengan terpaksa.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Jika ibu sudah melalui
34

kelima tahap diatas dan akhirnya ibu mampu mengevaluasi atau

melakukan penilaian terhadap apa yang sudah dilakukan untuk

mengetahui benar atau salah maka ibu sudah termasuk ke tahapan

evaluasi (evaluation).

D. Penelitian Terkait

Beberapa penelitian yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita,

diantaranya: berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Zahra & P,

Assetya, O. yang berjudul Kondisi Lingkungan Rumah dan Kejadian ISPA

pada Balita Di Indonesia. (2017). Menjelaskan hasil analisis menunjukan

prevalensi ISPA pada balita terbesar terdapat di region Jawa-Bali (28,1%) dan

terkecil di region Maluku (16,6%). Faktor kondisi lingkungan rumah yang

paling banyak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian ISPA

berdasarkan analisis per region adalah asap rokok dalam rumah (3 region),

dibanding kondisi jendela berisiko (2 region) dan bahan bakar masak (1

region). Region Jawa-Bali memiliki proporsi balita paling tinggi yang terpajan

semua faktor kondisi lingkungan rumah, walaupun analisis hubungan pada

region ini menunjukan hanya faktor pajanan asap rokok dalam rumah yang

bermakna secara statistik(p=0,001; OR=1,14; 95% CI =1,05-1,23).


35

Dalam hasil penelitia Niki, I. & Mahmudiono, T. yang berjudul Hubungan

Pengetahuan Ibu dan Dukungan Keluarga Terhadap Upaya Pencegahan Infeksi

Saluran Pernapasan Akut. (2019). Menyatakan bahwa hubungan antara

pengetahuan dengan upaya pencegahan dengan imunisasi diperoleh hasil

p=0.011 < α=0.05. Hubungan pengetahuan dengan upaya pencegahan penyakit

ISPA non imunisasi, yaitu ASI Ekslusif (p=0,031), merokok dalam rumah

(p=0.006), penggunaan obat nyamuk (p=0.037), dan membuka jendela

(p=0,008). Hubungan antara dukungan keluarga dan upaya pencegahan

penyakit ISPA dengan imunisasi (p=0,047) dan non-imunisasi berupa status

ASI Ekslusif (p=0,0001). Terdapat hubungan antara pengetahuan dengan upaya

pencegahan dengan imunisasi dan non imunisasi (ASI eksklusif, merokok

dalam rumah, penggunaan obat nyamuk dan membuka jendela rumah). Ada

hubungan antara dukungan keluarga dengan upaya pencegahan ISPA.

Serta hasil penelitian yang dilakukan oleh Jalil, Yasnani, Sety. yang berjudul

Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah

kerja Puskesmas Kabangka Kecamatan Kabangka Kabupaten Muna. (2018).

Menyatakan bahwa hasil penelitian Variabel penelitian yaitu pemberian ASI

Ekslusif, lingkungan fisik rumah, kebiasaan merokok dan pengetahuan

ibu.Analisis data mencakup analisis univariat dan analisis bivariat.Analisis

bivariat menggunakan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian ISPA

Pvalue = 0,002, lingkungan fisik rumah dengan Pvalue = 0,354, kebiasaan


36

merokok dengan Pvalue = 0,014, dan pengetahuan ibu dengan Pvalue = 0,029.

Terdapat hubungan antara pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian ISPA,

tidak terdapat hubungan antara lingkungan fisik rumah dengan kejadian ISPA,

terdapat hubungan antara paparan asap rokok dengan kejadian ISPA, dan

terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita.

E. Kerangka Teori

Bagan 2.1
Kerangka Teori Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
ISPA pada Balita

Konsep ISPA
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Patofisionogi dan Etiologi
d. Manifestasi Klinis
e. Faktor Risiko
f. Komplikasi
g. Penatalaksanaan dan Pengobatan

Sumber: Kardiyudiani & Susanti


(2019) & Budiman & Riyanto (2013)

Kejadian ISPA pada


Balita

Faktor yang berhubungan


Sumber: Kardiyudiani &
Menurut Jalil & Sety (2018)
Susanti (2019)
a. Pemberian ASI eksklusif
b. Lingkungan fisik rumah
c. Kebiasaan merokok
d. Pengetahuan Ibu
37
BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL

Pada BAB ini peneliti akan membahas mengenai kerangka konsep, hipotesis, dan

definisi operasional. Adapun penjelasannya yaitu sebagai berikut:

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep (conceptual framework) adalah model pendahuluan dari

sebuah masalah penelitian, dan merupakan refleksi dari hubungan variabel-

variabel yang diteliti. (Shi, 2008, dalam Swarjana, 2012). Kerangka konseptual

merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari hal-hal yang khusus.

Oleh karena konsep merupakan abstrak maka konsep tidak dapat diamati

melalui konstruk atau yang lebih dikenal dengan variabel. Menurut

Notoatmodjo (2018)

Berdasarkan konsep dan teori, variabel independen yaitu faktor-faktor yang

berhubungan dengan kondisi lingkungan rumah terkait PHBS dan pengetahuan

ibu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) faktor-faktor merupakan

hal (keadaan, peristiwa) yang ikut menyebabkan (mempengaruhi) terjadinya

sesuatu, sedangkan variabel dependen yaitu kejadian ISPA, menurut

Wikitionary kejadian adalah menandakan suatu tindakan yang dilakukan

dengan tidak sengaja atau sudah selesai dilakukan, dengan begitu dapat

disimpulkan bahwa kejadian ISPA merupakan suatu peristiwa yang telah ada

38
39

atau terjadi pada Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Adapun bagan

kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bagan 3.1
Kerangka Konsep

Variabel Independen
Variabel Dependen
- Kondisi lingkungan
rumah terkait PHBS Kejadian ISPA pada
- Pengetahuan ibu Balita

1. Umur
2. Pendidikan Terakhir
3. Pekerjaan

Keterangan:

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

= Variabel yang dihubungkan


40

B. Hipotesis

Menurut Nursalam (2017) hipotesis merupakan jawaban/pertanyaan sementara

dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Dalam pengujian hipotesis

dijumpai dua jenis hipotesis yaitu hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif

(Ha).

1. Hipotesis nol (H0)

H0 menyatakan tidak ada perbedaan atau hubungan suatu kejadian antara

kelompok variabel satu dengan kelompol variabel yang lainnya.

2. Hipotesis alternative (Ha)

Ha menyatakan ada perbedaan atau hubungan suatu kejadian antara dua

kelompok variabel satu dengan kelompok variabel yang lainnya.

Berdasarkan kerangka konsep penelitian, maka hipotesis dalam penelitian

ini adalah: “Ada hubungan antara faktor kondisi lingkungan rumah terkait

PHBS dan pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita di UPTD

Puskesmas Tanjung Pura”

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi suatu konsep atau variabel dalam suatu

kalimat yang mampu menggambarkan suatu konsep atau variabel dalam suatu

kalimat yang mampu menggambarkan pengukuran. (Notoatmodjo, 2018).

Definisi operasional, merupakan variabel operasional yang dilakukan penelitian


41

berdasarkan karakteristik yang diamati. Definisi operasional ditentukan

berdasarkan parameter ukuran dalam penelitian. (Donsu, 2016)

Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel Independen

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


Independen Operasional Ukur
1. Kondisi Kondisi Kuesioner Kuesioner 1. PHBS baik Ordinal
Lingkungan lingkungan – Likert dengan 12 bila nilai ≥
Rumah rumah terkait pertanyaan mean/median
Terkait PHBS yaitu dengan 2. PHBS tidak
PHBS yang dilakukan skor baik bila nilai <
oleh ibu atau jawaban mean/median
keluarga untuk sering (3),
mencegah kadang-
terjadinya ISPA kadang (2),
pada balita dan tidak
pernah (1)

2. Pengetahuan Hasil tahu Kuesioner Kuesioner 1.Pengetahuan Ordinal


mengenai ISPA – Multiple dengan 10 baik bila nilai ≥
pada ibu Choice pertanyaan. mean/median
dengan balita Jawaban 2. Pengetahuan
penderita ISPA benar (2) tidak baik bila
yang didapat dan salah nilai <
dari proses (1). Nilai mean/median
pembelajaran min 10 dan
yang telah max 20
dilakukan
dengan
42

berbagai cara

Tabel 3.2
Definisi Operasional Variabel Dependen

N Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


o Dependen Operasional Ukur
1. Kejadian ISPA merupakan Kuesioner Kuesioner 1. Kejadian Ordinal
ISPA Infeksi Saluran – Guttman dengan 9 ISPA pada
Pernapasan Akut pertanyaan, balita jika nilai
yang dapat terjadi Nilai (2) jika ≥ mean/median
pada saluran atas jawaban Ya 2. Kejadian
maupun bawah, dan nilai (1) ISPA pada
ISPA umunya jika jawaban balita rendah
terjadi pada Tidak, nilai jika <
balita, anak-anak, min. 9 dan mean/median
dan orang dewasa maks. 18
disebabkan oleh
bakteri ataupun
virus yang
terdiagnosis oleh
dokter dan
terekam dalam
rekam medik.
BAB IV

METODE PENELITIAN

Pada BAB ini peneliti akan membahas mengenai desain penelitian, tempat dan waktu

penelitian, populasi dan sampel penelitian, etika penelitian, alat, teknik dan prosedur

pengumpulan data, dan analisa data. Adapun penjelasannya yaitu sebagai berikut:

A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan observasional analitik dengan

menggunakan pendekatan potong lintang (cross sectional) yaitu suatu

penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko

dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data

sekaligus pada suatu waktu. (Notoatmodjo, 2018)

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di UPTD Puskesmas Tanjung Pura Kabupaten

Karawang pada akhir bulan Juni sampai bulan Juli 2020

C. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Menurut Sugiyono (2002) dalam Donsu (2016) Populasi adalah wilayah

generalisasi yang terdiri dari objek/subjek. Populasi dalam penelitian ini

adalah ibu yang membawa balita dengan ISPA berkunjung ke UPTD

43
44

Puskesmas Tanjung Pura selama satu tahun sebanyak 551 kasus yang

terjadi pada balita.

2. Sampel

Menurut Sugiyono (2017) dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian

Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D menjelaskan bahwa sampel adalah bagian

dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel

pada penelitian ini adalah ibu dengan kasus balita ISPA di UPTD

Puskesmas Tanjung Pura pada bulan Maret-Mei dengan perkirasaan

sebanyak 200 kasus dengan memenuhi kriteria sampel sebagai berikut:

a. Kriteria Sampel

1) Kriteria Inklusi

a) Ibu yang mempunyai anak balita berumur dibawah lima tahun

b) Sehat jasmani dan rohani

c) Bersedia diwawancarai

d) Bisa membaca dan menulis

b. Penentuan Jumlah Sampel

Sampel dalam penelitian ini yaitu ibu yang membawa balita dengan

ISPA ke UPTD Puskesmas Tanjung Pura selama bulan Maret sampai

Mei yaitu sejumlah 200 kasus. Adapun sampel yang diambil dengan

menggunakan rumus Murti adalah:

Z 2 1−α /2 P .Q
n=
d2
45

Keterangan:

n : Sampel

Z2 1−α /2 : Statistik Z pada distribusi normal standar, pada tingkat

kemaknaan 1,96 (alpha = 0,05)

P : Perkiraan proporsi (prevalensi) penyakit (paparan) pada

populasi

Q : 1-P

d : Presisi absolut yang di inginkan pada kedua sisi proporsi

populasi

Berdasarkan rumus diatas maka dilakukan perhitungan besar sampel

sebagai berikut:

Diketahui:

Z2 1−α /2 : 3,8416

P : 200/9053 = 0,0220

Q : 1-0,0220 = 0,978

d : 0,0025

Jawab:

Z 2 1−α /2 P .Q
n=
d2

3,8416 x 0,0220 x 0,978


n=
0,0025
46

0,0826558656
n=
0,0025

n=33,06

Hasil yang didapat adalah 33,06 dibulatkan menjadi 33 responden,

untuk mencegah drop out subjek, sampel ditambah dengan 10% maka

dibutuhkan sebanyak 36 orang ibu yang membawa balita dengan ISPA

ke UPTD Puskesmas Tanjung Pura sebagai sampel penelitian.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik dalam pengambilan sampel pada penelitian ini yaitu menggunakan

simple random sampling dikatakan simple (sederhana) karena pengabilan

anggota sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan

strata yang ada dalam populasi itu. (Sugiyono, 2017)

D. Etika Penelitian

Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap

kegiatan penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti

(subjek peneliti) dan masyarakat yang akan memperoleh dampak hasil

penelitian tersebut (Notoatmodjo, 2018). Sebelum melakukan penelitian,

peneliti mengajukan surat izin kepada institusi STIKes Kharisma Karawang

dan peneiliti juga akan mengajukan permohonan izin kepada pengurus dan

pihak-pihak terkait untuk persetujuan. Etika penelitian meliputi 4 prinsip, yaitu:

(Milton, 1999, dalam Bondan, palestin dalam Notoatmodjo, 2018).


47

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)

Peneliti mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk mendapatkan

informasi tertentu, disamping itu peneliti memberikan kebebasan kepada

responden untuk setuju menjadi responden atau tidak. Peneliti

mempersiapkan lembar persetujuan (informed consent) setelah itu peneliti

membagikan lembar kuesioner dan menjelaskan bagaimana cara

mengisinya.

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for

privacy and confidentiality)

Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian, yaitu dengan cara

tidak mencantumkan namanya pada lembar kuesioner data, cukup dengan

memberi nomor kode pada masing-masing lembar kertas yang hanya

diketahui oleh peneliti dan kerahasiaan dijamin oleh peneliti, dan hanya

pada kelompok data tertentu saja yang disajikan.

3. Keadilan dan inklusivitas/keterbukaan (respect for justice and

inclusiveness)

Peneliti menjelaskan prosedur penelitian kepada responden, prinsip

keadilan ini menjamin bahwa semua subjek penelitian memperoleh

perlakuan yang sama.


48

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing

harms and benefits)

Peneliti meminimalisasi dampak yang merugikan bagi responden dan

memaksimalkan manfaat dari penelitian.

E. Alat, Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data

1. Alat Pengumpulan Data

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah

kuesioner atau angket, angket adalah suatu cara pengumpulan dara atau

suatu penelitian mengenai suatu masalah yang umumnya banyak

menyangkut kepentingan umum (orang banyak). Angket ini dilakukan

dengan mengedarkan suatu daftar pertanyaan yang berupa formulir-

formulir, diajukan secara tertulis kepada sejumlah subjek untuk

mendapatkan tanggapan, informasi, jawaban, dan sebagainya.

(Notoatmodjo, 2018)

2. Teknik Pengumpulan Data

Sebelum instrumen dibuat, ada beberapa tahapan yang dilakukan dilakukan

diantaranya:

a. Pembuatan kuesioner mengacu pada teori yang telah disusun di bab

sebelumnya

b. Setelah instrumen dibentuk, selanjutnya disosialisasikan

c. Dilakukan uji validitas dan uji realibilitas


49

3. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan lembar kuesioner

dengan cara membagikannya secara langsung kepada responden. Adapun

langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Tahap Perizinan

1) Meminta izin kepada pihak UPTD Puskesmas Tanjung Pura dengan

melampirkan surat pengantar dari institusi STIKes Kharisma

Karawang.

b. Tahap Pelaksanaan

1) Peneliti memilih ibu sebagai responden berdasarkan tanggal,

misalnya tanggal pada saat pengamilan data adalah genap

2) Setiap ibu yang bernomor antrian genap dengan membawa balita

yang sakit berkunjung ke UPTD Puskesmas Tanjung Pura akan

dijadikan sebagai responden

3) Begitupun jika tanggal pada saat pengambilan data adalah ganjil

4) Peneliti menyapa, memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan

penelitian kepada ibu dan balita

5) Meminta persetujuan dan memberi penjelasan tentang tujuan dan

prosedur penelitian kepada responden

6) Menanyakan kesediaan menjadi responden, jika bersedia menjadi

responden akan diminta menandatangani informed consent.

7) Responden diberikan kuesioner, kemudian peneiliti menjelaskan cara

mengisi kuesioner.
50

8) Setelah selesai mengisi, kuesioner dikumpulkan dan diperiksa

kembali oleh peneliti untuk kelengkapan kuesioner.

c. Tahap Terminasi

1) Peneliti mengakhiri pertemuan dengan salam dan ucapan terima

kasih atas kerjasama yang diberikan.

F. Uji Validitas dan Uji Realibititas

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat validitas

atau kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen yang valid atau sahih

mempunyai validitas tinggi. Sebaliknya, instrumen yang kurang valid

berarti memiliki validitas yang rendah. (Arikunto, 2006, dalam Budiman &

Riyanto, 2013). Uji validitas ini dilakukan di Desa Telagasari dan

sekitarnya dengan mencari ibu yang memiliki balita dengan ISPA, dengan

jumlah responden sebanyak 20 ibu, dan dilakukan selama 3 hari dari

pengambilan sampai pengolahan data.

Uji validitas dilakukan untuk menguji validitas setiap pertanyaan kuesioner,

teknik uji yang digunakan adalah korelasi Product Moment. Skor setiap

pertanyaan yang di uji validitasnya di korelasikan dengan skor total seluruh

pertanyaan dengan menggunakan SPSS 21. Untuk mengetahui apakah nilai

korelasi tiap-tiap pertanyaan tersebut signifikan, maka perlu dilihat r tabel

dan r hitung. Dikatakan valid apabila r hitung lebih besar dari r tabel dan
51

dikatakan tidak valid jika r hitung lebih kecil dari r tabel (r tabel = 0,444)

dengan tingkat kemaknaan 5%, maka pertanyaan tersebut dikeluarkan untuk

selanjutnya dianalisis lagi sampai pertanyaan semuanya valid. (Arikunto,

2006, dalam Budiman & Riyanto, 2013)

a. Validitas instrumen kondisi lingkungan rumah terkait PHBS

Berdasarkan hasil uji validitas dari 15 pertanyaan didapatkan 3

pertanyaan dengan nilai r hitung lebih rendah dari r tabel, yaitu

pertanyaan no 2 = -0,036, no 8 = -0,266, dan no 9 = 0,000, sehingga

pernyataan tersebut dikeluarkan, sementara itu untuk pertanyaan no 1, 3,

4, 5, 6, 7, 10, 11, 12, 13, 14, 15 dinyatakan valid karena didapatkan hasil

r hitung lebih besar dari r tabel.

b. Validitas instrumen pengetahuan ibu

Berdasarkan hasil uji validitas dari 12 pertanyaan didapatkan 2

pertanyaan dengan nilai r hitung lebih rendah dari r tabel, diantaranya no

6 = -0,087, dan no 10 = -0,156, sehingga pertanyaan tersebut

dikeluarkan, sementara itu untuk pertanyaan no 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 11,

dan 12 dinyatakan valid karena didapatkan hasil r hitung lebih besar dari

r tabel.

c. Validitas instrumen kejadian ISPA

Berdasarkan uji validitas dari 10 pertanyaan didapatkan 1 pertanyaan

dengan nilai r hitung lebih rendah dari r tabel, yaitu nomer 10 = -0,092,

sehingga pertanyaan tersebut dikeluarkan, sementara itu untuk


52

pertanyaan no 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 dinyatakan valid karena

didapatkan hasil r hitung lebih besar dari r tabel.

2. Uji Realibilitas

Realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat

pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Perhitungan reliabilitas

dilakukan hanya pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah memiliki

vailiditas. Dengan demikian harus menghitung validitas dahulu sebelum

menghitung reliabilitas (Notoatmodjo, 2018).

Untuk menguji reliabilitas adalah dengan menggunakan metode Alpha

Cronbach. Standar yang digunakan dalam menentukan reliabel atau

tidaknya suatu instrumen penelitian umumnya adalah perbandingan nilai r

hitung diwakili Alpha dengan r tabel pada taraf kepercayaan 95% atau taraf

signifikan 5%. Untuk mengetahui sebuah kuesioner dikatakan reliabel atau

tidak dengan melihat besarnya Alpha. Jika nilai Alpha Cronbach ≥

konstanta (0,444), maka dikatakan realibel, sedangkan jika nilai Alpha

Cronbach < konstanta (0,444), maka dikatakan tidak realibel. Dari hasil uji

realibilitas didapatkan hasil sebagai berikut:

a. Realibilitas instrumen kondisi lingkungan rumah terkait PHBS

Berdasarkan hasil uji realibilitas didapatkan nilai Alpha Cronbach =

0,632. Hal ini menunjukkan bahwa hasil uji realibilitas pada instrumen

ini reliabel karena nilai 0,632 > 0,444.


53

b. Realibilitas instrumen pengetahuan ibu

Berdasarkan hasil uji realibilitas didapatkan nilai Alpha Cronbach =

0,695. Hal ini menunjukkan bahwa hasil uji realibilitas pada instrumen

ini realibel karena nilai 0,695 > 0,444.

c. Realibilitas instrumen kejadian ISPA

Berdasarkan hasil uji realibilitas didapatkan nilai Alpha Cronbach =

0,581. Hal ini menunjukkan bahwa hasil uji realibilitas pada instrumen

ini realibel karena nilai 0, 581 > 0,444.

G. Pengolahan Data

Pengolahan data yang akan digunakan oleh peneliti mengacu pada

Notoatmodjo (2018) yaitu yang terdiri dari tahap:

1. Editing

Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir

atau kuesioner.

2. Coding

Peneliti melakukan peng”kodean” atau “coding” yaitu mengubah data

berbentuk kalimat menjadi data angka.


54

3. Memasukkan data (Data Entry) atau processing

Peneliti memasukkan data yakni jawaban dari masing-masing responden

dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program

komputer.

4. Pembersih data (Cleaning)

Peneliti melakukan pengecekan kembali setelah semua data dimasukkan.

H. Analisa Data

1. Analisis Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung

dari jenis datanya. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan

distribusi frekuensi responden dari setiap variabel (Notoadmodjo, 2018).

Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi semua

variabel yang terdiri dari variabel karakteristik demografi, usia, tingkat

pendidikan, pekerjaan, kondisi lingkungan rumah terkait PHBS dan

pengetahuan Ibu yang berhubungan dengan Kejadian ISPA pada balita.

2. Analisis Bivariat

Apabila telah dilakukan analisis univariat, hasilnya akan diketahui

karakteristik atau distribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan analisis

bivariat. Analisis bivariat yang digunakan terhadap dua variabel yang

diduga berhubungan atau berkorelasi (Notoatmodjo, 2018). Dengan tujuan


55

untuk membuktikan ada tidaknya hubungan variabel independen (kondisi

lingkungan rumah terkait PHBS dan pengetahuan Ibu) terhadap variabel

dependen (kejadian ISPA pada balita).

Analisis bivariat pada penelitian ini menggunakan uji statistik Chi-Square.

Dengan derajat kemaknaan 95% atau nilai alpha (α) = 0,05. Dengan

ketentuan apabila nilai p value lebih kecil sama dengan alpha (α) yaitu p

value ≤ 0,05 maka terdapat hubungan yang bermakna (H0 ditolak dan Ha

diterima), sedangkan apabila p value ≥ 0,05 maka tidak terdapat hubungan

yang bermakna (H0 diterima dan Ha ditolak)

3. Odds Rasio (OR)

Dalam penelitian ini dilakukan perhitungan OR untuk melihat risiko

terjadinya outcome, sebagai pengaruh adanya variabel independent (Dahlan,

2010, dalam Angeline, 2019). Dalam penelitian ini Odds Rasio (OR) yang

AB AD
digunakan adalah sebagai berikut: Odds Rasio ( y )= =
BD BC

Perubahan satu unit variabel bebas akan menyebabkan sebesar nilai OR

pada variabel terkait. Adapun interpretasinya adalah:

OR = 1 berarti tidak ada hubungan

OR < 1 berarti tidak ada faktor risiko, tetapi sebagai faktor proteksi

OR > 1 berarti sebagai faktor risiko

Anda mungkin juga menyukai