Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh toxin dari bakteri yang ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada
kulit dan atau mukosa, dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu
reservoir dari bakteri ini.1
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui
droplet ketika batuk, bersin atau berbicara. Muntahan atau debu bisa menjadi
media penularan (vehicle of transmission). Menurut manifestasi klinisnya difteri
terdiri dari difteri hidung, difteri tonsil faring, difteri laring, dan difteria kulit,
vulvovaginal, konjungtiva, dan telinga. Jika terinfeksi dapat menyebabkan gejala-
gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang
dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.1
Difteri merupakan penyakit yang harus didiagnosa dan diterapi dengan
segera. Bayi baru lahir membawa antibodi secara pasif dari ibunya yang biasanya
akan hilang pada usia 6 bulan, bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi
ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut.1
Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan
keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50%
penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa dapat
terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Berkat adanya
Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian
menurun secara drastis.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudo-
membran pada kulit dan atau mukosa.1

2.2. Etiologi
Corynebacterium diphtheriae merupakan kuman batang Gram-positif,
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 600C, tahan dalam keadaan kering dan beku. Dengan
pewarnaan, kuman bisa tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V,
atau merupakan kelompok dengan formasi mirip dengan huruf cina. Kuman
tumbuh secara aerob, bisa dalam media sederhana, tetapi lebih banyak pada
media yang mengandung K-tellurit atau media Loeffler. Pada membrane
mukosa manusia Corynebacterium diphtheriae dapat hidup bersama-sama
dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa,
sehingga untuk membedakan kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan
cara fermentasi glikogen, kanji, glukosa, maltose dan sukrosa.2

Gambar 1. Morfologi Corynebacterium diphtheria2

Secara umum dikenal 3 tipe utama Corynebacterium diphtheriae yaitu


tipe gravis, intermedius dan mitis, namun dipandang dari sudut antigenisitas
sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat heterogen dan

1
mempunyai banyak tipe serologik. Hal ini mungkin bisa menerangkan
mengapa pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis
Corynebacterium diphtheriae. Ciri khas Corynebacterium diphtheriae adalah
kemampuan memproduksi eksotoksin baik in vivo dan in vitro.2

2.3. Epidemiologi
Difteri adalah salah satu penyakit yang paling menakutkan sebelum
era vaksin toksoid. Pada masa itu separuh pasien dikota besar di Amerika
Serikat dapat meninggal karena penyakit ini. Setelah Gaston Ramon
menemukan vaksin toksoid difteri, jumlah pasien menurun drastis. Pada
tahun 2013 terdapat 173 negara yang tidak mempunyai pasien sama sekali
atau memiliki kurang dari 10 saja. Sejak 2011 Indonesia (sekitar 1.000 pasien
setahun) menduduki peringkat kedua di dunia setelah India (sekitar 10.000
kasus per tahun). Kasus difteri klinis terbesar di Indonesia, dapat mencapai
80%, ditemukan di Jawa Timur.3
Di Jawa Timur status KLB dinyatakan pada periode 2011-2013 dan
hingga kini penurunan jumlah kasus difteri belum benar-benar rendah,
bahkan pada tahun 2017 ditetapkan status KLB di beberapa provinsi di
Indonesia. Angka kematian pada periode 2011-2016 adalah sekitar 3%,
sedangkan tahun 2017 sebesar 4,6%. Sebagian besar pasien difteri kurang
dari 15 tahun, namun persentase pasien dewasa semakin meningkat dari tahun
ke tahun. Faktor yang memengaruhi jumlah kejadian di suatu daerah adalah
status kekebalan, nutrisi, kepadatan penduduk, faktor social ekonomi, serta
ketersediaan fasilitas kesehatan. Wabah terbesar di dunia terjadi di negara Uni
Soviet pada tahun 1990-1998. Jumlah pasien mencapai 150 ribu dengan 5.000
kematian dan sebagian besar korban adalah dewasa.3

2.4. Cara Penularan

Manusia sebagai reservoir infeksi, transmisi terutama terjadi


karena kontak dekat dengan kasus atau carrier. P enularan dari
manusia ke manusia secara langsung umumnya terjadi melalui droplet

2
(batuk, bersin, berbicara) atau yang kurang umum melalui kontak dengan
discharge dari lesi kulit. Sedangkan secara tidak langsung melalui debu,
baju, buku dan barang-barang yang terkontaminasi karena bakteri cukup
resisten terhadap udara panas, suhu dingin dan kering.3
Periode Inkubasi: Masa inkubasi 2-5 hari (range 1-10 hari) 3
 Seseorang masih dapat menularkan penyakit sampai di atas hari ke-
empat setelah terapi dengan antibiotik yang efektif dimulai.
 Seseorang yang tidak diterapi, penularan melalui saluran nafas dan lesi
kulit masih dapat terjadi sampai 2-4 minggu setelah terinfeksi.
 Carrier kronik jarang terjadi, dan dapat bersifat menularkan sampai 6
bulan lebih setelah terinfeksi.3
Identifikasi Sumber Infeksi
Mencari carrier dari kultur hidung dan tenggorok pada orang yang
kontak dekat dengan penderita difteri atau dari penyebab yang lain. Perlu
ditanyakan adanya potensi sumber infeksi pada 10 hari terakhir sebelum
onset terjadi, termasuk hal-hal di bawah ini:3
 Perjalanan ke luar negeri, terutama dari daerah endemi difteri
 Kontak dengan orang yang berasal dari negara endemi difteri
 Pekerja atau sukarelawan tenaga kesehatan
Identifikasi Kontak Dekat
Identifikasi semua kontak dekat, khususnya anggota keluarga dan
orang lain yang secara langsung terkena sekresi pernafasan dalam kasus,
dan juga menentukan status imunisasi mereka.3

2.5. Patogenesis
Kuman Corynebacterium diphteriae masuk melalui mukosa atau kulit,
melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran napas bagian
atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah.
Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan pembentukan

3
protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan
2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P
dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan
asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru
RNA, diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya
gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A ke kedudukan P.
Proses translokasi ini memerlukan enzim translokase yang aktif.3
Toksin difteri mula-mula menempel pada membran sel dengan
bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan
inaktivasi enzim translokase yang menyebabkan proses translokasi tidak
berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan,
akibatnya sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.
Sebagai respon, terjadi inflamasi lokal bersama-sama dengan dengan jaringan
nekrotik, membentuk bercak eksudat yang semula mudah dilepas. Produksi
toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin melebar dan terbentuklah
eksudat fibrin.Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna
kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Bila
dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran
akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan.3
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder
dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Gangguan pernapasan
atau sufokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau
cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa
mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan
ginjal. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan
penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat masa laten
yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya
terjadi dalam 10 - 14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3 -
7 minggu. Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksik dan
degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung

4
tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuclear pada serat otot dan sistem
konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan fibrosis
interstitial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput myelin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemik, kadang-
kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.3

2.6. Manifestasi Klinis


Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bisa
bervariasi dari tanpa gejala sampai keadaan/penyakit yang hipertoksik serta
fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria,
virulensi serta toksigenitas Corynebacterium diphtheriae (kemampuan kuman
membentuk toksin), dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor lain
termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada daerah
nasofaring yang sudah ada sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2-6
hari. Pasien pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari
menderita keluhan sistemik. Demam jarang melebihi 38,90C dan keluhan
serta gejala lain tergantung pada lokalisasi penyakit difteri.3

2.6.1. Difteria Hidung


Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold, dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen, menyebabkan
lecet pada nares dan bibis atas. Pada pemeriksaan tampak membran putih
pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik
yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. 3

Gambar 2. Difteri hidung3

5
2.6.2. Difteria Tonsi-Faring
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan
dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang melekat,
berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke
uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Usaha
melepaskan membran akan mengakibatkan pendarahan. Dapat terjadi
limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan
dengan edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya,
gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran.3

Gambar 3. Membran berwarna putih kelabu3

Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi.


Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai
kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi
dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi
berangsung-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada
kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi
penyembuhan sempurna.3

Gambar 4. Pseudomembran dan bull neck3

6
2.6.3. Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada difteri
primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai
daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala
obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteri laring sukar
untuk dibedakan dengan tipe infectius croups yang lain, seperti nafas bunyi,
stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada obstruksi laring
yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular. Bila
terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian
mendadak.3

Gambar 5. Difteri laring3

2.6.4. Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga


Difteria kulit, difteria vulvovaginal, difteria konjungtiva dan difteria
telinga merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit
berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya.
Kelainan cenderung menahun. Difteria pada mata dengan lesi pada
konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan
berbau.3

7
Gambar 6. Difteri kulit3
2.8. Diagnosis
Diagnosis pasti adalah ditemukan Corynebacterium diphtheria berdasar
atas biakan dan atau PCR. Keberhasilan biakan hidung tenggorok di Indonesia
rendah, dibawah 10%. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop atau
pewarnaan Gram tidak dapat dipercaya karena pada rongga mulut terdapat
banyak bentukan yang mirip dengan Corynebacterium diphtheria (difteroid).4

KRITERIA DIAGNOSIS
Anamnesis4
 Kontak dengan penderita difteri
 Suara serak
 Stridor dan tanda lain obstruksi jalan nafas
 Demam tak begitu tinggi
Pemeriksaan Fisik4
 Tonsilitis, faringitis, rinitis
 Limfadenitis servikal + edema jaringan lunak leher (bullneck)
 Sangat penting untuk dignosis ditemukannya membran pada tempat infeksi
yang berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat.
Laboratorium
Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR
positif. Untuk mengetahui toksigenisitas difteri, dilakukan pemeriksaan tes
Elek. Pengambilan sampel kultur dilakukan pada hari ke-1, ke-2, dan ke-7.
Media yang digunakan saat ini adalah Amies dan Stewart, dahulu Loeffler
atau telurit. Keberhasilan kultur hidung tenggorok di indonesia kurang dari
10%, sehingga diupayakan untuk menggunakan PCR untuk diagnosis pasti.

8
Sampel diambil dari jaringan di bawah atau sekitar pseudomembran.
Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop atau pewarnaan
Gram/Albert tidak dapat dipercaya karena di rongga mulut banyak terdapat
bakteri berbentuk mirip Corynebacterium diphtheriae (difteroid).4

2.9. Diagnosis Banding4


 Difteria Hidung : Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis),
benda asing dalam hidung
 Difteria Faring : Tonsilitis membranosa akut yang disebabkan oleh
Streptokokus (tonsilitis akut, septic sore throat), tonsilitis membranosa
non-bakterial, tonsilitis herpetika primer.
 Difteria Laring : Laringitis, dapat menyerupai infectious croups yang
lain yaitu spasmodic croup, angioneurotic edema pada laring, dan benda
asing dalam laring.
 Difteria Kulit : Impetigo dan infeksi kulit yang disebabkan oleh
streptokokus dan stafilokokus.

2.10. Komplikasi
Komplikasi difteria dapat terjadi sebagai akibat inflamasi lokal atau
akibat aktivitas eksotoksin, maka penyulit difteri dapat dikelompokkan dalam
obstruksi jalan nafas, dampak eksotoksin terutama ke otot jantung, saraf dan
ginjal, serta infeksi sekunder oleh bakteri lain.5
 Obtruksi jalan nafas
Disebabkan oleh tertutupnya jalan nafas oleh membran difteria
atau oleh karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan
servikal. 5
 Dampak toksin
Dampak toksin dapat bermanifestasi pada jantung berupa
miokarditis yang dapat terjadi baik pada difteria ringan maupun berat dan

9
biasanya terjadi pada pasien yang terlambat mendapatkan pengobatan
antitoksin. 5
Pada umumnya penyulit miokarditis terjadi pada minggu ke-2,
tetapi bisa lebih dini pada minggu pertama atau lebih lambat pada minggu
ke-6. Manifestasi miokarditis dapat berupa takikardia, suara jantung redup,
terdengar bising jantung, atau aritmia. Bisa juga terjadi gagal jantung.
Kelainan pemeriksaan elektrokardiogram dapat berupa elevasi segmen ST,
perpanjangan interval PR, dan heart block.5
Penyulit pada saraf biasanya terjadi lambat, bersifat bilateral,
terutama mengenai saraf motorik dan sembuh sempurna. Bila terjadi
kelumpuhan pada palatum molle pada minggu ke-3, suara menjadi sengau,
terjadi regurgitasi nasal, kesukaran menelan. Paralisis otot mata biasanya
terjadi pada minggu ke-5, meskipun dapat terjadi antara minggu ke-5 dan
ke-7.5
Paralisis ekstremitas bersifat bilateral dan simetris disertai
hilangnya deep tendon reflexes, peningkatan kadar protein dalam likuor
serebrospinal. Paralisis diafragma dapat terjadi pada minggu ke-5 dan ke
-7 sebagai akibat neuritis saraf frenikus. Hal ini dapat menyebabkan
kematian apabila tidak dibantu dengan ventilator mekanik. Bila terjadi
kelumpuhan pada pusat vasomotor dapat terjadi hipotensi dan gagal
jantung.5
 Infeksi sekunder bakteri
Setelah era penggunaan antibiotik secara luas, penyulit sekunder
bakteri sudah sangat jarang terjadi.5

2.11. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi Corynebacterium diphteriae untuk mencegah penularan, serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri.6
Umum

10
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi
selama 2 - 3 minggu.6
 Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2 - 3 minggu atau lebih lama bila
terjadi miokrditis
 Oksigen bila sesak nafas
 Pemberian cairan serta diet makanan lunak yang mudah dicerna dengan
kalori tinggi
 Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
 Trakeostomi pada kasus dengan obstruksi saluran nafas berat
 Prednisone 1 – 1,5 mg/kgbb/hari, peroral, tiap 6 – 8 jam pada kasus berat
selama 14 hari.6

Khusus
1. Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteri.
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh
karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi
anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi > 10 mm. Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1
tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam faal. Pada mata yang lain
diteteskan garam faal. Tes positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi.6
Bila tes kulit / konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis serum anti difteri
ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung
pada berat badan penderita, dan berkisar antara 20.000-100.000

11
U/kgBB/hari. Dosis pemberian ADS berdasarkan lokasi membran dan
lama sakitnya adalah sebagai berikut:7

Tabel 1. Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit7


Tipe difteri Dosis ADS Cara pemberian
Difteria hidung 20.000 IM
Difteria tonsil 40.000 IM/IV
Difteria faring 40.000 IM/IV
Difteria laring 40.000 IM/IV
Kombinasi lokasi diatas 80.000 IV
Difteria + penyulit, bullneck 80.000- IV
100.000
Terlambat berobat (>72 jam), lokasi 80.000- IV
dimana saja 100.000

2. Antibiotik
Penisilin dapat digunakan bagi penderita yang tidak sensitif, bila
penderita sensitif terhadap penisilin dapat digunakan eritromisin. Lama
pemberian selama 7 hari, pada golongan eritromisin dapat digunakan
selama 7 -10 hari.8
· Penisilin prokain 100.000 IU/kgBB selama 10 hari. Maksimal 3
gram/hari.
· Eritromisin (bila alergi PP) 40-50 mg/kg BB secara oral 3-4 kali/hari
selama 10 hari.8

3. Kortikosteroid
Indikasi : Difteri berat dan sangat berat (membran luas, komplikasi bull
neck). Dianjurkan kortikosteroid diberikan pada kasus difteri yang disertai
dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau
tidak dengan bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis.8
 Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 3 minggu.

12
 Deksametason 0,5-1 mg/kgBB/hari seca IV (terutama untuk
toksemia).8

Manajemen Kasus8

 Pasien rawat dengan konfirmasi difteri faring harus dirawat dengan


standar pencegahan droplet sampai terapi antimikroba dihentikan,
dengan dua kultur yang diambil minimal 24 jam terpisah dan minimal
24 jam setelah terapi a nt imik ro b a d ih enti ka n, d a n ha s il p
e me r iksa a n laboratorium tidak ditemukan Corynebacterium
diphtheriae.
 Pasien rawat dengan difteri kulit, harus dilakukan tindakan pencegahan
kontak sampai terapi antimikroba dihentikan, dengan dua kultur yang
diambil minimal 24 jam terpisah dan minimal 24 jam setelah terapi
antimikroba dihentikan, serta hasil pemeriksaan laboratorium tidak
ditemukan Corynebacterium diphtheriae.
 Pasien difteri harus dikonfirmasi untuk menghindari kontak dekat
dengan orang lain, sampai didapatkan dua kultur yang diambil
minimal 24 jam terpisah dan minimal 24 jam setelah terapi
antimikroba dihentikan, dan hasil pemeriksaan laboratorium tidak
ditemukan Corynebacterium diphtheriae.
 Pasien yang terdiagnosis difteri harus divaksinasi dengan toksoid
difteri selama fase masa pemulihan, karena tidak selalu pada
penderita tersebut terbentuk kekebalan.

Manajemen Kontak8

 Kontak dekat dengan simptom yang sesuai dengan difteri, harus


dirujuk ke pelayanan kesehatan untuk evaluasi segera.
 Semua kontak dekat dari kasus yang dikonfirmasi difteri, harus
dikultur dengan sampel yang diambil dari hidung dan tenggorokan,
tanpa melihat status imunisasi mereka atau simptom yang ada.

13
 Setelah kultur dikumpulkan, kontak dekat harus menerima dosis
tunggal penisilin benzatin (IM) (600.000 unit untuk usia < 6 tahun,
dan 1.2 juta unit untuk usia >6 tahun) atau eritromisin oral (40
mg/kg/dosis untuk anak-anak, dan 1 g/dosis untuk orang dewasa)
selama 7-10 hari, tanpa melihat status imunisasi mereka. Kontak
dekat yang mempunyai hasil kultur positif harus dilakukan kultur
ulang setelah selesai terapi, untuk memastikan eradikasi terjadi.
 Kontak yang sebelumnya pernah diimunisasi, harus mendapat
booster toksoid difteri bila sudah lebih dari 5 tahun sejak dosis
terakhir. Kontak yang tidak diimunisasi harus memulai seri primer
imunisasi segera.
 Kontak dekat harus memperhatikan adanya gejala difteri yang akan
timbul dalam 7-10 hari setelah terpapar penderita difteri terutama bila
tidak diimunisasi.
 Kontak dekat yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan
makanan atau anak-anak sekolah, maka harus diberhentikan untuk
sementara waktu sampai terbukti pemeriksaan bakteriologis bukan
penderita carrier, karena transmisi difteri pernah dilaporkan melalui
susu mentah.

2.12. Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada
umumnya, setelah anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini
sangat rendah sehingga perlu imunisasi.9
Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan carrier. Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria
lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak
mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya
(carrier) atau menderita difteria ringan.9

14
Pengobatan untuk carrier adalah eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis selama 7 hari, maksimum (1 gram/hari). Eritromisin lebih
superior daripada penisilin untuk eradikasi carrier difteri nasofaring.
Pemantauan dilakukan sampai ada hasil kultur, jika masih positif,
antibiotik diberikan lebih lama.9

Imunisasi
Imunisasi pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteria sampai 6 bulan. Sedangkan imunitas aktif diperoleh
setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent infection serta
imunisasi toksoid difteria. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan
uji Schick dan uji Moloney.10
Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas)
seorang terhadap difteria. Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan
toksin difteria yang dilemahkan secara intrakutan. Bila tidak terdapat
kekebalan (tidak mempunyai antitoksin), toksin akan menimbulkan
nekrosis jaringan; maka hasil disebut positif. Demikian sebaliknya, apabila
seorang mempunyai antitoksin, tidak mempunyai antitoksin, tidak
menimbulkan reaksi dan hasil dinyatakan negatif. 10
Uji kepekaan Moloney, lebih menentukan sensitivitas terhadap
produk bakteri dari basil difteria. Dilakukan dengan cara memberikan 0,1
ml larutan toksoid difteria secara intradermal. Reaksi positif bila dalam 24
jam timbul eritema > 10 mm, yang berarti bahwa : 10
o Pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
o Pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berbahaya.
Untuk imunisasi primer terhadap difteria digunakan toksoid
difteria (alum-precipitated toxoid) yang kemudian digabung dengan
toksoid tetanus dan vaksin pertussis dalam bentuk vaksin DTP.10

15
Lama kekebalan sesudah mendapatkan imunisasi dengan toksoid
difteria merupakan masalah yang penting diperhatikan. Beberapa
penelitian serologic membuktikan adanya penurunan kekebalan sesudah
kurun waktu tertentu dan perlunya penguatan pada masa anak. Booster
pada sangat diperlukan untuk meningkatkan kekebalan, diberikan baik
setahun setelah DTP3 maupun pada usia 4-5 tahun.10

Gambar 7. Jadwal Imunisasi 201710

Outbreak Response Immunization


Selama tahun 2017, KLB difteri terjadi di 170 kabupaten/kota dan
di 30 provinsi, sebanyak 954 kasus, dengan kematian 44 kasus. Pada tahun
2018 (hingga 9 Januari 2018), terdapat 14 laporan kasus dari 11 kab/kota
di 4 provinsi (DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Lampung). 10
Outbreak Response Immnunization (ORI) adalah imunisasi yang
dilaksanakan untuk menekan transmisi suatu penyakit yang sedang
mewabah. ORI dilakukan di sarana kesehatan pemerintah (posyandu,

16
puskesmas, dan rumah sakit pemerintah) dan sekolah. Sarana kesehatan
non-pemerintah dapat melakukan ORI berkoordinasi dengan dinas
kesehatan setempat. ORI difteri perlu dilakukan tiga kali untuk
membentuk kekebalan tubuh dari bakteri Corynebacterium diphteriae
(anak usia 1 tahun hingga <19 tahun tanpa memandang riwayat imunisasi).
Skema ORI dilakukan pada bulan ke-0, 1, dan 6 (dosis 0,5 mL
intramuskular di area deltoid). Berikut adalah jenis vaksin yang diberikan:
10,11

 Imunisasi DPT-HB-Hib untuk anak usia <5 tahun


 Imunisasi DT untuk anak usia 5-7 tahun
 Imunisasi Td untuk anak usia >7 tahun

2.13. Prognosis
Prognosis difteri setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih
baik daripada sebelumnya. Keadaan demikian telah terjadi di negara lain.
Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum terjamah imunisasi masih
dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk.12
Kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena:12
1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya
membrana difteri
2) Adanya miokarditis dan gagal jantung
3) Paralisis diafragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai
penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa;
walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.12

17
BAB III
KESIMPULAN

1. Difteri adalah suatu infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudo-
membran pada kulit dan atau mukosa.
2. Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal,
difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal,
difteri konjungtiva, dan difteri telinga.
3. Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian
antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari
penyakit ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan
membran bagian dalam (kultur).
4. Dasar dari terapi adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi
Corynebacterium diphtheriae dengan antibiotik.
5. Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan
memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak.
6. Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan
penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan
diagnosis, dan perawatan umum.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Buescher ES. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae). Dalam: Kliegman


RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF, penyunting. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-20 Chapter 187. USA: Elsevier; 2016. h. 1345-51.
2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Difteri. In: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, K MS, Setiyohaddi B, Syam AF, editors. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 643–50.
3. Alam A, Hadinegoro SRS, Moedjito I, Hapsari MM. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia 2018.
4. Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Chapter 101 diphteria. In: Feigin.
Textbook of pediatric infectious diseases. 6th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2009. p. 1393–402.
5. Centers for Disease Control and Prevention. Diphteria. In: Epidemiology and
prevention of vaccine-preventable diseases. 13th ed. Centers for Disease
Control and Prevention; 2015. p. 107–18.
6. Hartoyo E. Difteri pada anak. Sari Pediatri. 2018; 19 (5):300–6.
7. Hendarto TW, Indarso F, Pusponegoro TJ. Bab VI imunisasi pasif. In: Ranuh
IN, Suyitno H, Hadinegoro, Sri Rezeki S, Kartasasmita, Cissy B,
Ismoedjianto, Soedjatmiko, editors. Pedoman imunisasi di Indonesia. 5th ed.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014. p. 195.
8. SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah. Difteria. In: Pedoman
pelayanan medis ilmu kesehatan anak. Denpasar: SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK UNUD/RSUP Sanglah; 2010.

19
9. Hadinegoro SRS. Bab II Jadwal imunisasi. In: Ranuh IN, Suyitno H,
Kartasasmita CB, Ismoedjianto, Soedjatmiko, editors. Pedoman imunisasi di
Indonesia. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2014. p. 275–7.
10. Pemerintah optimis KLB difteri bisa teratasi. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia [Internet]. 2018 [cited 2019 Augt 26]. Available from:
http://www.depkes. go.id/pdf.php?id=18011500004.
11. FAQ seputar kegiatan outbreak response immunization (ORI) difteri. IDAI
[Internet]. 2017 [cited 2019 Augt 26]. Available from:
http://www.idai.or.id/about-idai/idaistatement/faq-seputar-kegiatan-outbreak-
response-immunization-ori-difteri.
12. Kementerian Kesehatan RI. Bab VI pengendalian penyakit. In: Profil
Kesehatan Indonesia tahun 2016. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2017. p. 174–5.

20

Anda mungkin juga menyukai