Anda di halaman 1dari 11

Manhaj Ahli Sunnah Terhadap Penguasa MANHAJ AHLI SUNNAH

TERHADAP PENGUASA Oleh:


Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin
TUGAS NEGARA DAN PENGUASA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Islam merupakan agama dari Allah yang mengatur seluruh aspek kehidupan,
baik pribadi maupun masyarakat, lahir maupun batin, dan bahkan untuk
kepentingan di dunia dan akhirat. Maka sistim politik Islam, khususnya
tentang kepemimpinan, merupakan amanat dari Allah untuk melaksanakan
aturan, undang-undang dan syari’at Islam. Jadi kepemimpinan dalam Islam
merupakan bentuk aktifitas politik, yang bertujuan untuk menegakkan aturan
Allah di muka bumi. Oleh karena itu, pemimpin yang dipilih semata-mata
hanya bertugas untuk menegakkan syari’at dan menerapkan hukum Allah,
sehingga negara dan rakyat meraih kedamaian, penguasa dan rakyat
memperoleh hak-hak secara adil, serta kehidupan berbangsa dan bernegara
dalam kondisi yang tenteram dan makmur. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menegaskan: Tujuan pokok kepemimpinan, ialah memperbaiki agama umat.
Sebab, jika jauh dari Dinul Islam, (maka) bangsa akan hancur, nasib rakyat
akan terlantar dan nikmat-nikmat dunia yang mereka miliki akan sia-sia.
Pemimpin juga bertugas memperbaiki segi duniawi yang sangat erat
hubungannya dengan agama, meliputi dua macam: Pertama, membagikan
harta kekayaan secara merata dan adil kepada yang berhak. Kedua,
menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan undang-undang tanpa
diskriminasi. Prof. Dr. Salim bin Ghanim As Sadlan berkata,”Salah satu
kewajiban dan wewenang pemimpin dalam agama Islam, yaitu melaksanakan
hukuman setelah diproses secara syar’i oleh mahkamah agung atas terdakwa
pelaku kejahatan yang berhak mendapat hukuman.
DEKAT DENGAN PENGUASA BUKAN BERARTI MENJILAT
Seorang muslim harus melakukan hubungan baik dengan para Ulil Amri, baik
dari kalangan pemimpin, para hakim penanggung jawab peradilan ataupun
tokoh-tokoh lembaga-lembaga penting dan kepala-kepala penanggung jawab
pemerintah. Kita tidak boleh merasa kaku serta menganggap, bila dekat
dengan penguasa akan menodai kehormatan diri dalam beragama. Bukan
pula berarti menjadi penjilat dan kacung bagi para penguasa, bahkan syari’at
memerintahkan kita untuk menjalin hubungan erat dengan para Ulil Amri atau
penguasa. Sesungguhnya, salah satu yang menjadi penyebbab keberhasilan
shahwah (kebangkitan Islam) dan dakwah kepada Allah, yaitu apabila da’wah
memiliki dukungan dari penguasa dalam suatu negara. Karena, da’wah dan
kekuasaan merupakan dua pilar perbaikan terhadap umat. Penyair berkata:
‫ْن َي ْب َقى َوال ِّديْنُ ِب ْالم ُْلكِ َي ْق َوى‬
ِ ‫ك ِبال ِّدي‬ ْ ‫ ْالم‬Kekuasaan yang bersanding dengan agama
ُ ‫ُــــل‬
akan menjadi stabil, dan agama yang bersanding dengan kekuasaan akan
menjadi kuat dan kokoh. Bila keduanya bertemu dan bersatu, maka tujuan
dan sasaran da’wah tercapai. Cita-cita membangun umat akan teralisasi
dengan izin Allah. Namun, jika keduanya berpisah, apalagi saling
berhadapan, maka segala usaha akan sia-sia atau melemah sampai pada
batas kehinaan, sehingga muncul berbagai fitnah dan musibah bagi umat.
Setiap negara yang menginginkan kemuliaan hakiki dan kekuasaan di muka
bumi, memiliki kewajiban untuk mendukung da’wah kepada Allah,
mengerahkan segala perangkat kekuasaan dan pilar kekuatan negara yang
mampu memberikan peringatan dan bimbingan secara persuasif kepada
seluruh rakyat. Dengan demikian, penguasa akan mendapatkan legitimasi
dan dukungan penuh dari semua pihak. Sebab, seringkali Allah menyadarkan
lewat peguasa, apa yang tidak tergugah dengan Al Qur’an. Karena, bila
keimanan telah melemah dalam hati manusia, maka kekuatan penguasa jauh
lebih dapat menakut-nakuti mereka dari maksiat, dan lebih meluruskan
mereka kepada ibadah, hingga mereka dapat meraih istiqamah dan
keshalihan dalam hidup. MENASIHATI PENGUASA BUKAN
MEMBANGKANG Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati pemimpin,
bahkan mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan; sebab,
pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin,
secara umum memerlukan kaidah dan etika, maka menasihati para pemimpin
lebih perlu memperhatikan kaidah dan etikanya. Dari Ibnu Hakam
meriwayatkan, bahwa Nabi bersabda,”Barangsiapa yang ingin menasihati
pemimpin, maka jangan melakukannya secara terang-terangan. Akan tetapi,
nasihatilah dia di tempat yang sepi. Jika menerima nasihat, itu sangat baik.
Dan bila tidak menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban
nasihat kepadanya.” [HR Imam Ahmad]. Sangat tidak bijaksana mengoreksi
dan mengkritik kekeliruan para pemimpin melalui mimbar-mimbar terbuka,
tempat-tempat umum ataupun media massa, baik elektronik maupun cetak.
Yang demikian itu menimbulkan banyak fitnah. Bahkan terkadang disertai
dengan hujatan dan cacian kepada orang per orang. Seharusnya, menasihati
para pemimpin dengan cara lemah lembut dan di tempat rahasia,
sebagaimana yang dilakukan oleh Usamah bin Zaid tatkala menasihati
Utsman bin Affan, bukan dengan cara mencaci-maki mereka di tempat umum
atau mimbar. Imam Ibnu Hajar berkata, bahwa Usamah telah menasihati
Utsman bin Affan dengan cara yang sangat bijaksana dan beretika tanpa
menimbulkan fitnah dan keresahan. Imam Syafi’i berkata,”Barangsiapa yang
menasihati temannya dengan rahasia, maka ia telah menasihati dan
menghiasinya. Dan barangsiapa yang menasihatinya dengan terang-
terangan, maka ia telah mempermalukan dan merusaknya.” Imam Fudhail bin
Iyadh berkata,”Orang mukmin menasihati dengan cara rahasia; dan orang
jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-maki.” Syaikh bin Baz
berkata,”Menasihati para pemimpin dengan cara terang-terangan melalui
mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum, bukan (merupakan) cara atau
manhaj Salaf. Sebab, hal itu akan mengakibatkan keresahan dan
menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan tetapi, (cara) manhaj Salaf
dalam menasihati pemimpin yaitu dengan mendatanginya, mengirim surat
atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk menyampaikan
nasihat tersebut.” MEMBUAT KEKACAUAN BERKEDOK JIHAD DAN AMAR
MA’RUF Dakwah kepada agama Allah merupakan tugas utama para rasul
dan imam agama. Dan pada zaman sekarang, hukumnya bisa wajib bagi
setiap individu sesuai kemampuan masing-masing. Allah berfirman, yang
artinya: Serulah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik. [An Nahl:125]. Adapun memecah-belah kaum muslimin menjadi
berkelompok–kelompok, sehingga masing-masing mengklaim
kelompoknyalah yang benar, sementara yang lain sesat -sebagaimana realita
sekarang ini- jelas bukan merupakan manhaj dakwah yang benar. Setiap
orang yang memiliki ilmu dan kemampuan yang cukup, wajib berdakwah
kepada agama Allah atas dasar ilmu, walaupun hanya seorang diri. Antara
yang satu dengan yang lain, hendaklah berkerja sama berlandaskan manhaj
yang satu, yaitu manhaj yang ditempuh Rasulullah dan para sahabat. Dakwah
merupakan cara dan proses Islami dalam membimbing umat manusia menuju
perubahan hidup yang hakiki, penuh dengan kesadaran serta merupakan
bentuk sentuhan lembut yang mengetuk hati nurani, sehingga bangkit dan
memiliki kemauan untuk berbuat kebaikan, meninggalkan berbagai macam
pelanggaran. Anggapan, bahwa praktek-praktek agitasi, kampanye,
pengungkapan aib penguasa dan pengerahan massa untuk menekan
penguasa sebagai metode yang berhasil dan bermanfaat, adalah anggapan
yang keliru, jauh dari kebenaran dan menyalahi nash-nash syar’i. Kalau kita
tengok penjelasan para ulama, seperti yang tertuang dalam buku Asy Syari’ah
karya Al Ajurri, As Siayasah Asy Syar’iyah Ibnu Taimiyah dan buku Ath
Thuruqul Hukmiyah Fis Siyasah Asy Syar’iyah karya Ibnu Qayyim, maka cara-
cara seperti di atas sangat keliru dan sesat. Asumsi, bahwa cara-cara seperti
ceramah-cermah yang transparan, membukakan kebobrokan penguasa
kepada masyarakat luas dan memprovokasi mereka untuk melawan
penguasa sebagai cara yang efisien dan berguna, merupakan asumsi yang
salah dan sangat jauh dari kebenaran, serta bertentangan dengan nash
agama. Bahkan, semacam merupakan bentuk justifikasi terhadap aqidah dan
pemikiran Khawarij. BEKAL BAGI ORANG YANG MENASIHATI PEMIMPIN
Bagi setiap individu yang ingin memberikan nasihat kepada pemimpin, maka
ia harus memperhatikan hal-hal berikut: Pertama : Ikhlas dalam memberi
nasihat. Nabi Muhammad bersabda kepada Abdullah bin Amr: “Wahai,
Abdullah bin Amr. Jika engkau berperang dengan sabar dan ikhlas, maka
Allah akan membangkitkanmu sebagai orang yang sabar dan ikhlas. Dan jika
engkau berperang karena riya, maka Allah akan membangkitkanmu sebagai
orang riya dan orang yang ingin dipuji” . [HR Abu Dawud]. Imam Ibnu Nahhas
berkata,”Orang yang menasihati pemimpin atau penguasa, hendaknya
mendahulukan sikap ikhlas untuk mencari ridha Allah. Barangsiapa yang
mendekati pemimpin untuk mencari popularitas atau jabatan atau sanjungan,
maka ia telah berbuat kesalahan yang besar dan melakukan perbuatan sia-
sia.” Kedua : Menjahui segala macam ambisi pribadi. Seseorang yang
menasihati sebaiknya menanggalkan segala ambisi dan keinginan pribadi
untuk mendapatkan sesuatu dari pemimpin atau penguasa. Para ulama salaf
telah banyak memberikan contoh dan suri tauladan, seperti Sufyan Ats
Atsauri. Beliau sering menolak pemberian para penguasa, karena khawatir
pemberian tersebut menghalanginya untuk mengingkari kemungkaran. Ketiga
: Mendahulukan sikap kejujuran dan kebenaran. Seorang yang ingin
menasihati pemimpin atau penguasa, hendaknya bersikap jujur dan
pemberani; sebagaimana sabda Nabi,”Jihad yang paling utama adalah
menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang zhalim.” [HR Abu Dawud]
Keempat : Berdo’a kepada Allah dengan do’a-do’a yang ma’tsur. Dari Ibnu
Abbas, beliau berkata,”Jika kamu mendatangi penguasa yang kejam, maka
berdo’alah: Allah Maha Besar, Allah Maha Tinggi, dari semua makhlukNya,
Allah Maha Tinggi dari semua yang saya takutkan dan khawatirkan. Saya
berlindung kepada Allah yang tiada Sesembahan yang haq selainNya, Dialah
yang menahan langit yang tujuh sehingga tidak jatuh ke bumi dengan izinNya,
(dari) kejahatan hambaMu dan para pengikutnya, bala tentaranya dan para
pendukungnya, baik dari jin atau manusia. Ya Allah, jadilah Engkau
pendampingku dari kejahatan mereka, Maha Tinggi kekuasaan Allah dan
Maha Agung serta Maha Berkah NamaNya, tiada Sesembahan yang berhaq
disembah selain Engkau.” (Dibaca tiga kali). [HR Ibnu Abu Syaibah].
MENYEBUT PENGUASA DENGAN VONIS KAFIR Pada masa sekarang
timbul berbagai macam penyimpangan manhaj dan fitnah pemikiran, terutama
dalam soal sikap kepada para penguasa yang zhalim dan tidak berhukum
dengan hukum Allah. Sebagian orang yang gila popularitas dan ambisius,
dengan gampang menebarkan pemikiran takfir (mengkafirkan) kepada para
penguasa, para pemuda dan orang awam; dan dengan mengesampingkan
manhaj Ahli Sunnah serta fatwa para ulama. Mereka kurang menyadari
dampak dan akibat dari langkah yang mereka tempuh, sehingga keinginan
mengajak umat manusia kepada kebaikan berbalik menjadi musibah dan
fitnah yang mendatangkan banyak keburukan dan kesesatan. Mereka
bersikap kerdil, picik, pengecut, emosional, keras kepala dan tidak kenal
kompromi, kurang mempertimbangkan antara maslahat dan madharat. Syaikh
Shalih bin Fauzan Al Fauzan dalam kitab Muntaqa berkata,”Masalah
pengkafiran terhadap orang per orang, terutama kepada para penguasa
sangat berbahaya. Tidak semua orang boleh mengucapkan atas orang lain.
Masalah ini merupakan wewenang hakim syar’i dan ahli ilmu yang mumpuni,
yang mengetahui Dinul Islam dan pembatal-pembatalnya mengetahui situasi
dan kondisi, serta keadaan manusia dan masyarakat. Merekalah yang berhak
menjatuhkan vonis kafir. Adapun orang jahil, orang awam, pemula dalam
menuntut ilmu, tidaklah berhak menjatuhkan vonis kafir.” Syaikh Shalih bin
Ghanim As Sadlan menegaskan, bahwa masalah pengkafiran terhadap orang
yang tidak berhukum dengan hukum Allah, membutuhkan penjelasan secara
rinci. Tidak boleh menjatuhkan hukum kafir atas penguasa atau hakim yang
tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak, sehingga mengetahui
keadaan dan kondisinya dalam masalah ini. Perlu diketahui, bahwa berhukum
dengan hukum selain hukum Allah ada dua sebab. Pertama. Menghalalkan
hukum selain Allah dan meyakini, bahwa syari’at Islam tidak layak diterapkan
selamanya. Kedua. Meyakini, bahwa syari’at Islam layak diterapkan dan
sudah sempurna, namun keputusan terakhir bukan di tangannya dan bukan
pula di bawah kuasa seseorang. Mengenai firman Allah “Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir”. [Al Maidah: 44]. Apakah dalam ayat di atas
terdapat perintah untuk membangkang dan memberontak penguasa? Karena
memberontak dan membangkang kepada penguasa yang divonis kafir -bila
tidak memiliki kekuatan yang berimbang- justru akan membahayakan
kelangsungan dakwah dan keselamatan para da’i. BERSABAR TERHADAP
PEMIMPIN YANG ZHALIM Pemimpin yang zhalim dan jahat, adalah sosok
pemimpin yang hanya berambisi terhadap kekuasaan belaka. Perbuatan
mereka tidak pernah sepi dari penganiayaan dan kezhaliman, dan tidak
segan-segan melibas siapapun yang mencoba menggoyang kekuasaannya,
meskipun dia melanggar syari’at. Dia juga tidak adil dalam memberikan hak-
hak umat serta boros terhadap harta negara. Ada beberapa faktor yang
menjadi penyebab rusaknya para pemimpin. 1. Lemahnya pengamalan
prinsip agama. 2. Senang mengikuti hawa nafsu dan kesenangan dunia
belaka. 3. Sikap kolusi dan nepotisme yang berlebihan. 4. Teman dan
penasihat (orang kepercayaannya) yang tidak baik, atau menjadikan orang-
orang kafir sebagai pembantu (kepercayaannya). 5. Menyerahkan kekuasaan
dan jabatan kepada orang-orang yang tidak berjiwa patriot dan ikhlas. 6.
Diktator dalam mengendalikan kekuasaan. 7. Tekanan internasional terhadap
para pemimpin Islam. 8. Terpengaruh dengan sisitim negara-negara kafir dan
meninggalkan sistim Islam. Barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan
untuk menasihati pemimpin yang zhalim, maka sebaiknya berdiam diri dan
bersabar, sebagaimana sabda Rasulullah,”Barangsiapa yang mendapatkan
dari pemimpin(nya) sesuatu yang tidak menyenangkan, maka hendaklah
bersabar. (Karena) sesungguhnya, barangsiapa yang keluar dari pemimpin,
maka meninggal dalam keadaan jahiliyah.” [HR Al Bukhari]. Abdullah Ibnu
Abbas berkata,”Pemimpin adalah ujian bagi kalian. Apabila mereka bersikap
adil, maka dia mendapatkan pahala dan kamu harus bersyukur. Dan apabila
dia zhalim, maka dia mendapatkan siksa dan kamu harus bersabar.” Imam
Nawawi berkata,”Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang
pemimpin, tidaklah dia berdosa, kecuali (jika) dia menunjukan sikap rela,
setuju atau mengikuti kemungkaran itu.” BATASAN HUBUNGAN ANTARA
PEMIMPIN DENGAN RAKYAT Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menjelaskan
kepada Majalah Syarq Al Ausath seputar manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
dalam masalah amar ma’ruf nahi munkar, metodologi menyampaikan nasihat,
serta batasan-batasan hubungan secara syar’i antara penguasa dengan
rakyat. Ulasan dan penjelasan beliau dapat disimpulkan sebagai berikut. 1.
Beliau menjelaskan batasan-batasan hubungan antara penguasa dengan
rakyat menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang wajib ditempuh seluruh
umat sekarang ini. 2. Beliau juga mengajak kaum muslimin mengikuti manhaj
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dan tidak mencontoh faham Khawarij maupun
Mu’tazilah. Beliau berkata,”Mereka semestinya mengikuti madzhab Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah sesuai dengan dalil-dalil syar’i yang ada. Mereka
semestinya memegang teguh nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah
sebagaimana adanya. Mereka tidak diperkenankan memberontak kepada
penguasa, hanya karena penguasa itu jatuh dalam perbuatan maksiat.
Mereka semestinya menasihati penguasa dan berdakwah dengan cara yang
penuh hikmah, serta dengan pengajaran yang baik. 3. Beliau menjelaskan,
bahwa kaum muslimin wajib mentaati waliyul amri dalam perkara-perkara
yang ma’ruf. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: Hai orang-orang
beriman, taatilah Allah dan ta’atilah dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih baik
akibatnya. [An Nisa’:59]. 4. Jika penguasa memerintahkan kepada perkara
yang munkar, maka tidak wajib dipatuhi, namun tidak berarti dibolehkan
memberontak mereka, sebab Rasulullah bersada: ْ‫ِير ِه َش ْي ًئا َي ْك َر ُه ُه َف ْل َيصْ ِبر‬ َ َ
ِ ‫َمنْ َرأى مِنْ أم‬
‫ات مِي َت ًة َجا ِهلِي ًَّة‬
َ ‫ات إِاَّل َم‬ َ ‫ار َق ْال َج َم‬
َ ‫اع َة شِ بْرً ا َف َم‬ َ ‫علَ ْي ِه َفإِ َّن ُه َمنْ َف‬.
َ Barangsiapa melihat sebuah
perkara yang membuat ia benci pada pemimpinya, maka hendaknya ia
bersabar dan janganlah ia membangkang kepada pemimpinnya. Sebab,
barangsiapa melepaskan diri dari jama’ah, lalu mati, maka ia mati secara
jahiliyah. [HR Bukhari dan Muslim] Sabda beliau: ‫اع ُة َعلَى ْال َمرْ ِء ْالمُسْ ل ِِم فِي َما‬ َّ ‫السَّمْ ُع َو‬
َ ‫الط‬
‫اع َة‬َ ‫ أَ َحبَّ َو َك ِر َه َما لَ ْم ي ُْؤ َمرْ ِب َمعْ صِ َي ٍة َفإِ َذا أُم َِر ِب َمعْ صِ َي ٍة َفاَل َسمْ َع َواَل َط‬Seorang muslim wajib patuh
dan taat (kepada umara) ketika lapang maupun sempit pada perkara yang
disukainya ataupun yang dibencinya, selama tidak diperintah berbuat maksiat.
Jika diperintah berbuat maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat. [HR Bukhari
dan Muslim]. 5. Tidak boleh memberontak kepada penguasa kecuali dengan
dua syarat. Pertama, telah tampak kekafiran secara nyata pada penguasa itu,
dan memiliki keterangan yang jelas (tentang kekafirannya itu) dari Allah (Al
Qur’an) dan As Sunnah. Kedua, memiliki kemampuan untuk menggantikan
penguasa tersebut, tanpa harus merugikan rakyat banyak. 6. Jika tidak
memiliki kemampuan, maka tidak boleh memberontak, meskipun telah terlihat
kekafiran yang nyata. Hal ini demi menjaga kemaslahat bersama. 7. Kaidah
syar’i yang harus disepakati bersama, bahwa tidak boleh menghilangkan
kejahatan dengan kejahatan yang lebih buruk dari sebelumnya, namun
mestinya perkara yang benar menghilangkan kejahatan itu atau
menguranginya. 8. Tidak boleh memberontak penguasa jika akan
menimbulkan kerusakan yang lebih besar, stabilitas keamanan terguncang,
kesewenang-wenangan terhadap hak-hak asasi manusia dan pembunuhan
orang-orang yang semestinya tidak boleh dibunuh. 9. Wajib bersabar, patuh
dan taat dalam perkara yang ma’ruf, serta memberi nasihat kepada
pemerintah, mendo’akan kebaikan bagi mereka, berusaha sekuat tenaga
meminimalkan kejahatan dan menyebarkan sebanyak-banyaknya nilai-nilai
kebaikan. 10. Barangsiapa beranggapan bahwa pemikiran semacam ini
merupakan kekalahan dan kelemahan, maka sesungguhnya angapan seperti
itu menunjukkan kekeliruan dan kedangkalan pemahamannya. Artinya,
mereka tidak memahami dan tidak mengenal Sunnah Nabi sebagaimana
mestinya. Dalam menghilangkan kemungkaran, mereka hanya dibakar oleh
semangat dan emosi untuk menghilangkannya saja, sehingga (kemudian)
mereka melanggar rambu-rambu syari’at, sebagaimana Khawarij dan
Mu’tazilah. 11. Siapapun orangnya, baik pemuda atau bukan, tidaklah layak
mencontoh Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka harus meniti madzhab Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah. 12. Bagi yang memiliki semangat membela agama
Allah dan para da’i, wajib untuk mengikatkan diri dengan ketentuan-ketentuan
syari’at. Wajib memberi nasihat kepada para penguasa dengan perkataan
yang bagus dan dengan cara yang baik. 13. Tidak dibolehkan membunuh
kafir musta’min (orang kafir yang mendapat perlindungan pemerintah Islam)
yang diterima oleh pemerintah yang berdaulat secara damai. Tidak boleh pula
menghukum pelaku maksiat dan berbuat aniaya terhadap mereka. Namun
kejahatan mereka diangkat ke mahkamah syari’at. Jika tidak ada, maka cukup
dengan nasihat saja. 14. Wajib hukumnya mematuhi dan mentaati peraturan-
peraturan pemerintah yang tidak bertentangan dengan syari’at, seperti:
peraturan lalu-lintas dan imigrasi (seperti kewajiban SIM pengendara dan
paspor). Barangsiapa mengangggap dirinya memiliki hak untuk
melanggarnya, maka perbuatannya itu bathil dan mungkar. 15. Diantara
konsekuensi bai’at, yaitu menasihati waliyul amri (penguasa). Dan diantara
wujud nasihat, yaitu mendo’akan kepada penguasa supaya mendapatkan
taufiq dan hidayah. 16. Setiap individu rakyat wajib bekerja sama dengan
pemerintah dalam mengadakan perbaikan dan menumpas kejahatan. 17.
Maksud didirikan pemerintah, ialah untuk merealisasikan maslahat syar’i dan
mencegah mafsadat. Maka setiap tindakan yang diinginkan darinya adalah
kebaikan. Adapun yang dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar,
maka hal itu dilarang. 18. Mendo’akan kebaikan bagi penguasa merupakan
ibadah yang paling agung dan ketaatan yang paling utama. Al Fudhail bin
Iyadh berkata,”Bila aku punya do’a yang terkabulkan, maka aku akan
memanjatkan untuk penguasa. Karena baiknya mereka akan menentukan
kebaikan orang banyak.” Maraji: – Al Ahkamus Sulthaniyah, karya Imam Abu
Hasan Al Mawardi. – As Siyasah Asy Syar’iyah, karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. – Ath Thuruqul Hukmiyah Fi Siyasah Asy Syar’iyah, karya Ibnu
Qayyim. – Ash Shahwah Islamiyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin. – Al Muntaqa Fi Fatawa, Syaikh Fauzan. – Hakiqatul Amr Bil Ma’ruf
Wan Nahyu ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin Nasir Al Ammar. – Muraja’at Fi
Fiqhil Waqi Asy Syiyasi Wal Fikri, Syaikh Bin Baz, Syaikh Fauzan dan Syaikh
Shalih Sadlan. [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun
VII/1424H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –
Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647,
08157579296]

Referensi: https://almanhaj.or.id/3022-manhaj-ahli-sunnah-terhadap-
penguasa.html

MENASIHATI PENGUASA BUKAN MEMBANGKANG


Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati pemimpin, bahkan
mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan; sebab,
pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin,
secara umum memerlukan kaidah dan etika, maka menasihati para pemimpin
lebih perlu memperhatikan kaidah dan etikanya.
Nabi bersabda,”Barangsiapa yang ingin menasihati pemimpin, maka jangan
melakukannya secara terang-terangan. Akan tetapi, nasihatilah dia di tempat
yang sepi. Jika menerima nasihat, itu sangat baik. Dan bila tidak
menerimanya, maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat
kepadanya.” [HR Imam Ahmad].
Sangat tidak bijaksana mengoreksi dan mengkritik kekeliruan para pemimpin
melalui mimbar-mimbar terbuka, tempat-tempat umum ataupun media massa,
baik elektronik maupun cetak. Yang demikian itu menimbulkan banyak fitnah.
Bahkan terkadang disertai dengan hujatan dan cacian kepada orang per
orang. Seharusnya, menasihati para pemimpin dengan cara lemah lembut
dan di tempat rahasia, sebagaimana yang dilakukan oleh
Usamah bin Zaid tatkala menasihati Utsman bin Affan, bukan dengan cara
mencaci-maki mereka di tempat umum atau mimbar. Imam Ibnu Hajar
berkata, bahwa Usamah telah menasihati Utsman bin Affan dengan cara yang
sangat bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan fitnah dan keresahan.
Imam Syafi’i berkata,”Barangsiapa yang menasihati temannya dengan
rahasia, maka ia telah menasihati dan menghiasinya. Dan barangsiapa yang
menasihatinya dengan terang-terangan, maka ia telah mempermalukan dan
merusaknya.”
Imam Fudhail bin Iyadh berkata,”Orang mukmin menasihati dengan cara
rahasia; dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan memaki-
maki.”
Syaikh bin Baz berkata,”Menasihati para pemimpin dengan cara terang-
terangan melalui mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum, bukan
(merupakan) cara dalam Islam. Sebab, hal itu akan mengakibatkan
keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan tetapi, cara Islam
dalam menasihati pemimpin yaitu dengan mendatanginya, mengirim surat
atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk menyampaikan
nasihat tersebut.

MEMBUAT KEKACAUAN BERKEDOK JIHAD DAN AMAR MA’RUF

Dakwah merupakan cara dan proses Islami dalam membimbing umat


manusia menuju perubahan hidup yang hakiki, penuh dengan kesadaran
serta merupakan bentuk sentuhan lembut yang mengetuk hati nurani,
sehingga bangkit dan memiliki kemauan untuk berbuat kebaikan,
meninggalkan berbagai macam pelanggaran.

Anggapan, bahwa praktek-praktek agitasi, kampanye, pengungkapan aib


penguasa dan pengerahan massa untuk menekan penguasa sebagai metode
yang berhasil dan bermanfaat, adalah anggapan yang keliru, jauh dari
kebenaran dan menyalahi nash-nash syar’i.

Kalau kita tengok penjelasan para ulama, seperti yang tertuang dalam buku
Asy Syari’ah karya Al Ajurri, As Siayasah Asy Syar’iyah Ibnu Taimiyah dan
buku Ath Thuruqul Hukmiyah Fis Siyasah Asy Syar’iyah karya Ibnu Qayyim,
maka cara-cara seperti di atas sangat keliru dan sesat.

Asumsi, bahwa cara-cara seperti ceramah-cermah yang transparan,


membukakan kebobrokan penguasa kepada masyarakat luas dan
memprovokasi mereka untuk melawan penguasa sebagai cara yang efisien
dan berguna, merupakan asumsi yang salah dan sangat jauh dari kebenaran,
serta bertentangan dengan nash agama. Bahkan, semacam merupakan
bentuk justifikasi terhadap aqidah dan pemikiran Khawarij.
Sy hanya bisa kutibkan bbrp hal yg perlu sy sampaikan

(manhaj-ahli-sunnah-terhadap-penguasa)

Anda mungkin juga menyukai