Anda di halaman 1dari 4

Merekonstruksi Kaderisasi Agar Lebih Berisi

Selasa 11 Agustus 2015 20:3 WIB


Bagikan:

Oleh Ahmad Saifuddin


Beberapa waktu lalu, telah diadakan Musyawarah Kaum Muda NU yang berbarengan
dengan agenda Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama di Jombang. Acara Musyawarah Besar
Kaum Muda NU yang digelar pada tepat pada tanggal 2 Agustus 2015 sampai dengan 3
Agustus 2015 tersebut diadakan di Universitas Wahab Hasbullah Tambakberas
Jombang,<> dengan mengambil berbagai tema untuk dirembug menjadi action plan.
Beberapa tema tersebut misalkan mengenai aktualisasi nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah
dalam kebangsaan, aktualisasi Khithah NU 1926, kaderisasi di dalam tubuh NU, persoalan
kualitas pendidikan di Indonesia dan upaya NU dalam meningkatkan kualitas sistem
pendidikan formalnya, permasalahan bonus demografi, permasalahan wanita, menangkal
paham Islam radikal melalui media elektronik dan media massa, dan permasalahan
pembangunan.

Dalam tulisan ini, hanya akan dibahas mengenai salah satu tema tersebut, yaitu mengenai
masalah kaderisasi. Permasalahan kaderisasi seolah menjadi persoalan yang tiada
ujungnya. Terlebih lagi Nahdlatul Ulama memiliki pengikut sekitar 51 juta sampai 60 juta
sehingga menobatkannya menjadi organisasi paling besar di Indonesia. Sumber daya
manusia yang sangat melimpah ruah tersebut senantias amenajdi pekerjaan rumah bagi
Nahdlatul Ulama untuk memberdayakannya mengingat Nahdlatul Ulama bukan hanya
sebagai jama’ah (kumpulan), tetapi juga sebagai jam’iyyah (organisasi).

Kaderisasi dalam Nahdlatul Ulama pun sudah diatur oleh masing-masing badan
otonomnya. Misalkan, dalam IPNU-IPPNU terdapat Masa Kesetiaan Anggota (Makesta),
Latihan Kader Muda (Lakmud), Latihan Kader Utama (Lakut), Latihan Fasilitator (Latfas),
Latihan Pelatih (Latpel); dalam CBP dan KPP terdapat Pendidikan dan Latihan Pertama
(Diklatama) serta Pendidikan dan Latihan Madya (Diklatmad); dalam GP Ansor dan Fatayat
NU terdapat Pelatihan Kepemimpinan Dasar (PKD); dalam Banser terdapat Pendidikan dan
Latihan Dasar (Diklatsar), Kursus Banser Lanjutan (Susbalan), Kursus Banser Pimpinan
(Susbanpim), Kursus Banser Pelatih (Suspelat), dan Pendidikan Latihan Kejuruan
(Diklatjur). Tidak hanya itu, Nahdlatul Ulama pun beberapa waktu terakhir memiliki program
prioritas kaderisasi, yaitu Kader Penggerak Ranting. 

Kaderisasi seperti ini diatur karena memiliki beberapa tujuan penting. Pertama, kaderisasi
merupakan keniscayaan karena proses pelatihan akan membuahkan pengetahuan dan
wawasan yang komprehensif. Semakin dini seorang warga Nahdlatul Ulama dikader dan
dilatih, maka semakin dini pula mereka mengetahui tentang bangsa, Ahlussunnah wal
Jama’ah dan Nahdlatul Ulama dan akhirnya semakin banyak wawasan yang diserapnya
dalam rentang kehidupan yang lebih lama. Dengan demikian, proses kaderisasi yang
dilakukan secara berjenjang, terstruktur dan sistematis akan menghasilkan kader yang
berwawasan intelektual, baik wawasan ke-NU-an, wawasan Aswaja, wawasan sosial,
wawasan politik, maupun wawasan kebangsaan.

Kedua, proses pelatihan dalam rangka kaderisasi dapat menumbuhkan militansi. Terlebih
lagi jika proses pelatihan kaderisasi tersebut dilaksanakan sedini mungkin, misalkan ketika
masa anak-anak dan remaja. Ketika masa remaja ini, setiap orang ingin mencari identitas
dirinya sehingga perlu disiapkan dengan baik. Salah satunya dengan cara kaderisasi
dengan pelatihan yang menyenangkan dan menarik sehingga proses internalisasi nilai pun
akan berlangsung secara maksimal. Pada akhirnya, sense of belonging dan militansi
terhadap Nahdlatul Ulama pun akan mengakar kuat. Militansi ini pun menjadi modal kuat
untuk menumbuhkan semangat yang membara, pantang menyerah, loyalitas yang tinggi,
kepedulian yang besar, sikap mempertahankan yang hebat, dan profesionalitas yang
berkualitas.

Ketiga, proses kaderisasi akan menumbuhkan rasa kekeluargaan dan kebersamaan yang
tinggi. Dalam setiap proses kaderisasi selalu menekankan kebersamaan dan perasaan
senasib. Hal ini didasarkan atas persamaan identitas. Ketika proses kaderisasi dilakukan
secara teratur, kontinyu, terstruktur dan sistematis, maka rasa kebersamaan tersebut akan
tinggi. Pada akhirnya, kohesivitas organisasi akan tinggi dan tidak ada egoisme. Selain itu,
juga tidak akan ada penyalahgunaan wewenang dan organisasi.

Keempat, proses kaderisasi yang berjenjang dan teratur yang diprakarsai oleh pengurus,
akan memunculkan rasa saling mengenal dan menghormati. Hal ini yang menyebabkan
mata rantai dan genealogi pemikiran dan organisasi antar generasi dalam Nahdlatul Ulama
dan badan otonomnya tetap terjaga. Lebih penting lagi bahwa saling mengenal tersebut
bertujuan untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling menghormati, yang pada
akhirnya etika internal organisasi pun tercipta. Jika etika internal organisasi tercipta, maka
etika terhadap eksternal organisasi pun akan mengikuti. Etika ini penting karena dalam
tradisi Nahdlatul Ulama, dikenal tentang adab dan etika yang merupakan suatu komponen
dalam menumbuhkan moderatisme berorganisasi. Ketika etika sudah tercipta, maka “junior”
tidak merasa digurui dan dapat bersikap santun, begitu juga “senior” tidak akan menggurui
dan dapat bersikap menyayangi.
Dengan demikian, kaderisasi bukan hanya suatu proses untuk mencari kader sebanyak-
banyaknya, tetapi juga merupakan suatu proses pembelajaran dan penempaan diri, etik,
dan intelektualitas sehingga kaderisasi dapat membuahkan kualitas yang maksimal.
Sedemikian pentingnya, kaderisasi ini menjadi tema yang paling dinikmati, termasuk dalam
event Musyawarah Kaum Muda NU tersebut. Dalam acara tersebut, banyak kaum muda
NU yang menyampaikan keluhannya, misalkan adanya beberapa pengurus NU yang tidak
paham badan otonom NU, adanya oknum NU yang hanya menggunakan NU sebagai
tunggangan politik, adanya pengurus NU yang kurang militan, kebingungan mengenai
mekanisme dan teknis pasca kaderisasi, tidak adanya prinsip the right man on the
right place, kurang sinerginya beberapa badan otonom-lembaga-lajnah dalam proses
kaderisasi, yang kesemuanya itu bermuara pada satu hal, yaitu belum maksimalnya proses
kaderisasi dalam tubuh NU. Maka tak heran, dalam event Musyawarah Besar Kaum Muda
NU tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi untuk memperbaiki kaderisasi. Misalkan,
menambahkan persyaratan pengurus NU harus sudah melaksanakan beberapa jenjang
kaderisasi badan otonom, bukan hanya “sudah aktif di NU sekurang-kurangnya dua atau
tiga tahun”.

Rekonstruksi kaderisasi ini pun menjadi action plan yang penting. Ke depan, setiap badan
otonom harus berlomba dalam merapikan dan merestrukturisasi proses kaderisasi ini lagi.
Terlebih lagi, sebelum mencapai Nahdlatul Ulama, dalam setiap badan otonom terdapat
pembatasan usia. Nahdlatul Ulama pun dituntut untuk memberdayakan human
recources yang dimilikinya dengan proses kaderisasi melalui badan otonomnya, tentu saja
dengan proses kaderisasi yang grounded, benar-benar dari bawah, terstruktur, berjenjang,
sistematis, dan kontinyu. Maka dari itu, kesadaran berorganisasi pada warga Nahdlatul
‘Ulama harus semakin dipupuk, agar dapat mendorong dirinya sendiri atau bahkan putra
putrinya dan saudaranya untuk meneruskan estafet perjuangan Nahdlatul Ulama dengan
berorganisasi Nahdlatul Ulama. Selain itu, sinergitas Nahdlatul ‘Ulama dengan badan
otonom juga penting dalam proses kaderisasi, misalkan Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyah
(RMI) membantu pendirian komisariat IPNU IPPNU di pesantren, Lembaga Pendidikan
Ma’arif mmebantu pendirian komisariat IPNU IPPNU di sekolah-sekolah, sehingga proses
kaderisasi berjalan tidak hanya pada lingkup badan otonom saja, namun juga pada lingkup
lembaga dan lajnah NU. Pasca kaderisasi pun juga penting, bahwa setiap kader yang
dihasilkan, segera untuk diikutsertakan dan dididik dalam berorganisasi dan berkegiatan
agar tidak lepas. Dengan demikian, kontinuitas dan kesinambungan proses kaderisasi
tersebut tidak hanya menghasilkan kader yang berkuantitas, namun juga berkualitas dalam
kesantunan, moderatisme, genealogi pemikiran, militansi, sense of belonging, pantang
menyerah, keluasan dan keluwesan wawasan.
* Wakil Sekretaris PW IPNU Jawa Tengah, Sekretaris Lakpesdam PCNU Klaten)

Tangerang Selatan, NU Online


Komitmen kebangsaan kaum ulama-santri NU kuat karena memiliki sanad yang jelas.
Sanad yang dimaksud tidak hanya sanad dalam keturunan biologis, melainkan sanad atau
ketersambungan dalam keilmuan, ibadah dan yang telah terbukti dalam sejarah adalah
sanad perjuangan membela bangsa dan negara. Karena itu untuk melemahkan semangat
juang santri adalah dengan memutus tali sanad tersebut.
Kembali menengok sejerah perjuangan kaum satri dan pesantren sebagai basis
pergerakannya. Penjajah berusaha keras bagaimana kelompok santri ini melemah. Salah
satunya dengan mengubah sistem dan memutus sanad-sanad tersebut.

Uraian tersebut dijelaskan oleh Wakil Sekjen PBNU, KH Abdul Mun’in Dz dalam
kesempatan Diskusi Islam dan Kebangsaan di Islam Nusantara Center, Ciputat, Tangerang
Selatan, Banten, Rabu (22/2) bersama Zainul Milal Bizawie.

Kiai Mun’im mengatakan, pemutusan sanad itu dilakukan di segala bidang. Dalam
keilmuan, penjajah melakukan perombakan, pemisahan bidang-bidang ilmu. 

“Ilmu-ilmu itu tidak hanya ganti nama, tapi juga ganti filosofi, ganti paradigma. Seperti
zoologi, biologi, geografi, botani yang diajarkan mulai SD sampai perguruan tinggi itu sudah
disterilkan. Dari agama dan dari kepentingan nasional,” ujarnya.

Jadi ilmu harus netral, tidak boleh mengabdi agama. Sampai orde baru, diobjektifkan
dipisahkan dari misi keagamaan. Ilmu sudah tidak me-nusantara. Ilmu mengabdi
kepentingan kapitalisme global. Keterputusan lain yang lebih parah lagi terjadi dalam
bidang harakah atau ideologi perjuangan.

“Jadi kita membela NKRI hanya karena kita orang Indonesia, mau nggak mau kita harus
memperjuangkan sebagai tempat hidup kita. Bukan berangkat konsekuensi logis dari ajaran
Ahlussunnah wal Jamaah yang mengharuskan gerakan untuk membela tanah air,” papar
Kiai Mun’im.

Perjuangan santri jika dirunut ke belakang sebenarnya sampai pada perjuangan awal
ulama-ulama Nusantara, tapi mengalami keterputusan. Mun’im mengutip perkataan
Douwes Dekker, Kalau tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama nasionalisme
(kebangsaan) yang sebenarnya lenyap dari Negeri ini.

“Kenapa seperti itu, hanya kalangan santrilah yang masih punya semangat kebangsaan. Di
luar itu adalah didikan Belanda,” jelasnya. (Red: Fathoni)

Anda mungkin juga menyukai