A. Definisi
Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi seseorang. Imobilitas didefinisikan secara luas sebagai
tingkat aktivitas yang kurang dari mobilitas normal. Imobilitas dan intoleran aktivitas sering sekali terjadi pada lansia. Sebagian besar
lansia mengalami imobilitas dengan bermacam-macam penyebab. Seperti tingkat aktivitas yang kurang dari mobilitas optimal.
Imobilitas, intoleransi aktivitas, dan sindrom dissue sering terjadi pada lansia. Diagnosis keperawatan hambatan mobilitas fisik, potensial
sindrom disuse, dan intoleransi aktivitas memberikan definisi imobilitas yang lebih luas.
Immobility (imobilisasi) adalah keadaan tidak bergerak / tirah baring (bed rest) selama 3 hari atau lebih. Kondisi ini sering dijumpai
pada lansia akibat penyakit yang dideritanya seperti infeksi yang berat, kanker, selain akibat penyakit yang diderita, imobilisasi juga
sering ditemukan pada lansia yang “dikekang” untuk melakukan segalanya sendiri oleh keluarga yang merawatnya, sehingga ia hanya
tidur dan duduk, atau juga ditemukan pada lansia yang “manja”. Banyak gangguan yang dapat ditimbulkan akibat imobilisasi seperti
ulkus dekubitus (koreng pada punggung karena luka tekan dan sulit disembuhkan) dan ulkus-ulkus di permukaan tubuh lainnya,
trombosis vena (bekuan darah pada pembuluh darah balik) yang dapat menyumbat aliran darah (emboli) pada paru-paru yang berujung
pada kematian mendadak.
Gangguan mobilitas fisik (imobilisasi) didefinisikan oleh North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) sebagai
suatu keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalamni keterbatasan gerak fisik. (Kim et al, 1995)
Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan di mana seseorang tidak dapat bergerak secara bebas karena kondisi yang
mengganggu pergerakan (aktivitas), misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan
sebagainya. (Hidayat, 2009)
Perubahan dalam tingkat mobilitas fisik dapat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah baring, pembatasan
gerak fisik selama penggunaan alat bantu eksternal (mis. Gips atau traksi rangka), pembebasan gerak volunter, atau kehilangan fungsi
motorik. (Potter & Perry, 2005)
B. Patofisiologi
Gangguan muskuloskeletal
Gangguan kardiovaskular
Gangguan sistem respirasi
Imobilisasi
B1 B2 B3 B4 B5 B6
1. Gangguan muskuloskeletal
a. Osteoporosis (kondisi saat kualitas kepadatan tulang menurun. Kondisi ini membuat tulang menjadi keropos dan rentan
retak. Osteoporosis umumnya baru diketahui setelah ditemukan retak pada tulang, setelah pasien mengalami jatuh ringan)
b. Atrofi
c. Kontraktur ( kelainan atau “pemendekan permanen” dari otot atau sendi yang terjadi saat jaringan lunak di bawah kulit
berkurang kelenturannya dan tidak dapat meregang. Kondisi ini juga dapat mengenai tendon dan ligamen, dan dapat terjadi di
seluruh bagian tubuh)
d. Kekakuan sendi
2. Gangguan kardiovaskular
a. Hipotensi postural (penurunan tekanan darah sebanyak 20mmHg dari posisi baring ke duduk dengan salah satu gejala klinik
yang sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop)
b. Vasodilatasi vena (dilakukan dengan pembuangan napas (ekspirasi) paksa dengan menutup bibir dan menutup hidung. Hal ini
akan mendesak udara untuk masuk ke telinga dalam ketika saluran Eustachi terbuka)
c. Peningkatan penggunaan valsava manuver
3. Gangguan sistem respirasi
a. Penurunan gerak pernapasan
b. Bertambahnya sekresi paru
c. Atelektasis (merupakan kondisi tidak berfungsinya paru-paru karena halangan pada bronkus (jalur udara menuju paru-paru) atau
pada bronkiolus (jalur udara yang lebih kecil))
Diagnosa Klasifikasi dan kriteria diagnosis delirium dapat berdasarkan DSM V (Diagnosis and Statistical Manual of Mental
Disorders, 5th edition). Kriteria DSM V tahun 2013 tidak berbeda dengan pada DSM IV-TR tahun 2000. DSM V mengklasifikasi
a) Gangguan kesadaran (berupa penurunan kejernihan kesadaran terhadap lingkungan) dengan penurunan kemampuan fokus,
b) Gangguan berkembang dalam periode singkat (biasanya beberapa jam hingga hari) dan cenderung berfluktuasi dalam
perjalanannya.
c) Perubahan kognitif (seperti defisit memori, disorientasi, gangguan bahasa) atau perkembangan gangguan persepsi yang tidak
d) Gangguan pada kriteria (a) dan (c) tidak disebabkan oleh gangguan neurokognitif lain yang telah ada, ter bentuk ataupun
sedang berkembang dan tidak timbul pada kondisi penurunan tingkat kesadaran berat, seperti koma.
e) Temuan bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau laboratorium yang mengindikasikan gangguan terjadi akibat konsekuensi
fisiologik langsung suatu kondisi medik umum, intoksikasi atau penghentian substansi (seperti penyalahgunaan obat atau
pengobatan), pemaparan terhadap toksin, atau karena etiologi multipel. Suatu algoritma dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis sindrom delirium yang dikenal dengan Confusion Assessment Method (CAM). Algoritma tersebut telah divalidasi,
sehingga dapat digunakan untuk penegakan diagnosis. CAM ditambah uji status mental lain dapat dipakai sebagai baku emas
94-100% dan spesifi sitas 90-95%, dan tingkat reliabilitas inter-observer tinggi apabila digunakan oleh tenaga terlatih. Uji status
mental lain yang sudah lazim dikenalantara lain Mini-mental Status Examination (MMSE), Delirium Rating Scale, Delirium
Symptom Interview. Kombinasi pemeriksaan tersebut dapat dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit oleh tenaga kesehatan terlatih,
Kesembuhan total dari delirium merupakan hal yang mungkin jika sindrom tersebut diidentifikasi dengan benar dan penyebabnya
ditangani dengan cepat dan efektif. Umumnya diperlukan waktu satu hingga empat minggu untuk kesembuhan
sepenuhnya;diperlukan waktu lebih lama bagi pasien lanjut usia dibanding pada pasien yang lebih muda. Meskipun demikian, jika
kondisi yang menyebabkannya tidak ditangani, otak dapat mengalami kerusakan permanen dan pasien akhirnya meninggal.
resko delirium seperti kurang tidur, imobilitas, dehidrasi, kelemahan penglihatan dan pendengaran, dan kelemahan kognitif (Inouye
dkk., 1999).
2. Memberikan pendidikan kepada keluarga pasien demensia untuk simtom-simtom delirium dan mengetahui bahwa ganguan
tersebut dapat dipulihkan. Hal ini penting karena mereka kemungkinan menginterpretasi terjadinya delirium sebagai suatu tahap
demensia progresif
2. Nausea-vomitus
3. Innanition
4. Batuk produktif
5. Imobilisasi