Anda di halaman 1dari 17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Mekanisme koping

2.1.1 Definisi Koping

Koping merupakan suatu proses kognitif dan tingkah laku bertujuan untuk mengurangi

perasaan tertekan yang muncul ketika menghadapi situasi stres (Rubbyana, 2012). Mutoharoh,

(2010) mendefinisikan coping sebagai upaya untuk mengatur, memenuhi kebutuhan dan

mengatasi masalah yang bersifat menantang, mengancam, membahayakan, merugikan, atau

menguntungkan seseorang.

Koping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang

diterima tubuh dan beban tersebut menimbulkan respon tubuh yang sifatnya nonspesifik yaitu

stres. Apabila mekanisme koping ini berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap

perubahan atau beban tersebut (Ahyar, 2010).

Mekanisme koping diartikan sebagai proses atau cara untuk mengelola dan mengolah

tekanan psikis (baik secara eksternal maupun internal) yang terdiri atas usaha baik tindakan nyata

maupun tindakan dalam bentuk intrapsikis seperti peredaman emosi, pengolahan input dalam

kognitif (Hasan & Rufaidah, 2013). Mekanisme koping juga didefinisikan sebagai suatu proses

tertentu yang disertai dengan suatu usaha dalam rangka merubah domain kognitif dan atau perilaku

secara konstan untuk mengatur dan mengendalikan tuntutan dan tekanan eksternal maupun internal

yang diprediksi akan dapat membebani dan melampaui kemampuan dan ketahanan individu

bersangkutan (Rubbyana, 2012). Mekanisme koping melibatkan kemampuan-kemampuan khas

manusia seperti pikiran, perasaan, pemrosesan informasi, proses belajar, mengingat dan

1
sebagainya. Strategi koping tujuannya untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan atau tekanan

baik dari dalam maupun dari luar (Hasan & Rufaidah, 2013).

Coping berasal dari kata cope yang bermakna harafiah pengatasan atau penanggulangan.

Istilah coping merupakan istilah jamak dalam psikologi maka penggunaan istilah tersebut

dipertahankan dan langsung diserap ke dalam bahasa Indonesia untuk membantu memahami

bahwa koping tidak sesederhana makna harafiahnya (Rubbyana, 2012). Strategi koping bukan

tindakan yang diambil individu dalam satu waktu namun lebih tepatnya suatu set dari respon yang

terjadi tiap waktu dimana lingkungan dan individu saling mempengaruhi (Taylor, 2012).

Mekanisme koping didefinisikan sebagai proses tertentu yang disertai usaha mengubah

domain kognitif dan atau prilaku secara konstan untuk mengendalikan tuntutan dan tekanan

eksternal atau internal yang diprediksi akan dapat membebani dan melampaui kemampuan

ketahanan individu. Koping sangat multidimensi dan fleksibel pada individu terutama ketika

berhadapan pada situasi dan keadaan yang menyebabkan mereka mengambil tindakan untuk

mengatasi dan memodifikasi strategi yang sesuai (Aldwin, et al, 2010).

2.1.2. Jenis Mekanisme koping

Taylor, (2012) membagi mekanisme koping dalam dua kategori:

1. Direct action (strategi koping yang berfokus pada masalah problem focused coping) yaitu

segala tindakan yang diusahakan individu untuk mengatasi atau menanggulangi stres yang

langsung diarahkan pada penyebab stres atau stresor.

Palliation (strategi koping yang berfokus pada emosi emotional focused coping), perilaku

kategori ini merupakan suatu usaha yang diarahkan untuk mengatasi, mengurangi, atau

menghilangkan ketegangan emosional yang timbul dari situasi stres, atau bertahan terhadap

tekanan emosi negatif yang dirasakan akibat masalah yang dihadapi.

2
Jenis mekanisme koping yang berfokus pada masalah mencakup tindakan secara langsung

untuk mengatasi masalah atau mencari informasi yang relevan dengan solusi yaitu (Mutoharoh,

2010; Taylor, 2012):

1. Konfrontasi, jenis ini memiliki ciri dengan usaha untuk mengubah situasi atau keadaan. Jenis

ini juga disebut strategi active coping karena ada penekanan pada tindakan aktif individu

untuk mencoba mengatasi masalah maupun untuk mengurangi dampak dari masalah tersebut.

Perencanaan masalah, menggambarkan pertimbangan, usaha-usaha yang difokuskan pada

masalah untuk mencari jalan keluar. Jenis ini melibatkan usaha memikirkan, menyusun

rencana strategi tindakan dan langkah yang akan diambil, serta kemungkinan berhasilnya

usaha tersebut.

Mencari dukungan sosial berupa bantuan, merupakan usaha mencari dukungan sosial berupa

nasehat, informasi, atau bantuan yang diharapkan agar membantu individu memecahkan

masalah dan mengatasi stresor yang dihadapi. Jenis ini memiliki ciri khas yaitu usaha untuk

memperoleh informasi dari orang lain.

Penekanan kegiatan lain (suppression of competiting activities), mencakup usaha membatasi

ruang gerak atau aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan masalah. Hal ini dilakukan

agar perhatian individu sepenuhnya tercurah untuk mengatasi stres.

Penundaan perilaku mengatasi stres (restraint coping), adalah usaha mengatasi masalah dengan

tidak melakukan tindakan apapun sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak.

Mekanisme koping yang berfokus pada emosi merujuk pada berbagai upaya untuk

mengurangi berbagai reaksi emosional negatif terhadap stres yaitu (Mutoharoh, 2010; Taylor,

2012):

3
1. Penerimaan, menggambarkan penerimaan akan keadaan. Penerimaan diharapkan terjadi

dalam keadaan dimana stresor merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan bukan hal

yang mudah diubah.

Menjaga jarak, menggambarkan usaha-usaha untuk melepaskan atau memisahkan diri dari

keadaan yang penuh stres

Kontrol diri, menggambarkan usaha-usaha untuk mengatur perasaan atau diri sendiri.

Mekanisme koping ini lebih mengarahkan usahanya untuk mengendalikan emosi-emosi yang

tidak menyenangkan daripada menghadapi sumber stres itu sendiri secara langsung

Penghindaran, menggambarkan akan harapan atau usaha untuk lari atau menghindari dari situasi.

Mekanisme koping ini kadang-kadang muncul sebagai suatu respon terhadap stresor dan

terjadi pada penilaian awal. Penghindaran akan berguna pada tahap awal menghadapi stres

namun akan menyulitkan mekanisme koping pada tahap selanjutnya.

Kembali ke agama, individu mencari pegangan pada agama saat ia mengalami stres.

Penilaian positif, usaha-usaha untuk menemukan arti positif dalam pengalaman yang terjadi.

Individu secara emosional dapat lebih tenang dan berpikir jernih sehingga dapat meneruskan

atau memulai kembali tindakan mekanisme koping yang terarah pada masalah secara aktif.

Penggunaan dalam menentukan mekanisme koping yang paling banyak atau sering

digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan tingkat stres dari suatu kondisi atau

masalah yang dialaminya (Rahmayanti, 2010). Mekanisme koping berorientasi pada masalah lebih

sering dilakukan pada masalah yang dianggap dapat diubah sedangkan pada masalah yang tidak

dapat diubah lebih menggunakan mekanisme koping berorientasi emosi (Mutoharoh, 2010).

Mekanisme koping berfokus pada emosi lebih mengarah kepada mekanisme koping yang

lebih buruk dibandingkan mekanisme koping berfokus masalah karena penyelesaian masalah

4
dengan Mekanisme koping berfokus emosi biasanya bertahan sementara waktu saja karena

sifatnya hanya menghindari bukan menyelesaikan masalah (Taylor, 2012). Mekanisme koping

yang baik akan menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan

perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan mekanisme koping yang buruk berakhir dengan

maladaptif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri

sendiri maupun orang lain atau lingkungan (Hasan & Rufaidah, 2013).

Mekanisme koping berfokus emosi terutama marah yang termasuk ke mekanisme koping

yang buruk berhubungan secara signifikan dengan tingginya angka agresivitas pada populasi

(Taylor, 2012). Individu berusaha segera mengurangi dampak stresor dengan menyangkal adanya

stresor atau menarik diri dari situasi pada mekanisme koping yang berfokus pada emosi.

Penyangkalan dapat membahayakan diri terutama bila penyangkalan tersebut membuat orang

menghindar dari atau tidak mematuhi aturan yang berlaku. Individu yang memiliki pengaruh

negatif lebih cenderung akan menghindar dan menjadi peminum berat, depresi, atau bahkan

melakukan bunuh diri (Mutoharoh, 2010).

Carver,et.al (1989) dalam Madonna, 2014 mengemukakan suatu penelitiannya bahwa

terdapat empat jenis mekanisme koping sebagai berikut:

a. Active coping yaitu upaya yang bersifat aktif untuk mengatasi sumber stres dengan

melakukan perencanaan dan tindakan langsung.

b. Acceptance coping yaitu upaya yang bersifat pasif dalam menghadapi sumber stres seperti

dapat menerima kenyataan dan memandang suatu hal dari sisi positif.

c. Emotional focused coping yaitu upaya untuk mengatasi tekanan psikologis dengan

mengeluarkan emosi dan mencari dukungan secara emosional.

5
d. Avoidance coping yaitu menghindari sumber stres dengan menghentikan upaya sumber

stres, tidak menerima kenyataan dan melarikan diri dari masalah (Mutoharoh, 2010 ).

2.1.3. Faktor – faktor yang mempengaruhi penggunaan mekanisme koping

a. Harapan akan self-efficacy, harapan akan self-efficacy berkenaan dengan harapan

terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang kita hadapi, harapan terhadap

kemampuan diri untuk menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri

untuk dapat menghasilkan perubahan hidup (Mutoharoh, 2010).

b. Dukungan sosial, individu dengan dukungan sosial yang tinggi akan mengalami stres

yang rendah ketika mengalami stres, dan mereka akan mengatasi stres atau melakukan strategi

koping yang lebih baik (Taylor, 2012).

c. Optimisme, pikiran yang optimis dapat menghadapi suatu masalah lebih efektif

dibandingkan pikiran yang pesimis berdasarkan cara individu melihat suatu ancaman. Individu

dengan pikiran optimis akan melihat masalah sebagai sesuatu hal yang harus dihadapi sehingga

mereka memilih menyelesaikan masalah yang ada (Mutoharoh, 2010).

d. Pendidikan, tingkat pendidikan individu memberikan kesempatan yang lebih banyak

terhadap diterimanya pengetahuan baru (Mutoharoh, 2010).

e. Jenis kelamin, terdapat perbedaan mekanisme koping antara laki-laki dan perempuan.

Anak laki-laki sering menunjukkan perilaku-perilaku yang kita anggap sulit yaitu gembira

berlebihan dan kadang-kadang melakukan kegiatan fisik yang agresif, menentang, menolak

otoritas. Perempuan diberi penghargaan atas sensitivitas, kelembutan, dan perasaan kasih

(Mutoharoh, 2010).

Pemilihan mekanisme koping dipengaruhi oleh penilaian kognitif terhadap stresor atau

penilaian primer. Individu menetapkan mekanisme koping yang dirasakan efektif untuk mengatasi

6
situasi yang dirasakan mengancam melalui identifikasi terhadap sumber daya yang dimilikinya.

Keberhasilan dari mekanisme koping yang digunakan akan menentukan derajat stres yang

dirasakan. Penggunaan jenis mekanisme koping dinyatakan efektif bila dapat mengatasi sumber

stres (Madonna, 2014).

Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya

individu yang meliputi kesehatan fisik atau energi, ketrampilan mengatasi masalah, ketrampilan

sosial dan dukungan sosial serta materi.

A.Kesehatan fisik.

Kesehatan merupakan hal yang penting dalam usaha mengatasi stress, individu dituntut untuk

mengerahkan tenaga yang cukup besar.

B. Keyakinan atau pandangan positif.

Ketrampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi,

mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan, kemudian

mempertimbangkan alternative tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada

akhirnya melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

2.1.4 Mekanisme Koping pada Lansia

Cara lanjut usia mengatasi keluhan terhadap masalah kesehatannya bersifat individual.

Setiap lanjut usia memiliki caranya sendiri. Upaya mengatasi masalah yang dihadapi dikenal

dengan istilah koping. Koping didefinisikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan seseorang

untuk mengatasi stressor baik dari dalam diri maupun dari lingkungannya (Stuart, 1998).

Dari penelitian Astuti dan Fitriyani (2002) tentang mekanisme koping pada Lansia

terhadap penurunan fungsi gerak, didapatkan bahwa usia tidak menentukan jenis koping yang

7
dipilih oleh responden. Sebagian besar responden menggunakan koping yang adaptif,

sedangkan koping maladaptif digunakan oleh 30,43% responden untuk koping kontrol diri;

13,04% responden untuk koping penanggulangan peristiwa dan 63,04% untuk koping

pengingkaran. Namun ketiga koping tersebut juga dapat diterapkan secara adaptif, misalnya

untuk koping kontrol diri beberapa lansia menggunakan koping ini kadang-kadang secara

adaptif dan juga maladaptif. Sebagian besar yaitu 82,61% responden menggunakan kontrol diri

secara adaptif; sedangkan 60,87% dan 54,35% responden menggunakan koping

penanggulangan peristiwa dan pengingkaran secara adaptif. Lansia yang sudah jompo (85-89

tahun) hanya melakukan koping konfrontasi, dukungan sosial, kontrol diri yang adaptif dan

pengingkaran yang adaptif. Hal ini menunjukkan kepasrahan lansia terhadap yang dialaminya

sehingga ia menerima keadaan dirinya tanpa melakukan perlawanan yang optimal. Selanjutnya,

perbedaan yang nyata dalam penerapan koping tampak pada jenis kelamin. Sebagian besar

responden wanita berupaya untuk melawan kondisi penurunan fungsi gerak: 47,83% responden

wanita menggunakan koping konfrontasi yaitu upaya yang digunakan untuk mengubah situasi

tertentu dan 36,96% menggunakan koping dukungan sosial yaitu dengan mencari rasa aman

secara emosional dan informasi pada orang lain. Berbeda dengan responden pria hanya 21,7%

responden yang menggunakan konfrontasi dan 17,39% yang menggunakan dukungan sosial.

Hal ini disebabkan karena umumnya pria akan berusaha untuk menutupi rasa sakit yang

dideritanya agar tetap tampak kuat. Hal ini ditambah pula dengan data bahwa hanya 15,22%

responden pria dibandingkan dengan 39,13% responden wanita yang tidak melakukan upaya

pengingkaran yaitu dengan berusaha untuk mengatasi keadaan dirinya dengan makan, minum

atau berobat. Penggunaan koping oleh para responden juga dapat dilihat berdasarkan status

pernikahan. Lansia pria yang hidup tanpa pasangan (duda), dalam penelitian ini (3 orang) hanya

8
memilih koping konfrontasi, kontrol diri yang adaptif pengingkaran yang maladaptif sebanyak

6,52%. Sementara itu jenis koping yang lain hanya digunakan oleh 1 orang lansia. Responden

wanita yang hidup tanpa pasangan menunjukkan pilihan yang signifikan berbeda dengan lawan

jenisnya. Setiap jenis koping dalam penelitian digunakan oleh responden dan konfrontasi

merupakan koping yang banyak dipilih oleh lansia janda (30,43%). Sebaliknya penanggulangan

peristiwa yang adaptif hanya dipilih oleh satu orang lansia. Sementara itu, para lansia yang

masih hidup dengan pasangannya tampak lebih optimal menghadapi keadaan dirinya yaitu

dengan melakukan berbagai koping yang adaptif. Kontrol diri yang adaptif paling banyak

digunakan yaitu 43,48%, sebaliknya penanggulangan peristiwa yang maladaptif hanya dipilih

oleh 19,57% lansia. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurang termotivasinya lansia mencari

informasi tentang kesehatan bagi diri mereka. Penggunaan koping berdasarkan agama tidak

ditelaah karena hanya ada 1 responden yang beragama Kristen, selebihnya beragama Islam.

Lansia yang memiliki koping adaptif ditunjukan dengan kemampan berbicara dengan

orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang, dan

aktivitas konstruktif (Stuart dan Sundeen, 2011). Sedangkan mekanisme koping maladaptif

merupakan respon individu yang dapat meyebabkan disfungsi secara personal, sosial, maupun

dalam pekerjaan respon koping maladaptif seperti merasa terasingkan, ketergantungan, dan

kurang percaya diri yang dapat mengakibatkan lansia cepat marah, berdiam diri dan menarik

diri, akibatnya tubuh menjadi rentan (Gunawan, 2013). Penelitian Noni (2013) mendapatkan

data bahwa 59,7% lansia mempunyai mekanisme koping maladaptif (banyak tidur, melamun,

hanya terpaku atau diam, tidak mampu menyelesaikan masalah).

2.1.5. Instrumen Way of Coping

9
Strategi koping diukur dengan dengan menggunakan skala Way of Coping Lazarus yang sudah

dimodifikasi dalam bahasa Indonesia dan sudah digunakan dalam penelitian. Responden

dikategorikan ke dalam kelompok problem focused coping (PFC) dan emotion focused coping

(EFC). Skala ini merupakan jenis pertanyaan tertutup bila jawaban selalu skor 4, sering skor 3,

kadang-kadang skor 2, tidak pernah skor 1. Pernyataan ini berlaku untuk pernyataan favorable

(pernyataan positif), sedangkan untuk pernyataan unfavorable yaitu tidak pernah skor 4,

kadang-kadang skor 3, sesuai sering skor 2, selalu skor 1 (Halim, 2014).

Koping PFC = skor PFC> skor EFC, koping EFC jika skor EFC> skor PFC. PFC dikategorikan

sebagai strategi koping yang baik sedangkan EFC dikategorikan sebagai strategi koping yang

buruk. Nilai reliabilitas skala ini sebesar 0,89 sehingga dapat digunakan dan memiliki hasil nilai

validitas yang memuaskan karena nilai Cronbach’s alpha lebih dari 0,7 (Halim, 2014).).

2.2 Lanjut Usia (Lansia)

2.2.1 Pengertian Lanjut Usia (Lansia)

Lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (UU No.13 tahun 1998 tentang

kesejahteraan lansia). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan

untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-

lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi

(Kemenkes RI, 2014).

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi

Anna Keliat, 1999 dalam Buku Siti Maryam, et.al, 2008). Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2),

(3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang

yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, et.al, 2008: 32).

10
Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan

yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu

mengalami banyak perubahan baik fisik maupun mental, khususnya kemunduran berbagai fungsi

dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses

penuaan normal, seperti rambut mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya

ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi integritas

orang usia lanjut. Lansia juga harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial,

serta perpisahan dengan orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi

yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).

2.2.2 Penggolongan Lansia

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4, yaitu:

1. Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun

2. Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun

3. Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun

4. Lansia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

Departemen Kesehatan RI, membagi lansia menjadi:

a. Kelompok menjelang usia lanjut (masa vibrilitas ) (45-54 tahun)

b. Kelompok usia lanjut (presenium ) (55-64 tahun)

c. Kelompok usia lanjut (senium ) (> 65 tahun)

2.2.3 Ciri-ciri Lansia.

Menurut Hurlock (Hurlock, 1980) terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut usia,yaitu:

a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran

11
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Kemunduran

dapat berdampak pada psikologis lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam

kemunduran pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi

yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan lama

terjadi.

b. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas

Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak

menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang

jelek terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti: lansia lebih senang

mempertahankan pendapatnya dari pada mendengarkan pendapat orang lain.

c. Menua membutuhkan perubahan peran

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala

hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas

dasar tekanan dari lingkungan.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia cenderung mengembangkan

konsep diri yang buruk. Lansia lebih memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena

perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.

2.3 Kualitas Hidup (Quality of Life)

2.3.1Pengertian Kualitas Hidup (Quality of Life)

Kualitas hidup adalah sasaran utama yang ingin dicapai di bidang pembangunan sehingga

kualitas hidup ini sejalan dengan tingkat kesejahteraan. Diharapkan semakin sejahtera maka

kualitas hidup semakin tinggi. Kualitas hidup ini salah satunya dipengaruhi oleh derajat kesehatan.

12
Semakin tinggi derajat kesehatan seseorang maka kualitas hidup juga semakin tinggi (Nursalam,

2013).

Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka dalam

kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka hidup dan dalam kaitannya

dengan tujuan, harapan standar dan perhatian mereka (Kemenkes,2007).

The World Health Organization Quality Of Life atau WHOQOL Group (1997)

mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu terhadap kehidupannya di masyarakat

dalam konteks budaya dan sistem nilai yang ada yang terkait dengan tujuan, harapan, standar, dan

juga perhatian. Kualitas hidup dalam hal ini merupakan suatu konsep yang sangat luas yang

dipengaruhi kondisi fisik individu, psikologis, tingkat kemandirian, serta hubungan individu

dengan lingkungan (Netuveli dan Blane, 2008).

Segala potensi yang dimiliki oleh lansia bisa dijaga, dipelihara, dirawat dan dipertahankan

bahkan diaktualisasikan untuk mencapai kualitas hidup lansia yang optimal (Optimum Aging).

Kualitas hidup lansia yang optimal bisa diartikan sebagai kondisi fungsional lansia berada pada

kondisi maksimum atau optimal, sehingga memungkinkan mereka bisa menikmati masa tuanya

dengan penuh makna, membahagiakan, berguna dan berkualitas (Depsos, 2007).

2.3.2 Dimensi Kualitas Hidup

Netuveli dan Blane (2008) menjelaskan ada 2 dimensi kualitas hidup yaitu objektif dan

subjektif. Kualitas hidup objektif yaitu berdasarkan pada pengamatan eksternal individu seperti

standar hidup, pendapatan, pendidikan, status kesehatan, umur panjang dan yang terpenting adalah

bagaimana individu dapat mengontrol dan sadar mengarahkan hidupnya. Kualitas hidup dari

dimensi subyektif didasarkan pada respon psikologis individu terhadap kepuasan dan kebahagiaan

13
hidup. Jadi kualitas hidup subjektif adalah sebagai persepsi individu tentang bagaimana suatu

hidup yang baik dirasakan oleh masing-masing individu yang memilikinya.

Kualifikasi kualitas hidup menurut Notoadmodjo (2007) meliputi: a) Kualitas hidup baik

yaitu kualitas hidup yang dimiliki seseorang dengan kebiasaan seperti mengatur pola makan, gaya

hidup yang baik, rutin memeriksakan kesehatan dan rajin mengikuti program penyuluhan dari

pemerintah, b) Kualitas hidup buruk merupakan kualitas hidup yang dimiliki seseorang dengan

kebiasaan yang dapat meningkatkan risiko paparan penyakit.

2.3.3. Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup Lansia

Kualitas hidup lanjut usia merupakan suatu komponen yang kompleks, mencakup usia

harapan hidup, kepuasan dalam kehidupan, kesehatan psikologis dan mental, fungsi kognitif,

kesehatan dan fungsi fisik, pendapatan, kondisi tempat tinggal, dukungan sosial dan jaringan sosial

(Sutikno 2011) Kualitas hidup pada lanjut usia menggambarkan fase kehidupan yang dimasuki

lanjut usia. Kualitas hidup individu yang satu dengan yang lain akan berbeda, hal itu tergantung

pada definisi atau interpretasi masing-masing individu tentang kualitas hidup yang baik. Kualitas

hidup yang tinggi menggambarkan bahwa individu memasuki fase integritas dalam tahap akhir

hidupnya, begitu juga dengan kualitas hidup yang rendah berdampak pada keputusasaan yang

dialami oleh lanjut usia. kualitas hidup juga berkaitan erat dengan kebahagiaan, kepuasan hidup

dan kesejahteraan subjektif yang saling berhubungan satu dan lainnya. Kualitas hidup juga

dikaitkan dengan lingkungan yang nyaman, usia dan kesehatan individu secara menyeluruh yang

dipandang sebagai komponen dari kualitas hidup (Phillips, 2006).

Gabriel dan Bowling (dalam Netuveli dan Blane, 2008) menjelaskan tentang beberapa

faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Kualitas hidup seseorang dikatakan baik tidak hanya

didapat dari kesehatan akan tetapi ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi. Faktor tersebut

14
antara lain hubungan sosial yang baik dengan anak, keluarga, teman, dan tetangga; faktor

lingkungan sosial ditunjukkan melalui hubungan yang baik dengan tetangga, lingkungan yang

menyenangkan, rumah yang nyaman, dan pelayanan umum yang baik seperti bebas fasilitas

transportasi; faktor psikologi seperti selalu optimis dan sikap positif, berfikir ke arah masa depan,

penerimaan dan mekanisme koping yang lain; aktif dalam kegiatan sosial; kondisi keuangan yang

aman; dan tidak tergantung pada orang lain. Jenis kelamin dapat mempengaruhi kualitas hidup

seseorang. Hasil penelitian yang menunjukkan kualitas hidup buruk didominasi oleh lansia

perempuan. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan gender. Secara kodrati seorang istri lebih

tergantung kepada suami baik dari sisi ekonomi maupun fisik. Dengan hidup sendiri maka

perempuan mempunyai peran ganda dan tidak ada tempat untuk berbagi.

Papalia (2008) mengatakan lansia perempuan yang sudah mengalami menopouse dimana

kadar estrogen dan progesteron turun. Penurunan kadar estrogen dan progesteron akibatnya mudah

marah, sulit tidur, gelisah, rasa khawatir, sulit konsentrasi, nyeri otot sendi, sehingga berdampak

psikologis lansia. Hasil penelitian diperoleh data bahwa dari 26 lansia perempuan sebanyak (58%)

sering memiliki perasaan negatif dan (65%) sering bergantung dengan obat-obatan.

Penelitian Nawi (2010) yang menyebutkan bahwa lansia perempuan cenderung memiliki

kualitas hidup lebih buruk dibandingkan laki-laki. Didukung pula dengan hasil penelitan Nofiri

(2009) kualitas hidup laki-laki cenderung lebih baik daripada kualitas hidup perempuan. Pasangan

hidup mempunyai fungsi sebagai suporting dalam berbagai hal seperti emosi dan keuangan.

Kehilangan pasangan hidup merupakan tantangan emosional yang harus dihadapi oleh lajut usia.

Hurlock (2004) menyatakan bahwa penyesuaian terhadap kematian pasangan atau perceraian

merupakan hal yang sangat sulit bagi lanjut usia. Dewi, et al, (2007) menyatakan bahwa janda dan

duda lebih rentan untuk mengalami depresi dibanding pasien geriatri dengan status menikah.

15
2.4 Hubungan Antara Mekanisme Koping dan Kualitas Hidup Lansia

Semakin bertambah usia pada lansia, akan berkurang pula kesibukan sosialnya, dan itu

mengakibatkan berkurangnya integrasi dengan lingkungan yang berdampak pada kebahagiaan,

kesepian, dan kebosanan seseorang yang disebabkan oleh rasa tidak diperlukan (Nugroho, 2008).

Gambaran kualitas hidup yang buruk pada lansia dapat ditunjukan dalam aktivitas sehari-hari

seperti ketergantungan obat-obatan dan bantuan medis, keterbatasan dalam melakukan mobilisasi,

ketidaknyamanan, perasaan negatif, sumber finansial, dan tidak mau bersosialisali dengan

masyarakat (Sekarwiri, 2008).

Koping terbagi menjadi dua yaitu koping adaptif dan maladaptif. Koping adaptif ditunjukkan

dengan kemampuan berkomunikasi yang baik dan memecahkan masalah secara efektif. Sedangkan

koping maladaptif ditunjukan dengan rasa percaya diri kurang sehingga mengakibatkan lanjut usia

menjadi cepat marah, menarik diri, akibatnya tubuh menjadi rentan dan mengalami penurunan

kualitas hidup (Stuart dan Sundeen, 2011). Hasil penelitian Handayani dan Agustina (2017)

tentang mekanisme koping pada lansia yang ditinggalkan keluarganya, ditemukan bahwa koping

maladaptif yang dimiliki lansia terlihat pada rasa putus asa (78%), tidak mau bersosialisasi (27%),

selalu pasrah dengan masalah yang dihadapi (61%) dan lebih suka menangis untuk

mengungkapkan perasaan (61%). Koping maladaptif yang terjadi pada lanjut usia dapat berisiko

menyebabkan gangguan tidur dan kecemasan. Koping maladaptif lanjut usia terjadi karena

berkurangnya support system dari keluarga. Lanjut usia yang tidak mendapatkan dukungan atau

perawatan dari keluarga menyebabkan lanjut usia sulit mempertahankan kesehatannya (Halawa,

2014).

16
Kualitas hidup adalah ukuran kebahagiaan dan mempunyai lima aspek yaitu: merasa senang
dengan aktivitas yang dilakukan sehari-hari, menganggap hidupnya penuh arti dan menerima
dengan tulus kondisi hidupnya, mempunyai citra diri yang positif, mempunyai sikap hidup yang
optimis dan suasana hati yang bahagia (Tambariki, 2012). Permasalahan psikologis yang tidak
tertangani menyebabkan lansia mengalami kesepian lansia yang kesepian dalam jangka waktu
lama akan menyebabkan perubahan koping yang maladaptif (Maryam, 2008). Hasil penelitian
ditemukan bahwa sebanyak 54% lanjut usia mempunyai koping maladaptif. Koping maladaptif
yang dimiliki lansia ditunjukkan dengan mudah marah, lanjut usia menangis untuk mengeluarkan
perasaan. Lanjut usia dengan koping maladaptif akan mempengaruhi tujuan hidup. Lansia dengan
koping maladaptif (61%) memiliki perasaan negatif seperti kesepian, putus asa, cemas dan depresi,
selain itu juga (31%) lansia mengatakan tidak berarti hidupnya. Perasaan pasrah dan putus asa
akan mempengaruhi semangat dan motivasi dalam beraktivitas bahkan dapat mempengaruhi
timbulnya permasalahan kesehatan. Seperti (64%) tidak puas dengan tidurnya, (43%) tidak puas
dengan aktivitas merasa kesehatannya sangat buruk. Ketidakpuasan lansia terhadap tidur dan sehat
itu akibatnya akan mempengaruhi kualitas hidup lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
lansia yang mempunyai koping maladaptif 89,5% mempunyai kualitas hidup buruk dan responden
yang mempunyai koping adaptif sebanyak 71,4% mempunyai kualitas hidup yang baik. Hasil
analisis menggunakan uji chi-square diperoleh Pvalue (0,000) <α (0,05) dan nilai OR sebesar 21,5
sehingga bahwa koping maladaptive lanjut usia saat ditinggal keluarga berisiko menurunkan
kualitas hidup lansia (Handayani dan Agustina, 2017).

17

Anda mungkin juga menyukai