KAJIAN PUSTAKA
Koping merupakan suatu proses kognitif dan tingkah laku bertujuan untuk mengurangi
perasaan tertekan yang muncul ketika menghadapi situasi stres (Rubbyana, 2012). Mutoharoh,
(2010) mendefinisikan coping sebagai upaya untuk mengatur, memenuhi kebutuhan dan
menguntungkan seseorang.
Koping adalah mekanisme untuk mengatasi perubahan yang dihadapi atau beban yang
diterima tubuh dan beban tersebut menimbulkan respon tubuh yang sifatnya nonspesifik yaitu
stres. Apabila mekanisme koping ini berhasil, seseorang akan dapat beradaptasi terhadap
Mekanisme koping diartikan sebagai proses atau cara untuk mengelola dan mengolah
tekanan psikis (baik secara eksternal maupun internal) yang terdiri atas usaha baik tindakan nyata
maupun tindakan dalam bentuk intrapsikis seperti peredaman emosi, pengolahan input dalam
kognitif (Hasan & Rufaidah, 2013). Mekanisme koping juga didefinisikan sebagai suatu proses
tertentu yang disertai dengan suatu usaha dalam rangka merubah domain kognitif dan atau perilaku
secara konstan untuk mengatur dan mengendalikan tuntutan dan tekanan eksternal maupun internal
yang diprediksi akan dapat membebani dan melampaui kemampuan dan ketahanan individu
manusia seperti pikiran, perasaan, pemrosesan informasi, proses belajar, mengingat dan
1
sebagainya. Strategi koping tujuannya untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan atau tekanan
baik dari dalam maupun dari luar (Hasan & Rufaidah, 2013).
Coping berasal dari kata cope yang bermakna harafiah pengatasan atau penanggulangan.
Istilah coping merupakan istilah jamak dalam psikologi maka penggunaan istilah tersebut
dipertahankan dan langsung diserap ke dalam bahasa Indonesia untuk membantu memahami
bahwa koping tidak sesederhana makna harafiahnya (Rubbyana, 2012). Strategi koping bukan
tindakan yang diambil individu dalam satu waktu namun lebih tepatnya suatu set dari respon yang
terjadi tiap waktu dimana lingkungan dan individu saling mempengaruhi (Taylor, 2012).
Mekanisme koping didefinisikan sebagai proses tertentu yang disertai usaha mengubah
domain kognitif dan atau prilaku secara konstan untuk mengendalikan tuntutan dan tekanan
eksternal atau internal yang diprediksi akan dapat membebani dan melampaui kemampuan
ketahanan individu. Koping sangat multidimensi dan fleksibel pada individu terutama ketika
berhadapan pada situasi dan keadaan yang menyebabkan mereka mengambil tindakan untuk
1. Direct action (strategi koping yang berfokus pada masalah problem focused coping) yaitu
segala tindakan yang diusahakan individu untuk mengatasi atau menanggulangi stres yang
Palliation (strategi koping yang berfokus pada emosi emotional focused coping), perilaku
kategori ini merupakan suatu usaha yang diarahkan untuk mengatasi, mengurangi, atau
menghilangkan ketegangan emosional yang timbul dari situasi stres, atau bertahan terhadap
2
Jenis mekanisme koping yang berfokus pada masalah mencakup tindakan secara langsung
untuk mengatasi masalah atau mencari informasi yang relevan dengan solusi yaitu (Mutoharoh,
1. Konfrontasi, jenis ini memiliki ciri dengan usaha untuk mengubah situasi atau keadaan. Jenis
ini juga disebut strategi active coping karena ada penekanan pada tindakan aktif individu
untuk mencoba mengatasi masalah maupun untuk mengurangi dampak dari masalah tersebut.
masalah untuk mencari jalan keluar. Jenis ini melibatkan usaha memikirkan, menyusun
rencana strategi tindakan dan langkah yang akan diambil, serta kemungkinan berhasilnya
usaha tersebut.
Mencari dukungan sosial berupa bantuan, merupakan usaha mencari dukungan sosial berupa
nasehat, informasi, atau bantuan yang diharapkan agar membantu individu memecahkan
masalah dan mengatasi stresor yang dihadapi. Jenis ini memiliki ciri khas yaitu usaha untuk
ruang gerak atau aktivitas lain yang tidak berhubungan dengan masalah. Hal ini dilakukan
Penundaan perilaku mengatasi stres (restraint coping), adalah usaha mengatasi masalah dengan
tidak melakukan tindakan apapun sampai ada kesempatan yang tepat untuk bertindak.
Mekanisme koping yang berfokus pada emosi merujuk pada berbagai upaya untuk
mengurangi berbagai reaksi emosional negatif terhadap stres yaitu (Mutoharoh, 2010; Taylor,
2012):
3
1. Penerimaan, menggambarkan penerimaan akan keadaan. Penerimaan diharapkan terjadi
dalam keadaan dimana stresor merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari dan bukan hal
Menjaga jarak, menggambarkan usaha-usaha untuk melepaskan atau memisahkan diri dari
Kontrol diri, menggambarkan usaha-usaha untuk mengatur perasaan atau diri sendiri.
Mekanisme koping ini lebih mengarahkan usahanya untuk mengendalikan emosi-emosi yang
tidak menyenangkan daripada menghadapi sumber stres itu sendiri secara langsung
Penghindaran, menggambarkan akan harapan atau usaha untuk lari atau menghindari dari situasi.
Mekanisme koping ini kadang-kadang muncul sebagai suatu respon terhadap stresor dan
terjadi pada penilaian awal. Penghindaran akan berguna pada tahap awal menghadapi stres
Kembali ke agama, individu mencari pegangan pada agama saat ia mengalami stres.
Penilaian positif, usaha-usaha untuk menemukan arti positif dalam pengalaman yang terjadi.
Individu secara emosional dapat lebih tenang dan berpikir jernih sehingga dapat meneruskan
atau memulai kembali tindakan mekanisme koping yang terarah pada masalah secara aktif.
Penggunaan dalam menentukan mekanisme koping yang paling banyak atau sering
digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan tingkat stres dari suatu kondisi atau
masalah yang dialaminya (Rahmayanti, 2010). Mekanisme koping berorientasi pada masalah lebih
sering dilakukan pada masalah yang dianggap dapat diubah sedangkan pada masalah yang tidak
dapat diubah lebih menggunakan mekanisme koping berorientasi emosi (Mutoharoh, 2010).
Mekanisme koping berfokus pada emosi lebih mengarah kepada mekanisme koping yang
lebih buruk dibandingkan mekanisme koping berfokus masalah karena penyelesaian masalah
4
dengan Mekanisme koping berfokus emosi biasanya bertahan sementara waktu saja karena
sifatnya hanya menghindari bukan menyelesaikan masalah (Taylor, 2012). Mekanisme koping
yang baik akan menghasilkan adaptasi yang menetap yang merupakan kebiasaan baru dan
perbaikan dari situasi yang lama, sedangkan mekanisme koping yang buruk berakhir dengan
maladaptif yaitu perilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri
sendiri maupun orang lain atau lingkungan (Hasan & Rufaidah, 2013).
Mekanisme koping berfokus emosi terutama marah yang termasuk ke mekanisme koping
yang buruk berhubungan secara signifikan dengan tingginya angka agresivitas pada populasi
(Taylor, 2012). Individu berusaha segera mengurangi dampak stresor dengan menyangkal adanya
stresor atau menarik diri dari situasi pada mekanisme koping yang berfokus pada emosi.
Penyangkalan dapat membahayakan diri terutama bila penyangkalan tersebut membuat orang
menghindar dari atau tidak mematuhi aturan yang berlaku. Individu yang memiliki pengaruh
negatif lebih cenderung akan menghindar dan menjadi peminum berat, depresi, atau bahkan
a. Active coping yaitu upaya yang bersifat aktif untuk mengatasi sumber stres dengan
b. Acceptance coping yaitu upaya yang bersifat pasif dalam menghadapi sumber stres seperti
dapat menerima kenyataan dan memandang suatu hal dari sisi positif.
c. Emotional focused coping yaitu upaya untuk mengatasi tekanan psikologis dengan
5
d. Avoidance coping yaitu menghindari sumber stres dengan menghentikan upaya sumber
stres, tidak menerima kenyataan dan melarikan diri dari masalah (Mutoharoh, 2010 ).
terhadap kemampuan diri dalam mengatasi tantangan yang kita hadapi, harapan terhadap
kemampuan diri untuk menampilkan tingkah laku terampil, dan harapan terhadap kemampuan diri
b. Dukungan sosial, individu dengan dukungan sosial yang tinggi akan mengalami stres
yang rendah ketika mengalami stres, dan mereka akan mengatasi stres atau melakukan strategi
c. Optimisme, pikiran yang optimis dapat menghadapi suatu masalah lebih efektif
dibandingkan pikiran yang pesimis berdasarkan cara individu melihat suatu ancaman. Individu
dengan pikiran optimis akan melihat masalah sebagai sesuatu hal yang harus dihadapi sehingga
e. Jenis kelamin, terdapat perbedaan mekanisme koping antara laki-laki dan perempuan.
Anak laki-laki sering menunjukkan perilaku-perilaku yang kita anggap sulit yaitu gembira
berlebihan dan kadang-kadang melakukan kegiatan fisik yang agresif, menentang, menolak
otoritas. Perempuan diberi penghargaan atas sensitivitas, kelembutan, dan perasaan kasih
(Mutoharoh, 2010).
Pemilihan mekanisme koping dipengaruhi oleh penilaian kognitif terhadap stresor atau
penilaian primer. Individu menetapkan mekanisme koping yang dirasakan efektif untuk mengatasi
6
situasi yang dirasakan mengancam melalui identifikasi terhadap sumber daya yang dimilikinya.
Keberhasilan dari mekanisme koping yang digunakan akan menentukan derajat stres yang
dirasakan. Penggunaan jenis mekanisme koping dinyatakan efektif bila dapat mengatasi sumber
Cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya
individu yang meliputi kesehatan fisik atau energi, ketrampilan mengatasi masalah, ketrampilan
A.Kesehatan fisik.
Kesehatan merupakan hal yang penting dalam usaha mengatasi stress, individu dituntut untuk
mempertimbangkan alternative tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada
Cara lanjut usia mengatasi keluhan terhadap masalah kesehatannya bersifat individual.
Setiap lanjut usia memiliki caranya sendiri. Upaya mengatasi masalah yang dihadapi dikenal
dengan istilah koping. Koping didefinisikan sebagai upaya-upaya yang dilakukan seseorang
untuk mengatasi stressor baik dari dalam diri maupun dari lingkungannya (Stuart, 1998).
Dari penelitian Astuti dan Fitriyani (2002) tentang mekanisme koping pada Lansia
terhadap penurunan fungsi gerak, didapatkan bahwa usia tidak menentukan jenis koping yang
7
dipilih oleh responden. Sebagian besar responden menggunakan koping yang adaptif,
sedangkan koping maladaptif digunakan oleh 30,43% responden untuk koping kontrol diri;
13,04% responden untuk koping penanggulangan peristiwa dan 63,04% untuk koping
pengingkaran. Namun ketiga koping tersebut juga dapat diterapkan secara adaptif, misalnya
untuk koping kontrol diri beberapa lansia menggunakan koping ini kadang-kadang secara
adaptif dan juga maladaptif. Sebagian besar yaitu 82,61% responden menggunakan kontrol diri
penanggulangan peristiwa dan pengingkaran secara adaptif. Lansia yang sudah jompo (85-89
tahun) hanya melakukan koping konfrontasi, dukungan sosial, kontrol diri yang adaptif dan
pengingkaran yang adaptif. Hal ini menunjukkan kepasrahan lansia terhadap yang dialaminya
sehingga ia menerima keadaan dirinya tanpa melakukan perlawanan yang optimal. Selanjutnya,
perbedaan yang nyata dalam penerapan koping tampak pada jenis kelamin. Sebagian besar
responden wanita berupaya untuk melawan kondisi penurunan fungsi gerak: 47,83% responden
wanita menggunakan koping konfrontasi yaitu upaya yang digunakan untuk mengubah situasi
tertentu dan 36,96% menggunakan koping dukungan sosial yaitu dengan mencari rasa aman
secara emosional dan informasi pada orang lain. Berbeda dengan responden pria hanya 21,7%
responden yang menggunakan konfrontasi dan 17,39% yang menggunakan dukungan sosial.
Hal ini disebabkan karena umumnya pria akan berusaha untuk menutupi rasa sakit yang
dideritanya agar tetap tampak kuat. Hal ini ditambah pula dengan data bahwa hanya 15,22%
responden pria dibandingkan dengan 39,13% responden wanita yang tidak melakukan upaya
pengingkaran yaitu dengan berusaha untuk mengatasi keadaan dirinya dengan makan, minum
atau berobat. Penggunaan koping oleh para responden juga dapat dilihat berdasarkan status
pernikahan. Lansia pria yang hidup tanpa pasangan (duda), dalam penelitian ini (3 orang) hanya
8
memilih koping konfrontasi, kontrol diri yang adaptif pengingkaran yang maladaptif sebanyak
6,52%. Sementara itu jenis koping yang lain hanya digunakan oleh 1 orang lansia. Responden
wanita yang hidup tanpa pasangan menunjukkan pilihan yang signifikan berbeda dengan lawan
jenisnya. Setiap jenis koping dalam penelitian digunakan oleh responden dan konfrontasi
merupakan koping yang banyak dipilih oleh lansia janda (30,43%). Sebaliknya penanggulangan
peristiwa yang adaptif hanya dipilih oleh satu orang lansia. Sementara itu, para lansia yang
masih hidup dengan pasangannya tampak lebih optimal menghadapi keadaan dirinya yaitu
dengan melakukan berbagai koping yang adaptif. Kontrol diri yang adaptif paling banyak
digunakan yaitu 43,48%, sebaliknya penanggulangan peristiwa yang maladaptif hanya dipilih
oleh 19,57% lansia. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurang termotivasinya lansia mencari
informasi tentang kesehatan bagi diri mereka. Penggunaan koping berdasarkan agama tidak
ditelaah karena hanya ada 1 responden yang beragama Kristen, selebihnya beragama Islam.
Lansia yang memiliki koping adaptif ditunjukan dengan kemampan berbicara dengan
orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang, dan
aktivitas konstruktif (Stuart dan Sundeen, 2011). Sedangkan mekanisme koping maladaptif
merupakan respon individu yang dapat meyebabkan disfungsi secara personal, sosial, maupun
dalam pekerjaan respon koping maladaptif seperti merasa terasingkan, ketergantungan, dan
kurang percaya diri yang dapat mengakibatkan lansia cepat marah, berdiam diri dan menarik
diri, akibatnya tubuh menjadi rentan (Gunawan, 2013). Penelitian Noni (2013) mendapatkan
data bahwa 59,7% lansia mempunyai mekanisme koping maladaptif (banyak tidur, melamun,
9
Strategi koping diukur dengan dengan menggunakan skala Way of Coping Lazarus yang sudah
dimodifikasi dalam bahasa Indonesia dan sudah digunakan dalam penelitian. Responden
dikategorikan ke dalam kelompok problem focused coping (PFC) dan emotion focused coping
(EFC). Skala ini merupakan jenis pertanyaan tertutup bila jawaban selalu skor 4, sering skor 3,
kadang-kadang skor 2, tidak pernah skor 1. Pernyataan ini berlaku untuk pernyataan favorable
(pernyataan positif), sedangkan untuk pernyataan unfavorable yaitu tidak pernah skor 4,
Koping PFC = skor PFC> skor EFC, koping EFC jika skor EFC> skor PFC. PFC dikategorikan
sebagai strategi koping yang baik sedangkan EFC dikategorikan sebagai strategi koping yang
buruk. Nilai reliabilitas skala ini sebesar 0,89 sehingga dapat digunakan dan memiliki hasil nilai
validitas yang memuaskan karena nilai Cronbach’s alpha lebih dari 0,7 (Halim, 2014).).
Lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas (UU No.13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan lansia). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan
untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-
lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi
Anna Keliat, 1999 dalam Buku Siti Maryam, et.al, 2008). Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2),
(3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang
yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, et.al, 2008: 32).
10
Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan
yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu
mengalami banyak perubahan baik fisik maupun mental, khususnya kemunduran berbagai fungsi
dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses
penuaan normal, seperti rambut mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya
ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman bagi integritas
orang usia lanjut. Lansia juga harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial,
serta perpisahan dengan orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi
yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).
Menurut Hurlock (Hurlock, 1980) terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut usia,yaitu:
11
Kemunduran pada lansia sebagian datang dari faktor fisik dan faktor psikologis. Kemunduran
dapat berdampak pada psikologis lansia. Motivasi memiliki peran yang penting dalam
kemunduran pada lansia. Kemunduran pada lansia semakin cepat apabila memiliki motivasi
yang rendah, sebaliknya jika memiliki motivasi yang kuat maka kemunduran itu akan lama
terjadi.
Lansia memiliki status kelompok minoritas karena sebagai akibat dari sikap sosial yang tidak
menyenangkan terhadap orang lanjut usia dan diperkuat oleh pendapat-pendapat klise yang
jelek terhadap lansia. Pendapat-pendapat klise itu seperti: lansia lebih senang
Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai mengalami kemunduran dalam segala
hal. Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri bukan atas
Perlakuan yang buruk terhadap orang lanjut usia membuat lansia cenderung mengembangkan
konsep diri yang buruk. Lansia lebih memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Karena
perlakuan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia menjadi buruk.
Kualitas hidup adalah sasaran utama yang ingin dicapai di bidang pembangunan sehingga
kualitas hidup ini sejalan dengan tingkat kesejahteraan. Diharapkan semakin sejahtera maka
kualitas hidup semakin tinggi. Kualitas hidup ini salah satunya dipengaruhi oleh derajat kesehatan.
12
Semakin tinggi derajat kesehatan seseorang maka kualitas hidup juga semakin tinggi (Nursalam,
2013).
Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka dalam
kehidupan dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka hidup dan dalam kaitannya
The World Health Organization Quality Of Life atau WHOQOL Group (1997)
dalam konteks budaya dan sistem nilai yang ada yang terkait dengan tujuan, harapan, standar, dan
juga perhatian. Kualitas hidup dalam hal ini merupakan suatu konsep yang sangat luas yang
dipengaruhi kondisi fisik individu, psikologis, tingkat kemandirian, serta hubungan individu
Segala potensi yang dimiliki oleh lansia bisa dijaga, dipelihara, dirawat dan dipertahankan
bahkan diaktualisasikan untuk mencapai kualitas hidup lansia yang optimal (Optimum Aging).
Kualitas hidup lansia yang optimal bisa diartikan sebagai kondisi fungsional lansia berada pada
kondisi maksimum atau optimal, sehingga memungkinkan mereka bisa menikmati masa tuanya
Netuveli dan Blane (2008) menjelaskan ada 2 dimensi kualitas hidup yaitu objektif dan
subjektif. Kualitas hidup objektif yaitu berdasarkan pada pengamatan eksternal individu seperti
standar hidup, pendapatan, pendidikan, status kesehatan, umur panjang dan yang terpenting adalah
bagaimana individu dapat mengontrol dan sadar mengarahkan hidupnya. Kualitas hidup dari
dimensi subyektif didasarkan pada respon psikologis individu terhadap kepuasan dan kebahagiaan
13
hidup. Jadi kualitas hidup subjektif adalah sebagai persepsi individu tentang bagaimana suatu
Kualifikasi kualitas hidup menurut Notoadmodjo (2007) meliputi: a) Kualitas hidup baik
yaitu kualitas hidup yang dimiliki seseorang dengan kebiasaan seperti mengatur pola makan, gaya
hidup yang baik, rutin memeriksakan kesehatan dan rajin mengikuti program penyuluhan dari
pemerintah, b) Kualitas hidup buruk merupakan kualitas hidup yang dimiliki seseorang dengan
Kualitas hidup lanjut usia merupakan suatu komponen yang kompleks, mencakup usia
harapan hidup, kepuasan dalam kehidupan, kesehatan psikologis dan mental, fungsi kognitif,
kesehatan dan fungsi fisik, pendapatan, kondisi tempat tinggal, dukungan sosial dan jaringan sosial
(Sutikno 2011) Kualitas hidup pada lanjut usia menggambarkan fase kehidupan yang dimasuki
lanjut usia. Kualitas hidup individu yang satu dengan yang lain akan berbeda, hal itu tergantung
pada definisi atau interpretasi masing-masing individu tentang kualitas hidup yang baik. Kualitas
hidup yang tinggi menggambarkan bahwa individu memasuki fase integritas dalam tahap akhir
hidupnya, begitu juga dengan kualitas hidup yang rendah berdampak pada keputusasaan yang
dialami oleh lanjut usia. kualitas hidup juga berkaitan erat dengan kebahagiaan, kepuasan hidup
dan kesejahteraan subjektif yang saling berhubungan satu dan lainnya. Kualitas hidup juga
dikaitkan dengan lingkungan yang nyaman, usia dan kesehatan individu secara menyeluruh yang
Gabriel dan Bowling (dalam Netuveli dan Blane, 2008) menjelaskan tentang beberapa
faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Kualitas hidup seseorang dikatakan baik tidak hanya
didapat dari kesehatan akan tetapi ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi. Faktor tersebut
14
antara lain hubungan sosial yang baik dengan anak, keluarga, teman, dan tetangga; faktor
lingkungan sosial ditunjukkan melalui hubungan yang baik dengan tetangga, lingkungan yang
menyenangkan, rumah yang nyaman, dan pelayanan umum yang baik seperti bebas fasilitas
transportasi; faktor psikologi seperti selalu optimis dan sikap positif, berfikir ke arah masa depan,
penerimaan dan mekanisme koping yang lain; aktif dalam kegiatan sosial; kondisi keuangan yang
aman; dan tidak tergantung pada orang lain. Jenis kelamin dapat mempengaruhi kualitas hidup
seseorang. Hasil penelitian yang menunjukkan kualitas hidup buruk didominasi oleh lansia
perempuan. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan gender. Secara kodrati seorang istri lebih
tergantung kepada suami baik dari sisi ekonomi maupun fisik. Dengan hidup sendiri maka
perempuan mempunyai peran ganda dan tidak ada tempat untuk berbagi.
Papalia (2008) mengatakan lansia perempuan yang sudah mengalami menopouse dimana
kadar estrogen dan progesteron turun. Penurunan kadar estrogen dan progesteron akibatnya mudah
marah, sulit tidur, gelisah, rasa khawatir, sulit konsentrasi, nyeri otot sendi, sehingga berdampak
psikologis lansia. Hasil penelitian diperoleh data bahwa dari 26 lansia perempuan sebanyak (58%)
sering memiliki perasaan negatif dan (65%) sering bergantung dengan obat-obatan.
Penelitian Nawi (2010) yang menyebutkan bahwa lansia perempuan cenderung memiliki
kualitas hidup lebih buruk dibandingkan laki-laki. Didukung pula dengan hasil penelitan Nofiri
(2009) kualitas hidup laki-laki cenderung lebih baik daripada kualitas hidup perempuan. Pasangan
hidup mempunyai fungsi sebagai suporting dalam berbagai hal seperti emosi dan keuangan.
Kehilangan pasangan hidup merupakan tantangan emosional yang harus dihadapi oleh lajut usia.
Hurlock (2004) menyatakan bahwa penyesuaian terhadap kematian pasangan atau perceraian
merupakan hal yang sangat sulit bagi lanjut usia. Dewi, et al, (2007) menyatakan bahwa janda dan
duda lebih rentan untuk mengalami depresi dibanding pasien geriatri dengan status menikah.
15
2.4 Hubungan Antara Mekanisme Koping dan Kualitas Hidup Lansia
Semakin bertambah usia pada lansia, akan berkurang pula kesibukan sosialnya, dan itu
kesepian, dan kebosanan seseorang yang disebabkan oleh rasa tidak diperlukan (Nugroho, 2008).
Gambaran kualitas hidup yang buruk pada lansia dapat ditunjukan dalam aktivitas sehari-hari
seperti ketergantungan obat-obatan dan bantuan medis, keterbatasan dalam melakukan mobilisasi,
ketidaknyamanan, perasaan negatif, sumber finansial, dan tidak mau bersosialisali dengan
Koping terbagi menjadi dua yaitu koping adaptif dan maladaptif. Koping adaptif ditunjukkan
dengan kemampuan berkomunikasi yang baik dan memecahkan masalah secara efektif. Sedangkan
koping maladaptif ditunjukan dengan rasa percaya diri kurang sehingga mengakibatkan lanjut usia
menjadi cepat marah, menarik diri, akibatnya tubuh menjadi rentan dan mengalami penurunan
kualitas hidup (Stuart dan Sundeen, 2011). Hasil penelitian Handayani dan Agustina (2017)
tentang mekanisme koping pada lansia yang ditinggalkan keluarganya, ditemukan bahwa koping
maladaptif yang dimiliki lansia terlihat pada rasa putus asa (78%), tidak mau bersosialisasi (27%),
selalu pasrah dengan masalah yang dihadapi (61%) dan lebih suka menangis untuk
mengungkapkan perasaan (61%). Koping maladaptif yang terjadi pada lanjut usia dapat berisiko
menyebabkan gangguan tidur dan kecemasan. Koping maladaptif lanjut usia terjadi karena
berkurangnya support system dari keluarga. Lanjut usia yang tidak mendapatkan dukungan atau
perawatan dari keluarga menyebabkan lanjut usia sulit mempertahankan kesehatannya (Halawa,
2014).
16
Kualitas hidup adalah ukuran kebahagiaan dan mempunyai lima aspek yaitu: merasa senang
dengan aktivitas yang dilakukan sehari-hari, menganggap hidupnya penuh arti dan menerima
dengan tulus kondisi hidupnya, mempunyai citra diri yang positif, mempunyai sikap hidup yang
optimis dan suasana hati yang bahagia (Tambariki, 2012). Permasalahan psikologis yang tidak
tertangani menyebabkan lansia mengalami kesepian lansia yang kesepian dalam jangka waktu
lama akan menyebabkan perubahan koping yang maladaptif (Maryam, 2008). Hasil penelitian
ditemukan bahwa sebanyak 54% lanjut usia mempunyai koping maladaptif. Koping maladaptif
yang dimiliki lansia ditunjukkan dengan mudah marah, lanjut usia menangis untuk mengeluarkan
perasaan. Lanjut usia dengan koping maladaptif akan mempengaruhi tujuan hidup. Lansia dengan
koping maladaptif (61%) memiliki perasaan negatif seperti kesepian, putus asa, cemas dan depresi,
selain itu juga (31%) lansia mengatakan tidak berarti hidupnya. Perasaan pasrah dan putus asa
akan mempengaruhi semangat dan motivasi dalam beraktivitas bahkan dapat mempengaruhi
timbulnya permasalahan kesehatan. Seperti (64%) tidak puas dengan tidurnya, (43%) tidak puas
dengan aktivitas merasa kesehatannya sangat buruk. Ketidakpuasan lansia terhadap tidur dan sehat
itu akibatnya akan mempengaruhi kualitas hidup lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
lansia yang mempunyai koping maladaptif 89,5% mempunyai kualitas hidup buruk dan responden
yang mempunyai koping adaptif sebanyak 71,4% mempunyai kualitas hidup yang baik. Hasil
analisis menggunakan uji chi-square diperoleh Pvalue (0,000) <α (0,05) dan nilai OR sebesar 21,5
sehingga bahwa koping maladaptive lanjut usia saat ditinggal keluarga berisiko menurunkan
kualitas hidup lansia (Handayani dan Agustina, 2017).
17