Bahasa mencerminkan identitas suatu bangsa. Dan pula, bahasa pada dasarnya
unik. Bahasa yang satu tentu berbeda dari bahasa yang lain, serta memiliki ciri
khas sendiri sebagai bentuk keunikannya. Begitu pula bahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia juga dinamis, yang berarti terus menghasilkan kosakata baru, baik
melalui penciptaan ataupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing.
Sejarah bahasa Indonesia tidak lepas dari Bahasa Melayu. Ki Hajar Dewantara
pernah mengemukakan gagasannya yang berbunyi: “Yang dinamakan ‘Bahasa
Indonesia’ yaitu bahasa Melayu yang sungguh pun pokoknya berasal dari
‘Melayu Riau’, akan tetapi yang sudah ditambah, diubah atau dikurangi menurut
keperluan zaman dan alam baharu, hingga bahasa itu lalu mudah dipakai oleh
rakyat di seluruh Indonesia; pembaharuan bahasa Melayu hingga menjadi
bahasa Indonesia itu harus dilakukan oleh kaum ahli yang beralam baharu, ialah
alam kebangsaan Indonesia”.
Sejak dulu, bahasa Melayu memang telah digunakan sebagai bahasa perantara
(lingua franca) atau bahasa pergaulan. Bahasa Melayu yang yang menjadi dasar
bahasa Indonesia, sebagian besar mirip dengan dialek-dialek bahasa Melayu
Kuno. Bahkan menurut sejarahnya, kerajaan Sriwijaya, yang dulu merupakan
kerajaan yang maju di wilayah Asia Tenggara menggunakan bahasa Melayu Kuno
sebagai bahasa perantara dengan kerajaan-kerajaan dan negara-negara di
sekitarnya. Pada masa kejayaan kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu telah
berfungsi sebagai:
1. Tulisan yang terdapat pada nisan di Minye Tujoh, Aceh (1380 M).
2. Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang (683).
3. Prasasti Talang Tuo, di Palembang (684).
4. Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat (686).
5. Prasasti Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi (688).
Melalui hasil pemikiran para tokoh pergerakan pada masa penjajahan Belanda
tentang bahasa persatuan yang sangat diperlukan sebagai sarana komunikasi dan
sarana pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, akhirnya dipilih bahasa Melayu
dengan pertimbangan bahwa bahasa Melayu telah dikenal dan dipakai sebagian
besar rakyat Nusantara pada saat itu. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa
nasional merupakan usulan dari Mohammad Yamin, seorang politikus, sastrawan,
dan ahli sejarah.
Moh. Yamin mengatakan bahwa: “Jika mengacu pada masa depan bahasa-
bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang
bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi
dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa
pergaulan atau bahasa persatuan”.
Ada empat faktor yang menyebabkan bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa
Indonesia, yaitu:
Ragam Bahasa.
Sebagai gejala sosial, pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor
kebahasaan, tetapi juga oleh faktor-faktor di luar kebahasaan. Faktor-faktor di luar
kebahasaan yang berpengaruh terhadap pemakaian bahasa antara lain faktor lokasi
geografis, waktu, sosiokultural, dan faktor situasi. Adanya faktor-faktor tersebut
menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam pemakaian bahasa. Perbedaan tersebut
akan tampak dalam segi pelafalan, pemilihan kata, dan penerapan kaidah tata
bahasa. Perbedaan atau varian dalam bahasa yang masing-masing menyerupai
pola umum bahasa induk disebut ragam bahasa. Ragam bahasa yang berhubungan
dengan faktor daerah atau letak geografis atau sering disebut dialek saja. Bahasa
jawa dialek Banyumas berbeda dengan bahasa Jawa dialek Solo walaupun
keduanya satu bahasa. Demikian pula Bahasa Sunda dialek Priangan berbeda
dengan bahasa Sunda dialek Banten, bahasa Melayu dialek Jakarta berbeda
dengan bahasa Melayu dialek Manado dan berbeda pula dengan bahasa Melayu
dialek Deli. Ragam bahasa yang berkaitan dengan perkembangan waktu disebut
kronolek. Misalnya, bahasa Melayu masa kerajaan Sriwijayaberbeda dengan
bahasa Melayu masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsji dan berbeda pula dengan
bahasa Melayu Riau sekarang. Ragam bahasa yang berkaitan dengan golongan
sosial para penuturnya disebut dialek sosial. Faktor-faktor sosial yang
memengaruhi pemakaian bahasa antara lain tingkat pendidikan, usia, dan tingkat
sosial ekonomi. Bahasa golongan buruh, bahasa golongan atas (bangsawan dan
orang-orang berada), dan bahasa golongan menengah (orang-orang terpelajar)
akan memperlihatkan perbedaan. Dalam bidang tata bunyi, misalnya, bunyi /f/ dan
gugus konsonan akhir /-ks/ sering terdapat dalam ujaran kaum yang berpendidikan
seperti pada bentuk fadil, fakultas, film, fitnah, dan kompleks. Bagi orang yang
tidakdapat menikmati pendidikan formal, bentuk-bentuk tersebut sering diucapkan
padil, pakultas, pilm, pitnah, dan komplek. Demikian pula, ungkapan “apanya,
dong?” dan “trims” yang disebut bahasa prokem sering diidentikkan dengan
bahasa anak-anak muda.
Bahasa Indonesia bersifat terbuka dalam hal menyerap kata-kata dari bahasa lain,
baik itu bahasa daerah maupun bahasa asing. Oleh karena itu, bahasa Indonesia
mengalami banyak pembaruan dan penyempurnaan terutama dalam ejaannya.
Perjalanan ejaan yang telah dialami oleh bahasa Indonesia meliputi:
Ejaan Van Ophuijen (1901)
Ejaan Republik ini juga dinamakan ejaan Soewandi yang merupakan Menteri
Pendidikan pada masa ejaan ini diresmikan. Ejaan Republik difungsikan untuk
menggantikan ejaan dan menyempurnakan ejaan sebelumnya, yaitu ejaan Van
Ophuijen. Ciri-ciri ejaan ini, yaitu:
1. Penambahan huruf vokal diftong. Huruf diftong yang pada EYD hanya
tiga yaitu ai, au, oi, pada EBI, huruf diftong ditambah satu yaitu ei seperti
pada kata survei
2. Penggunaan huruf kapital pada julukan
3. Penggunaan huruf tebal pada penulisan lema atau sublema dalam kamus
dihapuskan
Bahasa Indonesia bukanlah bahasa yang mudah dibentuk, melainkan bahasa yang
dalam pembentukannya mengalami perjalanan sejarah yang amat panjan. Ini
merupakan suatu kebanggaan bagi kita yang menggunakannya. Bahasa Indonesia
juga dikenal unik oleh bangsa-bangsa lain. Bayangkan saja, begitu banyaknya
suku di Indonesia, tetapi hanya bahasa Indonesia yang menjadi bahasa
pemersatunya.