Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue

2.1.1 Epidemiologi

Terdapat dua per lima populasi dunia pada negara tropik dan subtropik

beresiko terkena infeksi Dengue. Sekitar 500.000 orang dengan infeksi Dengue

memerlukan rawat inap tiap tahunnya. Asia menempati urutan pertama dalam

jumlah penderita Dengue tiap tahunnya. World Health Organization (WHO)

mencatat Indonesia sebagai negara dengan kasus Dengue tertinggi di Asia

Tenggara. Dengue merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang

penting di Indonesia dan sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan

kematian yang besar. Incidence Rate (IR) tertinggi terdapat di Provinsi DKI

Jakarta, yaitu 313,41 per 100.000 penduduk, sedangkan IR terendah di Provinsi

NTT sebesar 8,44 per 100.000 penduduk. Dari jumlah keseluruhan kasus

tersebut, sekitar 95% terjadi pada anak di bawah 15 tahun (Suwarto 2016).

2.1.2 Patogenesis infeksi Dengue

Patogenesis infeksi Dengue berawal dari Virus Dengue masuk ke dalam

tubuh melalui gigitan nyamuk. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus

Dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel kupffer hepar, endotel pembuluh

darah, nodus limfatikus,sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian

menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini,

dimulai dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan

bantuan organel sel dan membentuk komponen perantara dan komponen

struktur virus. Setelah komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel.

6
Infeksi ini menimbulkan reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus

tersebut tetapi tidak ada cross protective terhadap serotipe virus lainnya. Infeksi

pertama kali mungkin memberi gejala seperti Demam Dengue(DD). Reaksi tubuh

merupakan reaksi yang biasa terlihat pada infeksi oleh virus. Reaksi yang amat

berbeda akan tampak bila seseorang mendapat infeksi berulang dengan tipe

virus Dengue yang berlainan. Re-infeksi ini akan menyebabkan suatu reaksi

anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan konsentrasi kompleks antigen

antibodi (kompleks virus antibodi) yang tinggi (Aryu Candra, 2010).

Terdapatnya komplek virus antibodi dalam sirkulasi darah akan

mengaktivasi sistem komplemen sehingga berakibat pada dilepaskannya zat

anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan meningkatnya permeabilitas

dinding pembuluh darah dan menyebabkan kebocoran plasma melalui endotel

dinding pembuluh darah tersebut, keadaan ini yang amat berperan dalam

terjadinya renjatan. Pada DSS kadar C3 dan C5 menurun masing-masing

sebanyak 33% dan 89%. Terbukti pada saat renjatan terdapat penurunan kadar

komplemen dan dilepaskannya zat anafilatoksin dalam jumlah besar. Walaupun

plasma mengandung inaktivator ampuh terhadap zat anafilatoksin, akan tetapi

C3a dan c5a yang berperan dalam proses terjadinya renjatan telah mendahului

proses inaktivasi tersebut. Anafilaktoksin C3a dan C5a tidak berdaya untuk

melawan histamin dan ini terbukti dengan ditemukannya kadar histamin yang

meningkat dalam air seni 24 jam pada pasien DBD. (Conde, 2017).

Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan Adenosin Difosfat (ADP)

akan mengalami metamorfosis. Trombosit yang mengalami kerusakan

metamorfosis akan dimusnahkan oleh sistem retikuloendotel dengan berakibat

trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan agregasi trombosit sel

7
mast akan melepaskan amin vasoaktif (histamin dan serotonin) yang bersifat

meninggikan permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor III yang

merangsang koagulasi intravaskular. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor

XII) dengan akibat akhir terjadinya pembekuan intravaskular yang meluas. Dalam

proses aktivasi ini, plasminogen akan menjadi plasmin yang berperan dalam

pembentukan anafilatoksin yang menghancurkan fibrin menjadi Fibrin

Degradation Product. Disamping itu aktivasi tersebut akan merangsang system

kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding pembuluh

darah. Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfeksi virus Dengue, akan tetap

infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan

pada saat menggigit dan menghisap darah (Aryu Candra, 2010).

Secara invitro, antibodi terhadap virus Dengue mempunyai 4 fungsi biologis

yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated

cytotoxity (ADCC) dan Antibody Dependent Enhancement (ADE). Berdasarkan

perannya, terdiri dari antibodi netralisasi atau neutralizing antibody yang memiliki

serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non netralising

serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi

yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS (Aryu Candra, 2010).

Ada dua teori pathogenesis infeksi Dengue yaitu:

a) Teori antigen antibodi

Pada Dengue terjadi penurunan kadar komplemen, semakin berat penyakit

tersebut semakin menurun kadar komplemen. Komplemen yang menurun adalah

C3, C3 proaktivator, C4, dan C5. Kadar anafilatoksin meningkat kemudian

menurun pada fase penyembuhan. (Panstruga, 2015). Virus Dengue dianggap

sebagai antigen yang akan bereaksi dengan antibodi kemudian mengaktivasi

8
komplemen, aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin, C3a, dan C5a, yang

merupakan mediator kuat peningkatan permeabilitas kapiler, kemudian terjadi

kebocoran plasma, Virus Dengue di sirkulasi berikatan dengan IgG spesifik

membentuk kompleks imun (lihat gambar 1)(Conde, 2017)

Gambar 1.Patogenesis infeksi dengue teori antigen-antibodi (aktivasi

komplemen) (Conde, 2017)

MAC=membrane attack complex, MBL=mannose binding lectin, sNS1=NS1 dari sel, mNS1=NS1

dari membran

Keterangan:

Ketika virus masuk maka NS1 (glikoprotein) yang di sekresi oleh sel yang terinfeksi akan

mengaktifkan sistem imunitas bawaan yang ada dipermukaan sel endotel, yaitu sistem komplemen,

hasilnya ialah apoptosis sel endotel dan pengeluaran sitokin proinflamasi.

(1) NS1 ada 2 jenis yaitu mNS1 (protein NS1 yang dikeluarkan di membran) dan

sNS1 (dikeluarkan oleh sel yang terinfeksi flavivirus). sNS1 bisa berikatan

dengan permukaan sel yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi. Pada infeksi

sekunder virus Dengue akan terbentuk ikatan IgM dan IgG dengan NS1

selama fase akut, hal ini menyebabkan pembentukan kompleks imun.

9
(2) Kompleks imun tersebut akan memicu respons inflamasi, yaitu aktivasi

komplemen yang menghasilkan zat anafilatoksin C3a dan C5a, opsonin, dan

MAC.

(3) Selain berinteraksi dengan komplemen, NS1 juga berinteraksi dengan protein

regulator komplemen (protein FH). Hal ini mengakibatkan pemecahan c3b

dan MAC. NS1 juga berikatan dengan proC1s/C1s dan C4 yang

menghasilkan peningkatan pemecahan C4 menjadi C4a yang kemudian

dipecah lagi menjadi C4b, C4c, C4d. Adanya kompleks sNS1-C4BP pada

permukaan sel dapat menyebabkan inaktivasi C4b sehingga melindungi sel

yang terinfeksi dari lisis yang dimediasi komplemen. Ikatan NS1-MBL dapat

melindungi virus Dengue dari proses netralisasi.

(4) NS1 juga akan menghambat MAC melalui interaksinya dengan vitronectin

(VN), clusterin, dan protein komplemen terminal C9 (Conde et al., 2017)

b) Teori infection “enhancing Antibody”

Pada teori infection, antibodi yang terbentuk pada infeksi Dengue terdiri

dari IgG yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit,

yaitu enhancing-antibody dan neutralizing-antibody. Pada saat ini dikenal 2 tipe

antibodi yaitu (1) Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat

menetralisasi tetapi memicu replikasi virus, dan (2) Antibodi yang dapat

menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi virus.

Perbedaan ini didasarkan pada adanya virion determinant specificity (Setiawan,

2010).

Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan

menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat

memicu replikasi virus. Teori ini mendasari pendapat bahwa infeksi sekunder

10
virus Dengue oleh serotipe Dengue yang berbeda cenderung menyebabkan

manifestasi berat (Setiawan, 2010). Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya

reaksi imunologis dan berlangsung sebagai berikut:

Gambar 2.Patogenesis infeksi Dengue berdasarkan teori antibody dependent

enhancement(ADE)(Whitehead 2007).

Keterangan:

Antibody dependent enhancement terjadi ketika antibodi yang telah ada akibat infeksi Dengue

sebelumnya berikatan dengan partikel virus yang berbeda serotipe. Antibodi yang telah terbentuk

dari infeksi Dengue yang pertama tidak bisa menetralisir virus. Namun sudah terbentuk komplek

antigen-antibodi melalui reseptor (FcyR) pada monosit. Antibodi tersebut membantu replikasi virus

menjadi lebih efisien. Sehingga terjadilah peningkatan replikasi virus lebih banyak dan resiko

terjadinya Dengue berat menjadi lebih tinggi).

Setelah virus Dengue masuk ke dalam tubuh, pasien akan mengalami

keluhan dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot,

pegal seluruh badan, hiperemi di tenggorokan dan timbulnya ruam dan kelainan

yang mungkin muncul pada sistem retikuloendotelial seperti pembesaran

kelenjar-kelenjar getah bening, hati dan limpa. Ruam pada DBD disebabkan

karena kongesti pembuluh darah dibawah kulit (Yuhong, 2015).

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan

membedakan DD dan DBD ialah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler

11
karena pelepasan zat anafilaktosin, histamin dan serotonin serta aktivasi sistem

kalikrein yang berakibat ekstravasasi cairan intravaskuler. Hal ini berakibat

berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi,

hipoproteinemia, efusi dan renjatan. (Yuhong, 2015)

Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler dibuktikan dengan

ditemukannya cairan dalam rongga serosa, yaitu dalam rongga peritoneum,

pleura dan perikard. Renjatan hipovolemik yang terjadi sebagai akibat kehilangan

plasma bila tidak segera teratasi akan mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis

metabolik dan kematian. Sebab lain kematian pada DBD adalah perdarahan

hebat. Perdarahan umumnya dihubungkan dengan trombositopenia, gangguan

trombosit dan kelainan fungsi trombosit. (Yuhong, 2015).

Fungsi agregasi trombosit menurun mungkin disebabkan proses

imunologis terbukti dengan terdapatnya kompleks imun dalam peredaran darah.

Kelainan sistem koagulasi disebabkan diantaranya oleh kerusakan hati yang

fungsinya memang terbukti terganggu oleh aktifasi sistem koagulasi terutama

pada pasien dengan perdarahan hebat. (Yuhong, 2015).

2.1.3 Manifestasi Klinik

Gambaran klinis yang timbul akibat infeksi Dengue sangat bervariasi

dengan masa inkubasi antara 3-15 hari. Penderita biasanya mengalami demam

akut atau suhu meningkat tiba-tiba, sering disertai menggigil, dan pada saat

demam pasien dalam keadaan Compos Mentis. Gejala klinis lain yang sangat

menonjol adalah terjadinya perdarahan pada saat demam dan tak jarang pula

dijumpai pada saat penderita mulai bebas dari demam. Perdarahan yang terjadi

dapat berupa (Gregg, 2009):

a. Perdarahan pada kulit atau petechie, echimosis, hematom.

12
b. Perdarahan lain seperti epistaksis, hematemesis, hematuri dan melena.

Selain demam dan perdarahan yang merupakan ciri khas DBD,

gambaran klinis lain yang tidak khas dapat dijumpai pada penderita DBD antara

lain :

a. Keluhan pada saluran pernafasan seperti batuk, pilek, sakit pada waktu

menelan.

b. Keluhan pada saluran pencernaan : mual, muntah, anoreksia, diare,

konstipasi.

c. Keluhan sistem tubuh yang lain : nyeri atau sakit kepala, nyeri pada otot

tulang dan sendi, nyeri otot abdomen, nyeri epigastrium, pegal-pegal pada

seluruh tubuh, kemerahan pada kulit, muka, pembengkakan sekitar mata,

lakrimasi dan fotofobia, otot-otot sekitar mata sakit bila disentuh dan

pergerakan bola mata terasa pegal.

Pada hari pertama sakit, penderita panas mendadak secara terus-

menerus dan badan terasa lemah atau lesu. Pada hari kedua atau ketiga akan

timbul bintik-bintik perdarahan, lebam atau ruam pada kulit di muka, dada, lengan

atau kaki dan nyeri ulu hati serta kadang-kadang mimisan, berak darah atau

muntah. Antara hari ketiga sampai ketujuh, panas turun secara tiba-tiba.

Kemungkinan yang selanjutnya adalah penderita sembuh atau keadaan

memburuk yang ditandai dengan gelisah, ujung tangan dan kaki dingin dan

banyak mengeluarkan keringat. Bila keadaan berlanjut, akan terjadi renjatan

(lemah lunglai, denyut nadi lemah atau tidak teraba) kadang kesadarannya

menurun.(Ranjit, 2010).

Adapun menurut WHO 1986 Kriteria klinis infeksi Dengue yaitu :

a. Demam akut yang tetap tinggi selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas

13
b. Manifestasi perdarahan

b. Ditandai dengan: uji bendung positif, petekie, ekimosis, purpura, perdarahan

mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena

c. Pembesaran hati dan nyeri tekan tanpa ikterus

d. Adanya renjatan

e. Ditandai nadi cepat dan lemah sampai tidak teraba, penyempitan tekanan

nadi ( 20 mmHg), hipotensi sampai denyut nadi tidak terukur, kaki dan tangan

dingin, kulit lembab, capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien

tampak gelisah.

f. Kenaikan nilai hematokrit (HCT). Peningkatan nilai HCT>20% dari

pemeriksaan awal atau dari data populasi menurut umur

Gambar 3. Ras Makulopapular pada demam Dengue(Ranjit, 2010).

Menurut Mubin derajat penyakit DBD terbagi empat derajat (Ranjit, 2010):

a. Derajat 1 : Demam disertai gejala tidak khas, hanya terdapat manifestasi

perdarahan (uji tourniquet positif)

b. Derajat II : Seperti derajat I disertai perdarahan spontan dikulit dan

perdarahan lain pada hidung (epistaksis)

c. Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi dengan adanya nadi cepat dan

lemah, tekanan nadi menurun (kurang dari 20 mm/Hg) / hipotensi disertai kulit

dingin dan lembab serta gelisah

14
d. Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah yang

tidak dapat diukur, akral dingin dan akan mengalami syok (Ranjit, 2010).

2.1.4 Poses Penularan

Nyamuk Aedes aegypti maupun Aedes albopictus merupakan vector

penular virus Dengue dari penderita kepada orang lain melalui gigitan. Nyamuk

Aedes aegypti merupakan faktor penting di daerah perkotaan (daerah urban)

sedangkan di daerah pedesaan (daerah rural) kedua jenis spesies nyamuk

Aedes tersebut berperan dalam penularan. Nyamuk Aedes aegypti

berkembangbiak di tempat lembab dan genangan air bersih. Sedangkan Aedes

albopictus berkembangbiak di lubang-lubang pohon dalam potongan bambu,

dalam lipatan daun dan dalam genangan air lainnya (Soedarmo, 2005).

2.2 MIF

2.2.1 Definisi MIF

MIF pertama kali ditemukan pada 1966 dan diketahui terlibat dalam

mekanisme yang mendasari hipersensitivitas tipe lambat. MIF merupakan sitokin

yang berfungsi sebagai mediator penting dalam imunitas alamiah dan memicu

berbagai proses patologis seperti glomerulonephritis, arthritis, sepsis, colitis,

asma, diabetes dan pankreatitis (Rosado, 2011). Penelitian terbaru melaporkan

bahwa ditemukan adanya overekspresi dari MIF pada berbagai tumor termasuk

tumor paru-paru, kolorektal, payudara, prostat, dan kepala-leher. Secara umum,

ekspresi MIF berperan penting dalam progresivitas tumor dengan cara

meregulasi proliferasi dan invasi sel (Soumoy et al., 2019).

MIF disintesis oleh sel epitel, sel endotel dan makrofag (Soumoy et al.,

2019). MIF membantu fungsi fagositosis, penyebaran dan metabolisme

makrofag. MIF juga berperan sebagai mediator inflamasi untuk menstimulasi

15
ekspresi dari berbagai macam sitokin seperti TNF-α, IL-1, IL-6. (Babu et al.,

2012). Peran MIF tidak hanya terbatas pada aktivasi sistem imun saja, namun

MIF juga mampu memicu hiperpermeabilitas kapiler, replikasi virus, adesi dan

koagulasi yang terjadi pada infeksi dengue. (Chuang, 2012).

2.2.2 Struktur MIF

Struktur Gen MIF terletak pada kromosom 22q11.2 dan regulasi gen pada

2 lokasi polimorfik pada regio promoter. Lokasi pertama terdiri dari CATT yang

berulang pada -794 hingga 5-8 kali dimana lokasinya terletak didalam

transcription factor binding pituitary 1 (PIT-1). Lokasi kedua adalah polimorfisme

nukleotida tunggal pada -173 (G/C). lokasi ini berkaitan dengan peningkatan

aktivitas promoter pada beberapa sel kanker.(Xue et al., 2010; Babu et al.,

2012).

Gen ini mengkode 12.5 kDa polipeptida dan protein yang tersusun atas

115 asam amino. MIF merupakan trimer, dan setiap monomer terdiri dari anti-

pararel alfa heliks diantara 4 lembar untaian beta. Struktur kristal menunjukkan

bahwa bentuk aktif MIF berupa 37.5 kDa homotrimer dengan lipatan protein

baru. MIF memiliki aktivitas tautomerase dan aktivitas oksireduktase dependen

CALC aktivitas tautomerase menjadikan MIF mampu untuk mengkatalisasi D-

dopachrome atau L-dopachrome terhadap derivatnya. Residu proline ditemukan

pada N terminal dan memediasi aktivitas tautomerase ini. MIF dapat melakukan

aksinya melalui berbagai jalur termasuk kompleks reseptor CD74/CD44, CXCR4

dan CXCR2. (Babu et al., 2012).

Adapun salah satu reseptor MIF yang telah teridentifikasi adalah CD74.

Aktivasi seluler yang diinduksi MIF, dimediasi oleh Mitogen Activated Protein

Kinase (MAPK) dan faktor transkripsi, aktivator protein 1 (AP-1) sehingga MIF

16
menghasilkan sinyal melalui aktivasi reseptor dependen MAPK dengan berikatan

dengan CD74. Penelitian oleh Bernhagen dkk melaporkan reseptor kemokin

CXCR2 dan CXCR4 sebagai reseptor fungsional MIF (Bernhagen et al., 2007).

MIF memicu penghentian integrin, kemotaksis monosit melalui CXCR2 atau

CXCR4 juga CXCR2 dan CD74 membentuk kompleks reseptor. Penelitian

terbaru mengenai jalur sinyal MIF menemukan potensi kontribusi MIF pada

strategi terapi baru untuk penyakit inflamasi / imun (Kasama et al., 2010).

Gambar 4. Struktur makrofag migration inhibitory factor (Babu et al., 2012).

2.2.3 Sumber dan Induksi MIF

Berbagai populasi sel telah dilaporkan mengekspresikan dan mensekresi

MIF, termasuk limfosit T, makrofag / monosit, sel endotel, eosinofil, sel

polimornonuklear neutrofil (PMN), sel epitel, sel otot polos, fibroblas sinovial dan

sel pituitari anterior yang menunjukkan bahwa MIF terlibat dalam berbagai proses

fisiologis dan patofisiologis. Sifat alamiah pleiotropik dari sitokin ini nampak

dalam berbagai mekanisme seperti aktivasi sinyal mitogen-activated protein

kinase (MAPK), regulasi naik dari mediator proinflamasi, kontra regulasi dari

glukokortikoid endogen dan inhibisi dari apoptosis (Kasama et al., 2010).

Molekul proinflamasi TNF-α, IL-5, IFN-γ, transforming growth factor β,

dan lipopolysaccharide(LPS) kesemuanya telah terbukti mampu menstimulasi

17
ekspresi mRNA MIF dan sekresi protein. Nampak pula bahwa produk aktivasi

komplemen C5a memicu pelepasan MIF dari sel PMN in vitro selama sepsis.

Stimulasi Toll-like receptor 4(TLR4) diketahui juga mampu menginduksi sekresi

MIF dimana TLR2 dan TLR4 diekpresikan secara berlebih pada jaringan sinovial

pasien reumatoid artritis (Kasama et al., 2010). Paiva dkk melaporkan bahwa

produksi MIF oleh makrofag melalui pengenalan kompleks imun dan MIF yang

disekresikan berperan sebagai penguat autokrin/parakrin dari produksi TNF

(Paiva et al., 2009).

2.2.4. Aktifitas Biologi MIF

a. Aktivitas kemotaktik

Untuk pertama kalinya MIF diidentifikasikan sebagai inhibitor migrasi

makrofag, induksi pergerakan leukosit, adhesi dan transmigrasi LPS serta

mediator inflamatorik lainnya berkurang pada MIF hewan uji tikus. Serupa

dengan itu, blokade atau deplesi MIF menurunkan akumulasi leukosit pada

model penelitian infeksi/endotoksemia, artritis dan aterogenesis. Bagaimanapun

juga MIF jelas nampak menginduksi adhesi dan migrasi sel keturunan monosit

pada venula postkapiler dan fungsi tersebut dimediasi oleh kemokin CCL2 (MCP-

1) yang diinduksi pada sel endotel oleh MIF itu sendiri. Sebagai tambahan,

ekspresi dan sekresi MIF oleh sel otot polos vaskuler mengalami peningkatan

saat sel terstimulasi oleh lipoprotein densitas rendah teroksidasi dan MIF

rekombinan juga meningkatkan migrasi sel otot polos vaskuler. Hal ini

menunjukkan bahwa MIF berperan sebagai fungsi autokrin dan parakrin untuk

memodulasi migrasi sel otot polos vaskuler dan dapat berkaitan dengan

perkembangan lesi selama aterogenesis (Okamoto et al., 2008; Kasama et al.,

2010).

18
MIF juga menginduksi kemotaksis pada fibroblas dan sel endotel,serta

menstimulasi migrasi sel T. Sebagai tambahan, interaksi leukosit-sel endotel

yang diinduksi oleh liposakarida juga dipicu oleh MIF endogen. Cheng dkk

menunjukkan bahwa MIF endogen memicu pengambilan leukosit melalui efek

terhadap ekspresi endotel dari beberapa molekul adhesi termasuk selectin,

intercellular adhesion molecule (ICAM-1), vascular cell adhesion molecule

(VCAM)-1, dan chemokines, termasuk IL-8 (CXCL8) dan CCL2 sedangkan MIF

eksogen menfasilitasi pengambilan leukosit yang diinduksi oleh TNF yang

memicu ekspresi P-selektin endotel (Cheng et al., 2010). Oleh sebab itu, MIF

memiliki efek yang luas terhadap pengambilan leukosit, sel otot polos vaskuler,

fibroblas dan interaksi leukosit-sel endotel yang dimediasi oleh beberapa molekul

inflamasi pada gangguan inflamatorik/non inflamatorik. (Kasama et al., 2010).

b. Induksi Sitokin Inflamasi

MIF menstimulasi sitokin proinflamasi TNF-α, IL-1, IL-6, IL-8, dan IL-12

dari makrofag dan meregulasi naik matrix metalloproteinase (MMP) -1, MMP-3,

MMP-9 dan MMP-13 pada rheumatoid arthtristis. Sebagai tambahan, MIF juga

meregulasi naik molekul adhesi VCAM-1 dan ICAM-1 pada sel endotel monosit.

(Kasama et al., 2010).

Secara in vivo, defisiensi atau neutralisasi MIF memiliki efek protektif

terhadap bakteri yang mematikan dan syok septik yang diinduksi oleh endotoksin

bakteri gram negatif atau eksotoksin bakteri gram positif. Pada penyakit inflamasi

kronik, penurunan MIF berkaitan dengan kadar rendah dari produksi TNF dan IL-

1 secara lokal atau pada sirkulasi, yang menunjukkan MIF merupakan regulator

penting dari ekspresi sitokin. Secara in vitro, sel yang kekurangan MIF

mengalami gangguan produksi TNF sebagai resposn terhadap liposakarida,

19
sebuah efek yang dimediasi melalui regulasi MIF terhadap respon seluler

dependen TLR-4. Kontras dengan sitokin proinflamasi lainnya, MIF tidak

menginduksi translokasi nuklear dari nuclear factor-(NF-)κB p50 atau protein p60

pada konsentrasi yang dapat mengaktivasi ERK dan inhibitor dari jalur NF-κB

tidak menghambat efek biologis yang diinduksi oleh MIF pada fibroblast-like

synoviocytes (FLS). (Tabel 1) (Kasama et al., 2010).

Tabel 1. Aktivitas Biologis MIF(Kasama et al, 2010).

No Aktivitas Keterangan
1 Kemotaktik Monosit Stimulasi/inhibisi
Limfosit T
Sel endotel (bergantung pada
Sel otot polos vaskuler
Fibroblas konsentrasinya)
2 Angiogenik
3 Antiapoptotik
4 Stimulasi proliferasi sel
5 Induksi mediator:
Sitokin TNF-α

IL-1, 6, 8, 12

CCL2
Faktor pertumbuhan VEGF
Molekul adhesi ICAM-1

VCAM-1

E-selectin

P-selectin
Proteinase MMO-1,3,9,13
Nitrit oksida
Superoksida

2.2.5. Patofisiologi MIF

a. MIF dan Siklus Sel

Regulasi yang baik diperlukan bagi proliferasi sel untuk dapat bertumbuh

dengan normal. Siklus sel dengan berbagai tiitk pengecekan protein bertugas

untuk menjamin agar sel abnormal tidak berkembang dalam tubuh. Siklus sel

dapat mengalami penghentian untuk mengkoreksi perbaikan DNA pada sel

20
abnormal; atau dapat memaksa sel untuk mengalami apoptosis (Medema dan

Macurek, 2011). Titik pengecekan siklus sel tidak dijumpai pada kanker sehingga

sel mengalami proliferasi secara berlebihan (Babu et al., 2012).

Fungsi cyclin dependen kinase (CDK) sangat penting dalam siklus sel.

Protein cyclin,protein inhibitor CDK dan protein lain yang terlibat dalam siklus sel

dikendalikan oleh system ubiquitin proteasome. Semua protein yang ada dan

yang akan mengalami degradasi akan dikenali baik oleh anaphase promoting

cyclosome/complex(APC/C) atau Skp1-Cullin1-F-box/complex(SCF). SCF tetap

aktif dari fase G1 akhir hingga fase M awal dan APC/C menjadi aktif dari fase M

pertengahan hingga fase G1. Target dari kompleks SCF termasuk c-jun, c-myc,

p21, p27 dan protein yang terlibat dalam pengaturan pembelahan sel. Oleh

sebab itu, regulasi turun dari SCF dapat memicu timbulnya kanker dan

perkembangan kanker lebih lanjut lagi (Babu et al., 2012).

Kompleks SCF tersusun atas 4 komponen yaitu Rbx1, Cul1, Skp1 dan F-

box. F-box berperan sebagai substrat pengenalan unit sedangkan lainnya

merupakan subunit invariable. Rbx1 dan Cul1 membentuk inti katalitik dari SCF.

Aktivitas inti ini distimulasi oleh ilkatan dengan protein Nedd8 untuk

mengkonversi lisine pada domain Cul1. Ikatan dengan Nedd8 membuat

kompleks SCF menjadi aktif. Proses neddilasi ini memerlukan enzim E2.

Pengambilan enzim E2 menurun saat neddilasi cullins terjadi pada CSN/COP9

“signalosome”. CSN mengambil Ubp12, yaitu sebuah deubiquitilase yang

melawan aktivitas SCF. JAB1/CSN5 bertanggung jawab terhadap pelepasan

Nedd8 dari Cul1. Culllins yang telah terdeneddilasi dapat menggantikan protein

Skp1 dan F-box. Setelah Nedd8 telah tergantikan, Cand1 berikatan dengan

21
kompleks sehingga membuat kompleks SCF menjadi tidak aktif (Babu et al.,

2012).

Melalui sistem hibrida, diketahui bahwa tempat perlekatan MIF adalah

pada JAB1/CSN5. JAB1 diketahui memisahkan Nedd8 dari cullins dan CSN5

terlibat dalam diferensiasi dan morfogenesis. Oleh sebab itu, ketidakseimbangan

aktivitas kompleks JAB1/CSN5 dapat mencegah proses deneddilasi sehingga

kompleks SCF tetap menjadi aktif dan berfungsi sebagaimana seharusnya.

Sehingga MIF mempengarusi siklus sel melalui aktivitas kompleks SCF. Pada

umunya kebanyakan kanker kehilangan fungsi p53 sehingga checkpoint G1

hilang. Selain itu, checkpoint G2M dipertahankan pada sel kanker yang dapat

menggangu integritas genom. Oleh sebab itu, dengan mentargetkan checkpoint

G2M pada sel kanker bersama dengan kompleks MIF-JAB1/CSN5 juga dapat

berpotensi sebagai terapi kanker (Nemajerova et al., 2007; Babu et al., 2012).

b. MIF dan p53

p53 merupakan gen supresor tumor dan dikenal sebagai penjaga

genome. Gen ini disupresi pada sel normal oleh Mdm2 yang menghambat

aktivitas p53 dengan cara mendegradasinya. Saat mismatch DNA terdeteksi oleh

siklus sel, akhir terminal N dari p53 mengalami fosforilasi sehingga memisahkan

p53 dari Mdm2 dan p53 dapat menjalankan fungsinya. Hampir semua tumor

mengalami mutasi pada gen p53 sehingga kehilangan jalur apoptosis dan

checkpoint siklus sel. MIF diketahui memotong penghentian pertumbuhan yang

dimediasi oleh p53 atau apoptosis. Mekanisme dimana MIF melebihi aktivitas

p53 masih belum diketahui secara pasti tetapi diperkirakan bahwa aktivitas

oksidoreduktase MIF berperan dalam proses ini. Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, MIF beriteraksi dengan kompleks JAB1/CSN5. Kompleks MIF-

22
JAB1-p53 membentuk dasar dari supresi fungsi p53 yang dimediasi oleh p53

(Babu et al., 2012).

c. MIF dan Hipoksia

Hipoksia merupakan kondisi dimana terdapat ketersediaan oksigen yang

rendah bagi sel. Saat sel mengalami stress, sel akan beradaptasi pada kondisi

tersebut agar dapat tetap berproliferasi. Banyak mutasi diperlukan agar dapat

terjadi kanker (Sen dan Hopwood, 2011). Pada beberapa tahap dari perubahan

yang terjadi selama onset kanker, sel mengalami kondisi hipoksia. Selama

kondisi hipoksia, banyak perubahanyang terjadi pada proses ekspresi gen seperti

eritropoietin (EPO), glucose transporters (GLUT), vascular endothelial growth

factor (VEGF), dan matrix metalloproteinase (MMPs) (Oda et al., 2008). Semua

perubahan ini terjadi karena regulasi naik dari hypoxia-inducible factor 1 (HIF-1)

(Oda et al., 2008). MIF juga merupakan salah satu gen yang mengalami ekspresi

berlebih dibawah kondisi hipoksia (Babu et al, 2012; Sauler et al, 2015).

MIF merupakan target pada transkripsi yang diinduksi hipoksia pada

berbagai kanker seperti glioblastoma, kanker leher, kanker servikal. Transkripsi

ini terjadi karena adanya elemen respon HIF-1 yang ditemukan pada regio 5’

yang tidak ditransisikan pada MIF. HIF-1 merupakan heterodimer yang terdiri dari

subunit HIF-1β dan HIF-1α. Ekspresi berlebih dari MIF intraseluler atau

masuknya ekstraseluler MIF menyebabkan regulasi naik dari HIF-1. CD74

diperlukan MIF untuk memberikan efeknya pada HIF-1 dan juga aktivitas ERK

pada garis sel MCF-7. Saat berikatan dengan reseptor tipe 2 dari CD74, MIF

akan menginduksi jalur ERK. Telah nampak bahwa p53 berinteraksi dengan HIF-

1α dan bertanggungjawab terhadap degradasi HIF-1α yang dimediasi oleh

ubiquitin. Saat MIF berikatan dengan p53 dan menghambat aktivitasnya,

23
ekspresi HIF-1α menjadi tinggii sehingga menyebabkan ekspresi berlebih dari

gen yang telah disebutkan sebelumnya dan pada akhirnya memicu angiogenesis

tumor dan metastasis (Oda et al., 2008). MIF juga menstabilisasikan HIF1 dan

mencegah degradasinya dengan proteasome. Ekspresi HIF1 juga dapat menjadi

stabil dengan bantuan inhibitor prolyl hidroksilase. Kompleks JAB1-CSN5 juga

nampak bertanggung jawab dalam proses stabilisasi ini (Babu et al., 2012).

d. MIF dan Angiogenesis

Angiogenesis merupakan proses kompleks yang melibatkan berbagai

faktor dengan tujuan untuk membentuk pembuluh darah baru. Faktor seperti

basic fibroblast growth factor (bFGF), vascular endothelial growth factor (VEGF)

dan angiopoietin penting bagi pembentukkan pembuluh darah baru. Ukuran

tumor tidak dapat bertambah tanpa adanya proses angiogenesis. Seiring dengan

bertambahnya ukuran tumor, sel yang terletak pada bagian perifer tumor tidak

mendapat nutrisi yang cukup. Sel ini mengalami stress dan kondisi hipoksik.

Selain itu, terdapat pula regulasi naik dari HIF-1α yang menyebabkan

peningkatan ekspresi dari bFGF, VEGF, Angiopoietin (Oda et al., 2008). HIF-1α

juga menginduksi MIF sehingga MIF turut berperan dalam angiogenesis tumor

(Babu et al., 2012; Sauler et al., 2015).

MIF menginduksi sekresi bFGF, VEGF, IL-8. MIF mengaktivasi mitogen-

activated protein kinase pathway (MAPK) dan phosphatidylinositol 3-kinase

pathway (PI3K) yang menyebabkan peningkatan sekresi bFGF dan VEGF

(Veillat et al., 2010). Hubungan antara MIF dengan faktor pro-angiogenetik telah

ditemukan pada berbagai jenis tumor (tumor gaster, kanker hepatoseluler,

glioblastoma dan kanker esophageal). Ekspresi MIF juga dapat diinduksi oleh

faktor pembekuan, thrombin, faktor Xa yang mengindikasikan adanya lengkung

24
autokrin endothelial yang dimediasi oleh faktor pembekuan darah terutama

selama proses inflamasi terjadi (Babu et al., 2012).

e. MIF dan Metastasis

Ukuran tumor bertambah akibat adanya proses angiogenesis. Saat terjadi

regulasi naik oleh HIF-1, sebuah pesan dikirim pada nucleus untuk menurunkan

regulasi dari ekspresi E-cadherin. E-cadherin bertanggung jawab terhadap

pembentukkan kompleks adhesi fokal. Akibat adanya kompleks adhesi fokal, sel

tetap utuh satu dengan yang lain dan dengan membran basalis. Seiring dengan

menurunnya ekspresi e-cadherin maka kompleks adhesi fokal menjadi melemah

dan menyebabkan terjadinya transisi epithelial mesenkimal. Kada faktor

angiogenik dan MIF juga mengalami regulasi naik. Terdapat peningkatan

ekspresi matriks metalloproteinase (MMP). Kesemuanya ini memdegradasi

membran basal. Sel tumor memasuki sirkulasi darah dan apabila mendapat fakor

homing yang sesuai maka akan terbentuk tumor sekunder pada organ lain.

Ekspresi MMP secara langsung proporsional dengan ekspresi MMP. MMP

memiliki lokasi ikatan E2F pada regio promoter (Johnson et al., 2011). Banyak

dari lokasi ini juga muncul pada gen MMP sel kanker. Oleh sebab itu MMP

diregulasi oleh faktor taskripsi E2F yang menyebabkan terjadinya metastasis.

Selain itu, reseptor MIF yaitu CD74 dikenal dengan sifat invasifitasnya (Babu et

al, 2012; Suomoy et al., 2019).

Melalui interaksi dengan CXCR4, CXCR2 dan CD47, MIF dapat

menghentikan makrofag pada lokasi tumor maligna. Populasi makrofag dalam

populasi tumor dinamakan sebagai tumor-associated macrophages (TAM).

Makrofag ini alih-alih menujukkan fungsi imun, tetapi justri membantu proliferasi

25
sel tumor. TAM dapat memproduksi faktor pertumbuhan yang diperlukan oleh

proliferasi, menstimulasi agiogenesis (Babu et al., 2012; Suomoy et al., 2019).

Gambar 5. Gambaran aktivitas MIF dan pengaruhnya terhadap inflamasi

A: Sebagai respon terhadap berbagai stressor biologis, MIF disekresi dari intrasitoplasmik. Hal ini

kemudian diikuti oleh peningkatan transkripsi gen MIF. Mikrosatelit CATT berulang pada regio

promoter yang kemudian mempengaruhi transkripsi gen.

B: MIF dapat memproduksi sinya melalui reseptor CD74 dan ko-reseptor CD44 untuk mengaktivasi

jalur sinyal ERK ½ AKT dan AMPK atau melalui jalur intraseluler JAB1. Kondisi tingginya MIF

menghasilkan transkripsi mediator proinflamasi dan angiogenik seperti TNF-α and VEGF. VEGF

juga berperan penting sebagai regulator siklus sel dan dapat mensupresi apoptosis yang dimediasi

oleh p53 dan p16. Tingginya ekspresi alel CAT6-8 meningkatkan ekspresi gen MIF secara

langsung.

C: Alel CATT5 berkaitan dengan penurunan transkripsi MIF. Tingkat MIF yang rendah

menyababkan menurunya transkripsi mediator proinflamasi dan angiogenik serta relatif

meningkatkan suseptibilitas terhadap apoptosis (Sauler et al., 2015).

f. MIF pada infeksi paru-paru

26
Infeksi paru-paru merupakan penyebab utama kematian pada populasi lanjut

usia. MIF merupakan komponen penting pada respon antimikrobial terhadap

infeksi. MIF disekresikan pada spatium alveolar sebagai konsekuensi dari

berbagai mikroorganisme patologis dan memediasi inflamasi serta pertahanan

pejamu. Pada beberapa kondisi, respon ini dapat mengalami gangguan.

Peningkatan MIF berkaitan dengan peningkatan patogenitas dari Pseudomonas

pneumonia (Adamali et al., 2012). Pada kondisi sepsis, sebagai konsekuensi

sistemik dari infeksi berat, terjadi peningkatan MIF intraseluler pada sel imun dan

kadar MIF pada sirkulasi berkaitan dengan derajat keparahan penyakit (Sauler et

al., 2015).

g. MIF pada PPOK

PPOK berkaitan dengan peningkatan seluler senescence, kerusakkan

DNA dan stress oksidatif. Berbagai penelitian melaporkan bahwa meskipun MIF

mengalami peningkatan pada perokok yang tidak menderita PPOK atau pada

perokok dengan PPOK derajat sedang, tetapi kadar MIF mengalami penurunan

seiring dengan berkembangnya penyakit. Fungsi Histone deacetylase 2 (HDAC-

2) mengalami gangguan pada PPOK dan diperkirakan hal ini yang menyebabkan

penurunan ekspresi gen MIF pada PPOK. MIF dapat memicu aktivasi NRF-2

pada paru yang merupakan faktor transkripsi antioksidan penting yang

mengalami penurunan pada PPOK (Mathew et al, 2012). Karena stress oksidatif

merupakan mediator penting pada PPOK maka terganggunya antioksidan

sebagai konsekuensi defisiensi MIF dapat mempercepat perkembangan PPOK

(Sauler et al., 2015).

h. MIF pada non small cell lung cancer (NSCLC)

27
Aktivitas biologis MIF dapat berkontribusi terhadap patogenesis inflamasi

pada kanker melalui beberapa mekanisme. MIF menginduksi aktivasi ERK ½

yang menyerupai mutasi onkogenik pada RES yang, berkontribusi terhadap

pertumbuhan tumor dan invasivitas tumor serta meregulasi naik VEGF sehingga

menghasilkan neovaskularisasi. MIF dapat menimbulkan mutasi pada 2 supresor

tumor yang penting dengan cara mensupresi penghentian pertumbuhan yang

dimediasi oleh p53 dan apoptosis serta mengganggu jalur sinyal Rb-E2F. MIF

juga dapat menghambat respon sel T sitolotik. Terdapat laporan temuan MIF dan

CD74 pada pemeriksaan histokimia pasien dengan NSCLC bahkan MIF dapat

berperan sebagai biomarker dini penyakit (Liu et al, 2010). Peningkatan MIF

pada sirkulasi berkaitan dnegan prognosis yang buruk. Tidak terdapat hubungan

antara genotipe MIF dengan malignansi paru-paru yang dilaporkan hingga kini

tetapi kanker lain yang mengekspresikan polimorfisme MIF tekah dikaitkan

dengan insidensi dan atau invasivitas dari penyakit (Sauler et al., 2015).

i. MIF pada fibrosis paru

Fibrosis paru berkaitan dengan berbagai proses penuaan termasuk

pemendekkan telomere, stress oksidatif dan abnormalitas deposisi matriks

ekstraseluler. MIF mengalami peningkatan pada bronchoalveolar lavage pada

pasien fibrosis paru idiopatik. Analisis imunohistokimia jaringan pasien fibrosis

paru idiopatik menunjukkan adanya peningkatan MIF pada epitel dan fokus

fibroblastik. Hal ini diperkirakan didasari oleh MIF tetapi masih diperlukan

penelitian lebih lanjut untuk menentukan peran pasti dari MIF terhadap

patogenesis fibrosis paru (Sauler et al., 2015).

j. MIF pada infeksi Dengue

28
Infeksi Dengue berkaitan dengan DSS dapat menghasilkan angka

kematian yang tinggi. Sehingga banyak peneliti dalam laporan menunjukkan

bahwa kadar sitokin proinflamasi serum seperti TNF-α dan interleukin-6 (IL-6),

serta Th1 (interferon-gamma [IFN-ƴ]) dan sitokin Th2 (IL-10), secara signifikan

meningkat pada pasien DBD. Penelitian menunjukkan kadar serum MIF, IL-6,

TNF- α, IFN- ƴ, dan IL-10 pada pasien dewasa dengan keparahan penyakit

berbeda bermakna pada infeksi Dengue. Hasil penelitiannya menunjukkan

bahwa kadar serum MIF, serta tingkat MIF, IL-6 dan IL-10, secara signifikan

meningkat pada demam berdarah dewasa.(Lien et al, 2006)

Peningkatan kadar MIF juga nampak pada infeksi virus seperti yang

disebabkan oleh virus influenza, human immunodeficiency virus (HIV), virus

ebola dan virus Dengue (DENV). Infeksi virus Dengue secara umum

menyebabkan gejala ringan seperti demam, nyeri kepala dan nyeri otot serta

persendian yang disebut sebagai demam Dengue. Pada beberapa kasus

terutama selama infeksi sekunder dengan berbagai tipe DENV, infeksi DENV

dapat berkembang menjadi DBD atau DSS. DBD merupakan penyakit demam

parah yang dikarakteristikan dengan adanya abnormalitas homeostasis dan

peningkatan kebocoran plasma yang dapat berkembang menjadi syok

hipovolemik (Chuang, 2015).

Meskipun mekanisme yang menyebabkan perdarahan dan kebocoran

vaskuler pada DBD/DSS masih belum jelas, terdapat beberapa hipotesis untuk

penyakit Dengue berat, dimana yang paling terkenal adalah hipotesis

peningkatan antibodi dependen (antibody-dependent enhancement/ADE).

Berdasarkan ADE, antibodi yang dihasilkan selama infeksi DENV pertama tidak

memiliki efek protektif tetapi meningkat pada infeksi sekunder dari serotipe DENV

29
lain melalui reseptor Fcγ pejamu seperti makrofag. Hipotesis lain, termasuk

produksi sitokin dan aktivasi komplemen serta autoantibodi imunopatogenesis

juga berperan penting yang dapat berkontribusi terhadap DBD/DSS selama

infeksi DENV. Bagaimanapun juga, diketahui bahwa kadar serum MIF pasien

Dengue berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit dan hasil klinis. Lebih

lanjut lagi, Blokade MIF pada hewan uji tikus menunjukkan gejala klinis yang

lebih ringan, viremia yang lebih rendah serta viral load yang lebih ringan pada

limpa dibandingkan pada hewan uji tikus tanpa perlakuan. Blokade MIF juga

meringankan kebocoran vaskuler yang diinduksi oleh DENV, mengindikasikan

pentingnya MIF dalam patogenesis dari indeksi DENV. Oleh sebab itu, kajian ini

berfokus pada kemungkinan peran patogenik dari MIF selama infeksi

DENV(Chuang, 2015).

k. Produksi MIF di induksi oleh infefksi DENV

Infeksi DENV dapat menginduksi sekresi MIF sesuai dosis dan lama

pemberian pada sel epitel manusia. Uji promotor MIF dan reverse transcription

polymerase chain reaction (RT-PCR) menunjukkan bahwa transkripsi gen MIF

teraktivasi selama infeksi DENV. Lebih lanjut lagi, infeksi DENV menginduksi

aktivasi NF-kB, dan produksi MIF yang diinduksi oleh DENV ini akan dihambat

dalam kondisi adanya inhibitor NF-kB yaitu deksamethason atau kurkumin.

Sebagai tambahan, tipe sel yang berbeda seperti primary human vascular

endothelial cells (HUVECs) dan peripheral blood mononuclear cells (PBMCs)

memiliki kemampuan yang berbeda untuk melepaskan MIF paska infeksi DENV.

Yang menarik, infeksi DENV pada galur sel monositik manusia THP-1 dan PBMC

serta produksi MIF mengalami peningkatan pada kondisi terdapat antibodi

terhadap DENV. Fenomena ini dapat terjadi karena efek ADE. Berdasarkan ADE,

30
antibodi terhadap DENV dapat meningkatkan uptake virus oleh makrofag melalui

reseptor Fc, sehingga meningkatkan reprlikasi virus dan mengubah profil

produksi sitokin. Oleh sebab itu, dimungkinkan bahwa infeksi DENV pada sel

manusia dapat menginduksi aktivasi NF-kB, yang menyebabkan produksi MIF

dan proses ini semakin diperkuat dengan adanya antibodi anti-DENV

sebelumnya(Chuang, 2015).

l. MIF pada replikasi DENV

Dalam MIF terlibat dalam replikasi berbagai macam virus selama infeksi

berlangsung. Sebagai contoh. Pada infeksi HIV-1, netralisasi MIF dapat

menghilangkan replikasi HIV-1 pada PBMC manusia (tabel 1). Pada MIF tikus,

West Nile Virus (WNV) dan Ross River Virus (RRV) telah menunjukan penurunan

replikasi virus pada otak, pergelangan kaki, serum dan limpa. Meskipun

demikian, hanya terdapat satu referensi yang berkaitan yang mengindikasikan

pentingnya MIF pada replikasi DENV. Sebagai tambahan terhadap rendahnya

kadar TNF-α, IL-6 dan PEG2, viral load dari DENV MIF yang diblokade pada tikus

lebih rendah dibandingkan pada hewan uji tikus lain. Lebih lanjut lagi, mortalitas

tikus yang terinfeksi DENV yang MIF nya dihambat mengalami penurunan.

Meskipun demikian, mekanisme pasti MIF meregulasi replikasi DENV masih

belum diketahui (Chuang, 2015).

Tabel 2. Efek MIF pada replikasi berbagai jenis virus

Virus Model Terapi Replikasi virus

31
PBMC yang terinfeksi Anti-antibodi Penurunan ekspresi p24
HIV-1 MIF Peningkatan ekspresi p24
rMIF
HIV-1

WNV MIF- tikus yang terinfeksi Penurunan E-mRNA WNV pada


WNV jaringan otak
RRV MIF- tikus yang terinfeksi Penurunan PFU virus pada
RRV jaringan pergelangan kaki
DENV MIF tikus yang terinfeksi Penurunan PFU virus pada serum
DENV-2 dan limpa

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa proses katabolisme

berupa pemecahan komponen sel melalui lisosim atau autofagi diperlukan untuk

replikasi DENV yang optimal dan sitokin yang berbeda memiliki efek yang

berbeda pula terhadap pembentukan autofagi. Sitokin T helper tipe 1 (Th1)

seperti IFN-γ, IL-12 dan TNF-α menginduksi atau memicu autofagi pada

makrofag serta pada sel nonimun. Berkebalikan dengan itu, sitokin Th2 seperti

IL-4, IL-10 dan IL-13 nampak berperan sebagai antagonis induksi autofagi. MIF

dapat menginduksi eksprsi sitokin TH1, maka dapat berkontrubusi pula terhadap

pembentukan autofagi. Baru-baru ini ditemukan bahwa MIF dapat meningkatkan

autofagi melalui pembentukan reactive oxygen species (ROS). Oleh sebab itu,

autofagi dapat menjadi salah satu kemungkinan jalur dimana MIF dapat

meregulasi replikasi DENV. Meskipun demikian, apakah autofagi yang diinduksi

oleh MIF memiliki peran kunci dalam replikasi DENV masih harus dibuktikan

lebih lanjut lagi. (Chuang, 2015).

m. MIF pada hipermeabilitas vaskulaer yang di induksi oleh DENV

Meskipun peningkatan kadar MIF dijumpai pada penyakit dengan

gambaran kebocoran vaskuler, regulasi dari permeabilitas vaskuler oleh MIF

pertama kali ditunjukkan pada penelitian mengenai infeksi West Nile fever

32
(WNV). Penelitian ini melaporkan bahwa infeksi otak oleh WNV dapat dipicu oleh

peningkatan permeabilitas yang diinduksi oleh MIF pada sawar darah otak.

Kebocoran vaskuler yang diinduksi oleh MIF kemudian dibuktikan pada infeksi

DENV. MIF rekombinan serta infeksi DENV pada medium, meningkatkan

permeabilitas vaskuler melalui induksi kekacauan pada ikatan protein ZO-1, efek

yang dapat diblok oleh inhibitor MID (ISO-1/0 atau knockdown CD74. Meskipun

dmeikian mekanisme MIF meregulasi deretan sambungan protein masih belum

dipahami secara pasti. Sitokin meningkatkan permeabilitas vaskuler dengan cara

meregulasi ekspresi dan lokalisasi sambungan protein melalui berbagai

mekanisme. Sebagai contoh, VEG menginduksi hiperpermeabilitas endotel

melalui endositosis protein , TNF-α mengubah permeabilitas vaskuler dengan

cara mengurangi kandungan mRNA terkait sambungan protein, IL-1β dan

trombin menginduksi translokasi sambungan protein dan meningkatkan

permeabilitas vaskuler dengan cara meregulasi penataan sitoskeleton. MIF

sebelumnya diketahui dapat menginduksi autofagi pada hepatosit. Meskipun

autofagi telah dinyatakan dapat meregulasi turnover sambungan protein, tetapi

apakah dapat memediasi permeabilitas vaskuler masih belum diteliti. Penelitian

terbaru menunjukkan bahwa MIF mungkin dapat meregulasi permeabilitas

vaskuler melalui autofagi. Penelitian lebih lanjut mengenai MIF dan autofagi

meregulasi permeabilitas vaskuler dapat membuka jalan pengembangan terapi

baru untuk mencegah kebocoran plasma yang diinduksi oelh DENV (Chuang,

2015).

n. MIF pada ekspresi molekul adhesi pada ekspresi molekul adhesi dan

molekul koagulasi yang di induksi DENV

33
Sebagaimana yang kita diketahui bahwa MIF dapat menginduksi produksi

intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan molekul koagulasi

thrombomodulin (TM). ICAM-1 merupakan ligan untuk fungsi limfosit yang

berkaitan dengan molekul-1 (LAF-1), yang diekspresikan pada permukaan sel

leukosit. Melalui interaksi ICAM-1 dan LFA-1, leukosit dapat berikatan dengan sel

endotel kemudian bertransmigrasi menuju jaringan. Sebagai tambahan, produksi

dari faktor koagulasi dan anti koagulasi dipengaruhi oleh MIF pada sel endotel,

sel THP-1 dan sel Hep G2. Reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-

PCR), pewarnaan imunofluorosensi dan flow sitometri menunjukkan bahwa MIF

rekombinan menginduksi eksprsi protein TM pada sel endotel dan sel THP-1,

dan efek ini dihambat oleh antibodi netralisasi MIF.

TM merupakan glikoprotein transmembran yang diekspresikan pada

permukaan sel endotel vaskuler serta monosit dan berbagai jenis sel lainnya. TM

dapat bersaing dengan fibrinogen untuk berikatan dengan trombin dan

menghambat pembentukan fibrin, sehingga mengganggu proses koagulasi.

Kompleks trombin-TM dapat juga mengaktivasi protein C (APC), yang dapat

mencerna faktor pembekuan aktif Va dan VIIIa untuk mencegah pembentukkan

trombin lebih lanjut. Oleh sebab itu, TM berperan penting dalam jalur

antikoagulan. Yang menarik, kadar serum TM juga berkaitan dengan tingkat

keparahan penyakit pasien Dengue, menunjukkan bahwa ekspreis TM dapat

berkontribusi terhadap perdarahan pasien DBD/DSS. Penelitian menunjukkan

bahwa infeksi DENV menginduksi produksi MIF yang kemudian menstimulasi sel

monosit atau sel endotel untuk mengekspresikan TM dan ICAM-1. Sehingga MIF

berperan penting tidak hanya dalam menarik sel inflamasi tetapi juga dalam

regulasi koagulasi.

34
Infeksi DENV mengancam kesehatan manusia, dengan dampak

ekonomik yang signifikan pada area tropis dan subtropis didunia. Hingga saat ini,

belum terdapat vaksin atau obat spesifik yang dapat mencegah atau mengobati

penyakit. Memang satu-satunya cara untuk mencegah pandemik DENV

bergantung dengan mentargetkan vector penyakit, yang memiliki efektivititas

terbatas. Berbagai temuan yang telah dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa

infeksi DENV menginduksi produksi dan sekresi MIF, yang tergantung pada NF-

kB serta sekresi MIF dapat meningkatkan replikasi DENV serta meningkatkan

kebocoran vaskuler melalui autofagi. Sebagai tambahan, MIF dapat meregulasi

ekspresi molekul adhesi dan molekul koagulasi pada permukaan sel endotel dan

sel imun, yang dapat berkontribusi terhadap abnormalitas inflamasi serta

hemostatik selama infeksi DENV berlangsung. Oleh sebab itu, pencegahan

produksi MIF atau menghambat fungsi MIF menggunakan molekul kecil atau

anti-antibodi MIF menunjukkan pendekatan tambahan untuk mencegah

perkembangan DBD/DSS (gambar 6).

35
Keterangan gambar 6

(1) Infeksi DENV menginduksi sekresi MIF yang bergantung pada NF-kB

(2) MIF memicu gangguan sambungan protein yang berontribusi terhadap hiperpermeabilitas

melalui jalur PI3K/ERK

(3) Autofagi yang diinduksi MIF dapat berkontribusi terhadap gangguan ikatan protein dan

menggangu replikasi DENV

(4) MIF menginduksi ICAM-1 dan LFA-1 yang dapat meningkatkan infiltrasi leukosit

(5) MIF menginduksi TM yang dapat mengaktivasi protein C dan menghambat koagulasi (faktor

Va/VIIIa)

ICAM-1 juga dikenal sebagai CD54 adalah protein yang pada manusia

dikodekan oleh gen ICAM1. Gen ini mengkode glikoprotein permukaan sel yang

biasanya diekspresikan pada sel endotel dan sel-sel sistem kekebalan tubuh. Ia

36
berikatan dengan integrin tipe CD11a/CD18, atau cd11B/CD18 dan juga

dieksploitasi oleh rhinovirus sebagai reseptor untuk masuk ke epitel pernapasan.

Fungsi molekul: aktivitas reseptor virus.

Fungsi: protein yg dikodekan oleh gen ini adalah jenis molekul adhesi

antar sel yang terus menerus hadir dalam konsentrasi rendah di membran

leukosit dan sel endotel. Setelah stimulasi sitokin, konsentrasinya sangat

meningkat. ICAM-1 dapat diinduksi oleh interleukin-1 (IL-1) dan Tumor Necrosis

Factor (TNF) dan diekspresikan oleh endotelium vaskuler, makrofag, dan limfosit.

IICAM-1 adalah ligan untuk LFA-1 (integrin), reseptor yg ditemukan pd leukosit.

Saat diaktifkan, leukosit berikatan dengan sel endotel melalui ICAM-1/LFA-1dan

kemudian berpindah ke jaringan. LFA-1 juga telah ditemukan dalam bentuk

terlarut, yang tampaknya mengikat dan memblokir ICAM-1.

ICAM-1 adalah protein transmembran terkait endotel dan leukosit yang

telah lama dikenal akan pentingnya menstabilkan interaksi sel-sel dan

memfasilitasi transmigrasi endotel leukosit. Baru-baru ini, ICAM-1 telah ditandai

sebagai situs untuk masuknya rhino virus pada manusia. Karena hubungan ini

dengan respon imun, telah dihipotesiskan bahwa ICAM-1 dapat berfungsi dalam

transduksi sinyal. Ligasi icam-1 menghasilkan efek proinflamasi dengan memberi

sinyal melalui kaskade yang melibatkan sejumlah kinase, termasuk kinase

p56lyn.

Fungsi lainnya yaitu ICAM-1 memiliki efek antagonis pada persimpangan

ketat yang membentuk penghalang testis darah, sehingga memainkan peran

utama dalam spermatogenesis.

Kehaidran glikolisasi berat dan karakteristik struktural lainnya dari ICAM-1

meminjamkan situs pengikatan protein untuk banyak ligan.

37
Para peneliti mulai mempertanyakan peran ICAM-1 sebagai molekul

adhesi sederhana setelah menemukan bahwa icam1 berfungsi sebagai tempat

pengikatan untuk masuknya kelompok utama rhinovirus manusia (HRV)

LFA-1 (lymphocyte function associated antigen 1) adalah integrin yang

ditemukan pada limfosit dan leukosit lainnya. Lfa1 memainkan peran penting

dalam emigrasi, yang merupakan proses dimana leukosit meninggalkan aliran

darah untuk memasuki jaringan. LFA-1 terlibat dalam poses pembunuhan yang

dimediasi oleh antibodi oleh granulosit dan monosit. Pada 2007, LFA-1 memiliki 6

ligan yang dikenal: icam-1, icam-2, icam-3, icam-4, icam-5 dan jam-A. Interaksi

LFA-1/ICAM-1 baru-baru ini terbukti merangsang jalur pensinyalan yg

mempengaruhi diferensiasi sel T. LFA-1 milik superfamili integrin dari molekul

adhesi

TM (endothelial thrombomodulin), cd 141 atau BDCA-3 adalah protein

membran integral yang diekspresikan pada permukaan sel endotel dan berfungsi

sebagai kofaktor untuk thrombin. Ini mengurangi pembekuan darah dengan

mengubah trombin menjadi enzim antikoagulan dari enzim prokoagulan.

Thrombomodulin juga diekspresikan pada sel mesothelial manusia, monosit dan

subset sel dendritik.

TM berfungsi sebagai kofaktor dalam aktivasi protein c yg diinduksi

trombin dalam jalur antikoagulan dengan membentuk kompleks stoikiometri 1:1

dengan trombin. Ini meningkatkan kecepatan aktivasi protein c seribu kali lipat.

Trombin yang terikat trombomodulin memiliki efek prokoagulan pada saat yang

sama dengan menghambat fibrinolisis dengan membelah inhibitor fibrinolisis

yang diaktifkan trombin (TAFI, alias carboxypeptidase B2) ke dalam bentuk

aktifnya.

38
Trombomodulin adalah glikoprotein pada permukaan sel endotel yang,

mengikat trombin. Diagram skematik dari peran patogenik MIF dan kemungkinan

strategi untuk menghambat efeknya selama infeksi DENV. Ekspresi MIF

mengalami regulasi naik selama infeksi DENV. Blokade fungsi MIF menggunaan

inhibitor MIF (ISO-1) atau antibodi MIF atau transduksi sinyal menggunakan

U1026 (inhibitor Erk), Ly294002 (inhibitor PI2K), atau SP600125 (inhibitor JNK)

dapat mencegah permeabilitas yang diinduksi oleh MIF. Sebagai tambahan, MIF

atau inhibitor MIF (ISO-1) dapat menurunkan replikasi DENV. Seain itu MIF

menginduksi regulasi naik dari ekspresi ICAM-1 dan LFA-1, yang dapat

mempengaruhi pengambilan leukosit. Yang terkahir, ekspresi RM yang diinduksi

oleh MIF dapat mengaktivasi protein C dan menghambat pembentukan thrombin.

Efek MIF ini dapat diblok menggunakan inhibitor atau antibodi MIF(Chuang,

2015).

Antagonisme terapetik dari sitokin seperti TNF-α atau IL-1 menggunakan

agen biologis telah diindikasikan sebagai strategi yang sukses pada penyakit

autoimun tertentu. Karena MIF terlibat dalam berbagai penyakit inflamasi, maka

hal tersebut berpotensi menjadi target terapetik pada berbagai penyakit inflamasi

dan tidak bersifat spesifik terhadap penyakit tertentu. Lebih lanjut lagi,

kandungan yang berikatan dengan lokasi katalitik MIF yang dapat mengaktivasi

kandidat obat anti MIF juga telah dilaporkan. Apabila potensi kandungan macam

ini terbukti dalam penelitian klinis maka kandungan macam ini dapat diproduksi

dengan biaya yang relatif murah dibandingan agen biologis, yang dapat

bermanfaat tidak hanya bagi pasien dengan infeksi DENV tetapi juga yang

menderita penyakit inflamasi lainnya (Chuang, 2015).

39

Anda mungkin juga menyukai