Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula
darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat
insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan
atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).
Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 150 juta orang di dunia mengidap diabetes
mellitus. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali lipat pada tahun 2005,
dan sebagian besar peningkatan itu akan terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia. Populasi penderita diabetes di Indonesia diperkirakan
berkisar antara 1,5 sampai 2,5% kecuali di Manado 6%. Dengan jumlah penduduk sekitar
200 juta jiwa, berarti lebih kurang 3-5 juta penduduk Indonesia menderita diabetes.
Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 5 juta jiwa.
Pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 12 juta penderita (Promosi Kesehatan
Online, Juli 2005).
Walaupun Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak menyebabkan
kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila pengelolaannya tidak tepat.
Pengelolaan DM memerlukan penanganan secara multidisiplin yang mencakup terapi
non-obat dan terapi obat.
Diabetes melitus merupakan penyakit degeneratif ditandai dengan
adanya hiperglikemia atau kelebihan kadar glukosa dalam darah yang
memerlukan penanganan tepat. American Diabetes Association (ADA)
mengklasifikasikan diabetes melitus menjadi 4 yaitu diabetes melitus tipe 1,
diabetes melitus tipe 2, diabetes melitus gestastional dan diabetes melitus
tipe khusus. Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, (2011),
seseorang dapat didiagnosa diabetes melitus apabila mempunyai gejala
klasik diabetes melitus seperti poliuria, polidipsi dan polifagi diserta dengan
gula darah sewaktu ≥200 mg/dL dan gula darah puasa ≥126mg/dL.

1
1.2 Rumusan Masalah
Apa Definisi Diabetes ?
Bagaimana Patofisiologi Diabetes ?
Apa Saja Tipe-tipe Diabetes ?
Apa Faktor Resiko Diabetes ?
Bagaimana Gejala Diabetes ?
Bagaiman Cara Diagnosis Diabetes ?
Bagaiman Cara Penanganan Diabetes ?
1.3 Tujuan
Untuk Mengetahui Definisi Diabetes.
Untuk Mengetahui Patofisiologi Diabetes.
Untuk Mengetahui Tipe-tipe Diabetes.
Untuk Mengetahui Faktor Resiko.
Untuk Mengetahui Gejala Diabetes.
Untuk Mengetahui Diagnosis Diabetes.
Untuk Mengetahui Penanganan Diabetes.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Diabetes Mellitus


Diabetes mellitus (DM) didefenisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan
metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Keadaan hiperglikemia kronis dari diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, gangguan fungsi dan kegagalan berbagai organ, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah (Dipiro, et. al., 2015).
Diabetes Melitus adalah sindrom klinis yang ditandai dengan hiperglikemia karena
defisiensi insulin yang absolut maupun relatif. Kurangnya hormon insulin dalam tubuh
yang dikeluarkan dari sel β pankreas mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein,
dan lemak menyebabkan gangguan signifikan. Kadar glukosa darah erat diatur oleh
insulin sebagai regulator utama perantara metabolisme. Hati sebagai organ utama dalam
transport glukosa yang menyimpan glukosa sebagai glikogen dan kemudian dirilis ke
jaringan perifer ketika dibutuhkan (American Diabetes Association, 2012).

2.2 Patofiologi diabetes


Diabetes melitus tipe 1 (5 - 10% kasus) biasanya terdapat pada masa anak- anak atau
awal memasuki usia dewasa dan menghasilkan kerusakan yang dimediasi oleh autoimun
pada sel β pankreas, menghasilkan defisiensi insulin. Proses autoimun dimediasi oleh
makrofag dan limfosit T dengan autoantibodi terhadap antigen sel β (contoh: sel
antibodi, antibodi insulin) (Dipiro, et. al., 2015). Pada patofisiologi diabetes mellitus tipe
1, yang terjadi adalah tidak adanya insulin yang dikeluarkan oleh sel yang berbentuk
seperti peta pada pankreas yang terletak di belakang lambung. Dengan tidak adanya
insulin, glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel untuk dirubah menjadi
tenaga. Karena tidak bisa diserap oleh insulin, glukosa ini terjebak dalam darah dan
kadar glukosa dalam darah menjadi naik (Homenta,2012).
Diabetes melitus tipe 2 sebanyak 90% kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan
kombinasi resistensi insulin dan defisiensi insulin. Resistensi insulin dimanifestasikan
oleh peningkatan lipolysis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi
glukosa hepatik, dan penurunan serapan otot rangka glukosa. Sel β mengalami disfungsi
progresif dan menyebabkan memburuknya kontrol glukosa darah. DM tipe 2 terjadi

3
ketika gaya hidup diabetogenic (kalori yang berlebihan, olahraga tidak memadai, dan
obesitas) ditumpangkan di atas rentan genotip. Pada DM tipe 2 terjadi ganguan
pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal
sehinga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin (Dipiro, et. al.,2015).
Kejadian lainnya pada diabetes melitus (1 - 2% kasus) mencakup penyakit endokrin
(contoh: akromegali, cushing syndrome), diabetes gestasional (GDM) atau diabetes pada
ibu hamil, dan obat-obatan (glukokortikoid, niasin, α- interferon) (Dipiro, et. al., 2015).

2.3 Tipe-Tipe Diabetes


Diabetes dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Diabetes mellitus tipe I (Insulin dependent)
DM tipe I umumnya timbul pada anak-anak dan dewasa muda. DM tipe I terjadi
karena destruksi sel-sel pembuat insulin melalui mekanisme imunologik sehingga
menyebabkan hilangnya hampir seluruh insulin endogen. Penderita DM tipe I mengalami
ketergantungan terhadap insulin eksogen untuk menurunkan kadar glukosa plasma dan
menghindari ketoasidosis (KAD) serta untuk mempertahankan hidupnya . Pada penderita
DM tipe I perawatan insulin adalah mutlak (Leslie,1991).
b. Diabetes melitus tipe II (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
DM tipe II biasanya timbul pada usia lebih dari 40 tahun. Pada DM tipe II sel β
pankreas tidak rusak tetapi terjadi resistensi terhadap kerja insulin. Produksi insulin
biasanya dapat untuk mencegah KAD, namun KAD dapat timbul bila ada stress berat
(Woodley dan Whelan, 1995).
c. DM Tipe Lain
Dapat disebabkan oleh efek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab
imunologi dan sindrom genetika lain yang berkaitan dengan diabetes mellitus (Katzung,
2002).
d. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes yang timbul selama kehamilan, artinya kondisi diabetes atau intoleransi
glukosa yang didapati selama masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau
ketiga. Diabetes mellitus gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi
perinatal (di sekitarwaktu melahirkan), dan sang ibu memiliki resiko untuk dapat
menderita penyakit diabetes mellitus yang lebih besar dalam jangka waktu 5 sampai 10
tahun setelah melahirkan (Woodley dan Wheland, 1995).

4
2.4 Faktor Resiko
Beberapa faktor resiko dari diabetes mellitus adalah sebagai berikut :
1. Keturunan
Sekitar 50 % pasien diabetes tipe 2 mempunyai orangtua yang menderita diabetes,
dan lebih sepertiga pasien diabetes mempunyai saudara yang mengidap diabetes.
Sedangkan untuk diabetes tipe 1, sekitar 20 % terjadi pada penderita dengan riwayat
keluarga terkena diabetes dan 80 % terjadi pada penderita yang tidak memiliki riwayat
keluarga dengan diabetes. (WHO, 2002).
2. Ras atau Etnis
Beberapa ras tertentu, seperti suku indian di Amerika, Hispanik, dan orang Amerika
di Afrika, mempunyai resiko lebih besar terkena diabetes tipe 2.Sedangkan diabetes tipe
1 sering terjadi pada orang Finlandia dengan presentase mencapai 40 %.
3. Usia
Pada diabetes tipe 1, usia muda merupakan awal terjadinya penyakit tersebut,
sedangkan pada diabetes tipe 2 umur puncak berada pada usia diatas 45 tahun.
4. Obesitas
Lebih dari 8 diantara 10 penderita diabetes tipe 2 adalah mereka yang mengalami
kegemukan. Makin banyak jaringan lemak, jaringan tubuh dan otot akan makin resisten
terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh atau kelebihan berat badan terkumpul
didaerah sentral atau perut. Lemak ini akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa
tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah.
5. Sindroma Metabolik
Menurut WHO dan National Cholesterol Education Program : Adult Treatment Panel
III, orang yang menderita sindroma metabolic adalah mereka yang punya kelainan
seperti : tekanan darah tinggi lebig dari 160/90mmHg, trigliseridaa darah lebih dari
150mg/dl, kolesterol HDL <40 mg/dl, obesitas sentral dengan BMI lebih dari 30, lingkar
pinggang melebihi 102 cm pada pria atau melebihi 88 cm pada wanita, atau sudah
terdapat mikroalbuminuria.
6. Kurang Gerak Badan
Olahraga atau aktivitas fisik membantu untuk mengontrol berat badan. Glukosa darah
dibakar menjadi energi, sel-sel tubuh menjadi lebih sensitive terhadap insulin.peredaran
darah lebih baik dan resiko terjadinya diabetes tipe 2 akan turun sampai50%.

5
7. Faktor Kehamilan
Diabetes pada ibu hamil dapat terjadi pada 2-5 % kehamilan. Biasanya diabetes akan
hilang setelah anak lahir. Ibu hamil dengan diabetes dapat melahirkan bayi besar dengan
berat badan lebih dari 4 kg. Apabila ini terjadi, sangat besar kemungkinan si ibu akan
mengidap diabetes tipe 2 kelak.
8. Infeksi
Infeksi virus dapat juga dijadikan penyebab timbulnya diabetes mellitus. Adapun
virus-virus tersebut adalah virus cytomegalovirus, virus rubella dan virus coxsackie.

2.5 Gejala Diabetes Mellitus


Gejala diabetes dapat dikelompokkan menjadi dua,yaitu :
a. GejalaAkut
Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi tiga serba banyak yaitu:
- Banyak makan(polifagia)
- Banyak minum(polidipsi)
- Banyak kencing(poliuria)
Dalam fase ini biasanya penderita menunjukkan berat badan yang terus bertambah,
karena pada saat itu jumlah insulin masih mencukupi. Apabila keadaan ini tidak segera
diobati maka akan timbul keluhan lain yang disebabkan oleh kurangnya insulin. Keluhan
tersebut diantaranya:
- nafsu makan berkurang
- banyak minum
- banyakkencing
- berat badan turun dengancepat
- mudahlelah
- bila tidak segera diobati,penderita akan merasa mual bahkan penderita akan jatuh
koma (koma diabetik).

b. GejalaKronik
Gejala kronik akan timbul setelah beberapa bulan atau beberapa tahun setelah penderita
menderita diabetes. Gejala kronik yang sering dikeluhkan oleh penderita,yaitu:
- Kesemutan
- Kulit terasapanas
- Terasa tebaldikulit

6
- Kram
- Lelah
- Mudahmengantuk
- Matakabur
- Gatal disekitarkemaluan
- Gigi mudah goyah dan mudah lepas
- Kemampuan seksual menurun
- bagi penderita yang sedang hamil akan mengalami keguguran atau kematian janin
dalam kandungan atau berat bayi lahir lebih dari 4kg.

2.6 Diagnosis Diabetes


Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Pemeriksaan glukosa darah yang
dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma
vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun kapiler tetap dapat
dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda
sesuai pembakuan oleh WHO (Perkeni, 2011)
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti :
a. Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Perkeni, 2011).

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:


1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200
mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa
lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-
ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus
(Perkeni, 2011).

7
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah
puasa terganggu (GDPT).

2.7 Penanganan Diabetes Mellitus


Tujuan akhir penatalaksanaan diabetes adalah untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas DM, yang secara spesifik untuk mencapai 2 target utama, yaitu menjaga kadar
glukosa plasma berada dalam kisaran normal dan mencegah atau meminimalkan
kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes (DEPKES RI, 2005).
a. Terapi nonfarmakologi
1. Terapi Nutrisi dan Pengaturan diet
Terapi nutrisi medis dianjurkan untuk semua pasien. Untuk tipe 1 DM,
fokusnya adalah pada fisiologis yang mengatur pemberian insulin dengan diet
seimbang untuk mencapai dan mempertahankan berat badan yang sehat.
Merencanakan makan dengan jumlah karbohidrat yang moderat dan rendah lemak
jenuh, dengan fokus pada makanan seimbang. Pasien dengan DM tipe 2 sering
membutuhkan keseimbangan kalori untuk meningkatkan berat badan (DiPiro, 2015).
Dianjurkan diet dengan komposisi makanan yang seimbang dalam hal karbohidrat,
lemak dan protein sesuai dengan kecukupan gizi yang baik sebagai berikut:
 Karbohidrat :60-70%
 Protein :10-15%
 Lemak :20-25%
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut dan
kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan mempertahankan
berat badan ideal (DEPKES RI, 2005).
2. OlahRaga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah
tetap normal. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan
secara teratur akan sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan. Disarankan olah raga
yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance
Training). Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal
(220-umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh
olah raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan

8
lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit
per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan antara 5-
10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas reseptor
insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (DEPKES RI,
2005). Selain itu latihan aerobik dapat meningkatkan sensitivitas insulin dan kontrol
glikemik dan dapat mengurangi faktor risiko kardiovaskular, membantu untuk
penurunan berat badan atau pemeliharaan, dan meningkatkan kesehatan
(DiPiro,2015).

b. Terapi Farmakologi
1) Obat antidiabetikoral
i. Turunan Sulfonilurea dan analog sulfonamida
Contoh obat : Glibenklamid, Karbutmaid, Tolbutamid,Klorpropamid, glimidin.
Mekanisme kerja: Obat ini membebaskan insulin yang dapat dimobilisasi dari sel
B pankreas dan pada saat yang sama memperbaiki tanggapan terhadap rangsang
glukosa fisiologik. Obat ini hanya berkhasiat jika produksi insulin tubuh sendiri
sebagian masih bertahan (tidak berkhasiat jika tidak ada produksi insulin).
Indikasi: hanya diindikasikan pada penderita diabetes tipe II yang tidak
membutuhkan insulin, karena pada penderita ini normalisasi kadar gula darah
tidak mungkin dilakukan dengan tindakan diet.
Efek samping: Kehilangan selera makan, Mual, Leukopenia, Trombositopenia,
Gejala anemia, Reaksi alergi, Hipoglikemia.
Kontraindikasi: Tidak dapat diberikan pada diabetes tipe I, pada asetonuria
parah,koma diabetik, pada gangguan fungsi ginjal yg parah dan pada masa
kehamilan. Dianjurkan pada masa kehamilan untuk menggantinya dengan insulin.
Interaksi: Yg memperbesar kerja menurunkan gula darah: turunan kumarin,
bloker reseptor b, kloramfenikol, fenilbutazon, salisilat, sulfonamida dan
tetrasiklin.
Toleransi alkohol diturunkan terutama oleh Klorpropamida.

ii. Turunan Biguanida


Dari senyawa ini hanya Metformin yang masih tersedia. Senyawa-senyawa lain
sudah ditarik dari peredaran karena cukup sering menimbulkan toksisitas.

9
Setelah pemberian metformin secara oral pada penderita diabetes, kadar gula
darah menurun sesuai dengan dosis, tetapi hal ini tidak terjadi pada orang dengan
metabolisme sehat. Maka suatu efek hipoglikemik tidak perlu ditakutkan.
Indikasi : pada penderita diabetes dewasa yang tidak tertolong dengan tindakan
diet dan terdapat alergi terhadap tipe sulfonamida.
Efek samping: Menyebabkan gangguan saluran cerna, Perubahan pembentukan
darah
Metformin tidak dapat diberikan pada koma atau prakoma
diabetik:Kecenderungan asetonuria, Kerusakan berat ginjal atau hati, Pankreatitis,
Menurunnya kondisi umum

iii. Golongan Meglitinid


Contoh obatnya : Repaglinid dan Nateglinid
Mekanisme kerjanya : Sama dengan sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat
berbeda.
Metabolisme utamanya di hepar dan metabolitnya tidak aktif. (Pada pasien
dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus berhati-hati).
Efek samping utamanya Hipoglikemia dan gangguan saluran cerna.

iv. Golongan Tiazolidinedion (Pioglitazon dan Rosiglitazon)


Senyawa ini dapat mengurangi resistensi insulin, meningkatkan sensitivitas
insulin melalui peningkatan AMP kinase yang merangsang transfort glukosa ke
sel dan meningkatkan oksidasi asam lemak. Selain itu juga menurunkan produksi
glukosa hepar, menurunkan asam lemak bebas di plasma. Senyawa ini digunakan
untuk DM tipe II yang tidak memberi respon dengan diet dan latihan fisik.
Sebagai monoterapi atau ditambahkan pada mereka yang tidak memberi respons
pada obat hipoglikemik lain .

v. Penghambat Enzim a-Glikosidase (Akarbosa, miglitol)


Obat golongan ini dapat memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin dan
disakarida di intestin. Sehingga dapat mencegah peningkatan glukosa plasma
pada orang normal dan pasien DM. Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi
insulin, maka tidak akan menyebabkan efek samping hipoglikemia. Akarbose
dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang glukosa

10
postprandialnya sangat tinggi. Diklinik sering digunakan bersama antidiabetik
oral lain dan/atau insulin.

2) Insulin
Pada diabetes mellitus tipe I, diperlukan pemberian insulin eksogen untuk
memperbaiki katabolisme, mencegah ketosis dan menurunkan peningkatan kadar
glukosa darah. Selain DM tipe I, insulin kadang digunakan oleh pasien DM tipe II
dan ibu hamil yang disertai Diabetes Mellitus, namun untuk waktu yang singkat.
Penggunaan insulin dapat juga untuk indikasi sebagai berikut :
a) Kencing manis dengan komplikasi akut seperti gangren, ketoasidosis, dan
koma.
b) Kencing manis pada kehamilan yang tak terkontrol dengan dietarycontrol.
c) Penurunan badan yangdrastis
d) Penyakit DM yang tidak berhasil dengan obat hipoglikemik dosismaksimal.
e) Penyakit dengan gangguan fungsi hati dan ginjalberat.

Ada 4 tipe utama insulin yang tersedia:


1. Ultra-short-acting, yang mempunyai mula kerja sangat cepat dan masa kerja
yangpendek.
2. Insulin reguler, jenis insulin ini bekerja dalam waktu yang pendek dengan
mula kerjacepat.
3. Insulin lente, bekerja dalam waktumenengah.
4. Insulin yang bekerja dalam jangka waktu panjang dengan mula kerja lambat
(Katzung,2002).

3) EkstraksiTanaman
Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif
yang semula berada dalam tanaman ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif
larut dalam cairan penyari (Ansel, 1989). Farmakope Indonesia menetapkan untuk
proses penyari sebagai cairan penyari digunakan air, etanol, air-etanol, eter yang
digunakan sebagai penyari pada pembuatan obat tradisional (Anonim,1979).

11
4) Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat
dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan
OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet
tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai
mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat
pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi
OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan. Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak
dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur.
Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan
evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan
harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih
tidak terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasiinsulin.

12
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

13
DAFTAR PUSTAKA

14

Anda mungkin juga menyukai