Anda di halaman 1dari 29

Bagian Keperawatan Gawat Darurat

Program Pendidikan Profesi Ners

LAPORAN PENDAHULUAN
KEJANG DEMAM

Disusun Oleh:
HASRAWATI
19. 04. 010

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
T.A 2019-2020

BAB I

1
KONSEP MEDIS

A. Defenisi
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan
suhu tubuh (suhu rektal di atas 38°C). Kondisi yang menyebabkan kejang
demam antara lain : infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti
tonsilitis, otitis media akut, bronkitis (Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering
dijumpai pada anak. Bangkitan kejang ini terjadi karena adanya kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38°C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Penyebab demam terbanyak adalah infeksi saluran pernapasan bagian atas
disusul infeksi saluran pencernaan. Insiden terjadinya kejang demam terutama
pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir3% dari anak yang
berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam. Kejang demam
lebih sering didapatkan pada laki-laki dari pada perempuaan. Hal tersebut
disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki (Judha & Rahil, 2011).
Pada saat mengalami kejang, anak akan terlihat aneh untuk beberapa
saat, kemudian kaku, dan memutar matanya. Anak tidak responsif untuk
beberapa waktu, nafas akan terganggu, dan kulit akan tampak lebih gelap dari
biasanya. Setelah kejang, anak akan segera normal kembali. Serangan kejang
pada penderita kejang demam dapat terjadi satu, dua, tiga kali atau lebih
selama satu episode demam. Jadi, satu episode kejang demam dapat terdiri dari
satu, dua, tiga atau lebih serangan kejang.
B. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi 2 golongan. Terdapat perbedaan kecil
dalam penggolongan tersebut, menyangkut jenis kejang, tingginya demam, usia
penderita, lamanya kejang berlangsung, gambaran rekaman otak, dan lainnya
(Lumbantobing, 2004).

2
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang
demam sederhana antara lain :
a. Berlangsung singkat (< 15 menit)
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang tonik dan atau klonik.
c. Kejang hanya terjadi sekali / tidak berulang dalam 24 jam.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure) Adapun ciri-ciri kejang
demam kompleks antara lain :
a. Berlangsung lama (> 15 menit).
b. Menunjukkan tanda-tanda kejang fokal yaitu kejang yang hanya
melibatkan salah satu bagian tubuh.
c. Kejang berulang/multipel atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
d. Kejang tonik yaitu serangan berupa kejang/kaku seluruh tubuh. Kejang
klonik yaitu gerakan menyentak tiba-tiba pada sebagian anggota tubuh.
C. Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Namun pada sebagian
besar anak dipicu oleh tingginya suhu tubuh bukan kecepatan peningkatan suhu
tubuh. Biasanya suhu demam diatas 38,8oC dan terjadi disaat suhu tubuh naik
dan bukan pada saat setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh (Dona Wong L,
2008).
Bangkitan kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu
badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan
syaraf pusat misalnya tonsilitis, ostitis media akut, bronkitis(Judha & Rahil,
2011).Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi yang
mengenai jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis
(Riyadi, Sujono & Sukarmin, 2009).
Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang demam pada
anak. Demam sering disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi seperti infeksi
saluran pernafasan akut, otitis media akut, gastroenteritis, bronkitis, infeksi
saluran kemih, dan lain-lain. Setiap anak memiliki ambang kejang yang
berbeda. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang paling tinggi. Pada anak
dengan ambang kejang yang rendah, serangan kejang telah terjadi pada suhu

3
38°C bahkan kurang, sedangkan padaanak dengan ambang kejang tinggi,
serangan kejang baru terjadi pada suhu 40°C bahkan lebih.
Beberapa faktor yang berperan menyebabkan kejang demam antara lain
adalah demam, demam setelah imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari
mikroorganisme, respon alergik atau keadaan imun yang abnormal akibat
infeksi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit (Dewanto et al, 2009).
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah (IDAI, 2009)
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 18 bulan
3. Temperatur tubuh saat kejang. Makin rendah temperatur saat kejang makin
sering berulang
4. Lamanya demam.
5. Adapun faktor risiko terjadinya epilepsi di kemudian hari adalah (IDAI,
2009)
6. Adanya gangguan perkembangan neurologis
7. kejang demam kompleks
8. riwayat epilepsi dalam keluarga
9. lamanya demam
D. Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi di pecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion K+ dan sangat sulit
dilalui oleh ion Na+ dan elektrolit lainya kecuali ion Cl-. Akibatnya
konsentrasi ion kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah,
sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis
dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial
membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga
keseimbangan potensial membran di perlukan energi dan bantuan enzim NA-K
ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.

4
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler. Rangsangan yang datang mendadak
misalnya mekanisme, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya.
Perubahanpatofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10 sampai 15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh
tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%.Oleh karena itu
kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion
natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik.
Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas
keseluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan
“neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama
biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hiposemia, hiperkapnia, asidosis
laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi, artenal disertai denyut
jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin
meningkatnya aktivitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat
(Judha & Rahil, 2011).
Infeksi yang terjadi pada jaringan di luar kranial seperti tonsilitis, otitis
media akut, bronkitis penyebab terbanyak adalah bakteri yang bersifat toksik.
Toksik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat menyebar keseluruh tubuh
melalui hematogen maupun limfogen.
Penyebaran toksik ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus
dengan menaikkan pengaturan suhu di hipotalamus sebagai tanda
tubuhmengalami bahaya secara sistemik. Naiknya pengaturan suhu di
hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu di bagian tubuh yang lain seperti
otot, kulit sehingga terjadi peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu di hipotalamus, otot, kulit jaringan tubuh yang lain akan
disertai pengeluaran mediator kimia seperti epinefrin dan prostaglandin.

5
Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang peningkatan potensial aksi
pada neuron . Peningkatan potensial inilah yang merangsang perpindahan ion
natrium, ion kalium dengan cepat dari luar sel menuju ke dalam sel. Peristiwa
inilah yang diduga dapat menaikkan fase depolarisasi neuron dengan cepat
sehingga timbul kejang.
Serangan cepat itulah yang dapat menjadikan anak mengalami penurunan
kesadaran, otot ekstremitas maupun bronkus juga dapat mengalami spasma
sehingga anak beresiko terhadap injuri dan kelangsungan jalan nafas oleh
penutupan lidah dan spasma bronkus (Price, 2005).
E. Tanda Dan Gejala
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang
muncul pada penderita kejang demam :
1. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C.
2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
kinetik. Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan
reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali
tanpa ada kelainan persarafan.
3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan,
cahaya (penurunan kesadaran)
4. Pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi
pada anak-anak yang mengalami kejang demam) .
5. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya
berlangsung selama 10-20 detik).
6. Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit).
7. Lidah atau pipinya tergigit.
8. Gigi atau rahangnya terkatup rapat.
9. Inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya).
10. Gangguan pernafasan.
11. Apneu (henti nafas).
12. Kulitnya kebiruan.

6
Selain itu pedoman mendiagnosis kejang demam menurut Livingstone
juga dapat kita jadikan pedoman untuk menetukan manifestasi klinik kejang
demam. Ada 7 kriteria antara lain:
1. Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
2. Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot
rahang saja).
4. Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada
kelainan.
6. Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau
lebih setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan
7. Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.
Serangan kejang biasanya terjadi 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat dengan sifat kejang dapat berbentuk tonik-klonik,
tonik, klonik, fokal atau kinetik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu
kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun sejenak tapi setelah
beberapa detik atau menit anak akan sadar tanpa ada kelainan saraf.(Judha
& Rahil, 2011)
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaannya meliputi:
1. Darah
a. Glukosa darah:hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N<200mq/dl)
b. BUN:Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit:Kalium,natrium.Ketidakseimbngan elektrolit merupakan
predisposisi kejang
d. Kalium (N 3,80-5,00 meq/dl)
e. Natrium (N 135-144 meq/dl)

7
2. Cairan Cerebo Spinal:Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda
infeksi,pendarahan penyebab kejang
3. X Ray:Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4. Tansiluminasi: Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih
terbaik (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk
transiluminasi kepala
5. EEG: teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang
utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang,hasil biasanya normal.
6. CT Scan: untuk mengidentifikasi lesi cerebral infark hematoma,cerebral
oedema,trauma,abses,tumor dengan atau tanpa kontras.
G. Penatalaksanaan Medis
1. Pengobatan Saat Terjadi Kejang Demam
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan
diri setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang
harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Anak harus dibaringkan di tempat yang datar dengan posisi
menyamping, bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut si anak seperti sendok,
karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan napas.
c. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang
d. Sebagian besar kejang berlangsung singkat dan tidak memerlukan
penanganan khusus.
e. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera dibawa
ke fasilitas kesehatan terdekat.
f. Setelah kejang berakhir, anak perlu dibawa menemui dokter untuk
meneliti sumber demam, terutama jika ada kekakuan leher, muntah-
muntah yang berat, atau anak terus tampak lemas.
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), menyatakan
bahwa penatalaksanaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit antara
lain:

8
a. Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena
secara perlahan dengan panduan dosis untuk berat badan yang kurang
dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, diatas 20 kg 0,5 mg/kg BB.
Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian
dengan maksimal dosis pemberian 5 mg pada anak kurang dari 5
tahun dan maksimal 10 mg pada anak yang berumur lebih dari 5
tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg persuntikan. Setelah
pemberian pertama diberikan masih timbul kejang 15 menit kemudian
dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan dosis yang
sama. Apabila masih kejang maka ditunggu 15 menit lagi kemudian
diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara
intramuskuler.
b. Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi
hiperekstensi miring, pakaian dilonggarkan, dan pengisapan lendir.
Bila tidak membaik dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau
trakeostomi.
c. Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
d. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan
memudahkan dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian
cairan intravena pemantauan intake dan output cairan selama 24
jamperlu dilakukan, karena pada penderita yang beresiko terjadinya
peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat
penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada pasien dengan
peningkatan intraklanial juga pemberian cairan yang mengandung
natrium perlu dihindari.
e. Pemberian kompres hangat untuk membantu suhu tubuh dengan
metode konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat tinggi (suhu
tubuh) ke benda yang mempunyai derajat yang lebih rendah (kain
kompres). Kompres diletakkan pada jaringan penghantar panas yang
banyak seperti kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area
pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat

9
dikombinasikan dengan pemberian antipiretik seperti prometazon 4-6
mg/kg BB/hari (terbagi dalam 3 kali pemberian).
f. Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan
obat-obatan untuk mengurang edema otak seperti dektametason 0,5-1
ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik.Posisi kepala
hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan
craa menaikan tempat tidur bagian kepala lebih tinggi kurang kebih
15° (posisi tubuh pada garis lurus)
g. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien terbebas dari kejang pasca
pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan
dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan-
1tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan tehnik pemberian
intramuskuler. Setelah itu diberikan obat rumatan fenobarbital dengan
dosis pertama 8-10 mg/kg BB /hari (terbagi dalam 2 kali pemberian)
hari berikutnya 4-5 mg/kg BB/hari yang terbagi dalam 2 kali
pemberian.
h. Pengobatan penyebab.
Karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang adalah kenaikan
suhu tubuh akibat infeksi seperti di telinga, saluran pernapasan, tonsil
maka pemeriksaan seperti angka leukosit, foto rongent, pemeriksaan
penunjang lain untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang menjadi
penyebab infeksi sangat perlu dilakukan. Pemeriksaan ini bertujuan
untuk memilih jenis antibiotik yang cocok diberikan pada pasien anak
dengan kejang demam.
2. Setelah Kejang Demam Berhenti
Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup
dilanjutkan dengan pengobatan intermitten yang diberikan pada anak
demam untuk mencegah terjadinya kejang demam. Obat yang diberikan
berupa :

10
a. Antipiretik
Paracetamol atau asetaminofen 10-15 mg/kgBB diberikan 4 kali
atau tiap 6 jam. Berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek
samping berupa hiperhidrosis. Ibuprofen 10 mg/kgBB diberikan 3
kali (8 jam).
b. Antikonvulsan
Berikan diazepam oral dosis 0,3-0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada
saat demam untuk menurunkan resiko berulangnya kejang atau
diazepam rectal dosis 0,5 mg/kgBB sebanyak 3 kali per hari.
H. Pencegahan Kejang Demam
a. Pencegahan Primordial
Yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap
kasus kejang demam pada seorang anak dimana belum tampak
adanya faktor yang menjadi risiko kejang demam. Upaya
primordial dapat berupa:
1) Penyuluhan kepada ibu yang memiliki bayi atau anak tentang
upaya untuk meningkatkan status gizi anak, dengan cara
memenuhi kebutuhan nutrisinya. Jika status gizi anak baik maka
akan meningkatkan daya tahan tubuhnya sehingga dapat
terhindar dari berbagai penyakit infeksi yang memicu terjadinya
demam.
2) Menjaga sanitasi dan kebersihan lingkungan. Jika lingkungan
bersih dan sehat akan sulit bagi agent penyakit untuk
berkembang biak sehingga anak dapat terhindar dari berbagai
penyakit infeksi.
b. Pencegahan Primer
Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan sebelum
seseorang anak mengalami kejang demam. Pencegahan ini
ditujukan kepada kelompok yang mempunyai faktor risiko. Dengan
adanya pencegahan ini diharapkan keluarga/orang terdekat dengan
anak dapat mencegah terjadinya serangan kejang demam.

11
Upaya pencegahan ini dilakukan ketika anak mengalami
demam. Demam merupakan faktor pencetus terjadinya kejang
demam. Jika anak mengalami demam segera kompres anak dengan
air hangat dan berikan antipiretik untuk menurunkan demamnya
meskipun tidak ditemukan bukti bahwa pemberian antipiretik dapat
mengurangi risiko terjadinya kejang demam.
c. Pencegahan Sekunder
Yaitu upaya pencegahan yang dilakukan ketika anak sudah
mengalami kejang demam. Adapun tata laksana dalam penanganan
kejang demam pada anak meliputi:
1) Pengobatan Fase Akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama
adalah menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian
dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi.
Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga
berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan
pemberian oksigen harus dilakukan teratur, bila perlu dilakukan
intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit
harus diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan
kompres air hangat dan pemberian antipiretik. Pemberantasan
kejang dilakukan dengan cara memberikan obat antikejang
kepada penderita. Obat yang diberikan adalah diazepam. Dapat
diberikan melalui intravena maupun rektal.
2) Mencari dan mengobati penyebab
Pada anak, demam sering disebabkan oleh infeksi saluran
pernafasan akut, otitis media, bronkitis, infeksi saluran kemih,
dan lain-lain. Untuk mengobati penyakit infeksi tersebut
diberikan antibiotik yang adekuat. Kejang dengan suhubadan
yang tinggi juga dapat terjadi karena faktor lain, seperti
meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan
serebrospinal (lumbal pungsi) diindikasikan pada anak penderita

12
kejang demam berusia kurang dari 2 tahun. Pemeriksaan
laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari
penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan
elektrolit. Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam
kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk mengalami
epilepsi.
3) Pengobatan profilaksis terhadap kejang demam berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan
karena menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat
menyebabkan kerusakan otak yang menetap. Terdapat 2 cara
profilaksis, yaitu:
a) Profilaksis intermitten pada waktu demam
Pengobatan profilaksis intermittent dengan
antikonvulsan segera diberikan pada saat penderita demam
(suhu rektal lebih dari 38ºC). Pilihan obat harus dapat cepat
masuk dan bekerja ke otak. Obat yang dapat diberikan berupa
diazepam, klonazepam atau kloralhidrat supositoria.
b) Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah:
 Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan
atau gangguan perkembangan neurologis.
 Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat
genetik pada orang tua atau saudara kandung.
 Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti
kelainan neurologis sementara atau menetap. Kejang
demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan
atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama
1-2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan
secara bertahap selama 1-2 bulan. Pemberian profilaksis
terus menerus hanya berguna untuk mencegah berulangnya

13
kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah
timbulnya epilepsi di kemudian hari. Obat yang dapat
diberikan berupa fenobarbital dan asam valproat.
d. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier adalah mencegah
terjadinya kecacatan, kematian, serta usaha rehabilitasi. Penderita
kejang demam mempunyai risiko untuk mengalami kematian
meskipun kemungkinannya sangat kecil. Selain itu, jika penderita
kejang demam kompleks tidak segera mendapat penanganan yang
tepat dan cepat akan berakibat pada kerusakan sel saraf (neuron).
Oleh karena itu, anak yang menderita kejang demam perlu
mendapat penanganan yang adekuat dari petugas kesehatan guna
mencegah timbulnya kecacatan bahkan kematian.
I. Komplikasi
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam
anak antara lain:
1. Kejang Demam Berulang.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada
lebih dari satu episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor
risiko berulangnya kejang demam yaitu :
a. Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama
b. Riwayat kejang demam dalam keluarga
c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam
d. Riwayat demam yang sering
e. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
2. Kerusakan Neuron Otak.
Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai
dengan apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia,
asidosis laktat karena metabolisme anaerobik, hipotensi arterial,
denyut jantung yang tak teratur, serta suhu tubuh yang makin

14
meningkat sejalan dengan meningkatnya aktivitas otot sehingga
meningkatkan metabolisme otak. Proses di atas merupakan faktor
penyebab terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsung kejang
lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler
dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan neuron otak.
3. Retardasi Mental, terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak
mendapatkan pengobatan yang adekuat.
4. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis
setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3faktor
risiko yang menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian
hari, yaitu :
a. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
b. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum
kejang demam pertama.
c. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
5. Hemiparesis, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan,
tungkai serta wajah pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada
penderita yang mengalami kejang lama (kejang demam kompleks).
Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, setelah 2 minggu timbul
spasitas.

15
J. PATHWAY

Infeksi bakteri
Virus dan parasit

Reaksi inflamasi

Proses demam

Hipertermi

A.
Proses
Keringat meningkat
Demam
peradangan

Mengubah keseimbangan Gangguan pemenuhan cairan


Anoreksi
membran sel neuron

Kekurangan volume cairan


Nutrisi kurang dari Melepaskan muatan listrik yang
kebutuhan tubuh besar
Resiko ketidakefektifan
perfusi serebal

Resiko cedera
Kejang
Sel neuron otak rusak

Kurang dari 15 menit Lebih dari 15 menit


Permeabilitas kapiler
meningkat

Tidak menimbulkan
Perubahan suplay
Gejala sisi hipoksia
BAB Darah
II keotak

16
BAB II
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Survey Primer
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian
dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang
mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam
kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde,
2009) :
a. Airway maintenance dengan cervical spine protection
b. Breathing dan oxygenation
c. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
d. Disability-pemeriksaan neurologis singkat
e. Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary
survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan
langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah
sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan
tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan
peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya
menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka
(American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus
dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci
untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian
diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian
ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009)

17
a. A : Airway ( jalan nafas ) karena pada kasus kejang demam Inpuls-
inpuls radang dihantarkan ke hipotalamus yang merupakan pusat
pengatur suhu tubuh  Hipotalamus menginterpretasikan impuls menjadi
demam.  Demam yang terlalu tinggi merangsang kerja syaraf jaringan
otak secara berlebihan , sehingga jaringan otak tidak dapat lagi
mengkoordinasi persyarafan-persyarafan pada anggota gerak tubuh.
wajah yang membiru, lengan dan kakinya tesentak-sentak tak terkendali
selama beberapa waktu. Gejala ini hanya berlangsung beberapa detik,
tetapi akibat yang ditimbulkannya dapat membahayakan keselamatan
anak balita. Akibat langsung yang timbul apabila terjadi kejang demam
adalah gerakan mulut dan lidah tidak terkontrol. Lidah dapat seketika
tergigit, dan atau berbalik arah lalu menyumbat saluran pernapasan.
Diagnosa:
1) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd spasme jalan nafas
2) Risiko aspirasi bd penurunan reflek menelan
Tindakan yang dilakukan :
1) Semua pakaian ketat dibuka
2) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung
3) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen
4) Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen.
Evaluasi :
1) Inefektifan jalan nafas tidak terjadi
2) Jalan nafas bersih dari sumbatan
3) RR dalam batas normal
4) Suara nafas vesikuler
b. B : Breathing (pola nafas) karena pada kejang yang berlangsung lama
misalnya  lebih 15 menit biasanya disertai apnea, Na meningkat,
kebutuhan O2 dan energi meningkat untuk kontraksi otot skeletal yang
akhirnya terjadi hipoxia dan menimbulkan terjadinya asidosis.

18
Diagnosa:
1) Gangguan pertukaran gas
2) Gangguan ventilasi spontan
Tindakan yang dilakukan :
1) Mengatasi kejang secepat mungkin
2) Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam
keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat
kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara
intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan
suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat
diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
3) Usahakan agar jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan
oksigen
Evaluasi :
1) RR dalam batas normal
2) Tidak terjadi asfiksia
3) Tidak terjadi hipoxia
c. C : Circulation karena gangguan peredaran darah mengakibatkan
hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema
otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada
daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang
berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga
terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang
berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga
terjadi epilepsi.
Diagnosa:
1) Risiko perfusi serebral tidak efektif
2) Resiko cedera
Tindakan yang dilakukan :
1) Mengatasi kejang secepat mungkin

19
2) Diberikan antikonvulsan secara intravena jika klien masih dalam
keadaan kejang, ditunggu selama 15 menit, bila masih terdapat
kejang diulangi suntikan kedua dengan dosis yang sama juga secara
intravena. Setelah 15 menit suntikan ke 2 masih kejang diberikan
suntikan ke 3 dengan dosis yang sama tetapi melalui intramuskuler,
diharapkan kejang akan berhenti. Bila belum juga berhenti dapat
diberikan fenobarbital atau paraldehid 4 % secara intravena.
Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah :
1) Semua pakaian ketat dibuka
2) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung
3) Usahakan agar jalan napas bebasuntuk menjamin  kebutuhan
oksigen
4) Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan
oksigen
Evaluasi :
1) Tidak terjadi gangguan peredaran darah
2) Tidak terjadi hipoxia
3) Tidak terjadi kejang
4) RR dalam batas normal
d. Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau
karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa
bingung, dan tidak teringat kejadian saat kejang
e. Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks,
apakah ada cedera tambahan akibat kejang, dan periksa suhu tubuh
pasien untuk mengetahui suhu tubuh yangmana kejang mungkin
disebabkan atau didahului oleh terjadinya demam.

20
Diagnosa:
1) Hipertermia
Tindakan:
1) Temukan adanya tanda-tanda kemungkinan terjadinya fraktur akibat
kejang yang dialami
2) Berikan suhu ruangan yang sesuai untuk pasien dengan gangguan
termoregulasi.
2. Survey sekunder
a. Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal
pengkajian dan diagnosa medis.
b. Keluhan utama:
Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit:
Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-
spiritual. Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan,
ada faktor presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil.
Apakah pernah menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran,
kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-
obat penenang atau obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol. Klien
mengalami gangguan interaksi dengan orang lain / keluarga karena malu
,merasa rendah diri, ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu
waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.
1) Riwayat kesehatan
2) Riwayat keluarga dengan kejang
3) Riwayat kejang demam
4) Tumor intrakranial
5) Trauma kepala terbuka, stroke
d. Riwayat kejang :
1) Bagaimana frekuensi kejang.
2) Gambaran kejang seperti apa

21
3) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
4) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
5) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
6) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
e. Pemeriksaan fisik
1) Kepala dan leher : Sakit kepala, leher terasa kaku
2) Thoraks : Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu
napas
3) Ekstermitas : Keletihan, kelemahan umum, keterbatasan dalam
beraktivitas, perubahan tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
4) Eliminasi : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada
post iktal terjadi inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
5) Sistem pencernaan : Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang
berhubungan dengan aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak. Selain
pengkajian tersebut, focus pengkajian pada sekondari survey adalah
sebagai berikut.
Menurut Doenges (1993 : 259) dasar data pengkajian pasien adalah:
1) Aktifitas / Istirahat
Gejala : Keletihan, kelemahan umum
Keterbatasan dalam beraktifitas / bekerja yang ditimbulkan oleh diri
sendiri / orang terdekat / pemberi asuhan kesehatan atau orang lain.
Tanda : Perubahan tonus / kekuatan otot
Gerakan involunter / kontraksi otot ataupun sekelompok otot
2) Sirkulasi
Gejala : Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sianosis
Posiktal : Tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan
pernafasan.
3) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia episodik.

22
Tanda : Iktal : Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter.
Posiktal : Otot relaksasi yang menyebabkan inkontenensia ( baik urine /
fekal ).
4) Makanan dan cairan
Gejala : Sensitivitas terhadap makanan, mual / muntah yang
berhubungan dengan aktifitas kejang.
5) Neurosensori
Gejala : Riwayat sakit kepala, aktifitas kejang berulang, pingsan,
pusing. Riwayat trauma kepala, anoksia dan infeksi cerebral.
6) Nyeri / kenyaman
Gejala : Sakit kepala, nyeri otot / punggung pada periode posiktal.
Tanda : Sikap / tingkah laku yang berhati –hati.
Perubahan pada tonus otot.
Tingkah laku distraksi / gelisah.
7) Pernafasan
Gejala : Fase iktal : gigi mengatup, sianosis, pernafasan menurun /
cepat, peningkatan sekresi mukus.
Fase posiktal : apnea.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan spasme
jalan napas
2. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan gangguan
metabolisme
3. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
4. Kekurangan Volume Cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan
6. Risiko ketidakefektifan perfusiserebral
7. Risiko cedera

23
C.
D. Intervensi
Diagnosakeperawatan TujuandanKriteriaHasil
Ketidakefektifan bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Ma
nafas berhubungan dengan spasme 3x24 jam maka diharapkan bersihan jalan napas 1
jalan napas dapat membaik dengan criteria hasil:
1. Dipsnea dari meningkat (1) menjadi sedang
(3) 2
2. Orthopnea dari meningkat (1) menjadi sedang
(3)
3. Frekuensi napas dari memburuk (1) menjadi
cukup membaik (4) 3
4. Pola napas dari memburuk (1) menjadi cukup
membaik (4) 4

Gangguan ventilasi spontan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam B


berhubungan dengan gangguan diharapkan mampu mempertahankan pernafasan
metabolisme yang adekuat dengan kriteria :
1. Respirasi dalam batas normal (dewasa: 16-
20x/menit)
2. Irama pernafasan teratur
3. Kedalaman pernafasan normal
4. Suara perkusi dada normal (sonor)
5. Tidak ada retraksi otot dada
6. Suara nafas vesikuler
7. Tidak terdapat orthopnea
8. Taktil fremitus normal antara dada kiri dan
dada kanan
9. Tidak ada dispnea
10. Ekspansi dada simetris
11. Tidak terdapat akumulasi sputum
12. Tidak terdapat penggunaan otot bantu napas

24
Hipertermi berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama M
proses penyakit 3x24 jam maka diharapkan termoregulasi dapat 1
membaik dengan criteria hasil:
1. Menggigil dari meningkat (1) menjadi sedang
(3)
2. Kulit merah dari meningkat (1) menjadi 2
sedang (3) 3
3. Kejang dari meningkat (1) menjadi sedang (3) 4
4. Pucat dari meningkat (1) menjadi sedang (3) 5
5. Takikardi dari meningkat (1) menjadi sedang
(3) 6
6. Suhu tubuh dari memburuk (1) menjadi cukup
membaik (4) 7

Kekurangan volume cairan Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 Ma


berhubungan dengan kehilangan jam diharapkan masalah kekurangan volume cairan 1
cairan aktif dapat teratasi dengan kriteria hasil :
1. Tekanandarahdalambatas normal
2. MAP dalambatas normal
3. Denyutnadidalambatas normal
4. Tidakterjadipenurunankesadaran 2
5. Kadar hematocrit dalambatas normal
6. Kadar serum elektrolit (BUN 3
danosmolaritasurin) dalambatas normal)
7. Turgor kulitelastis 4
8. Intake dan output cairan 24 jam seimbang
5

Ketidakseimbangan nutrisi kurang Setelah dilakukan Tindakan keperawatan selama M


dari kebutuhan berhubungan dengan 3x24 jam diharapkan status nutrisi: asupan nutrisi 1
ketidakmampuan mencerna makanan dapat membaik dengan criteria hasil:
1. Asupan protein dari tidak adekuat (1) menjadi
cukup adekuat (3) 2
2. Asuapan karbohidrat dari tidak adekuat (1)

25
menjadi cukup adekuat (3) 3
3. Asupan vitamin dari tidak adekuat (1)
menjadi cukup adekuat (3)
4. Asupan kalsium dari tidaka dekuat (1)
menjadi cukup adekuat (3) 4

Risiko ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 C


serebral jam tidak terjadi peningkatan tekanan intra kranial 1
dengan kriteria hasil :
1. Tekanan darah (sistolik dan diastolik) dalam
batas normal
2. MAP dalam batas normal
3. Sakit kepala berkurang/hilang
4. Tidak gelisah 2
5. Tidak mengalami muntah 3
6. Tidak mengalami penurunan kesadaran

Risiko cedera Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 Pen


jam maka pasien diharapkan tidak mengalami 1
Kejadian Jatuhd engan
Kriteria Hasil :
1. Jatuh saat di tempat tidur ditingkatkan dari 2
skala (3) ke skala (5) tidak ada
2. jatuh saat dipindahkan ditingkatkan dari skala
(4) ke skala (5) tidak ada 3

26
4

27
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, dkk (2000), Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media


Aesculapius, Jakarta
Dewanto, George, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana
Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Doenges, Marillyn E, dkk (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa
Keperawatan, EGC, Jakarta
Doenges, Marillyn E, et all (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,
Jakarta
Eisai, 2012. Pathophysiology of Epilepsy, 2. Eisai Inc. Available from
http://www.focusonepilepsy.com/pdfs/pathophys.pdf [Accessed 3 Oktober
2017].
Engel Jr., Jerome, 2006. ILAE Classification of Epilepsy Syndromes. Epilepsy
Research, 70S: S5-S10.
Hawari, Irawaty, 2012. Epilepsi di Indonesia. Available from: http://www.ina-
epsy.org/ [Accessed 3 Oktober 2017].
IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis, hal: 253, Jakarta, IDAI.
Judha M & Rahil H.N. 2011 Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan.
Yogyakarta: Gosyen Publishing
Krisanty P,. Dkk (2008), Asuhan Keperawatan Gawat darurat, Trans info Media,
Jakarta
Lowenstein, Daniel H., 2010. Seizures and Epilepsy. In: Hauser, Stephen L. (Ed.).
Harrison’s: Neurology and Clinical Medicine. 2nd Edition. USA: The
McGraw-Hill Companies, 222-245.
Lumbantobing, SM. 2004. Neurogeriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. p. 111-
122
Markand, Omkar N., 2009. Epilepsy in Adults. In: Biller, Jose (Ed.). Practical
Neurology. 3rd Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 511-
542.
Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.).
Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 106-125.
Miller, Laura C., 2009. Epilepsy. In: Savitz, Sean I. and Ronthal, Michael (Ed.).
Neurology Review for Psychiatrists. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 106-125.
Ngastiyah (1997), Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2.
Jakarta : EGC.
Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi 1,
Yogyakarta : Graha Ilmu
Rudzinski, Leslie A. and Shih, Jerry J., 2011. The Classification of Seizures and
Epilepsy Syndromes. Novel Aspects on Epilepsy: 69-88.
Sunaryo, Utoyo, 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya
Kusuma, 1.
Sylvia A. Price, dkk (1995), Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Edisi 4, EGC,
Jakarta
WHO, 2005. Atlas: Epilepsy Care in the World. Geneva. WHO.
WHO, 2012. Neurological disorders: A Public Health Approach. WHO.

Anda mungkin juga menyukai