Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Blok Respirasi adalah blok ketigabelas pada semester VI dari
Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang.
Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus skenario D yang
memaparkan kasus Ny.Susan, umur 25 tahun, datang ke dokter dengan
keluhan utama bersin-bersin, hidung tersumbat dan keluar ingus encer sejak 2
hari yang lalu. Ny. Susan juga mengeluh matanya gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata yang keluar. Pasien juga mengeluhkan susah
tidur. Ny. Susan juga mengatakan setiap kali mengkonsumsi udang dan
terkena debu langsung mengeluh bersin-bersin dan keluar ingus encer.
Keluhan ini dirasakan Ny. Susan sejak umur 5 tahun. Ayah Ny. Susan juga
memiliki keluhan yang sama.

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari laporan tutorial studi kasus ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran KBK di Fakults Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan
metode analisis pembelajran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial.

1|Laporan Tutorial Skenario D Blok XIII


BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Data Tutorial
Tutor : dr. Rizal Iman Ambiar,Sp.THT-KL
Moderator : Yusuf Ahmad Rizalni
Sekretaris Meja : Aisyah Azani
Sekretaris Papan : Retno Indah Kumala Sari
Waktu : Senin, 11 Juli 2016
Rabu, 13 Juli 2016
Rule Tutorial :
1. Ponsel dalam keadaan diam
2. Dilarang makan di dalam ruangan
3. Dilarang keluar tanpa izin tutor
4. Boleh menjawab/mengajukan pertanyaan
setelah ditunjuk oleh moderator

2.2 Skenario Kasus


Ny.Susan, umur 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan utama
bersin-bersin, hidung tersumbat dan keluar ingus encer sejak 2 hari yang lalu.
Ny. Susan juga mengeluh matanya gatal, yang kadang-kadang disertai dengan
banyak air mata yang keluar. Pasien juga mengeluhkan susah tidur,
Ny. Susan juga mengatakan setiap kali mengkonsumsi udang dan
terkena debu langsung mengeluh bersin-bersin dan keluar ingus encer.
Keluhan ini dirasakan Ny. Susan sejak umur 5 tahun. Ayah Ny. Susan juga
memiliki keluhan yang sama.
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum :Tampak sakit sedang,compos mentis
Vital Sign : tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 90 kali/menit reguler, isi dan
tegangan cukup, RR 26 kali/menit, T: 37, 0oC.
Wajah: terdapat garis kehitaman pada kulit dibawah palpebra inferior
Status THT:
 Telinga : membrana timpani utuh, refleks cahaya +/+

2|Laporan Tutorial Skenario D Blok XIII


 Hidung: cavum nasi sempit, sekret (+/+) berwarna putih, konka
hipertrofi berwarna livid (pucat), masa (-)
 Tenggorokan : arcus faring simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1
tenang, dinding faring posterior tampak kemerahan.

2.3 Klarifikasi istilah


No Istilah Klarifikasi
.
1 Bersin-bersin Keluarnya udara semi otonom yang terjadi secara
keras lewat mulut dan hidung.
2 Ingus Sejenis lendir lengket yang ada di dalam rongga
hidung.
3 Gatal Sensasi kulit yang tidak nyaman yang
menimbulkan keinginan untuk menggaruk atau
menggosok kulit.
4 Cavum nasi Bagian proksimal saluran napas yang dipisahkan
oleh septum nasi dan berjalan dari lubang hidung
sampai faring.
5 Konka Struktur seperti kulit kerang yang membentuk
bagian dinding rongga nasal.
6 Arcus faring Lengkung/busur pada faring.
7 Uvula Masa seperti daging yang menggantung.

2.4 Identifikasi Masalah


1. Ny.Susan, umur 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan utama bersin-
bersin, hidung tersumbat dan keluar ingus encer sejak 2 hari yang lalu.
2. Ny. Susan juga mengeluh matanya gatal, yang kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata yang keluar. Pasien juga mengeluhkan susah tidur,
3. Ny. Susan juga mengatakan setiap kali mengkonsumsi udang dan terkena
debu langsung mengeluh bersin-bersin dan keluar ingus encer. Keluhan ini
dirasakan Ny. Susan sejak umur 5 tahun.
4. Ayah Ny. Susan juga memiliki keluhan yang sama.
5. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum :Tampak sakit sedang,compos mentis

3|Laporan Tutorial Skenario D Blok XIII


Vital Sign : tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 90 kali/menit reguler, isi
dan tegangan cukup, RR 26 kali/menit, T: 37, 0oC.
Wajah: terdapat garis kehitaman pada kulit dibawah palpebra inferior
6. Status THT:
Telinga : membrana timpani utuh, refleks cahaya +/+
Hidung: cavum nasi sempit, sekret (+/+) berwarna putih, konka hipertrofi
berwarna livid (pucat), masa (-)
Tenggorokan : arcus faring simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang,
dinding faring posterior tampak kemerahan.

2.5 Analisis Masalah


1. Ny.Susan, umur 25 tahun, datang ke dokter dengan keluhan utama
bersin-bersin, hidung tersumbat dan keluar ingus encer sejak 2 hari
yang lalu.
a. Bagaimana anatomi, fisiologi dan histologi dari hidung ?
Jawab:
1. Anatomi
Hidung bagian luar (eksternal) merupakan bagian hidung
yang terlihat. Dibentuk oleh dua tulang nasal dan tulang rawan.
Keduanya dibungkus dan dilapisi oleh kulit dan sebelah dalamnya
terdapat bulu-bulu halus (rambut) yang membantu mencegah
benda-benda asing masuk ke dalam hidung.
Kavum Nasalis (Nasal Cavity) adalah suatu lubang besar
yang dipisahkan oleh septum. Nares anterior adalah bagian terbuka
yang masuk kedalam dari sebelah luar dan posterior nares terbuka
dengan cara yang sama pada bagian belakang, masuk kedalam
faring. Langit-langit dibentuk oleh tulang ethmoidalis pada bagian
dasar tengkorak dan lantai yang keras serta palatum lunak pada
bagian langit-langit mulut. Dinding lateral rongga dibentuk oleh
maksila, konkanasalis tengah dan sebelah luar tulang ethmoidalis
yang tegak lurus dan vomertis, sementara bagian anterior dibentuk
oleh tulang rawan.

4|Laporan Tutorial Skenario D Blok XIII


Tiga konka nasalis diproyeksikan kedalam rongga nasal
pada setiap sisi sehingga memperbesar luas bagian dalam hidung.
Rongga hidung dilapisi oleh membrane mukosa bersilia yang
memiliki banyak pembuluh darah dan udara dihangatkan setelah
melewati epithelium yang mengandung banyak kapiler. Mucus
membasahi udara dan menangkap banyak debu dan silia
menggerakan/memindahkan mukus belakang kedalam faring untuk
menelan dan meludah. Membrana mukosa olfaktorius, pada bagian
atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung sel
saraf khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf
melewati lamina cribriformis os frontale dan kedalam bulbus
olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius. Ujung-ujung saraf indra
penciuman terletak dibagian tertinggi rongga hidung disekitar
lembaran cribriform tulang ethmoidalis.
Beberapa tulang disekitar rongga dasar berlubang. Lubang
didalam tulang tersebut disebut sinus parasinalis, yang
memperlunak tulang tengkorak, memproduksi mukosa serosa dan
berfungsi sebagai ruang bunyi suara, menjadikan suara
beresonansi. Sinus ini dilapisi oleh membrane mukosa yang
bersambungan dengan cavum nasi. Sinus maksilaris terletak
dibawah orbit dan terbuka melalui dinding lateral hidung. Sinus
frontalis terletak diatas orbit kearah garis tengah tulang frontalis.
Sinus frontalis cukup banyak dan merupakan bagian tulang
ethmoidalis yang memisahkan lingkaran hidung dan sinus
sfeinoidalis berada didalam tulang sfenoidalis. Semua sinus
paranasalis dilapisi oleh membrane bermukosa dan semua terbuka
kedalam rongga nasal, dimana mereka dapat terinfeksi. Ductus
nasolacrimalis, dibawah concha inferior. Pada bagian belakang,
cavum nasi membuka kedalam nasofaring melalui appertura
nasalis posterior.

5|Laporan Tutorial Skenario D Blok XIII


(Snell,Richard S,. 2006).
2. Histologi
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis.
Pada vestibulum di sekitar nares terdapat kelenjar sebasea dan
vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel
respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum
nasi) yang dibagi dua oleh septum nasi pada garis medial, terdapat
konka (superior, media, inferior) pada masing-masing dinding
lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi,
sedangkan konka superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang
khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel olfaktorius
tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel
olfaktorius (neuron bipolar dengan dendrit yang melebar di
permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai
reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron
olfaktorius otak),  sel basal (berbentuk piramid) dan kelenjar
Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman menghasilkan
sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga
memudahkan akses neuron untuk membaui zat-zat. Adanya
vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga hidung
membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan,

6|Laporan Tutorial Skenario D Blok XIII


pelembapan dan penghangatan sebelum masuk lebih jauh.Epitel
olfaktori, khas pada konka superior.

(Eroschenko, 2008).
3. Fisiologi
a. Fungsi respirasi, untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang
dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal.
b. Fungsi penghidu, sebagai indra penghidu dan pengecap
dengan adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung,
konka superior, dan sepertiga bagian atas septum.
c. Funsi fonetik, untuk resonansi suara, membantu proses
berbicara dan mencegah hantaran suara sediri melalui
konduksi tulang.
d. Fungsi statistik dan mekanik, untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas.
e. Refleks nasal, iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas
(Soepardi,2012)

7|Laporan Tutorial Skenario D Blok XIII


b. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan utama?
Jawab:
Usia:
Rinitis alergika sering terjadi pertama kali pada kelompok anak-
anak antara usia 5-10 tahun dengan puncaknya pada usia remaja antara
10 dan 20 tahun dan cenderung menurun sesuai dengan pertambahan
usia. Rinitis alergika biasanya didapat pada penderita atopi2 . Di
Amerika, rinitis alergika ini telah mempengaruhi sekitar 35 juta
penduduk Amerika, 6 juta darinya adalah anak-anak. (Siegel,1993)
Jenis kelamin:
Rinitis alergi dapat terjadi pada semua ras, prevalensinya berbeda-
beda tergantung perbedaan genetik, faktor geografi, lingkungan serta
jumlah populasi. Dalam hubungannya dengan jenis kelamin, jika rinitis
alergi terjadi pada masa kanak-kanak maka laki-laki lebih tinggi
daripada wanita namun pada masa dewasa prevalensinya nyaris
seimbang antara laki-laki dan wanita. (Nurjannah,2011)

c. Apa etiologi dari keluhan bersin-bersin, hidung tersumbat dan keluar


ingus sejak 2 hari yang lalu?
Jawab:
1. Alergi ( debu,serbuk sari, bulu binatang)
2. rangsangan benda asing
3. bakteri
4. cairan berlebih di hidung
5. bahan – bahan kimia
6. kelembapan lingkungan
7. polusi udara
8. suhu
(Davey,2006)

8|Laporan Tutorial Skenario D Blok XIII


Sintesis:
Penyebab bersin-bersin, hidung tersumbat dan keluar ingus encer secara
umum, berdasarkan cara masuknya alergen (zat yang dapat
menimbulkan alergi), yaitu:
1. Alergen inhalan, masuk bersama dengan udara pernafasan .
Misalnya tungau, debu rumah, kecoa, serpihan kulit binatang,
rerumputan seperti jamur
2. Alergen ingestan, masuk ke saluran cerna, berupa makanan.
Misalnya susu, sapi, udang, kepiting, coklat, kacang-kacangan
3. Alergen injektan, masuk melalui suntikan atau tusukan. Misalnya
penisilin, sengatan lebah
4. Alergen kontaktan, masuk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa. Misalnya kosmetik, perhiasan, salep
(Soepardi, 2012).

d. Bagaimana patofisiologi dari keluhan utama?


Jawab:
 Mekanisme Bersin
Allergen menempel pada mukosa hidung → allergen ditangkap
makrofag/ monosit yang berperan sebagai APC dan diproses →
APC melepaskan sitokin seperti IL-1 yang mengaktifkan Th 0
untuk berproliferasi menjadi Th-1 dan Th-2 →Th-2 menghasilkan
sitokin IL-3,IL-4,IL-5 dan IL-13 →IL-4 dan IL-13 diikat reseptor
dipermukaan sel limfosit B→ sel limfosit B menjadi aktif dan
menhasilkan IgE →IgE diikat reseptor dipermukaan sel
mast/basofil (sel mediator) sehingga menjadi aktif → sel mediator
tersensitisasi (bila mucus sudah tersensitisasi terpapar allergen) →
rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil akibat terlepasnya
mediatoe kimia yang sudah terbentuk terutama“histamine” →
selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed mediator
“Prostaglandin D2, Leukotrien D4,C4,E4, bradikinin, platelet

9|Laporan Tutorial Skenario D Blok XIII


activating factor, sitokin dll→mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan basofil berikatan dengan reseptor berada diujung
saraf, endotel pembuluh darah dan kelenjar dimukosa hidung →
rasa gatal pada hidung → bersin
(Price, 2005)
 Mekanisme Hidung tersumbat
Allergen menempel pada mukosa hidung → allergen ditangkap
makrofag/ monosit yang berperan sebagai APC dan diproses →
APC melepaskan sitokin seperti IL-1 yang mengaktifkan Th 0
untuk berproliferasi menjadi Th-1 dan Th-2 →Th-2 menhgasilkan
sitokin IL-3,IL-4,IL-5 dan IL-13 → IL-4 dan IL-13 diikat reseptor
dipermukaan sel limfosit B → sel limfosit B menjadi aktif dan
menhasilkan IgE → IgE diikat reseptor dipermukaan sel
mast/basofil (sel mediator) sehingga menjadi aktif → sel mediator
tersensitisasi(bila mucus sudah tersensitisasi terpapar allergen) →
rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi
(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil akibat terlepasnya
mediatoe kimia yang sudah terbentuk terutama“histamine” →
selain histamine juga dikeluarkan Newly Formed mediator
“Prostaglandin D2, Leukotrien D4,C4,E4, bradikinin, platelet
activating factor, sitokin dll → mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan basofil berikatan dengan reseptor berada diujung
saraf, endotel pembuluh darah dan kelenjar dimukosa hidung →
Vasodilatasi sinusoid → hidung tersumbat
 Keluar ingus encer
Allergen menempel pada mukosa hidung →allergen ditangkap
makrofag/ monosit yang berperan sebagai APC dan diproses→
APC melepaskan sitokin seperti IL-1 yang mengaktifkan Th 0
untuk berproliferasi menjadi Th-1 dan Th-2 →Th-2 menhgasilkan
sitokin IL-3,IL-4,IL-5 dan IL-13 →IL-4 dan IL-13 diikat reseptor
dipermukaan sel limfosit B→ sel limfosit B menjadi aktif dan
menhasilkan IgE →IgE diikat reseptor dipermukaan sel

10 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
mast/basofil (sel mediator) sehingga menjadi aktif →sel mediator
tersensitisasi(bila mucus sudah tersensitisasi terpapar allergen)
→rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) sel mast dan basofil akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
terutama“histamine” → selain histamine juga dikeluarkan Newly
Formed mediator “Prostaglandin D2, Leukotrien D4,C4,E4,
bradikinin, platelet activating factor, sitokin dll→mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil berikatan
dengan reseptor berada diujung saraf, endotel pembuluh darah dan
kelenjar dimukosa hidung →kelenjar mukosa dan sel goblet
mengelami hipersekresi → rinore (Keluar ingus encer).
(Soepardi, 2012)

e. Apa makna keluhan dirasakan sejak 2 hari yang lalu?


Jawab:
Berdasarkan klasifikasi rinitis alergi rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
a. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4
hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
b. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih
dari 4 minggu.
Maka makna keluhan dirasakan sejak 2 hari yang lalu berarti termasuk
dalam klasifikasi rhintis alergi intermitten.

2. Ny. Susan juga mengeluh matanya gatal, yang kadang-kadang


disertai dengan banyak air mata yang keluar. Pasien juga
mengeluhkan susah tidur.
a. Apa hubungan keluhan tambahan dengan keluhan utama?
Jawab:

11 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
Hubungannya adalah sama-sama manifestasi respon imun spesifik
terhadap allergen dimana allergen tersebut akan terikat pada IgE
dipermukaan sel mast pada konjungtiva sehingga akan mengeluarkan
mediator-mediator yang mengakibatkan mata gatal dan banyak air
mata keluar (Irawati, 2002).

b. Apa etiologi mata gatal, banyak air mata dan susah tidur?
Jawab:
Pajanan alergen pada yang akan mengakibatkan alergen tersebut
ditangkap oleh IgE yang ada di permukaan sel mast. Hal ini akan
mengakibatkan degranulasi sel mast, sehingga sel mast mengeluarkan
mediator-mediator yangakan mengakibatkan gejala seperti gatal, mata
merah berair, dan bengkak, namun tidak sakit.
Intinya adalah akibat dari pelepasan mediator menyebabkan
mempengaruhi kelenjar lakrimasi pada mata sehingga menyebabkan
keluarnya air mata dan mata terasa gatal. (Soepardi,2012)

c. Bagaimana patofisiologi dari keluhan tambahan?


Jawab:
 Susah tidur
Allergen menempel pada mukosa hidung →allergen ditangkap
makrofag/ monosit yang berperan sebagai APC dan diproses→
APC melepaskan sitokin seperti IL-1 yang mengaktifkan Th 0
untuk berproliferasi menjadi Th-1 dan Th-2 →Th-2 menhgasilkan
sitokin IL-3,IL-4,IL-5 dan IL-13 →IL-4 dan IL-13 diikat reseptor
dipermukaan sel limfosit B→ sel limfosit B menjadi aktif dan
menhasilkan IgE →IgE diikat reseptor dipermukaan sel
mast/basofil (sel mediator) sehingga menjadi aktif →sel mediator
tersensitisasi(bila mucus sudah tersensitisasi terpapar allergen)
→rantai IgE akan mengikat allergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) sel mast dan basofil akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk

12 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
terutama“histamine” → selain histamine juga dikeluarkan Newly
Formed mediator “Prostaglandin D2, Leukotrien D4,C4,E4,
bradikinin, platelet activating factor, sitokin dll→mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil berikatan
dengan reseptor berada diujung saraf, endotel pembuluh darah
dan kelenjar dimukosa hidung → mediator inflamasi yang
dilepaskan oleh sel mast dan basofil berikatan dengan reseptor
berada diujung saraf, endotel pembuluh darah dan kelenjar
dimukosa hidung →kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi→pembengkakan mukosa →↓permeabilitas
pembuluh darah →vasodilatasi sinusoid →hidung tersumbat→
susah tidur
 Mata gatal dan keluar air mata
Antigen masuk melalui permukaan mukosa → ditangkap APC →
membentuk fragmen pendek peptide dengan HLA kelas II
kemudian membentuk kompleks peptide MCH kelas II →
dipersentasikan pada T helper (Th0) → dilepaskan IL 1 → T helper
teraktifasi untuk berpoliferasi menjadi Th1, Th2 → pelepasan IL 3,
IL 4, IL 4 dan IL 13 → diikat oleh limfosit B → aktifiasi limfosit B
→ produksi IgE → IgE dari sirkulasi masuk ke jaringan →
ditangkap oleh basofil → aktifasi basofil → pelepasan histamine,
leukotrin D4, C4, bradikinin, PAF, dan berbagai sitokin lain →
mata gatal dan keluar air mata
Sintesis:
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, derajat
rhinitis alergi yaitu:
1. Ringan bila tidak ditemukan ganggguan tidur, gangguan aktivitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain
yang mengganggu
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas.

13 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
Pada kasus diketahui bahwa Ny.Susan mengalami susah tidur yang
berarti sudah menunjukkan rinitis alergi derajat sedang-berat.

3. Ny. Susan juga mengatakan setiap kali mengkonsumsi udang dan


terkena debu langsung mengeluh bersin-bersin dan keluar ingus
encer. Keluhan ini dirasakan Ny. Susan sejak umur 5 tahun.
a. Mengapa Ny. Susan setiap kali mengkonsumsi udang dan terkena debu
langsung mengeluh bersin-bersin dan keluar ingus encer?
Jawab:
Karena udang dan debu merupakan alergen yang dapat mencetuskan
rinitis alergi. Adapun macam-macam alergen yaitu:
1. Alergen inhalan, yang masuk berdama dengan udara pernapasan,
misalnya tungau debu rumah (D. Pteronyssinus, D.farinae,
B.tropicalis), kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing,anjing),
rerumputan (Bermuda grass) serta jamur (Aspergillus, Alternaria)
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna berupa makanan,
misalnya susu, sai, telur, cokelat, ikan laut, udang, kepiting dan
kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan,
misalnya penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang mauk melalui kontak kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
Sehingga diketahui udang merupakan alergen ingestan dan debu
merupakan alergen inhalan. (Soepardi, 2012)

b. Apa kandungan pada udang dan debu yang menyebabkan mengeluh


bersin-bersin dan keluar ingus encer?
Jawab:
Udang dan debu merupakan 2 faktor pencetus munculnya reaksi alergi
pada Ny.Susan. dimana udang mengandung omega-3 dalam jumlah
besar, kalsium, iodium, dan protein tinggi namun total kalori yang
rendah, kolestrol dalam jumlah yang signifikan, antara 122-251 mg/100

14 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
gram. Salah satu kandungan protein dalam udang adalah histamine yang
mempunyai rumus kimia C5H9N3 yang ikut serta dalam banyak reaksi
alergi. Histamine pada udang akan merangsang reseptor H1 pada ujung
saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan
bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan
sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rhinorea. Selain melalui makanan, allergen inhalan
(debu) juga dapat menyebabkan munculnya keluhan-keluhan seperti di
atas yang kesemuanya berkaitan dengan peran histamine (Hendra, R.
2014).

c. Apa makna keluhan ini dirasakan sejak umur 5 tahun?


Jawab:
Menandakan sejak umur 5 tahun Ny. Susi sudah ada alergi pada debu
dan udang atau terjadi reaksi sistemik karena reaksi ini dipacu oleh
berbagai allergen seperti makanan (ikan laut) dan lingkungan.

d. Apa saja tipe-tipe hipersensitivitas dan bagaimana mekanismenya?


Apa kemungkinan tipe hipersensitivitas pada kasus ini?
Jawab:
1. Reaksi Hipersensitivitas tipe I (Reaksi cepat, reaksi alergi, reaksi
anafilaksis)
Alergen masuk ke dalam tubuh menimbulkam respon imun
berupa produksi IgE
Ada 3 fase:
a. Fase sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE samapi diikat
silang olah reseptor spesifik pada permukaan sel mast atau
basofil.
b. Fase aktivasi

15 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
Waktu yang dibutuhkan antara pajanan ulang dengan antigen
yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya yang berisi
granul.
c. Fase efektor
Waktu yang dibutuhkan respon yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil
dengan aktivitas farmakologik.

2. Reaksi Hipersensitivitas tipe II ( Reaksi sitotoksik)

16 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
3. Reaksi hipersensitivitas tipe III (Kompleks imun)
Antigen masuk  merangsang pembentukan IgG dan IgM yang
spesifik, saat paparan berikutnya dengan antigen yang sama  IgG
dan IgM akan berikatan dengan antibodi  terbentuk kompleks
antigen antibodikompleks ini akan mengendap di salah satu
jaringan tubuh  reaksi inflamasi pelepasan mediator-mediator
inflamasi yang memungkinkan makrofag untuk melisiskannya.
Karena mengendap di jaringan tubuhkompleks antigen antibodi
merusak jaringan di sekitarnya juga.

17 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
4. Reaksi hipersensitivitas tipe IV (Tipe lambat)
Ketika tubuh terpajan antigen pertama kaliantigen akan
dipresentasikan oleh sel dendrit ke limfonodus regional akan
merangsang sel Th untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel DTH (delayed type hypersensitivity)
Bila sel DTH terpajan ulang oleh antigen yang samamelepas
sitokin (IFNϒ. TNFβ, IL-2, IL-3) dan kemokin (IL_8, MCAF) 
yang akan menarik dan mengaktifkan makrofag yang berfungsi
sebagai sel efektor dalam reaksi hipersensitivitas.

(Karnen,2010)

Pada kasus ini termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe 1.

4. Ayah Ny. Susan juga memiliki keluhan yang sama.


a. Bagaimana hubungan riwayat keluarga dengan keluhan yang dialami?
Jawab:
Penyakit alergi bersifat diturunkan dalam keluarga. Jika hanya
salah satu orangtua menderita alergi maka risiko anaknya untuk
terkena alergi adalah sebesar 50%. Dan jika kedua orangtua menderita

18 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
alergi maka risikonya 75%. Penelitian menunjukkan bahwa terdapat
faktor genetik yang mempengaruhi pola IgE yang diturunkan dari
orangtua.
Perkembangan sistem imun dan kemampuannya untuk
mengembangkan respon imun dalam bentuk reaksi alergi sudah
terbentuk sejak dini pada masagestasi. Berbagai regio kromosom
terkait dengan atopi dan asma, terutama dengan lokus pada kromosom
5, 6, 11, 12, 13 dan 16. Berbagai lokus genetik mempunyai asosiasi
dengan penyakit alergi, antara lain tiga lokus yang berhubungan
dengan asma dan dermatitis atopi yaitu 5q31-33, 11q13 dan 13q12-14.
Kromosom 5q31-36 yang mengandung gen sitokin IL-3, IL-4, IL-5,
IL-13 dan GM-CSF yang diekspresikan oleh sel Th-2 menunjukkan
peran penting faktor genetik pada penyakit alergi (Baratawidjaja,
Karnen G. 2010).

5. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum :Tampak sakit sedang,compos mentis
Vital Sign : tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 90 kali/menit reguler, isi
dan tegangan cukup, RR 26 kali/menit, T: 37, 0oC.
Wajah: terdapat garis kehitaman pada kulit dibawah palpebra inferior
a. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik?
Jawab:
Pemeriksaan Hasil Interpretasi

Kesadaran Tampak sakit sedang Abnormal


Umum

RR 26x/menit Takipnea

Wajah Garis kehitaman pada kulit Alergi sinar


di bawah palpebra inferior

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik?

19 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
Takipnea
Faktor resiko  kontak pertama dengan allergen  makrofag
atau monosit menangkap allergen di mukosa hidung  sel limfoit B
aktif  menghasilkan Ig E  menyebar secara hematogen  masuk
ke jaringan  Ig E diikat oleh basofil atau monosit  basofil menjadi
aktif  menghasilkan mediator yang sudah tersensitisasi  Ig E
mengiket allergen menjadi degranulasi  mediator kimia (histamine)
dilepaskan  merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus  ke
kelenjar mukosa dan sel goblet  terjadi hipersekresi dan
hipermeabilitas kapiler meningkat  sekresi yang berlebihan dari
hidung  rinore (keluar ingus)  hidung tersumbat  kompensasi
tubuh untuk memenuhi kebutuhan O2 di jaringan  takipnea
(Soepardi E,2012).
Alergi Sinar
Faktor resiko  kontak pertama dengan allergen  makrofag
atau monosit menangkap allergen di mukosa hidung  sel limfoit B
aktif  menghasilkan Ig E  menyebar secara hematogen  masuk
ke jaringan  Ig E diikat oleh basofil atau monosit  basofil menjadi
aktif  menghasilkan mediator yang sudah tersensitisasi  Ig E
mengiket allergen menjadi degranulasi  mediator kimia (histamine)
dilepaskan  merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus  ke
kelenjar mukosa dan sel goblet  terjadi hipersekresi dan
hipermeabilitas kapiler meningkat  sekresi yang berlebihan dari
hidung  rinore (keluar ingus)  hidung tersumbat  vasodilatasi
sinusoid hidung tersumbat, statis vena sekunder  bayangan
gelap di daerah bawah mata (Soepardi,2012).

6. Status THT:
Telinga : membrana timpani utuh, refleks cahaya +/+
Hidung: cavum nasi sempit, sekret (+/+) berwarna putih, konka hipertrofi
berwarna livid (pucat), masa (-)

20 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
Tenggorokan : arcus faring simetris, uvula ditengah, tonsil T1-T1 tenang,
dinding faring posterior tampak kemerahan.
a. Bagaimana interpretasi dari status THT?
Jawab:
Pemeriksaan Hasil Interpretasi

Hidung Cavum nasi sempit Akibat pembesaran b. Bagai

konka mana

Sekret (+/+) warna inflamasi menyebabkan


putih secret keluar. Berwarna
putih bertanda bahwa
ada alergi.

Tenggorokan Dinding faring Inflamasi


posterior tampak
kemerahan

mekanisme abnormal dari status THT?


Jawab:
Cavum nasi sempit, secret +/+ berwarna putih
Terjadi akibat edema pada konka Pada rinitis alergi persisten, terjadi
penyempitan rongga hidung karena konkanya sangat membengkak,
secret karena keluar ingus encer.Terjadi hipertrofi sel goblet dan sel
pembentuk mucus sehingga secret meningkat.
Konka hipertropi berwarna livid (pucat)
Terjadi peradangan akibat pelepasan mediator inflamasi pada saat
Late Phase Allergic Reaction (RAFL) dengan ditandai penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi di mukosa hidung.
Dinding faring posterior tampak kemerahan
Terjadi akibat edema pada konka Pada rinitis alergi persisten, terjadi
penyempitan rongga hidung karena konkanya sangat membengkak,
secret karena keluar ingus encer.Terjadi hipertrofi sel goblet dan sel
pembentuk mucus sehingga secret meningkat.
(Price, 2005)

21 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
7. Bagaimana cara mendiagnosis pada kasus ini?
Jawab:
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari
anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya
serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang
timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor
predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada
ekspresi rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan
dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis,
bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap
serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam,
hidung tersumbat, dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif
(Rusmono, Kasakayan, 1990).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic
shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena
sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat
ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada
dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung
yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah,
berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer
dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip

22 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu,
dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang
berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).

8. Apa saja Differential Diagnosis dalam kasus ini?


Jawab:

(Sudoyo,2012)
9. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus ini?
Jawab:
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent
test) sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi
pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis
alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna
adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi
hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5
sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati,
2002).
b. In vivo

23 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-
point Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui
(Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut
diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan
diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan
secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan
sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis
makanan (Irawati, 2002).

10. Apa Working Diagnosis untuk kasus ini?


Jawab:
Rhinitis alergi intermitten derajat sedang-berat.

11. Bagaimana tatalaksana pada kasus ini?


Jawab:
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya
(avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1,
yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel
target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian
dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan
secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu
golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non

24 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat
simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya
boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis
medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma
sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan
obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal
(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat
dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah
ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena
aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor
(Mulyarjo, 2006).
 Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H1, karena
AH1 merupakan lini pertama pengobatan rhinitis alergi.
- Difenhidramin (golongan etanolamin)
Dosis dewasa 25-50 mg, masa kerja 4-6 jam, aktivitas
antikolinergik +++, mempunyai efek sedasi kuat (karena
mengeluh susah tidur), atau
- Klorfeniramin (golongan Alkilamin)
Dosis dewasa 4-8 mg, masa kerja 4-6 jam, aktivitas
antikolinergik +, mempunyai efek sedasi ringan
 Dekongestan
Dekongestan hidung oral yang dipakai golongan agonis adrenegic
alfa.
- Pseudoefedrin
Dosis dewasa 60 mg
Preparat simptomimetik golongan agonis adrenergic alfa
dipakai sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi
dengan antihistamin atau topical. Namun pemakaian secara topical

25 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
hanya boleh untuk beberpa hari saja untuk menghindari terjadinya
rhinitis medikamentosa.
b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu
dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau
troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi.
Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody.
Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung
lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo,
2006)

26 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
12. Apa komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini?
Jawab:
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous
glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih
eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet,
dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus
para nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam

27 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
mukosa yang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan
oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan
menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan
menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat
dekstruksi mukosa oleh mediator protein basa yang dilepas sel
eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah.
(Soepardi,2012)

13. Bagimana prognosis pada kasus ini?


Jawab:
Vitam : dubia ad boenam
Fungsional : dubia ad boenam

14. Bagaimana Kompetensi Dokter Umum dalam kasus ini?


Jawab:
4A: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan
tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
(SKDU,2012)

15. Bagaimana pandangan islam dalam kasus ini?


Jawab:
Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu). (QS. Asy Syura:30)

2.6 Kesimpulan
Ny. Susan, 25 tahun mengeluh bersin-bersin, hidung tersumbat dan
ingus encer diduga mengalami rhinitis alergi intermiten derajat sedang-berat.

28 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
2.7 Kerangka Konsep

Alergen (udang dan


Riwayat keluarga
debu)

Reaksi Antigen-
Antibodi

Reaksi hipersensitivitas
tipe 1

Rinitis alergi

Hipersekresi mukus Konka hipertrofi

Bersin-bersin Ingus encer Hidung tersumbat

29 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
DAFTAR PUSTAKA

ARIA .2001.World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact
on asthma. J allergy clinical immunology : S147-S276.

Baratawidjaja Garna Karnen, 2004. Imunologi Dasar. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.

Davey,Patrick.2006.At a Glance Medicine.Jakarta : Penerbit Erlangga.

Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rinitis Alergi, Dalam :


Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy andClinical
Immunology”, Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM,
Jakarta:55-65.

Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter. Jakarta : KKI

Mulyarjo, 2006. Penanganan Rinitis Alergi Pendekatan Berorientasi pada


Simptom, Dalam: Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan
Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan
Kursus Demo Rinotomi Lateral, Masilektomi dan Septorinoplasti,
Malang:pp10, 2, 1-18.

Nurjannah.2011.Faktor Risiko Rinitis Alergi Pada Pasien Rawat Jalan Di


Poliklinik THTKL Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin (RSUDZA)
Banda Aceh.Banda Aceh: Universitas Syah Kuala

Price, Sylvia A dan Lorraine M.Wilson.2005.Patofisiologi Edisi 6 Volume


2.Jakarta:EGC
Rusmono N, 1993. Epidemiologi dan Insidensi Penyakit Alergi di Bidang
Telinga, Hidung dan Tenggorakan, Dalam: Kumpulan Makalah Kursus
Penyegaran Alergi Imunologi di Bidang THT, PIT PERHATI, Bukit
Tinggi, pp.1-5.
Siegel, S.C. 1993. Rhinitis In Children In : Mygind N, Naclero R.M. (eds) :
Allergic and Non Allergic Rhinitis Clinical Aspect.
Munksgaard,Copenhagen, 1993 : 174-83.

30 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I
Soepardi, Efiaty Arsyad dkk.2012.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher Edisi Ketujuh.Jakarta:FKUI
Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran edisi 6.
Jakarta: EGC.
Sumarman, Iwin. 2000. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan
Rinitis Alergi, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-
17.

31 | L a p o r a n T u t o r i a l S k e n a r i o D B l o k X I I I

Anda mungkin juga menyukai