OLEH :
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Resiko ketidakseimbangan elektrolit adalah berisiko mengalami perubahan
kadar serum elektrolit (Tim PokjaSDKI DPP PPNI, 2017)
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan akibat akhir kehilangan fungsi ginjal
lanjut secara bertahap. Gagal ginjal kronik terjadi bila ginjal sudah tidak mampu
mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan
pemulihan fungsi tidak dimulai “(Mulyani et al., 2019).
GGK merupakan penyakit ginjal tahap akhir, progresif dan irversibel dimana
kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangaan
cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia (Mulyani et al., 2019).
GGK merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat pada
setiap nefron (Biasanya berlansung beberapa tahun dan tidak ireversibel)
(Mulyani et al., 2019).
Patofisiologi
Patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal gangguan,
keseimbangan cairan, penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisa masih
bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi ginjal
turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin
minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi nefron yang
rusak. Nefron yang tersisa menigkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan
sekresinya, serta mengalami hipertrofi. Seiring dengan makin banyaknya nefron
yang mati, maka nefron yang tersisa menghadapi tugas yang semakin berat
sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan akhirnya mati. Sebagian dari siklus
kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan pada nefron-nefron yang ada
untuk meningkatkan reabdorpsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron-
nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal akan berkurang
yang menyebabkan penurunan fungsi renal (Muttaqin, 2011).
Fungsi renal menurun karena produk akhir metabolism protein tertimbun
dalam darah, sehingga mengakibatkan terjadinya uremia dan memengaruhi
seluruh system tubuh. Semakin banyak timbunan produksi sampah maka gejala
semaklin berat. Gangguan 19 clearance renal terjadi akibat penurunan jumlah
glomerulus yang berfungsi. Penurunan laju filtrasi glomerulus dideteksi dengan
memeriksa clearance kreatinin urin tamping 24 jam yang menunjukkan penurunan
clearance kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum (Nursalam, 2009).
Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat. Kreatinin
serum merupakan indicator yang paling sensitive dari fungsi renal karena
substansi ini diproduksi seacra konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya dipengaruhi
oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein dalam diet, katabolisme
(jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid (Smeltzer, 2008). Menurut
Muttaqin (2011), terdapat beberapa respons gangguan pada GGK :
1. Ketidakseimbangan cairan
Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu
memekatkan urin (hipothenuria) dan kehilangan airan yang berlebihan
(polioria). Hipothenuria tidak disebabkan atau berhubungan dengan penuruna
jumlah nefron, tetapi oleh peningkatan beban zat tiap nefron. Hal terjadi
karena keutuhan nefron yang membawa zat tersebut dan kelebihan air untuk
nefron-nefron tersebut tidak dapat berfungsi lama. Terjadi osmotic diuretic,
menyebabkan seseorang menjadi dehidrasi. Jika jumlah nefron yang tidak
berfungsi meningkat, maka ginjal tidak mampu menyaring urin (isothenuria).
Pada tahap ini glomerulus menjadi kaku dan plasma tidak dapat difilter
dengan mudah melalui tubulus, maka akan terjadi kelebihan cairan dengan
retensi air dan natrium.
2. Ketidakseimbangan natrium
Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius di mana
ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq setiap hari atau dapat
meningkat sampai 200 mEq per hari. Variasi kehilangan natrium berhubungan
dengan intact nephron theory. Dengan kata lain, bila terjadi kerusakan nefron,
maka tidak terjadi pertukaran natrium. Nefron menerima kelebihan natrium
sehingga menyebabkan GFR menurun dan dehidrasi. Kehilangan natrium
lebih meningkat pada gangguan gastrointestinal, terutama muntah dan diare.
Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan dehidrasi. Pada GGK yang berat
keseimbangan natrium dapat dipertahankan meskipun terjadi kehilangan yang
fleksibel pada nilai natrium. Orang sehat dapat pula meningkat di atas 500
mEq/hari. Bila GFR menurun di bawah 25-30 ml/menit, maka eksresi natrium
20 kurang dari 25 mEq/hari, maksimal eksresinya 150-200 mEq/hari. Pada
keadaan ini natrium dalam diet dibatasi yaitu sekitar 1-1,5 gram/hari.
3. Ketidakseimbangan kalium
Jika keseimbangan cairan dan asidosis metabolic terkontrol, maka
hyperkalemia jarang terjadi sebelum stadium IV. Keseimbangan kalium
berhubungan dengan sekresi aldosterone. Selama urin output dipertahankan,
kadar kalium biadanya terpelihara. Hyperkalemia terjadi karena pemasukan
kalium yang berlebihan, dampak pengobatan, hiperkatabolik (infeksi), atau
hiponatremia. Hyperkalemia juga merupakan karakteristik dari tahap uremia.
Hypokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat, pada penyakit
tubuler ginjal, dan penyakit nefron ginjal, di mana kondisi ini akan
menyebabkan ekskresi kalium meningkat. Jika hypokalemia persisten,
kemungkinan GFR menurun dan produksi NH3 meningkat; HCO3 menurun
dan natrium bertahan.
4. Ketidakseimbangan asam basa
Asidosis metabolic terjadi karena ginjal tidak mampu mengekskresikan
ion hydrogen untuk menjaga pH darah normal. Disfungsi renal tubuler
mengakibatkan ketidakmampuan pengeluaran ion H dan pada umumnya
penurunan ekskresi H+ sebanding dengan penurunan GFR. Asam yang secara
terus-menerus dibentuk oleh metabolisme dalam tubuh dan tidak difiltrasi
secara efektif, NH3 menurun dan sel tubuler tidak berfungsi. Kegagalan
pembentukan bikarbonat memperberat ketidakseimbangan. Sebagian
kelebihan hydrogen dibuffer oleh mineral tulang. Akibatnya asidosis
metabolic memungkinkan terjadinya osteodistrofi.
5. Ketidakseimbangan magnesium
Magnesium pada tahap awal GGK adalah normal, tetapi menurun
secara progresif dalam ekskresi urin sehingga menyebabkan akumulasi.
Kombinasi penurunan ekskresi dan intake yang berlebihan pada
hipermagnesiema dapat mengakibatkan henti napas dan jantung.
6. Ketidakseimbangan kalsium dan fosfor
Secara noirmal kalsium dan fosfor dipertahankan oleh paratiroid
hormone yang menyebabkan ginjal mereabsorpsi kalsium, mobilisasi kalsium
dari tulang, dan depresi reabsorpsi tubuler dari fosfor. Bila fungsi ginjal
menurun 20-25% dari normal, hiperfosfatemia dan hipokalsemia terjadi
sehingga timbul hiperparathyroidisme 21 sekunder. Metabolism vitamin D
terganggu dan bila hiperparathyroidisme berlangsung dalam waktu lama dapat
mengakibatkan osteorenal dystrophy.
7. Anemia
Penurunan Hb disebabkan oleh hal-hal berikut :
a. Keruskan produksi eritropoetin
b. Masa hidup sel darah merah pendek karena perubahan plasma
c. Peningkatan kehilangan sel darah merah karena ulserasi
gastrointestinal, dialysis, dan pengambilan darah untuk pemeriksaan
laboratorium.
d. Intake nutrisi tidak adekuat
e. Defisiensi folat
f. Defisiensi iron/zat besi
g. Peningkatan hormone paratiroid merangsang jaringan fibrosa atau
osteoitis fibrosis, menyebabkan produksi sel darah di sumsum
menurun
Menurut Corwin (2000), kegagalan ginjal membentuk eritropoietin
dalam jumlah yang adekuat sering kali menimbulkan anemia dan keletihan
akibat anemia berpengaruh buruk pada kualitas hidup. Selain itu, anemia
kronis menyebabkan penurunan oksigensi jaringan di seluruh tubuh dan
mengaktifkan refleks-refleks yang ditujukan untuk meningkatkan curah
jantung guna memperbaiki oksigenasi. Akhirnya, perubahan tersebut
merangsang individu yang menderita gagal ginjal mengalami gagal jantung
kongestif sehingga gagal ginjal kronis menjadi satu faktor resiko yang terkait
dengan penyakit jantung.
8. Ureum kreatinin
Urea yang merupakan hasil metabolic protein meningkat
(terakumulsai) . kadar BUN bukan indicator yang tepat dari penyakit ginjal
sebab peningkatan BUN dapat terjadi pada penurunan GFR dan peningkatan
intake protein. Penilaian kreatinin serum adalah indicator yang lebih pada
gagal ginjal sebab kreatinin diekskresikan sama dengan jumlah yang
diproduksi tubuh.
3. Pohon Masalah
Gagal ginjal
↓
Kerusakan mikroskopis ginjal
↓
Kerusakan nefron
↓
Terganggunya pengaturan keseimbangan elektrolit
↓
Kontrol ekskresi elektrolit tidak stabil
↓
Peningkatan atau penurunan elektrolit serum
↓
Risiko ketidakseimbangan elektrolit
4. Klasifikasi
Menurut National Kidney Foundation Classification of Chronic Kidney
Disease, CKD dibagi dalam lima stadium. Tabel 2 Stadium Chronic Kidney
Disease/ CKD (Black & Hawks, 2005 dalam Bayhakki, 2013) Stadium
Deskripsi Istilah Lain GFR (ml/mnt/1,7 3 m2 ) I Kerusakan ginjal dengan
GFR normal Berisiko >90 II Kerusakan ginjal dengan GFR turun ringan
Insufisiensi ginjal kronik (IGK) 60-89 III GFR turun sedang IGK, gagal ginjal
kronik 30-59 IV GFR turun berat Gagal ginjal kronik 15-29 V Gagal ginjal
Gagal ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease) “(Khanmohamadi, 2014).
5. Gejala Klinis
Manifestasi klinik antara lain:
Gejala Dini : sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung, depresi.
Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, berat badan, nafas
dangkal atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang
disertai lekukan pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.
Manifestasi klinik pada gagal ginjal kronik akan terjadi rangkaian
perubahan. Bila Glomerular Filtrasi Rate (GFR) menurun 5 - 10 % dari
keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita
Sindrome Uremik, yaitu suatu gejala kompleks yang diakibatkan atau
berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen akibat gagal ginjal “(Mulyani et
al., 2019).
7. Penatalaksanaan Medis
a. Optimalisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam bisaanya
diusahakan hingga tekanan vena jugularis\sedikit meningkat dan terdapat
edema betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui berat badan, urine dan
pencatatan keseimbangan cairan.
b. Diet tinggi kalori dan rendah protein Diet tinggi kalori dan rendah protein
(20/40 g / hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anorksia dan
nausea dari uremia, menyebabkan penurunan uremia dan perbaikan
gejala, hindari masukan berlebih dari garam dan kalium
c. Kontrol hipertensi Pada pasien hipertensi dengan penyakit ginjal,
keseimbangan garam dan cairan diatur tersendiri tanpa tergantung
tekanan darah, sering diperlukan diuretic loop, selain obat antihipertensi.
d. Kontrol ketidakseimbangan elektrolit Yang sering ditemukan adalah
hiperkalemia dan asidosis berat, untuk mencegah hiperkalemia dihindari
masukan kalium yang 24 besar (batas hingga 60 mmol/hari), diuretic
hemat kalium. Obat obatan yang berhubungan dengan ekskreai kalium
mis: penghambat ACE dan obat antiinflamasi nonsteroid), asidosis berat
atau kekurangan garam yang menyebabkan pelepasan kalium dari sel dan
ikut dalam kaliuresis. Deteksi melalui kadar kalium plasma dan EKG
e. Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal Hiperfosfatemia
dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti aluminium hidroksida
(300-1800 mg) atau kalsium karbonat (500-3000 mg) pada setiap makan.
f. Deteksi dini dan terapi infeksi Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien
imunosupresif dan diterapi lebih ketat
g. Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal Banyak obat obatan yang
harus diturunkan dosisnya karena metabolitnya toksik dan dikeluarkan
oleh ginjal
h. Deteksi dini dan terapi komplikasi Awasi dengan ketat kemungkinan
ensefalopati uremia, pericarditis, neuropati perifer, hiperkalemia yang
meningkat, kelebihan cairan yang meningkat, kelebihan cairan yang
meningkat, infeksi yang mengancam jiwa, kegagalan untuk bertahan,
sehingga diperlukan dialysis. 25
i. Persiapkan dialysis dan program transplantasi Segera dipersiapkan setelah
gagal ginjal kronik dideteksi. Indikasi dilakukan dialysis biasanya adalah
gagal ginjal dengan gejala klinis yang jelas meski telah dilakukan terapi
konservatif, atau terjadi komplikasi. “(Mulyani et al., 2019).
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronik adalah
(Prabowo, 2014):
a) Penyakit tulang,
b) Penyakit kardiovaskuler,
c) Anemia, dan
d) Disfungsi seksual.”(Khanmohamadi, 2014).
Tanda :
(1) Pruritus
(2) Demam (sepsis dan dehidrasi)
j) Keamanan
Gejala :
Penurunan libido,amenoreea,infertilitas
k) Interaksi social
Gejala :
Kesulitan menurunkan kondisi, contoh tak mampu bekerja,
mempertahankan fungsi peran dalam keluarga
c. Perencanaan
Rencana Asuhan Keperawatan dibuat menurut (Tim Pokja SLKI DPP PPNI,
2019) dan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018) :
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur
pemantauan
2. Infomasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
DAFTAR PUSTAKA
Khanmohamadi, S. A. (2014). PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA
GAGAL GINJAL KRONIK YANG MENJALANI TERAPI HEMODIALISA
MELALUI PSYCHOLOGICAL INTERVENTION DI UNIT HEMODIALISA RS
ROYAL PRIMA MEDAN TAHUN 2016. In Light of Another’s Word: European
Ethnography in the Middle Ages, 2, 1–211.
https://doi.org/10.1080/13507486.2015.1047603
Mulyani, S., (Haryono, 2013)., (Bararah, 2013), (Nurarif & Kusuma, 2015), (Haryono,
2013)., (Rendi & Margareth, 2013)., (Bararah, 2013), & Yulianti, E. R. (2019).
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN Tn. “S” YANG MENGALAMI GAGAL
GINJAL KRONIK DENGAN MASALAH KEPERAWATAN RESIKO
KETIDAKSEIMBANGAN ELEKTROLIT DIRUANGAN ICU RUMAH SAKIT
BHAYANGKARA MAKASSAR TAHUN 2019Z. 5–10.
Syamsul, T. D., Tenriola, A., & ... (2016). Gambaran Angka Kejadian Gagal Ginjal Kronik di
Ruang Perawatan Gelatik RS Bhayangkara Makassar. Jurnal Keperawatan …, 1(2).
https://e-jurnal.akpermpd.ac.id/index.php/jukpermo/article/view/4
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Tim PokjaSDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
ASUHAN KEPERAWATAN RISIKO KETIDAKSEIMBANGAN
ELEKTROLIT PADA GGK
DI RUANG YUDISTIRA RSUD SANJIWANI
TANGGAL (31Agustus-3September 2020)
OLEH :
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2020
I. PENGKAJIAN
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. L
No RM : 824647
Umur : 75 Th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Hindu
Status : Sudah Menikah
Tanggal MRS : 31 Agustus 2020
Tanggal Pengkajian : 1 September 2020
Suku : Bali
Alamat : Kecamatan blahbatuh, gianyar
B. Keluhan Utama
Pasien mengeluh sulit untuk bernafas akibat ketidakseimbangan cairan
C. Riwayat Kesehatan
1. Riwayat Kesehatan Dahulu
Pasien mengatakan pernah masuk rumah sakit karena penyakit Diabetes Militus
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien diantar oleh keluarganya ke IGD RSUD Sanjiwani pada tanggal 31 Agustus
2020 pada pukul 10.00 wita dengan keluahan sulit untuk bernafas (intoksikasi air). Di
IGD dilakukan pemeriksaan TTV dengan hasil TD: 140/80 mmHg, Nadi: 135x/menit,
Respirasi: 29x/menit, Suhu: 36°C. Pasien lalu dipindahkan ke Ruang Yudistira untuk
mendapatkan perawatan lebih lanjut pada pukul 11.00 wita.
3. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga pasien mengatakan tidak memiliki penyakit keluarga atau keturunan
seperti Hipertensi.
D. Pemeriksaan Fisik
Risiko Ketidakseimbangan Elektrolit
Faktor Resiko
Ketidakseimbangan cairan (mis. Dehidrasi dan intoksikasi air) ✔
Kelebihan volume cairan
Gangguan mekanisme regulasi (mis. diabetes)
Efek samping prosedur (mis. Pembedahan)
Diare
Muntah
Disfungsi ginjal
Disfungsi regulasi endokrin
Status Kesehatan
a) Keadaan umum : pasien terlihat disorientasi dan bingung
b) Kesadaran: Somnolen
c) TTV
TD : 140/ 80 mmHg
S : 36ᵒ C
N : 135 x/menit
RR : 29 x/menit
d) BB dari 60 kg ke 64 kg,
TB : 182 c
IMT: 19.32
Review of System
a) B1 : dipsneu, terdapat otot bantu nafas sternocleidomastoideus (inspirasi)
dan otot abdominalis (ekspirasi), menggunakan cuping hidung, suara nafas
creckles, PaO2 : 72 mmhg, PCO2 40 mmHg, dengan saturasi oksigen 70%,
HCO3 18 mEg/L
b) B2 : Terdapat suara tambahan S3 dan S4 positif
c) B3 : GCS= 446
d) B4 : output urin 24 cc/ jam, input cairan 1200cc/hari, distensi abdomen
Balance cairan:
Balance cairan = intake – output
= 1200 - 576
= 624 cc/hari
e) B5 : mual muntah, tidak nafsu makan, habis hanya 1/3 porsi makan
f) B6 : udema ekstermitas bawah
Skin : Gatal , lembab, terdapat banyak luka/ bekas garukan pada kulit
Kardiovaskular : Terdapat suara tambahan S3 dan S4 positif
a. Pemeriksaan Penunjang
a) Hasil pemeriksaan Laboratorium
Hematokrit : 35% (40% - 52%)
BUN : 36 mg/dL (8 – 20 mg/dL)
CVP : 15 mmHg
BGA : hipoksemia
Na : 160 mmol/L (135-145 mmol/L)
BJ Urin : 1,010
Albumin : 1,9
Albuminuria : 269 mg/dL
Kreatinin : 6 mg/dL
Eritrosit :10 / LPB
Leukosit : 8/LPB
b) Hasil pemeriksaan radiologis
Ditemukan edema dan kongesti vaskuler pulmonar
E. Analisis Data
Ruang : Yudistira
Nama Pasien : Tn. L
No. Register : 824647
F. Diagnosa Keperawatan
Ruang : Yuudistira
Nama Pasien : Tn. L
No. Register : 824647
No Diagnosa Keperawatan
G. PERENCANAAN
Nama paien: Tn. L
No. Register : 824647
Ruang: Yudistira
No Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
DX
1 SLKI Label SIKI Label SIKI Label
(Keseimbangan Intervensi utama Intervensi utama:
Elektrolit) (Pemantauan Eelektrolit) (Pemantauan
Setelah dilakukan Observasi Eelektroli):
intervensi keperawatan 1. identifikasi Observasi
selama 2x24 jam kemungkinan penyebab 1. untuk mengetahui
diharapkan keseimbangan ketidakseimbangan kemungkinan penyebab
elektrolit meningkat elektrolit ketidakseimbangan
dengan 2. monitor kadar elektrolit elektrolit
Kriteria hasil : serum 2. untuk mengetahui
kadar elektrolit serum
7. Serum natrium
meningkat
sebagai indicator
8. Serum kalium keadaan status cairan
meningkat dalam tubuh
9. Serum klorida Terapeutik
meningkat 1. Atur interval waktu Terapeutik
10. Serum kalsium
pemantauan sesuai 1. Pemantauan berkala
meningkat
11. Serum magnesium dengarn kondisi pasien penting guna
meningkat 2. Dokumentasikan hasil mengetahui
12. Serum fosfor pemantauan perkembangan kondisi
meningkat klien
2. dokumentasi sebagai
dasar hokum tindakan
keperawatan yang telah
dilakukan jika suatu saat
nanti ada tuntutan dari
pasien dan sebagai alat
komunikasi antar tenaga
kesehatan
Edukasi Edukasi
2. Jelaskan tujuan dan
1. agar pasien
prosedur pemantauan mengetahui dan
2. Infomasikan hasil mengerti tentang
pemantauan, jika perlu prosedur yang akan
dilakukan
2. agar pasien dan
keluarag mengetahui
perkembangan dari
keadaan klien
H. PELAKSANAAN/IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Nama pasien : Tn.L
No Register : 824647
Ruang : Yudistira
No Tanggal/ No Tindakan Evaluasi Tanda
pukul DX tangan
1 1 1 a. Mengidentifikasi DS: Pasien mengatakan
septembe kemungkinan penyebab mengeluh sulit bernafas
ketidakseimbangan elektrolit
r 2020 sebelum masuk Rumah Sakit
10.10 akibat ketidakseimbangan
cairan
DO: pasien terlihat disorientasi
dan bingung
10.20 DS:
DO:
b. memonitor kadar elektrolit
Hematokrit : 35% (40% -
serum
52%)
BUN : 36
mg/dL (8 – 20 mg/dL)
CVP : 15
mmHg
BGA :
hipoksemia
Na : 160 mmol/L
(135-145 mmol/L)
BJ Urin :
1,010
Albumin : 1,9
Albuminuria: 269 mg/dL
Kreatinin : 6 mg/dL
Eritrosit :10 /
LPB
Leukosit :
10.30 8/LPB
DS:
DO: pasien bersedia untuk
11.05 dilakukannya pemantauan
DS:
DO: pasien bersedia untuk
dilakukannya
11.20 pendokumentasian
c. mengaatur interval waktu
pemantauan sesuai dengarn DS:
kondisi pasien DO: pasien tampak
11.20 kooperatif
d. mendokumentasikan hasil
pemantauan DS:
DO: pasien dan keluarga
tampak kooperatif
f. Menginfomasikan hasil
pemantauan
2 a. Mengidentifikasi DS:
septembe kemungkinan penyebab DO: pasien terlihat membaik
ketidakseimbangan elektrolit dari sebelumnya
r 2020
14.10
14.25 DS:
b. memonitor kadar elektrolit
serum DO:
Hematokrit : 35% (40% -
52%)
BUN : 36
mg/dL (8 – 20 mg/dL)
CVP : 15
mmHg
BGA :
hipoksemia
Na : 160 mmol/L
(135-145 mmol/L)
BJ Urin :
1,010
Albumin : 1,9
Albuminuria: 269 mg/dL
Kreatinin : 6 mg/dL
Eritrosit :10 /
LPB
Leukosit :
8/LPB
f. Menginfomasikan hasil
pemantauan, jika perlu
I. Evaluasi
Nama paien: Tn. L
No Register: 824647
Ruang : Yudistira
Tanggal No Masalah Keperawatan Tanda
tangan
Kamis, 3 S: Pasien mengatakan pernafasannya sudah mulai kembali normal dan sudah
September tidak ada keluhan sulit bernafas
2020 O:
9.30 TTV
TD : 140/ 80 mmHg
S : 36ᵒ C
N : 135 x/menit
RR : 29 x/menit
A: Tujuan tercapai
Lembar Pengesahan