Anda di halaman 1dari 87

PENGARUH INTENSITAS KEBISINGAN KERETA API TERHADAP

GANGGUAN FUNGSI PENDENGARAN SISWA SDN 01 RAJABASA


RAYA DAN SDN 02 KAMPUNG BARU BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2019

(Tesis)

Oleh:

KORNELLA RESTIANTI

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK

PENGARUH INTENSITAS KEBISINGAN KERETA API TERHADAP


GANGGUAN FUNGSI PENDENGARAN SISWA SDN 01 RAJABASA RAYA
DAN SDN 02 KAMPUNG BARU BANDAR LAMPUNG TAHUN 2019

Oleh:
KORNELLA RESTIANTI

Jumlah fasilitas pendidikan yang berada di jalur perlintasan kereta api cukup
banyak, diantaranya adalah SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru
yang hanya berjarak 20-24m dari perlintasan kereta api. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis pengaruh intensitas kebisingan kereta api terhadap gangguan
fungsi pendengaran siswa di SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru
Bandar Lampung Tahun 2019. Pengukuran tingkat kebisingan menggunakan
Sound Level Meter (SLM). Data kebisingan dipetakan dalam bentuk peta kontur
kebisingan dengan menggunakan program Surfer 11. Sampel penelitian
diimplementasikan kepada 63 siswa yang terdiri dari 12 siswa SDN 02 Kampung
Baru dan 51 siswa SDN 01 Rajabasa Raya. Analisis data menggunakan model
regresi dianalisa menggunakan fungsi regresi logit. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Terdapat sebanyak 55,6% responden merasakan kebisingan pelintasan
kereta api ≥55 dB. Peta kontur memperlihatkan jarak antara bangunan SDN 1
Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru dengan tingkat kebisingan >55 dB
sehingga paparan tingkat kebisingan mencapai >55 dB yang menimbulkan
gangguan pendengaran pada sebanyak 42,9% siswa. Penelitian ini menyimpulkan
ada pengaruh intensitas kebisingan terhadap gangguan fungsi pendengaran setelah
dikontrol variabel riwayat keturunan dan riwayat penyakit pendengaran pada
siswa SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung
Tahun 2019. Disarankan agar dilakukan relokasi sekolah yang setidaknya berjarak
lebih dari 104 m dari perlintasan kereta api. Fasilitas pendidikan yang ada perlu
melakukan pemasangan peredam bising (BPB), menanam tanaman yang dapat
digunakan untuk penghalang kebisingan.

Kata Kunci: Intensitas kebisingan, Gangguan Fungsi Pendengaran


ABSTRACT

THE INFLUENCE OF RAIL NOISE INTENSITY ON THE


HEARING LOSS FUNCTIONS OF SDN 01 RAJABASA RAYA
AND SDN 02 KAMPUNG BARU BANDAR LAMPUNG
STUDENTS IN 2019

By:
KORNELLA RESTIANTI

The number of educational facilities on the railroad crossing is quite a lot,


including SDN 01 Rajabasa Raya and SDN 02 Kampung Baru, which is only 20-
24m from the railroad crossing. This study aims to analyze the effect of train noise
intensity on hearing impairment in SDN 01 Rajabasa Raya and SDN 02 Kampung
Baru Bandar Lampung in 2019. The measurement of noise levels using Sound
Level Meters (SLM). The noise data is mapped in the form of noise contour maps
by using the Surfer 11 program. The research sample was implemented for 63
students consisting of 12 SDN 02 Kampung Baru students and 51 students of
SDN 01 Rajabasa Raya. Data analysis using regression model was analyzed using
logit regression functions. The results showed that there were around 55.6% of
respondents felt the railroad crossing noise ≥55 dB. The contour map shows the
distance between SDN 1 Rajabasa Raya and SDN 02 Kampung Baru buildings
with a noise level> 55 dB so that the noise level exposure reaches> 55 dB which
causes hearing loss in 42.9% of the students. This study concludes that there was
an influence of noise intensity on hearing impairment after being controlled by
hereditary and hearing history variables in students of SDN 01 Rajabasa Raya and
SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung in 2019. It is recommended that school
relocations be located at least more than 104 m from the railroad crossing, the
existing educational facilities need to install noise absorbers (BPB) and plant
plants that can be used for noise barrier.

Keywords: Noise intensity, Hearing Loss Function


PENGARUH INTENSITAS KEBISINGAN KERETA API TERHADAP
GANGGUAN FUNGSI PENDENGARAN SISWA SDN 01 RAJABASA
RAYA DAN SDN 02 KAMPUNG BARU BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2019

Oleh:

KORNELLA RESTIANTI

Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
MAGISTER SAINS

Pada

Program Studi Magister Ilmu Lingkungan


Pascasarjana Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung pada tanggal 25 Januari 1981.

Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Drs. Hi.

Ashabul Yamin dan Ibu Hj. Maryati

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 02 Sawah Brebes

Tanjung Karang Timur tahun 1992, pendidikan menengah pertama di SMP Budi

Bhakti Bandar Lampung pada Tahun 1995, pendidikan menengah atas di SMA

Negeri 12 Sukarame Bandar Lampung lulus tahun 1998. Setelah lulus pendidikan

menengah penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Indonesia pada

Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Kesehatan Reproduksi dan meraih gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat pada tahun 2006. Pada tahun 2017 penulis

melanjutkan pendidikan di Fakultas Pascasarjana Jurusan Ilmu Lingkungan

Universitas Lampung.

Riwayat pekerjaan pekerjaan penulis adalah sebagai Pramugari Perusahaan

Arab Saudi dari tahun 2004-2008, pada tahun 2008-2018 bekerja sebagai PNS di

Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Pada Tahun 2018-sekarang bekerja sebagai

PNS di Bappeda Provinsi Lampung.


PERSEMBAHAN

Segala puji dan syukur kepada Allah Subhanahu Wa Taala

Karya kecil ini kupersembahkan untuk:

Mama dan Papa Tercinta,


atas segala doa dan dukungan yang diberikan tanpa henti

DR.Ir. Irfan Marwanza, MT dan dr. Elka Viati


Sebagai kakak guru terbaik sepanjang hidup
Serta adikku tersayang
atas semua dukungan yang diberikan selama ini

Motivator in life:
Okky Kristianto, SH and Rosita Tuti, SH, MH
yang selalu menemani dan memberikan perhatian dan dukungan

Almamater tercinta
MOTTO

The road of success is dotted


with many tempting parking space

Don’t Give Up, I Won’t Give Up


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Tesis ini sebagai
syarat untuk mencapai gelar sarjana Magister Manajemen pada Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Lampung. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penyelesaian tesis ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih yang tulus ikhlas kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. selaku Rektor Universitas
Lampung beserta jajarannya.
2. Bapak Prof. Drs. Mustofa Usman, M.A., Ph.D. selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Lampung.
3. Bapak Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si, Selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Lingkungan
4. Bapak Dr. Ir. Eng. Yul Martin, S.T., M.T, selaku dosen Pembimbing I atas
bimbingan dan arahan yang diberikan
5. Bapak Drs. Tugiyono, M.Si., Ph.D, selaku dosen Pembimbing II, atas
bimbingan dan arahan yang diberikan selama ini
6. Bapak Dr. Ir. Agus Setiawan, M.Si, selaku dosen Pembahas I, atas kritik dan
saran yang membangun untuk perbaikan tesis ini
7. Ibu Dr. Dyah Wulan Sumekar RW, S.K.M., M.Kes, selaku dosen Pembahas
II, atas kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan tesis ini
8. Teman teman angkatan 2017 Jurusan Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana
Universitas Lampung.
9. Dosen dan seluruh civitas akademika
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per-satu yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Semoga Allah senantiasa memberikan kebaikan dan balasan atas jasa dan
budi yang telah diberikan kepada penulis. Demikian juga halnya dalam penulisan
Tesis ini, mohon maaf atas segala kekurangan dan ketidak-sempurnaan. Semoga
Tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Desember 2019


Penulis,

Kornella Restianti
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 5
1.4 Kerangka Teori ...................................................................................... 5
1.5 Kerangka Konsep ................................................................................... 6
1.6 Hipotesis ................................................................................................ 8
II. TINJAUAN PUSTAKA/KERANGKA PEMIKIRAN

2.1 Pengertian Dasar Tentang Bunyi ........................................................... 8


2.2 Kebisingan ............................................................................................. 8
2.2.1 Klasifikasi Kebisingan ................................................................... 9
2.2.2 Sumber Kebisingan ....................................................................... 10
2.2.3 Efek Kebisingan ............................................................................ 12
2.2.4 Nilai Ambang Batas Kebisingan ................................................... 14
2.2.5 Pengukuran Kebisingan ................................................................ 16
2.2.6 Pengendalian kebisingan ............................................................... 18
2.3 Telinga ................................................................................................... 19
2.3.1 Anatomi Telinga ........................................................................... 19
2.3.2 Fisiologi pendengaran ................................................................... 22
2.3.3 Gangguan pendengaran akibat Kebisingan ................................... 23
2.3.4 Mekanisme Gangguan Pendengaran Akibat Kebisingan .............. 28
2.3.5 Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Fungsi Pendengaran ....... 29
2.3.6 Pengukuran Fungsi Pendengaran .................................................. 35
2.4 Bising Kereta Api .................................................................................. 39
2.5 Sekolah ................................................................................................... 40
2.6 Lingkungan Belajar ................................................................................ 41
2.7 Regresi Logit .......................................................................................... 41
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 45


3.2 Bahan dan Alat ........................................................................................ 45
3.3 Metode Penelitian .................................................................................. 45
3.4 Definisi Operasional Variabel ................................................................47
3.5 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................. 50
3.5.1 Populasi Penelitian ........................................................................ 50
3.5.2 Sampel Penelitian .......................................................................... 50
3.5.3 Perhitungan Sampel ...................................................................... 51
3.6 Sumber Data Penelitian .......................................................................... 52
3.7 Rincian Persiapan dan Pelaksanaan Pengumpulan Data Penelitian ...... 53
3.8 Tahapan Penelitian ................................................................................. 58
3.9 Analisis Data .......................................................................................... 59
3.9.1 Univariat ....................................................................................... 59
3.9.2 Analisis Bivariat ........................................................................... 59
3.9.3 Analisis Multivariat ...................................................................... 59
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 61


4.1.1 Desain Penelitian .......................................................................... 61
4.1.2 Bias Seleksi ................................................................................... 61
4.1.3 Bias Recall ..................................................................................... 62
4.2 Gambaran Umum Sekolah ..................................................................... 62
4.2.1 Sekolah Dasar Negeri 01 Rajabasa Raya ...................................... 62
4.2.1 Sekolah Dasar Negeri 02 Kampung Baru ..................................... 64
4.3 Pemetaan Kebisingan ............................................................................. 66
4.4 Karakteritik Responden ......................................................................... 72
4.5 Karakteristik Rumah .............................................................................. 72
4.6 Kondisi Sekolah ..................................................................................... 74
4.7 Hasil Analisis Univariat ......................................................................... 75
4.8 Analisa Bivariat ..................................................................................... 79
4.8.1 Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Gangguan Fungsi
Pendengaran ................................................................................. 79
4.8.2 Pengaruh Lamanya Paparan Terhadap Gangguan Fungsi
Pendengaran .................................................................................. 80
4.8.3 Pengaruh Tempat Tinggal Terhadap Gangguan Fungsi
Pendengaran .................................................................................. 80
4.8.4 Pengaruh Riwayat Keturunan Terhadap Gangguan Fungsi
Pendengaran ................................................................................. 81
4.8.5 Pengaruh Riwayat Penyakit Pendengaran Sebelumnya Terhadap
Gangguan Fungsi Pendengaran .................................................... 82
4.8.6 Pengaruh Penggunaan Earphone Terhadap Gangguan Fungsi
Pendengaran ................................................................................. 82
4.9. Hasil Analisis Multivariat ...................................................................... 84
4.9.1. Pemodelan Lengkap ..................................................................... 84
4.9.1. Penilaian Interaksi ......................................................................... 85
4.9.2. Uji Counfounding ......................................................................... 88
4.10 Hubungan Intensitas Kebisingan dengan Gangguan Pendengaran ....... 92
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 102


5.2 Saran .................................................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Baku tingkat Kebisingan...............................................................................14

Tabel 2. Nilai Ambang Batas Kebisingan di tempat Kerja..................................16

Tabel 3. Derajat Ketulian...............................................................................................27

Tabel 4. DefinisiOperasional........................................................................................48

Tabel 5. Proporsi Jumlah Responden Pada Tiap Kelas di SDN 02


Kampung Baru dan SDN 01 Rajabasa Raya 52

Tabel 6. Pengukuran Kebisingan di SDN 2 Kampung Baru dan SDN 1


Rajabasa Raya Bandar Lampung 67

Tabel 7. Karakteristik Responden berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin........72

Tabel 8. Karakteristik Rumah Responden berdasarkan Tipe, Jumlah


Jendela, Penggunaan Gorden, Jumlah pintu Masuk, Ukuran
Pintu, Jumlah Penghuni dan Penggunaan Air Conditioner 73

Tabel 9. Deskripsi Kondisi Sekolah di SDN 01 Rajabasa Raya dan


SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung 74

Tabel 10 Distribusi Frekuensi Gangguan Fungsi Pendengaran Pada Siswa


SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru Bandar
Lampung Tahun 2019 75

Tabel 11. Distribusi Frekuensi Intensitas Bising pada Siswa SDN 01


Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung
Tahun 2019 75

Tabel 12. Distribusi Frekuensi Lamanya Paparan Pada Siswa SDN 01


Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung
Tahun 2019 76

Tabel 13. Distribusi Frekuensi Tempat Tinggal Siswa SDN 01 Rajabasa


Raya dan SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung Tahun 2019 .. 76
Tabel 14. Distribusi Frekuensi Riwayat Keturunan Pada Siswa SDN 01
Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung
Tahun 2019 77

Tabel 15. Distribusi Frekuensi Riwayat Penyakit Pendengaran Sebelumnya


Pada Siswa SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru
Bandar Lampung Tahun 2019 78

Tabel 16. Distribusi Frekuensi Penggunaan Earphone Pada Siswa SDN 01


Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung
Tahun 2019 78

Tabel 17. Pengaruh Intensitas Kebisingan Terhadap Gangguan Fungsi


Pendengaran Siswa SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02
Kampung Baru Bandar Lampung 79

Tabel 18. Pengaruh Lama Paparan Terhadap Gangguan Fungsi Pendengaran


Siswa SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru
Bandar Lampung 80

Tabel 19. Pengaruh Tempat Tinggal Terhadap Gangguan Fungsi Pendengaran


Siswa SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru
Bandar Lampung Tahun 2019 80

Tabel 20. Pengaruh Riwayat Keturunan Terhadap Gangguan Fungsi


Pendengaran Siswa SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02
Kampung Baru Bandar Lampung Tahun 2019 81

Tabel 21. Pengaruh Riwayat Penyakit Pendengaran Sebelumnya Terhadap


Gangguan Fungsi Pendengaran Siswa SDN 01 Rajabasa Raya dan
SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung Tahun 2019 82

Tabel 22. Pengaruh Penggunaan Earphone Terhadap Gangguan Fungsi


Pendengaran Siswa SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02
Kampung Baru Bandar Lampung Tahun 2019 83

Tabel 23. Rekapitulasi Hasil Bivariat...........................................................................83

Tabel 24. Pemodelan Lengkap........................................................................................84

Tabe1 25. Model Tanpa Interaksi Intensitas Bising dengan Lama Paparan......85

Tabe1 26. Model tanpa Interaksi Intensitas Bising dengan penggunaan


Earphone 86

Tabe1 27. Model tanpa Interaksi Intensitas Bising dengan Tempat Tinggal .. 87
Tabe1 28. Model tanpa Interaksi Intensitas Bising dengan Riwayat
Keturunan(Model Tanpa Interaksi) 86

Tabe1 29. Model Baku.......................................................................................................88

Tabe1 30. Eliminasi Confounder Penggunaan Earphone........................................89

Tabe1 31. Eliminasi Confounder Lama Paparan........................................................89

Tabe1 32. Eliminasi Confounder Tempat Tinggal.....................................................89

Tabe1 33. Hasil Logit.........................................................................................................91

Tabel 34. Goodness-of-Fit Tests.....................................................................................91

Tabel 35. Model Sumarry (R Square)..........................................................................92


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Teori.................................................................................................6

Gambar 2. Kerangka Konsep.............................................................................................6

Gambar 3. Sound Level Meter..........................................................................................18

Gambar 4. Anatomi dari Telinga Luar, Telinga tengah dan Telinga Dalam......20

Gambar 5. Uji Rinne............................................................................................................35

Gambar 6. Uji Weber...........................................................................................................36

Gambar 7. Audiometer........................................................................................................39

Gambar 8. Tahapan Penelitian..........................................................................................58

Gambar 9. Denah SDN 1 Rajabasa Raya.......................................................................64

Gambar 10. Denah SDN 2 Kampung Baru......................................................................66

Gambar 11. Kontur Kebisingan di SDN 01 Rajabasa Raya Bandar Lampung.....68

Gambar 12. Kontur Kebisingan di SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung....69

Gambar 13. Perbandingan Tingkat Kebisingan dan Jarak dengan Perlintasan


Kereta Api di SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung 70

Gambar 14. Perbandingan Tingkat Kebisingan dan Jarak dengan Perlintasan


Kereta Api di SDN 01 Rajabasa Raya Bandar Lampung 71
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas, oleh karenanya

transportasi menjadi sangat penting dalam menopang berbagai kegiatan dan

aktivitas masyarakat. Moda transportasi sudah menjadi kebutuhan seluruh elemen

masyarakat baik moda transportasi darat, laut, dan udara. Salah satu moda

transportasi andalan adalah kereta api yang diperuntukkan untuk penumpang

ataupun barang. Sayangnya, infrastruktur jalan kereta api masih minim

pembaharuan, pengaturan dan regulasi, sehingga banyak perlintasan kereta api

yang berada di tengah tengah pemukiman penduduk, melintasi wilayah atau zona

pendidikan, zona tempat ibadah, pasar dan lain sebagainya. Jalur kereta api yang

ada di Provinsi Lampung adalah jalur yang digunakan untuk commuter

penumpang atau jalur ekspedisi barang dari Bandar Lampung Provinsi Lampung

menuju Palembang Provinsi Sumatera Selatan sepanjang 400 km.

Kota Bandar Lampung sebagai Ibukota Provinsi menjadi faktor penting

operasionalisasi moda transportasi karena letaknya yang strategis dan merupakan

daerah transit kegiatan perekonomian antarpulau. Untuk moda transportasi kereta

umumnya melintas di pemukiman penduduk dan lingkungan sekolah dan lain

sebagainya, meskipun kereta api banyak memberikan manfaat namun ia juga

memiliki dampak negatif terhadap pencemaran udara, kebisingan dan getaran

yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kesehatan terutama gangguan fungsi

pendengaran (Rusli, 2009).


2

Jalur kereta api di Kota Bandar Lampung memiliki 3 stasiun yaitu; Stasiun

Tanjung Karang, Labuhan Ratu, dan Tarahan. Stasiun Tanjung Karang melayani

kereta api penumpang ke beberapa ibukota kabupaten di Lampung yang dilewati

oleh jalur kereta api (seperti Kotabumi dan Blambangan Umpu), serta ke

Palembang. Berdasarkan pemantauan menggunakan foto udara terlihat bahwa

perlintasan kereta api tersebut berada di lokasi-lokasi sekolah atau zona

pendidikan. Beberapa sekolah tersebut antara lain SDN 01 Rajabasa Raya dan

SDN 02 Kampung Baru yang berada pada jarak kurang dari 30 meter dari

perlintasan kereta api.

Masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat dari terpapar kebisingan dalam

waktu dan intensitas tertentu seperti: gangguan tidur, stress reaction, gangguan

komunikasi, kelelahan, gangguan konsentrasi belajar pada anak, gangguan pada

kesehatan mental, hingga gangguan pada fungsi pendengaran (Hanum, 2007).

Bising diartikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari

aktivitas alam seperti bicara dan aktivitas buatan manusia seperti mesin alat

transportasi baik darat, laut maupun udara.

Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 48 tahun 1996

memutuskan bahwa baku tingkat kebisingan maksimum di lingkungan kegiatan

seperti Rumah Sakit, tempat ibadah, maupun sekolah adalah 55 dB, sama halnya

dengan baku tingkat di wilayah pemukiman. Tingkat kebisingan yang melebihi

dari baku tingkat yang ditetapkan memungkinkan masyarakat yang terpapar

mengalami masalah kesehatan. Fakta ini pada akhirnya menimbulkan masalah,

karena kebisingan suara yang timbul saat kereta api melintasi di zona pendidikan

akan memberikan dampak buruk terhadap fungsi pendengaran.


3

Laporan WHO tahun 1998 menjelaskan bahwa penduduk dunia telah

menderita dampak dari kebisingan, tercatat sebanyak 120 juta (2,1%) orang

mengalami gangguan fungsi pendengaran, sebanyak 25 juta diantaranya berada di

Asia Tenggara dan 850.000 (0,4%) berada di Indonesia (Depkes RI, 1998). Hasil

survei kesehatan indera pendengaran yang dilakukan pada tahun 2006 di 7

Propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi morbiditas telinga sebanyak

18,5% gangguan fungsi pendengaran sebanyak 16,8% dan ketulian sebesar 0,4%

(Depkes RI, 2006).

Setiap orang memiliki kemampuan mendengar atau menangkap suara,

kemampuan mendengar dipengaruhi oleh faktor internal maupun ekternal. Faktor

internal yang mempengaruhi daya dengar seseorang adalah umur, kondisi

kesehatan maupun riwayat penyakit yang pernah diderita, penggunaan obat

toksisika, dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh terhadap

daya dengar adalah masa kerja, tingkat intensitas suara di sekitarnya, lama

terpajan dengan kebisingan, karakteristik kebisingan serta frekuensi suara yang

ditimbulkan (Tarwaka dkk, 2004). Terdapat banyak faktor yang dapat menjadi

penyebab timbulnya gangguan fungsi pendengaran diantaranya kebisingan

lamanya paparan, tempat tinggal, jarak dengan sumber kebisingan, keturunan

penyakit gangguan fungsi pendengaran, riwayat infeksi telinga sebelumnya, dan

penggunaan earphone (Marisdayana, 2016).

Sebuah penelitian menjelaskan bahwa faktor yang memiliki ambang paling

tinggi terhadap gangguan fungsi pendengaran adalah faktor umur dan lamanya

pemajanan terhadap kebisingan (Tarwaka dkk, 2004). Penelitian lain menjelaskan


4

bahwa frekuensi, durasi dan volume penggunaan earphone tidak berhubungan

dengan gangguan pendengaran (Sarah, dkk, 2016)

Penelitian Rahayu (2016) menyimpulkan tentang tingkat kebisingan lalu

lintas terhadap kenyamanan siswa pada saat belajar mengajar, penelitian ini

menjelaskan bahwa rata-rata tingkat bising di sekolah yang terpapar adalah 66,4

dBA dengan bising maksimum 71,3 dBA dan minimum 61,1 dBA. Sasaran

penelitian ini adalah anak usia sekolah, Penentuan sasaran penelitian pada anak

usia sekolah didasarkan dari hasil penelitian Thenniarti (2017) yang menjelaskan

bahwa tentang temuan Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan

Ketulian (PGPKT) bahwa gangguan pendengaran lebih banyak terjadi pada anak

usia sekolah. Detik News memberitakan terdapat 70% murid SD di Malang

mengalami gangguan fungsi pendengaran (news.detik.com, 2016).

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya maka penulis melakukan

penelitian di sekolah dasar yang berada dekat dengan rel kereta api untuk

mengetahui bagaimana penyebaran efek kebisingan terhadap fungsi pendengaran.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana intensitas kebisingan dan gangguan fungsi pendengaran siswa

SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung Tahun

2019?

2. Bagaimanakah pengaruh intensitas kebisingan terhadap gangguan fungsi

pendengaran setelah dikontrol variabel lamanya paparan, tempat tinggal,

riwayat keturunan, riwayat penyakit pendengaran sebelumnya, dan

penggunaan earphone pada siswa SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02

Kampung Baru Tahun 2019?


5

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis intensitas kebisingan dan gangguan fungsi pendengaran siswa

SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru Tahun 2019.

2. Menganalisis pengaruh intensitas kebisingan terhadap gangguan fungsi

pendengaran setelah dikontrol variabel lamanya paparan, tempat tinggal,

riwayat keturunan, riwayat penyakit pendengaran sebelumnya, dan

penggunaan earphone pada siswa SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02

Kampung Baru Bandar Lampung Tahun 2019.

1.4 Kerangka Teori

Kebisingan dapat terjadi di lingkungan sekitar dengan sumber pajanan yang

berbeda-beda. Salah satu sumber kebisingan yang dekat dengan manusia adalah

kebisingan dari transportasi terutama kereta api. Seseorang yang terpapar bising

lebih dari intensitas dan waktu tertentu dapat menyebabkan gangguan fungsi

pendengaran.

Bising tersebut akan menyebabkan kakunya sel-sel rambut di dalam organ

corti yang terletak pada telinga bagian dalam yaitu koklea. Pajanan bising ini akan

mengakibatkan gangguan koklea dan gangguan fungsi pendengaran

sensorineural. Gangguan fungsi pendengaran tidak hanya disebabkan oleh

pajanan bising, melainkan dikarenakan beberapa faktor penyebab lain diantaranya

riwayat kesehatan keluarga dan anak itu sendiri seperti riwayat gangguan fungsi

pendengaran juga mempunyai peluang mengalami gangguan fungsi pendengaran.

Riwayat kesehatan anak juga dapat mempengaruhi hantaran udara ke telinga

tengah. Adapun diagram alur penelitian sebagaimana Gambar 1 berikut:


6

Sumber bising: industri,


konstruksi, transportasi
(jalan raya, kereta, pesawat)

Sel rambut menjadi kaku dan rusak, Demografi rumah (fisik


rumah, letak rumah dari
digantikan menjadi jaringan parut
sumber bising

Penggunaan Gangguan pada koklea Trauma pada kepala


obat ototoksik akibat benda keras

Penurunan sensitivitas Genetik/Keturunan


Koklea

Faktor Eksternal : Gangguan fungsi


Faktor Internal :
- Penggunaan pendengaran sensorineural - Usia
earphone/handphone - Kondisi kesehatan
(lama penggunaan, - Riwayat penyakit
volume) pendengaran
- Barrier lingkungan Gangguan Permanen/tuli: sebelumnya
- Konstruksi bangunan Penurunan/kehilangan - Penggunaan obat
sekolah pendengaran toksisika

Sumber : Arsyad, 2007; Bailey, 1993; Buchari, 2007; Cody & Thane, 1991; Faller & Schuenke,
2004; Mitaran, 2016, SCENIHR, 2008, Stach, B. A, 2010.

Gambar 1. Kerangka Teori

1. 5 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian dikerangkakan pada gambar 2 berikut ini:


Variabel Independen Variabel Dependen
Intensitas Kebisingan Gangguan Fungsi Pendengaran

Variabel Lainnya:
1. Lamanya Paparan
2. Tempat Tinggal Jarak dengan Sumber kebisingan
3. Keturunan penyakit gangguan
fungsi pendengaran
4. Riwayat Infeksi Telinga Sebelumnya
5. Penggunaan earphone atau headphone

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian


7

Berdasarkan kerangka konsep di atas, variabel independen dalam penelitian

ini adalah intensitas kebisingan, sedangkan variabel dependennya adalah

gangguan fungsi pendengaran pada siswa sekolah dasar yang dapat dipengaruhi

oleh intensitas bising, lamanya paparan, tempat tinggal responden, riwayat

keturunan, riwayat adanya penyakit infeksi telinga sebelumnya, penggunaan dan

earphone atau headphone.

1.6 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah: ada pengaruh intensitas kebisingan

terhadap gangguan fungsi pendengaran setelah dikontrol variabel lamanya

paparan, tempat tinggal, riwayat keturunan, riwayat penyakit pendengaran

sebelumnya, dan penggunaan earphone pada siswa SDN 01 Rajabasa Raya dan

SDN 02 Kampung Baru Bandar Lampung Tahun 2019.


8

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Dasar Tentang Bunyi

Bunyi dapat diartikan sebagai gelombang bunyi yang ditimbulkan akibat

adanya perubahan mekanik akibat adanya perubahan mekanik terhadap zat cair,

padat, maupun gas. Bunyi adalah gejala fisik berbentuk gelombang yang

memancar ke segala arah dan merambat serta diterima atau suatu getaran yang

diterima oleh telinga (Afrina, 2007).

Sumber bunyi adalah semua benda yang bergetar dan menghasilkan bunyi

yang merambat melalui medium atau zat perantara. Gelombang bunyi terdiri dari

molekul-molekul yang bergetar merambat ke segala arah, molekul-molekul itu

berdesakan di beberapa tempat, sehingga menghasilkan wilayah tekanan tinggi

atau perapatan (compression), tapi ditempat lain merenggang (rarefaction),

sehingga menghasilkan wilayah tekanan rendah. Gelombang bertekanan tinggi

dan rendah secara bergantian bergerak melalui medium atau zat penghantar berupa

udara, gas, zat cair dan zat padat. Dengan prinsip tersebut gelombang ini termasuk

gelombang longitudinal (Tipler, Paul A. 1998).

2.2 Kebisingan

Menurut Permenkes RI Nomor 1405 Tahun 2002 tentang persyaratan

kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri: kebisingan adalah terjadinya

bunyi yang tidak dikehendaki, sehingga menganggu dan atau membahayakan

kesehatan (Depkes RI, 2002).


9

Kebisingan diartikan sebagai suara yang tidak dikehendaki, misalnya yang

merintangi terdengarnya suara-suara, musik dan sebagainya atau yang

menyebabkan rasa sakit atau yang menghalangi gaya hidup. Kebisingan sebagai

semua bunyi yang mengalihkan perhatian, mengganggu, atau berbahaya bagi

kegiatan sehari-hari, dianggap bising. Walaupun banyak pakar mendefinisikan

tentang bising, tetapi secara umum bising didefinisikan sebagai tiap bunyi yang

tidak diinginkan oleh penerimanya.

Kebisingan yang berhubungan dengan kesehatan bahwa kebisingan adalah

terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki dehingga mengganggu dan

membahayakan kesehatan (Depkes RI, 1987). Terdapat dua hal yang menentukan

kualitas bunyi, yaitu frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam

jumlah getaran perdetik atau disebut Hertz (Hz), yaitu jumlah dari golongan-

golongan yang sampai ditelinga setiap detiknya. Biasanya suatu kebisingan terdiri

dari campuran sejumlah gelombang sederhana dari beraneka frekwensi. Nada-

nada dari kebisingan ditentukan oleh frekwensi-frekwensi yang ada.

2.2.1 Klasifikasi Kebisingan

Buchari tahun 2007 menjelaskan mengenai jenis-jenis kebisingan

berdasarkan sifat dari spektrum frekuensi bunyinya, yaitu :

1. Bising kontinyu dengan spectrum frekuensi yang luas. Bising tetap berada

pada batas ±5 dB pada periode 0,5 detik berturut-turut. Contoh dari bising ini

adalah mesin atau kipas angin.

2. Bising kontinyu dengan spectrum sempit. Bising ini relative tetap, namun

bising ini hanya memiliki frekuensi tertentu. Misalnya pada frekuensi 500,

1000, dan 4000 Hz. Contoh dari bising ini adalah gergaji atau katup gas.
10

3. Bising terputus-putus atau intermitten. Bising ini tidak terjadi secara terus

menerus, melainkan memiliki periode tenang, seperti suara lalu lintas atau

kebisingan yang terjadi di bandara.

4. Bising impulsif. Jenis bising ini memiliki perubahan pada tekanan suaranya

yang melebihi 40 dB dalam tempo waktu yang sangat cepat dan dapat

mengejutkan bagi yang mendengarnya. Contoh dari jenis bising ini seperti

suara tembakan, mercon ataupun meriam.

2.2.2 Sumber Kebisingan

Kebisingan yang terjadi di sekitar masyarakat dapat berasal dari berbagai

macam sumber (Mediastika, 2005). Sumber-sumber ini dapat dibedakan menjadi

sumber bergerak seperti kendaraan bermotor, kereta api, atau pesawat terbang,

serta sumber tidak bergerak atau diam seperti industri atau mesin-mesin

1. Kebisingan jalan-raya

Belakangan ini kebisingan jalan raya dianggap sebagai sumber

kebisingan utama dimana kebisingan ini bersumber dari pemakaian

kendaraan bermotor. Setiap jenis kendaraan bermotor memiliki frekuensi

tertentu, namun pada umumnya kendaraan bermotor memiliki tingkat

kebisingan pada frekuensi 100 Hz-7000 Hz. Sumber kebisingan kendaraan

bermotor ini berasal dari mesin, transmisi rem, klakson, knalpot, serta

gesekan ban dengan jalan.

2. Kebisingan kereta api

Kebisingan yang dihasilkan oleh kereta api berupa bunyi dan getaran

akibat dari gesekan roda kereta api dengan rel kereta api yang sama-sama

terbuat dari bahan yang keras. Selain itu kebisingan juga muncul dari bunyi
11

klakson, mesin kereta api, serta gesekan roda kereta api dan rel yang sering

menimbulkan bunyi berdecit yang akan dirasakan oleh masyarakat yang

berada di sekitar jalur kereta api. Oleh karena itu, bangunan yang berada di

sepanjang jalur kereta api dapat didesain dengan akustik yang baik untuk

mengurangi masuknya kebisingan dan dengan redaman yang baik pula untuk

mengurangi masuknya getaran ke dalam bangunan.

3. Kebisingan pesawat terbang

Kebisingan yang dihasilkan oleh pesawat terbang umumnya diderita

oleh bangunan-bangunan yang berada di dekat bandara dan juga yang berada

beberapa ratus meter dari bandara tersebut, yang mana biasanya terjadi pada

saat pesawat lepas landas, mendarat, dan pada saat pesawat terbang rendah.

Namun, ketika pesawat berada pada ketinggian tertentu kebisingan tidak akan

mengganggu karena jaraknya yang jauh. Kebisingan dapat diredam melalui

dinding dan atap yang dibuat sedemikian rupa sehingga mengurangi

kebisingan pesawat saat lepas landas, mendarat atau terbang rendah.

4. Kebisingan industri

Pada era modern sekarang, banyak industri modern yang menggunakan

peralatan-peralatan bermesin yang menjadi sumber kebisingan. Mesin-mesin

pabrik ini umumnya menghasilkan bunyi berfrekuensi rendah sehingga akan

menimbulkan getaran pula. Kebisingan yang dihasilkan oleh mesin-mesin

tersebut dapat merambat keluar bangunan pabrik sehingga dirasakan secara

langsung oleh pekerja pabrik dan masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu,

pekerja yang selalu bekerja dengan mesin-mesin yang menghasilkan bising,

sebaiknya menggunakan ear protection pada saat bekerja.


12

Selain sumber kebisingan yang telah disebutkan sebelumnya, sumber bising

juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bising interior dan juga bising luar.

1. Bising interior

Kebisingan yang terjadi akibat dari kegiatan manusia itu sendiri yang

dilakukan di dalam ruangan. Contoh dari bising ini seperti bantingan pintu,

bunyi televisi atau alat-alat musik, atau pembicaraan yang keras. Tingkat

bising pada setiap posisi di dalam ruangan dibentuk oleh dua bagian, yaitu

bunyi dari sumber itu sendiri dan bunyi pantulan.

2. Bising luar

Bising ini berasal dari luar ruangan yang dapat berasal dari bunyi

kendaraan, kereta api, pesawat uddara, kapal motor atau lainnya. Bunyi ini

berasal dari gesekan mekanis kapal motor atau lainnya. Bunyi ini berasal dari

gesekan mekanis antara ban dengan badan jalan pada saat mengerem

kendaraan dengan kecepatan tinggi; suara knalpot akibat pedal gas yang

ditekan secara berlebihan; gesekan antara roda kereta api dan rel yang sama-

sama terbuat dari benda keras (Depkes, 1995).

2.2.3 Efek Kebisingan

Menurut WHO bahaya bising dapat digabungkan dalam beberapa faktor

yang terkait, diantaranya:

1. Intensitas, intensitas bunyi yang ditangkap di telinga berbanding lurus dengan

logaritma kuadrat tekanan akustik yang dihasilkan getaran dalam rentang

yang dapat didengar. Intensitas bunyi diukur dalam decibel (dB).

2. Frekuensi, frekuensi yang dapat didengar oleh manusia yaitu gelombang

sonic yaitu frekuensi dalam rentang 20-20.000 Hz.


13

3. Durasi, efek merugikan yang diakibatkan oleh bising sebanding dengan

lamanya paparan, dan berhubungan dengan jumlah total energi yang

mencapai hingga ke telinga dalam.

4. Sifat, sifat di sini merujuk kepada distribusi energi, bunyi terhadap waktu

(stabil, fluktuatif, intermiten). Jenis bising yang sangat berbahaya adalah

bising impulsif, dimana bising impulsif ini terdiri dari satu atau lebih

lonjakan energy bunyi dengan kurang dari satu detik (Rahayu 2016).

Menurut Buchari (2007) menyebutkan beberapa gangguan kesehatan yang

disebabkan oleh kebisingan, antara lain :

1. Gangguan Fisiologis

Gangguan fisiologis yang disebabkan kebisingan ini berupa

peningkatan nadi, tekanan darah, basal metabolism, konstruksi pembuluh

darah kecil pada bagian kaki yang menyebabkan gangguan sensoris.

2. Gangguan Psikologis

Gangguan psikologis yang disebabkan oleh kebisingan ini berupa

perasaan tidak nyaman, menurunnya tingkat konsentrasi, sulit tidur, dan

lainnya. Paparan bising dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan

psikosomatik seperti gastritis, jantung koroner dan lainnya.

3. Gangguan Komunikasi

Kesalahan bekerja dapat terjadi akibat bising yang dihasilkan dari

mesin sehingga mengakibatkan gangguan komunikasi diantara pekerjanya.

4. Gangguan Keseimbangan

Gangguan keseimbangan yang terjadi dapat mengakibatkan gangguan

fisiologis seperti mual, pusing, dan lainnya.


14

5. Gangguan fungsi pendengaran

Gangguan yang paling serius akibat bising adalah gangguan fungsi

pendengaran. Kebisingan dapat menyebabkan hilangnya pendengaran.

Gangguan fungsi pendengaran dapat bersifat sementara, namun dapat menjadi

tuli permanen jika terus menerus terpapar oleh kebisingan tersebut.

2.2.4 Nilai Ambang Batas Kebisingan

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 48 tahun 1996 menyatakan

bahwa baku tingkat kebisingan yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan dari

usaha atau kegiatan sehingga tidak menimbulkan gangguan kesehatan manusia

dan kenyamanan lingkungan. Keputusan menteri ini menetapkan baku tingkat

kebisingan di beberapa tempat. Baku tingkat kebisingan yang telah ditetapkan

oleh Menteri Lingkungan Hidup pada kawasan atau lingkungan kegiatan tertentu

dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Baku Tingkat Kebisingan

Peruntukan Kawasan/Lingkungan Kegiatan Tingkat Kebisingan (dB(A))


1. Perumahan Kawasan
a. Perumahan dan pemukiman 55
b. Perdagangan dan jasa 70
c. Perkantoran dan perdagangan 65
d. Ruang terbuka hijau 50
e. Industri 60
f. Pemerintahan dan fasilitas umum 70
g. Rekreasi 70
h. Khusus
- Bandar udara dan Stasiun kereta api*
- Pelabuhan laut 70
- Cagar budaya 60
2. Lingkungan Kegiatan
a. Rumah Sakit atau sejenisnya 55
b. Sekolah atau sejenisnya 55
c. Tempat ibadah atau sejenisnya 55
Keterangan: *Disesuaikan dengan ketentuan menteri Perhubungan
15

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 718 tahun 1987 mengatur kebisingan

yang berhubungan dengan kesehatan membagi wilayah dalam empat zona:

1. Zona A

Zona ini diperuntukkan rumah sakit, rumah perawatan kesehatan atau

sosial. Intensitas tingkat kebisingan yang dianjurkan adalah berkisar 35-45 dB.

2. Zona B

Zona ini diperuntukkan sebagai permahan, tempat pendidikan dan

rekreasi. Kebisingan pada zona ini dibatasi antara 45-55 dB.

3. Zona C

Zona ini diperuntukkan sebagai area perkantoran, pertokoan,

perdagangan dan pasar. Kebisingan pada zona ini dibatasi antara 50-60 dB.

4. Zona D

Zona ini diperuntukkan sebagai area industri, pabrik, stasiun kereta api,

dan juga terminal bis. Tingkat kebisingan pada zona ini antara 60-70 dB.

Kementerian Kesehatan RI, melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 70

Tahun 2016 menjelaskan bahwa Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan

merupakan nilai yang mengatur tentang tekanan bising rata-rata atau level

kebisingan berdasarkan durasi pajanan bising yang mewakili kondisi dimana

hampir semua pekerja terpajan bising berulang-ulang tanpa menimbulkan

gangguan fungsi pendengaran dan memahami pembicaraan normal. NAB

kebisingan yang diatur dalam peraturan ini tidak berlaku untuk bising yang

bersifat impulsif atau dentuman yang lamanya <3 detik. Sedangkan NAB pajanan

kebisingan untuk durasi pajanan tertentu dapat dilihat pada Tabel 2:


16

Tabel 2. Nilai Ambang Batas Kebisingan

Satuan Durasi Pajanan Kebisingan perhari Level kebisingan (dBA)


24 80
16 82
Jam 8 85
4 88
2 91
1 94
30 97
15 100
Menit 7,5 103
3,75 106
1,88 109
0,94 112
28,12 115
14,06 118
7,03 121
3,52 124
Detik 1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 70 Tahun 2016

2.2.5 Pengukuran Kebisingan

Beberapa peralatan yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kebisingan

yang disesuaikan dengan tujuan pengukurannya, diantaranya adalah :

1. Noise Dosimeter

Dosimeter adalah penggunaan instrumen pengukur yang dapat dipakai

untuk menghitung paparan bising yang diterima selama jam kerja. Dosimeter

akan mencatat tingkat kebisingan yang diterima oleh pekerja dan durasi

paparan kebisingan. Cara kerja dari Noise dosimeter adalah dengan

mengambil suara menggunakan mikrofon dan memindahkan energinya

menjadi impuls listrik. Hasil dari pengukuran ini merupakan energi total yang
17

kemudian dicatat sebagai aliran listrik yang hamper sama dengan kebisingan

yang ditangkap (Tambunan, 2005).

2. Audiometer

Audiometer digunakan untuk mengukur kebisingan dengan membanding

kan suara yang intensitasnya sudah diketahui.

3. Sound Level Meter (SLM)

Sound Level Meter atau SLM digunakan untuk mengukur kebisingan

yang berada diantara 30-130 dB dari frekuensi 20-20.000 Hz kebisingan,

SLM itu sendiri terdiri dari beberapa bagian, yaitu mikrofon, amplifier, dan

sirkuit attenator dan beberapa alat lainnya. Penggunaan SLM untuk

mengukur tingkat tekanan bunyi selama 10 menit setiap pengukurannya.

Pembacaan hasil pengukuran dilakukan setiap 5 detik (Mitaran, 2016).

Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.48 tahun 1996

mengenai baku mutu kebisingan, metode pengukuran kebisingan dapat dilakukan

dengan dua cara, yaitu cara sederhana dan cara langsung. Metode pengukuran

kebisingan dengan cara langsung adalah dengan menggunakan integrating sound

level meter, sehingga LAeq1T dapat langsung dibaca. Pengukuran dengan cara

sederhana dilakukan dengan membaca sound level meter per lima detik dalam

waktu 10 menit. Pencatatan data Leq selama 10 menit maka data yang didapatkan

adalah 120 data. Kemudian dihitung dengan rumus (Rusjadi dan Palupi, 2011):

LAeq1T (10 menit) = 10log10 ∑ LpAi/10

LAeq1T = Tekanan bunyi sinambung setara dalam waktu 10 menit

LpAi/10 = Tingkat tekanan bunyi sesaat rata-rata interval 5 detik


18

SLM dilengkapi dengan beberapa tombol untuk mengatur skala

pembobotan, yaitu A, B, C, dan D. Skala A dengan rentang skala pembobotan

yang melingkupi frekuensi suara rendah dan frekuensi suara tinggi yang dapat

diterima oleh telinga manusia normal pada umumnya, sedangkan skala B, C, dan

D digunakan untuk keperluan khusus lainnya seperti mengukur kebisingan yang

dihasilkan oleh pesawat terbang bermesin jet. Bentuk dan jenis sound lever meter

ditampilkan pada gambar 3 berikut:

Gambar 3. Sound Level Meter

2.2.6 Pengendalian Kebisingan

Pengendalian kebisingan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu

mengendalikan sumber dari kebisingan, media dari kebisingan, dan penerima

kebisingan itu sendiri (Ramita & Laksmono, 2011).

a. Pengendalian pada sumber

Pengendalian pada sumber bising adalah dengan melakukan

perlindungan pada peralatan dan struktur dari dampak bising. Salah satu

caranya adalah mensubstitusi alat yang memiliki tingkat kebisingan tinggi

dengan alat kebisingan rendah. Selain itu reduksi kebisingan pada sumber
19

memerlukan modifikasi atau mereduksi gaya-gaya penyebab getaran sebagai

sumber bising dan mereduksi komponen-komponen peralatan.

b. Pengendalian pada rambatan

Prinsip dari pengendalian bising pada media rambatan adalah dengan

melemahkan intensitas kebisingan yang merambat dari sumber kebisingan

pada penerimanya dengan membuat hambatan-hambatan. Pengendalian

kebisingan pada media rambatan ini memiliki 2 cara, yaitu indoor noise

control dan outdoor noise control.

c. Pengendalian kebisingan pada manusia

Pengendalian kebisingan pada manusia umumnya ditujukan untuk

mengurangi intensitas kebisingan yg diterima oleh orang tersebut setiap

harinya. Umumnya, pada pekerja dengan resiko terpapar kebisingan tinggi

akan menggunakan alat pelindung telinga seperti ear plug, ear muff, atau

helm. Hal lain yang dapat dilakukan adalah pada bidang administrasi, yaitu

dengan rotasi dan mengubah jadwal kerja.

2.3 Telinga

2.3.1 Anatomi Telinga

Telinga merupakan alat indera yang peka terhadap rangsangan berupa

gelombang suara. Telinga manusia mampu mendengar suara dengan frekuensi

antara 20-20.000 Hz. Selain sebagai alat pendengaran, telinga juga berfungsi

menjaga keseimbangan tubuh manusia.

2.3.1.1 Telinga Luar

Bagian luar merupakan bagian terluar dari telinga.Telinga luar terdiri dari

daun telinga, lubang telinga, dan saluran telinga luar. Telinga luar meliputi daun
20

telinga atau pinna, liang telinga atau meatus auditorius eksternus, dan gendang

telinga atau membran timpani. Bagian daun telinga berfungsi untuk membantu

mengarahkan suara ke dalam liang telinga dan akhirnya menuju gendang telinga.

Rancangan yang begitu kompleks pada telinga luar berfungsi untuk menangkap

suara dan bagian terpenting adalah liang telinga. Saluran ini merupakan hasil

susunan tulang rawan yang dilapisi kulit tipis.

Terdapat banyak kelenjar yang menghasilkan zat seperti lilin yang disebut

serumen atau kotoran telinga. Hanya bagian saluran yang memproduksi sedikit

serumen yang memiliki rambut. Pada ujung saluran terdapat gendang telinga yang

meneruskan suara ke telinga dalam. Telinga bagian luar berfungsi sebagai

mikrofon, dimana gelombang suara ditampung dan menyebabkan membran

timpani bergetar. Membrane timpani akan bergetar semakin cepat jika menerima

frekuensi getaran yang cepat, dan sebaliknya (Buchari, 2007). Anatomi dari

telinga Luar, Tengah dan Dalam disajikan pada gambar 4

Sumber : Faller & Schuenke, 2004

Gambar 4. Anatomi dari Telinga Luar, Telinga tengah dan Telinga Dalam
21

2.3.1.2 Telinga Dalam

Bagian telinga dalam adalah posisi telinga yang terletak diarea petrosa

tulang temporal, dimana tulang tersebut terbagi atas dua cabang penting yang

saling berkaitan untuk mengendalikan fungsi pendengaran yaitu cabang Membran

labyrinth dan tulang labyrinth.

1) Koklea

Pada bagian telinga dalam, terdapat rumah siput atau koklea. Koklea

tersebut memiliki panjang 3 cm dan berisi cairan yang di dalamnya terdapat

membrane basiler dan organ corti. Koklea atau rumah siput berupa dua setengah

lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari beberapa kanalis-sirkularis. Koklea atau

rumah siput terdiri dari tiga bagian terpisah, yaitu kanal koklea (ductus

cochlearis), kanal vestibular (scala vestibule), dan kanal timpani (scala tympani).

Kanal timpani dan kanal vestibular bergabung dan berada di puncak dari koklea

atau helicoterma. Kedua kanal ini berisi penuh dengan cairan perilimfe dan

berakhir di jendela bulat dan jendela oval. Saluran koklea berisi cairan endolimfe

yang berbatasan dengan kanal koklea (Faller, 2004).

Telinga bagian dalam ini dikelilingi oleh kapsul tulang keras, dan terdiri dari

tulang labirin dimana di dalamnya berisikan cairan endolimfe. Selain itu terdapat

saluran lainnya yang berasal dari tulang temporanl dan dikelilingi oleh cairan

periimfe. Kedua cairan ini berbeda, terutama isinya, yaitu natrium dan kalium

(Faller, 2004).

2) Organ corti

Organ corti atau organ spiral terletak pada membrane basiler. Organ corti ini

terdiri dari lebih dari 15.000 sel sensori pendengaran. Organ corti ini memiliki
22

banyak sekali rambut yang merupakan reseptor bunyi. Tidak hanya sel-sel rambut,

namun terdapat pula sel pendukung yang berada di membrane basiler. Sel-sel

rambut tersebut terhubung dengan membrane tectoria yang berada di atasnya dan

sangat elastis (Faller, 2004).

Organ corti yang terdiri dari sel-sel rambut dimana sel-sel rambut tersebut

berperan sebagai reseptor pendengaran. Cairan dalam rumah siput akan

meneruskan getaran yang berasal dari oval wind yang mengantarkan membrane

basiler. Getaran ini merupakan impuls organ corti yang kemudian diteruskan ke

otak melalui syaraf pendengaran atau nervus cochlearis (Buchari, 2007; Faller,

2004).

2.3.2 Fisiologi Pendengaran

Bunyi yang berasal dari luar ditangkap oleh daun telinga dan diteruskan ke

gendang telinga dan tulang-tulang pendengaran. Getaran atau gelombang suara

yang diterima oleh gendang telinga dan tulang pendengaran kemudian

ditransmisikan ke bagian jendela oval sehingga menciptakan gelombang tekanan

ada cairan perilimfe kanal vestibular. Gelombang ini kemudian diteruskan ke

puncak koklea dan kemudian kembali lagi melalui kanal timpani. Arus sebaliknya

yang berasal dari perilimfe di vestibular dank anal timpani membuat getaran di

endolimfe pada saluran koklea dan merangsang sel sensori dengan menggerakkan

sel rambut di membrane tectoria. Getaran yang berasal dari cairan di koklea

tersebut diteruskan ke organ corti yang kemudian diteruskan ke saraf

pendengaran.

Proses getaran ini merupakan rangsangan mekanin yang menyebabkan

terjadinya defleksia stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion akan terbuka
23

dan melepaskan ion listrik dari badan sel. Hal ini juga menimbulkan proses

depolarisasi sel rambut dan melepaskan neurotransmitter ke sinapsis dan

menimbulkan potensial aksi di saraf pendengaran. Selanjutnya potensial aksi di

saraf pendengaran tersebut dilanjutkan ke bagian nucleus auditorius dan

disampaikan ke korteks pendengaran.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa gelombang suara dengan frekuensi

antara 20 sampai dengan 16.000 Hz merangsang sel-sel rambut di bagian telinga

dalam dan menimbulkan sensasi suara. Semakin tinggi frekuensi pada gelombang

suara tersebut, semakin tinggi pula nada-nada yang diterima telinga. Frekuensi

suara kurang dari 20 Hz (infrasonic) dan di atas 16.000 Hz (ultrasonic) tidak

dapat menimbulkan stimulasi di bagian dalam telinga manusia (Faller, 2004).

2.3.3 Gangguan Fungsi Pendengaran Akibat Kebisingan

2.3.3.1 Definisi Gangguan fungsi pendengaran

Gangguan fungsi pendengaran dapat didefinisikan sebagai perubahan

tingkat pendengaran yang mengakibatkan kesulitan dalam melaksanakan

kehidupan normal, umumnya dalam hal pembicaraan seseorang. Tingkat

gangguan fungsi pendengaran akibat bising dapat ditentukan dengan

menggunakan parameter percakapan sehari-hari (Buchari, 2007). Gangguan

fungsi pendengaran dapat diakibatkan oleh banyak hal dan umumnya

dideskripsikan dengan tipe dan tingkatan tertentu. Tipe gangguan fungsi

pendengaran berhubungan dengan lokasi dari gangguan pada sistem pendengaran,

dan tingkatan gangguan fungsi pendengaran berhubungan dengan luasnya dari

gangguan fungsi pendengaran. Gangguan kepekaan pendengaran mengakibatkan

intensitas suara yang didapatkan harus lebih tinggi daripada suara yang biasa
24

diterima oleh telinga normal. Gangguan kepekaan ini disebabkan adanya

gangguan pada telinga dalam sehingga suara yang sampai ke otak berkurang

(Mitaran, 2016).

2.3.3.2 Efek Kebisingan pada Pendengaran

Manusia yang memiliki gangguan fungsi pendengaran umumnya akan sulit

untuk membedakan kata-kata yang memiliki kemiripan ataupun terdiri dari

konsonan pada frekuensi yang agak tinggi (Tambunan, 2005). Beberapa gangguan

fungsi pendengaran yang banyak dialami oleh seseorang yang terpapar bising

adalah:

a. Tinnitus

Tinnitus merupakan istilah medis yang berarti telinga mendenging. Tinnitus

bukan suatu penyakit melainkan suatu gejala awal dari penyakit, suara

mendenging tersebut serasa nyata dan berasal dari telinga atau kepala seseorang

(Surodjo, 2008). Tinnitus dapat dibagi menjadi tinnitus obyektif dan tinnitus

subyektif. Tinnitus obyektif adalah keadaan dimana suara mendenging tersebut

dapat didengar oleh pemeriksanya atau dengan auskultasi di bagian sekitar

telinga. Tinnitus subyektif adalah bila suara tersebut hanya dapat didengar oleh si

responden itu sendiri (Arsyad, 2007).

b. Tuli

Tuli merupakan gangguan fungsi pendengaran yang serius karena

menyebabkan hilangnya pendengaran atau ketulian. Ketulian adalah suatu

gangguan yang terjadi pada telinga, yang mana dapat diketahui dengan melakukan

evaluasi dari keluhan-keluhan pasien (Cody & Thane, 1991). Ketulian ini dapat

bersifat sementara, namun jika seseorang terus menerus terpapar bising yang
25

tinggi, maka dapat menjadi ketulian menetap (Arsyad, 2007). Menurut Arsyad

(2007), tuli dapat dibedakan menjadi tuli konduktif, tuli sensori dan tuli

campuran.

a. Tuli konduktif

Tuli konduktif dapat didefisinisikan sebagai gangguan hantaran suara yang

disebabkan karena adanya masalah di bagian telinga luar ataupun telinga bagian

dalam. Pada tuli konduktif ini, dapat disebabkan karena adanya perforasi

membrane timpani, adanya penyumbatan saluran eustachius, atau bahkan

terputusnya rantai assiculum karena trauma ataupun penyakit infeksi cairan

telinga tengah sehingga bagian dasar stapedius menjadi kaku (Bailey, 1993).

b. Tuli sensorineural

Tuli sensorineural dapat didefinisikan sebagai gangguan fungsi

pendengaran yang disebabkan adanya masalah di telinga bagian dalam (koklea)

seseorang. Gangguan fungsi pendengaran sensorineural ini lebih kepada

gangguan fungsi pendengaran akibat bising. Gangguan fungsi pendengaran akibat

bising atau Noise Induced Hearing Loss (NIHL) dapat diartikan sebagai

penurunan pendengaran atau tuli akibat pajanan bising yang melebihi nilai

ambang batas yang telah ditetapkan (Mitaran, 2016).

Tuli sensorineural dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tuli sensorineural

koklea dan tuli sensorineural retrooklea. Tuli sensorineural koklea adalah tuli

yang disebabkan oleh aplasia/kongenital, infeksi bakteri atau virus, intoksikasi

obat-obat tertentu, trauma cavitis, trauma akustik, atau pajanan bising yang

melebihi dari nilai ambang batas. Tuli sensorineural retrokoklea lebih disebabkan

kepada neuroma akustik, cedera otak, perdarahan, dan kelainan otak lainnya.
26

Kebisingan yang mengindikasi ketulian adalah dimana rusaknya sel-sel rambut

yang berada dalam organ corti. Keadaan tersebut dapat menjadi lebih berat jika

kerusakan sel-sel spiral ganglion dan serabut syaraf perifer pendengar. c. Tuli

campuran

Tuli campuran adalah gangguan fungsi pendengaran yang merupakan

kombinasi dari tuli senorineural dan tuli konduktif. Sebagai contoh adalah adanya

radang telinga tengah yang disertai komplikasi ke telinga bagian dalam. Selain itu,

pengaruh bising terhadap pendengaran dapat dikelompokkan menjadi tiga

kelompok, yakni trauma akustik, perubahan ambang pendengaran akibat bising

dan berlangsung sementara, serta perubahan ambang pendengaran secara

permanen.

a. Trauma akustik

Trauma akustik ini terjadi apabila terdapat kerusakan organic telinga yang

diakibatkan karena adanya energy suara yang sangat besar. Rangsangan fisik yang

berlebihan seperti getaran dapat mencederai koklea sehingga akan merusak sel-sel

rambut pendengaran. Selain proses fisika, proses kimia jua dapat mengakibatkan

munculnya rangsangan pada sel-sel rambut seperti proses kimia bahkan bisa

mengakibatkan disfungsi sel-sel rambu, yang pada akhirnya menyebabkan

gangguan ambang pendengaran yang permanen (Lintong, 2009; Gabriel, 1996;

Sastrowinoto, 1985).

b. Noise-induced temporary threshold shift

Noise-induced temporary threshold shift atau NITTP merupakan keadaan

dimana terjadinya kenaikan ambang pendengaran sementara dan kemudian secara

perlahan ambang pendengaran tersebut kembali seerti semula. Hal ini dapat terjadi
27

selama beberapa menit, jam, hingga minggu setelah pemaparan terjadi. Kenaikan

ambang sementara ini mulanya terjadi pada frekuensi 4000 Hz, namun akan

menyebar ke frekuensi lainnya (500-2000 Hz) jika intensitasnya meninggi dan

paparan semakin lama akan semakin besar perubahan ambang pendengarannya.

Respon masing-masing individu terhadap kebisingan tidak sama tergantung

sensitivitas tiap individu (Lintong, 2009; Sastrowinoto, 1985).

c. Noise-induced permanent threshold shift

Gangguan fungsi pendengaran jenis ini merupakan gangguan yang paling

banyak ditemukan dan sifatnya permanen. Gangguan fungsi pendengaran ini

merupakan keadaan dimana terjadi kenaikan ambang pendengaran seseorang

setelah terpapar kebisingan terutama di frekuensi 4000 Hz. Kenaikan ambang

pendengaran yang menetap ini dapat terjadi dalam kurun waktu 3,5 hingga 20

tahun terpapar. Penderita gangguan fungsi pendengaran ini awalnya tidak

menyadari bahwa pendengarannya telah berkurang, dan baru menyadari setelah

pemeriksaan pendengaran dilakukan (Lintong, 2009; Sastrowinoto, 1985).

Hasil pemeriksaan audiometri dapat dijadikan salah satu indikator dalam

menilai derajat gangguan fungsi pendengaran seseorang. Derajat ketulian dibagi

dalam beberapa tingkatan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Derajat Ketulian

Nilai Gangguan
Penampilan Fungsi Nilai pada Audiometri
Pendengaran
Tidak ada masalah pendengaran 0– Normal Nilai audiometri pada kedua
telinga adalah <25 dB
Ketulian hanya terjadi pada satu 1= Gangguan Pada telinga yang sehat, nilai
telinga ringan audiometrinya adalah <25 dB
unilateral
28

Agak sulit mendengar tetapi 2 = Gangguan


biasanya dapat mendengar kata-
ringan 26 – 40 dB
kata yang diucapkan dengan
bilateral
kekerasan suara yang normal.
Dapat mendengarkan kata-kata 3 = Gangguan
yang diteriakkan dari jarak 3 sedang 41 – 60 dB
meter bilateral
Dapat mendengar beberapa kata 4 = Gangguan
yang diteriakkan pada sisi telinga 61 – 80 dB
berat bilateral
yang lebih mendengar.
Kedua telinga tidak dapat 5 = Gangguan
mendengar kata-kata yang >81 dB
sangat berat
diucapkan
Sumber : Afrina 2007

2.3.4 Mekanisme Gangguan Fungsi Pendengaran Akibat Kebisingan

Tuli yang disebabkan oleh bising akan mempengaruhi organ corti di bagian

koklea terutama pada bagian sel-sel rambut. Sel-sel rambut luar akan pertama kali

terkena dan menunjukkan adanya peningkatan degerasi sesuai dengan intensitas

dan lamanya paparan (10-15 tahun). Stereosilia pada sel-sel rambut tersebut

menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi seiring

dengan bertambahnya intensitas bising dan lamanya paparan, maka akan lebih

banyak dijumpai kerusakan stereosilia tersebut hingga hilangnya stereosilia.

Akibat dari hilangnya stereosilia, sel-sel rambut yang mati tersebut akan

digantikan dengan jaringan parut. Semakin tingginya intensitas paparan bising,

sel-sel rambut pada sel penunjang pun akan menjadi rusak pula. Hal iniakan

mengakibatkan semakin luasnya kerusakan sel-sel rambut dan menimbulkan

degenerasi pada syaraf yang berada di nucleus pendengaran pada batang otak

(Bailey, 1993; Rambe, 2003).

Proses terjadinya rusaknya sel-sel rambut hingga destruksi total organ corti

terjadi karena rangsangan bunyi yang berlebihan dan jangka waktu yang lama

mengakibatkan prubahan metabolism dan vaskuler sehingga terjadi kerusakan


29

degenerative pada struktur sel-sel rambut di bagian organ corti. Hal ini

mengakibatkan kehilangan pendengaran secara permanen. Proses ini merupakan

proses yang lama, namun tersembunyi sehingga penderita menyadari pada tahap

awalnya (Gabriel, 1996; Lintong, 2009).

2.3.5 Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Fungsi Pendengaran

a. Sifat dan Jenis Bising

Umumnya, sifat dan jenis bising yang ada di suatu industri bermacam-

macam. Kebisingan dapat berupa jenis yang kontinyu dan intensitas yang tetap

untuk jangka waktu lama, bising kontinyu yang lebih berbahaya dibandingkan

dengan bising intermittent. Kebisingan dengan frekuensi yang lebih tinggi akan

lebih berbahaya terhadap fungsi pendengaran manusia dari pada kebisingan

dengan frekuensi rendah (Afrina, 2007).

b. Lamanya Pajanan

Pada bidang industri, lama pajanan sehari yang diperkenankan adalah kurang

dari 8 jam sehari dengan tingkat kebisingan 85 dB. Semakin tinggi frekuensinya,

maka akan semakin besar pula kontribusinya terhadap kejadian gangguan fungsi

pendengaran (Afrina, 2007).

c. Umur

Sensitivitas pendengaran seseorang akan berkurang seiring dengan

bertambahnya umur. Orang yang berumur lebih dari 40 tahun akan menjadi lebih

rentan mengalami ketulian akibat bising (Depkes RI, 2005). Tidak ada variasi

yang mencolok antara individu-individu baik dalam hal jumlah maupun dalam hal

tingkat hearing loss karena umur (Afrina, 2007). Namun, risiko terjadinya
30

gangguan fungsi pendengaran akibat bising pada usia >40 tahun akan bertambah 2

kali lebih besar dibandingkan usia <40 tahun (Scenihr, 2008). d. Kerentanan

Individu

Kerentanan seseorang terhadap pajanan bising berbeda-beda. Individu pada

kondisi yang sama dan terpapar kebisingan akan mengalami perubahan nilai

ambang pendengarannya yang berbeda. Hal itu disebabkan karena respon masing-

masing individu berbeda dalam menanggapi pajanan kebisingan bergantung pada

kerentanan tiap individu. Belum ada metode untuk mengidentifikasi kerentanan

individu terhadap paparan bising (Wiyadi, 1996; WHO, 1980).

e. Penggunaan Earphone/Headset

Sumber utama pajanan suara atau bising pada remaja dan dewasa muda

adalah musik rock, musik diskotik, dan suara musik dari Personal Musik Players

(PMP). Beberapa studi menyebutkan bahwa prevalensi gangguan fungsi

pendengaran anak-anak muda meningkat pada tahun 1987-2005, dibandingkan

pada awal tahun 1980-an (Kowalska & Davis, 2012).

Pada zona ini, PMP seperti handphone, MP3 player, atau iPod banyak

digunakan oleh anak-anak remaja. Beberapa jenis PMP tersebut dapat

mengeluarkan suara hingga 115 dB yang dapat menyebabkan gangguan pada

telinga. Pada survey pendahuluan yang dilakukan oleh Tuomi mengenai kebiasaan

penggunaan PMP pada 100 mahasiswa tahun pertama di Afrika Selatan

menyatakan bahwa 33% responden mengalami telinga berdenging dan 10%

responden mengalami sakit pada telinga. Untuk menghindari terjadinya gangguan

fungsi pendengaran, beberapa ahli menyarankan untuk mendengarkan musik


31

hanya sekitar 60 – 70 menit perhari dengan tingkat volume 60 – 80 % saja (Tuomi

& Jellimann, 2009).

Kebisingan yang berasal dari mendengarkan musik yang menggunakan

handphone secara terus menerus dengan volume yang maksimal, setara dengan

suara mesin bor yang intensitasnya sampai dengan 96 dB (Mitaran, 2016). Pada

penelitian yang dilakukan Meyer Bisch tahun 1996 dalam Scenihr, ada perbedaan

yang signifikan dengan gangguan fungsi pendengaran pada seseorang yang

memiliki kebiasaan mendengarkan musik media player >7 jam perminggu

dibandingkan dengan yang mempunyai kebiasaan mendengarkan musik media

player 2-7 jam perminggu.

f. Genetik

Ketulian yang berhubungan dengan faktor genetik merupakan gangguan

fungsi pendengaran dan tuli sensorineural yang disebabkan karena adanya defek

pada koklea. Hal ini juga dapat terjadi akibat adanya gangguan proses recycle

pada saat proses difusi berlangsung dan sekresi ion-ion kalium pada potassium

channel dan connexin channel (Willems, 2000).

Gangguan fungsi pendengaran yang diakibatkan oleh genetik diperkirakan

mencapai 50% kasus pada masa kanak-kanak. Penyebab genetik yang

mempengaruhi gangguan fungsi pendengaran konduktif meliputi malformasi

struktur telinga tengah dan atresia saluran telinga luar. Selain itu, anak dengan

orang tua yang memiliki ketulian genetik beresiko untuk terkena gangguan fungsi

pendengaran pula. Ketulian jenis ini dapat diklasifikasikan menjadi dominan,

resisif atau terkait dengan X. Sekitar 80% ketulian herediter terjadi secara

autosomal resesif, 15-20% autosomal dominan dan sisanya terjadi secara x-linked
32

dan mitokondria. Tuli herediter memiliki prevalensi 50% dari seluruh kejadian tuli

kongenital (Perkasa, 2012; Kusumawati, 2012).

Gangguan fungsi pendengaran berdasarkan kelainan genetik memiliki etiologi

yang berbeda-beda. Sekitar 1% dari seluruh gen manusia terlibat dalam proses

pendengaran. Gangguan fungsi pendengaran akibat kelainan genetik dapat dibagi

menjadi ketulian non sindromik dan ketulian sindromik. Perubahan genetik ini

berupa mutasi gen tunggal atau kombinasi mutasi pada gen yang berbeda dan

faktor lingkungan. Sekitar 50% dari kasus gangguan fungsi pendengaran akibat

mutasi gen dan diturunkan kepada keturunannya (Bolton & Golding, 2015).

Ketulian non sindromik merupakan gangguan fungsi pendengaran yang tidak

memiliki kaitan dengan kelainan fisik lainnya. Kebanyakan dari ketulian non

sindromik merupakan kelainan pendengaran sensorineural. Ketulian jenis ini

mengenai 1 dari 4000 orang, 70% dari kasus tuli genetik adalah ketulian

sindromik dan 30%-nya adalah ketulian sindromik (Tuomi, Jellimann, 2009).

Tuli yang dialami seseorang akibat dari genetik atau herediter dapat

diwariskan oleh kedua orangtuanya atau generasi sebelumnya. Beberapa

penelitian dilakukan untuk menemukan penyebab ketulian akibat genetik atau

herediter. Ketulian genetik ini berkaitan dengan autosomal dominan dan

autosomal resesif dalam perkawinan atau keluarga. Penelitian mengenai Analisis

pedigree gangguan fungsi pendengaran dan ketulian pernah dilakukan kepada

penduduk Dusun Sepang, Polewali Mandar (Perkasa, 2012). Analisis pedigree

dilakukan untuk menganalisis silsilah keluarga sehingga nantinya dapat

memperkirakan suatu penyakit. Hasil uji analisis bivariat dari penelitian tersebut

menunjukkan bahwa pola pewarisan gangguan fungsi pendengaran pada


33

penduduk Dusun Sepang ini terjadi melalui transmisi autosomal resesif. Dapat

dikatakan bahwa perkawinan keluarga berpengaruh trhadap kejadian gangguan

fungsi pendengaran dan ketulian.

g. Penyakit Lain

Anak-anak akan lebih rentan terkena penyakit yang disebabkan oleh infeksi

virus, bakteri, parasit. Umumnya, infeksi telinga tengah adalah yang paling

banyak diderita oleh anak-anak di dunia. Infeksi pada telinga ini akan

menimbulkan cairan dan lendir di bagian liang telinga. Cairan dan lendir yang

menumpuk di liang telinga akan mengakibatkan gendang telinga menjadi kurang

fleksibel. Pada umumnya, infeksi telinga ini terjadi pada saat anak mengalami flu,

radang amandel, atau demam lainnya (Mitaran, 2016).

Penyakit meningitis juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi

pendengaran pada manusia. Meningitis terjadi dikarenakan adanya peradangan

pada membrane meninges yang mengelilingi otak. Meningitis tidak menyebabkan

ketulian secara langsung, namun letak otak yang berdekatan dengan telinga dapat

menyebabkan peradangan di bagian telinga pula. Gangguan fungsi pendengaran

akibat infeksi virus dapat terjadi hanya pada satu telinga saja ataupun keduanya.

Gangguan fungsi pendengaran akibat infeksi ini umumnya masuk ke dalam tipe

sensorineural. Penyakit infeksi lainnya yang dapat mempengaruhi pendengaran

adalah otitis media, citomegalo virus, rubella, dan lainnya (Mitaran, 2016).

Ketulian yang diakibatkan oleh faktor non-genetik dapat terjadi pada masa

kehamilan dan pada saat lahir. Kehamilan trimester 1 merupakan periode kritis

karena infeksi dari bakteri dan virus dapat menyebabkan ketulian. Infeksi yang

paling sering mempengaruhi pendengaran adalah TORCHS atau Toksoplasmosis,


34

Rubella, Cytomegalovirus, Herpes, Sifilis, campak, dan parotis (Addler &

Marshall, 2007). Penyebab ketulian pada saat lahir diakibatkan oleh bayi yang

lahir premature, bayi dengan berat badan lahir rendah, hyprbilirubinemia, asfiksia,

dan hipoksia (Gomella, 2004).

h. Penggunaan Obat Ototoksik

Obat ototoksik adalah obat-obatan yang berpotensi dapat menimbulkan reaksi

toksik pada struktur telinga seperti koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis dan

otolith. Beberapa jenis obat-obatan berpengaruh pada fungsi pendengaran

seseorag, namun tentu saja bergantung pada jenis obat, dosis obat yang

dikonsumsi serta cara penggunaan. Obat-obatan ini dapat merusak sistem

pendengaran dengan tingkatan yang berbeda-beda, kebanyakan memiliki efek

merusak sel-sel ramput di koklea. Kelompok obat tersebut adalah antibiotic

(aminoglikosia, makrolida) diuretic (furosemide, asam ethacrynic), obat

nonsteroid anti-inflamasi (asam asetil salisilat) dan obat antimalarial (Scenihr,

2008).

Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti jenis salisilat,

gentamisin, streptomisin, dan lainnya memiliki potensi untuk mempengaruhi

fungsi pendengaran pendengaran. Obat ototoksik tersebut mempengaruhi proses

pembentukan organ dan sel rambut pada koklea (Mudd, 2012).

Hasil studi yang dilakukan pada masyarakat US pada tahun 2004 menemukan

bahwa orang yang mengkonsumsi aspirin atau acetaminophen secara teratur > 2

kali per minggu memiliki risiko lebih besar mengalami gangguan fungsi

pendengaran dibandingkan dengan orang yang mengkonsumsi aspirin atau


35

acetaminophen sesekali saja (OR aspirin=1,21; OR acetaminophen=1,22)

(Mitaran, 2016).

2.3.6 Pengukuran Fungsi Pendengaran

2.3.6.1 Uji Rinne

Uji Rinne dapat mengetahui jenis ketulian, apakah bersifat konduktif atau

bersifat perseptif. Uji Rinne mengevaluasi gangguan fungsi pendengaran dengan

membandingkan antara konduksi udara dan konduksi pada tulang. Konduksi

udara terjadi melalui udara dekat dengan telinga dan melibatkan liang telinga dan

gendang telinga, sedangkan konduksi tulang terjadi melalui getaran yang

ditangkap oleh sistem saraf pada telinga.

Batang garpu tala diletakkan pada prosesus mastoideus dan kaki garpu tala

diletakkan di depan telinga responden. Pemeriksa akan meminta responden untuk

membandingkan intensitas bunyi yang dapat didengar pada kedua posisi tersebut.

Seseorang yang menderita tuli konduktif akan mendengar bunyi yang lebih baik

jika garpu tala diletakkan di atas prosesus mastoideus, sedangkan pada seseorang

yang menderita tuli perseptif akan mengalami hal yang sebaliknya. Uji rinne

disajikan pada gambar 5.

Gambar 5. Uji Rinne


36

2.3.6.2 Uji Weber

Uji Weber dilakukan dengan cara meletakkan tangkai garpu tala di atas

kepala pada pertengahan dahi. Gelombang bunyi yang dihasilkan dari garpu tala

akan dihantarkan melalui tengkorak menuju ke kedua telinga responden. Bunyi

yang dihasilkan garpu tala tersebut akan terdengar sama keras jika pendengaran

normal. Tuli konduktif pada satu telinga menyebabkan getaran yang didengar oleh

responden lebih kuat pada sisi yang sakit, sedangkan pada perspektif unilateral,

bunyi dari garpu tala akan terdengar lebih baik pada sisi telinga yang sehat.

Penghantaran bunyi pada uji Weber ini mengandalkan konduksi melalui

tulangan yaitu komponen langsung dan tidak langsung. Pada komponen langsung,

bunyi yang dihasilkan menuju ke koklea, sedangkan pada komponen tidak

langsung, sebagian dari bunyi langsung ke koklea, namun sebagian besarnya

menyebar ke telinga luar. Uji weber disajikan pada gambar 6.

Gambar 6. Uji Weber


2.3.6.3 Uji Schwabach

Uji Schwabach adalah uji dengan membandingkan hantaran tulang responden

dengan pemeriksanya. Pemeriksa akan meminta responden untuk melaporkan

pada saat getaran dari garpu tala yang ditempelkan pada mastoidnya sudah tidak

dapat didengar lagi. Setelah itu, pemeriksa akan memindahkan garpu talanya ke
37

mastoidnya sendiri dan menghitung berapa lama dia dapat merasakan getaran dari

garpu tala dan dihitung dalam satuan detik.

Uji Schwabach ini dikatakan normal apabila hantaran getaran pada tulang

pasien dan pemeriksanya hamper sama. Uji Schwabach dikatakan memendek

apabila telinga pemeriksa dapat mendengar bunyi dari garpu tala setelah

responden melaporkan sudah tidak dapat mendengarnya lagi.uji Schwabach

dikatakan meningkat atau memanjang, apabila hantaran tulang pasien lebih lama

dibandingkan pemeriksanya. Kasus uji Schwabach meningkat atau memanjang

dapat ditemukan pada orang dengan gangguan fungsi pendengaran konduktif.

2.3.6.4 Uji Bing

Uji Bing merupakan aplikasi dari efek oklusi, dimana penala terdengar lebih

keras jika telinga normal ditutup. Apabila liang telinga ditutup dan dibuka secara

bergantian pada saat penala yang bergetar ditempelkan pada mastoideus, maka

telinga normal tersebut akan mendengar bunyi yang mengeras dan melemah (Bing

positive). Pada responden yang menderita gangguan fungsi pendengaran

sensorineural, seperti pada orang dengan perubahan mekanisme konduktif seperti

penderita otitis media atau otosklerosis, mereka tidak menyadari adanya

perubahan kekerasan bunyi tersebut (Bing Negative).

2.3.6.5 Audiometri Nada Murni

Salah satu cara pengukuran fungsi pendengaran adalah audiometri, alat ini

digunakan dalam audiometri ini disebut dengan audiometer. Audiometer adalah

alat elektronik yang mengeluarkan nada murni dengan memakai osilator.

Intensitas bunyi yang dihasilkan dapat berubah-ubah dan diukur dalam satuan

desibe. Audiometer adalah alat elektrokustik yag menghasilkan bunyi uji dengan
38

level terkontrol dan sinyal yang dimaksudkan untuk mengevaluasi pendengaran

diagnostik dan membantu untuk mendiagnosa kemungkinan adanya gangguan

otology (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Untuk mendapatkan keabsahan pemeriksaan, maka audiometri harus

memiliki 3 persyaratan utama, yaitu alat audiometer yang telah dikalibrasi,

ruangan yang kedap, serta pemeriksa yang terlatih. Pada saat dilakukan

pemeriksaan audiometri diperlukan adanya ruangan yang sunyi dan jauh dari

keramaian lalu lintas. Responden yang akan melakukan pemeriksaan audiometri

diperlukan ruangan yang sunyi dan jauh dari keramaian lalu lintas. Responden

yang akan melakukan pemeriksaan akan menggunakan ear phone yang

dihubungkan dengan audiometer. Responden mendengarkan bunyi yang pertama

terdengar hingga tidak terdengar lagi, nilai pengukuran kedua nilai ambang batas

tersebut adalah kekurangan pendengaran untuk nilai frekuensi tersebut.

Pada saat pemeriksaan audiometri, pasien akan diberitahu terlebih dahulu

untuk menekan tombol yang telah disediakan apabila mendengar suara walaupun

sangat kecil. Masing-masing dari suara tersebut biasanya diberikan interval 2

detik dan dimulai dengan frekuensi 1000 Hz sampai suara tidak terdengar.

Selanjutnya dinaikkan 5 dB hingga suara dapat didengar. Alat pemeriksaan fungsi

pendengaran yang disebut audiometri disajikan pada gambar 7.


39

Gambar 7. Audiometer

2.4 Bising Kereta Api

Ada banyak sumber kebisingan dan getaran yang dihasilkan dalam sistem

perkeretaapian. Kebisingan yang bersumber dari kereta api dapat berasal dari

beberapa hal, yaitu suara gesekan antara rel dan roda kereta yang menghasilkan

getaran dan suara, suara yang ditimbulkan ketika kereta melewati jembatan,

kebisingan dari aerodinamis kereta, suatu traksi yang berasal dari mesin diesel,

rem, dan kipas kereta, serta klakson kereta sebagai sinyal peringatan (Thompson,

2009). Beberapa sumber kebisingan yang berasal dari kereta api itu sendiri

(Agustiani, 2012), diantaranya adalah:

1. Kebisingan Traksi.

Kebisingan ini berasal dari mesin diesel, kebisingan knalpot, mesin, dan

transmisi getaran.

2. Kebisingan Rel/Roda Kereta

Rel dan roda yang bergesekan menghasilkan kebisingan internal dan

eksternal.

3. Kebisingan Alat Bantu


40

Kebisingan ini berasal dari composer, ventilasi dan sistem pengereman

kereta.

4. Kebisingan Aerodinamis

Kebisingan ini dihasilkan dari perjalanan kereta api yang dihantarkan

udara.

Suherwin (2004) menyebutkan sumber kebisingan dari kereta api yang

sedikit berbeda dengan Davies.

1. Kebisingan yang berasal dari bunyi klakson kereta api pada saat kereta akan

memasuki stasiun pemberhentian atau ketika melalui persimpangan jalan pada

daerah dengan aktivitas penduduk yang padat.

2. Kebisingan yang berasal dari gesekan mekanis antara roda kereta dengan rel,

terutama pada saat kereta melewati sambungan rel dan pengereman.

3. Kebisingan yang berasal dari sistem pengapisan. Pada beberapa kereta api

yang masih menggunakan mesin diesel akan menimbulkan suara bising yang

lebih besar dibandingkan dengan kereta api yang menggunakan listrik.

4. Frekuensi mobilitas kereta. Hal ini berkaitan dengan jumlah kereta yang

beroperasi maupun dengan kecepatannya.

2.5 Sekolah

Sekolah adalah lembaga pendidikan yang digunakan sebagai tempat kegiatan

belajar mengajar. Lingkungan pendidikan yang terbangun dalam sebuah bangunan

sekolah dapat berperan dalam peningkatan mutu pembelajaran. Jadi perencanaan

sebuah bangunan perlu memperhatikan beberapa faktor, yakni faktor keselamatan,

kesehatan dan kenyamanan yang tentunya dapat dirasakan oleh siswa.

Kenyataannya, sebuah bangunan sekolah dapat mengalami permasalahan dalam


41

pemenuhan ketiga faktor tersebut, misalnya faktor kenyamanan. Ketidak-

nyamanan dapat terjadi di lingkungan sekolah karena kebisingan pada jam

pelajaran tengah berlangsung (Yuni, T. and Hanifa, U. 2006).

2.6 Lingkungan Belajar

Lingkungan belajar adalah lingkungan sekitar yang melengkapi terjadinya

proses pendidikan (Suwarno, 2006). Hal ini berarti bahwa lingkungan sebagai

komponen pembelajaran merupakan faktor kondisional yang mempengaruhi

tingkah laku individu dan merupakan faktor yang berperan penting dalam belajar

seorang siswa. Agar tujuan belajar dapat tercapai dengan prestasi belajar yang

maksimal, maka dibutuhkan konsentrasi dalam belajar. Faktor lingkungan yang

dapat mempengaruhi konsentrasi belajar antara lain: suara, pencahayaan, dan suhu

(Wahyuningsih, 2013).

2.7 Regresi Logit

Regresi logit merupakan teknis analisis data yang dapat menjelaskan

hubungan antara peubah respon yang memiliki dua kategori dengan satu atau

lebih peubah penjelas berskala kontinu atau kategori (Hosmer dan Lemesow,

1989). Model peluang regresi logistik dengan p faktor (peubah penjelas) adalah :

exp(  0  1 X 1  ....  p X p )

E (Y  x )   ( x) 
1  exp(  0  1 X 1  ....  p X p )

Sumber : Hosmer dan Lemesow, 1989.

Transformasi logit dari p(x) adalah

  ( x) 
g ( x)  ln  

1  ( x) 
42

Dimana komponen g(x) yang merupakan bagian komponen sistematik

tersebut, dapat dituliskan dalam fungsi linear dari peubah penjelas :

g ( x )   0  1 X 1  ....   p X p

Jika terhadap p peubah bebas dengan peubah ke-j merupakan peubah

kategori dengan k nilai, maka peubah boneka sebanyak k-1. Maka model

transformasi logitnya menjadi:


n

g ( x )   0  1 X 1  ....   jn D jn  p X p
i 1

Pendugaan parameter digunakan metode kemungkinan maksimum

(maximun likelihood) Dimana fungsi kemungkinan maksimum:


n

I (  )   f (Y  yi | xi )
in

Untuk menduga ßi maka maksimumkan l(ß) Untuk memudahkan

perhitungan, dilakukan pendekatan logaritma, sehingga fungsi log

kemungkinannya sebagai berikut :


n
I (  )  ln  l     { y ln   (1  y ) ln(1 )}
 
 i i i

i1

Nilai dugaan ßi dapat diperoleh dengan membuat turunan pertama terhadap

l(ß) = 0, dengan i = 1, 2, 3, ……………..p

Untuk memperoleh penduga kemungkinan maksimum bagi parameter dari

model, secara teknis digunakan metode kuadrat terkecil terboboti secara iterative

(iteratively reweighted least squares). Pengujian terhadap parameter-parameter

model dilakukan sebagai upaya untuk memeriksa kebaikan model. Uji kebaikan

model merupakan suatu pemeriksaan apakah nilai yang diduga dengan peubah

didalam model lebih baik atau akurat dibandingkan dengan model tanpa peubah
43

tersebut (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Dengan kata lain diadakan pengujian

hipotesis statistik dalam menentukan apakah peubah-peubah bebas dalam model

mempunyai hubungan yang nyata dengan peubah responnya. Untuk mengetahui

peran seluruh peubah penjelas di dalam model secara bersama-sama dapat

digunakan uji nisbah kemungkinan yaitu uji G. Statistik ujinya berdasarkan

hipotesis

H0 : ß= ß1 2 = ß = ……. = ßp= 0

H1 : Paling sedikit ada satu ßj? 0 (j = 1, 2, 3, …..p)

Sedangkan rumus umum untuk uji-G :

G  2 ln  L   0


Lk 

Dengan Kriteria uji :


 ,TerimaH 

X2 p 0

G  
,TolakH0 
Xp
2

 
Dengan L0= fungsi kemungkinan tanpa peubah penjelas dan Lk= fungsi

kemungkinan dengan peubah penjelas. Statistik G mengikuti sebaran khi kuadrat

dengan derajat bebas p. Sedangkan untuk uji nyata parameter secara parsial dapat

digunakan uji-Wald. Statistik uji-Wald adalah



W  j
i s(  j )

Hipotesis:
H0: ßj= 0
H1 : ßj ? 0

dengan kriteria uji:


 Z 2 , TerimaH 
 0
|W| 
  Z2 , TolakH 0 
44

^ ^
Dengan ß j merupakan penduga ßj dan s (ß j) adalah dugaan galat baku dari

^
ß j .Statistik ujiWald mengikuti sebaran normal baku. Menurut Hosmer dan

Lemeshow (1989), koefisien model logit ditulis sebagai ßj = g(x+1) – g(x).

Parameter ßj mencerminkan perubahan dalam fungsi logit g(x) untuk perubahan

satu unit peubah bebas x yang disebut log odds. Log odds merupakan. beda antara

dua penduga. logit yang dihitung pada dua nilai (misal x = a dan x = b) yang

Dinotasikan sebagai :

sedangkan penduga rasio-odds adalah:

Sehingga jika a-b =1 maka ? = exp(ß). Rasio-odds ini dapat diintepretasikan

sebagai kecenderungan Y =1 pada x =1 sebesar sekian kali dibandingkan pada

x=0.
45

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di sekolah dasar yang berada di wilayah kota

Bandar Lampung dan berada di dekat rel perlintasan kereta api. Setelah dilakukan

penelusuran melalui Google Maps, lokasi sekolah dasar yang berada dekat dengan

perlintasan kereta api adalah SDN 02 Kampung Baru dan SDN 01 Rajabasa Raya.

Jarak antara rel perlintasan kereta api dengan sekolah dasar tersebut adalah kurang

dari 30 meter. Penelitian ini menggunakan data primer yang dilaksanakan pada

bulan Juni 2019.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah ATK berupa alat tulis

Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Audiometer

b. Sound level meter

c. Global positioning sistem (GPS)

d. stowatch

e. Perangkat komputer (PC)

f. Handphone terinstall aplikasi Sound Level Meter terkalibrasi

g. Kuesioner

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan rancangan penelitian

cross-sectional comperative. Tujuan metode potong-lintang (cross-sectional)


46

adalah mendeskripsikan karakteristik populasi sasaran berdasarkan pengamatan

pada sampel. Asas keterwakilan (representatif) sangat penting, agar deskripsi

tersebut akurat. Karena itu, pada studi potong-lintang pemilihan subyek

dianjurkan menggunakan prosedur pencuplikan acak sederhana. Metode ini

dilakukan untuk mendeskripsikan antara penyakit dan penyebab. Data yang

dihasilkan dari desain penelitian cross-sectional ini berupa data prevalensi (Murti,

2011).

Penelitian ini akan melihat pengaruh antara kebisingan yang dihasilkan oleh

kereta api dengan fungsi pendengaran siswa Sekolah Dasar kelas 4 dan 5 di SDN

02 Kampung Baru dan SDN 01 Rajabasa Raya kota Bandar Lampung dengan

melakukan pemeriksaan audiometri. Pengukuran kebisingan dilakukan secara

tentatif sesuai jadwal kereta api yang melintas.

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dilakukan dengan 3 cara

yaitu dengan Studi Lapangan (observasi), wawancara dan kuesioner. Observasi

dilakukan guna mendapatkan data kebisingan di dalam dan di ruang kelas SDN 02

Kampung Baru dan SDN 01 Rajabasa Raya. Pengukuran audiometri dilakukan

oleh tenaga ahli bersertifikasi dari Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek.

Sedangkan Wawancara kepada responden yaitu siswa sekolah dasar yang meliputi

data kebiasaan berada di sekolah setelah jam belajar selesai, penggunaan

earphone/headset serta data gejala gangguan telinga. Data lainnya seperti

demografi rumah, riwayat bersekolah, riwayat keturunan, dan riwayat penyakit

sebelumnya dijawab oleh orang tua dengan mengisi kuesioner yang telah

disediakan peneliti dan mengisinya di rumah.


47

3.4 Definisi Operasional Variabel

Pada penelitian ini variabel independen yang akan diteliti adalah kebisingan

sedangkan variabel: lamanya paparan, tempat tinggal jarak dengan sumber

kebisingan, keturunan penyakit gangguan fungsi pendengaran, riwayat infeksi

telinga sebelumnya, dan penggunaan earphone atau headphone merupakan

variabel antara karena variabel-variabel tersebut juga berpotensi menjadi

penyebab terjadinya gangguan fungsi pendengaran. Devinisi Operasional Variabel

disajikan pada tabel 4.


Tabel 4.
Definisi Operasional Variabel

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1. Gangguan Fungsi Suatu kondisi dimana terjadi Mencatat status gangguan Audiometer 1. Tidak ada Ordinal
Pendengaran penurunan daya dengar seseorang fungsi pendengaran yang gangguan
secara kuantitatif berdasarkan hasil dialami oleh responden 2. Ada gangguan
pemeriksaan audiometri dengan nilai berdasarkan hasil
ambang audiometri nada murni ≥25 pemeriksaan audiometri
dB pada frekuensi rata-rata 250, 500, nada murni
1000, 2000, 4000, 6000, 8000 Hz
(WHO, 1991).
2. Intensitas Kebisingan Tingkat bising atau suara yang Melakukan pengukuran Sound Level Pengukuran Numerik
diterima oleh seseorang sebagai nilai intensitas bising selama Meter kebisingan dalam
hasil konversi tingkat pajanan waktu tertentu yaitu satuan dB
kebisingan tertentu dan durasi waktu bukan pada saat jam
terpajan tertentu (Mitara, 2016) belajar mengajar
berlangsung dan
pengukuran dilakukan di
kelas-kelas yang telah
ditentukan
3. Lamanya paparan Lamanya siswa terpajan bising di Wawancara Kuesioner 1. <1,88 menit Ordinal
sekolah yang berasal dari sumber 2. ≥1,88 menit
kebisingan selama lebih dari 5 kali
dengan lama paparan >1 menit
(Sutopo, 2007)
4. Tempat Tinggal Kedekatan letak wilayah tempat Wawancara Kuesioner 1. >50 meter Ordinal
responden bermukim dengan sumber 2. <50 meter
kebisingan yaitu rel perlintasan kereta
api (Simanjuntak, 2012)
49

5. Riwayat Keturunan Adanya penyakit keturunan telinga Wawancara Kuesioner 1. Tidak ada Ordinal
pada responden yang berasal dari riwayat
keluarga, dengan garis keturunan ke keturunan
atas (orang tua, kakek nenek) penyakit
Ya : Jika responden memiliki riwayat telinga
penyakit telinga keturunan. 2. Ada riwayat
Tidak : Jika responden tidak memiliki keturunan
riwayat penyakit telinga turunan penyakit
telinga
6. Riwayat penyakit Responden pernah memiliki Wawancara Kuesioner 1. Tidak ada Ordinal
pendengaran penyakit/infeksi terkait riwayat
Sebelumnya pendengarannya yang didiagnosa oleh penyakit
dokter. telinga
Ya : Jika responden pernah memiliki 2. Ada riwayat
penyakit pendengaran sebelumnya penyakit
Tidak : Jika responden tidak pernah telinga
memiliki penyakit terkait
pendengarannya
7. Penggunaan earphone Kebisingan seseorang dalam Wawancara Kuesioner 1. Tidak Ordinal
atau headset mendengarkan musik, telepon atau 2. Ya
lainnya dengan menggunakan headset
atau earphone setiap hari atau selama
beberapa waktu tertentu, 2016).
Ya : Jika responden biasa
mendengarkan musik menggunakan
headset atau earphone
50

3.5 Populasi dan Sampel Penelitian

3.5.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan dari unit di dalam pengamatan yang akan

dilakukan (Hastono & Sabri, 2006). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh

siswa-siswi kelas 4 dan kelas 5 yang bersekolah di sekolah dasar negeri yang

letaknya dekat dengan jalur perlintasan kereta api yaitu SDN 02 Kampung Baru

dan SDN 01 Rajabasa Raya. Adapun siswa kelas 1 dan 2 tidak dijadikan sebagai

sampel karena dianggap belum dapat memahami sepenuhnya pertanyaan yang

diajukan peneliti, adapun kelas 6 tidak masuk dalam kriteria karena siswa kelas 6

sudah memasuki persiapan pelaksanaan ujian nasional. Jumlah Populasi siswa

kelas 4 dan lima berjumlah 291 responden.

3.5.2 Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian dari populasi yang nilai atau karakteristiknya

diukur dan nantinya akan dipakai untuk menduga karakteristik dari suatu populasi

(Hastono & Sabri, 2006). Responden pada penelitian ini adalah siswa SD kelas 4

dan 5 dan berada di ruang kelas yang dekat dengan rel. Siswa sekolah dasar

diukur fungsi pendengarannya serta diberikan kuesioner dengan menanyakan

langsung kepada responden yang dibantu oleh orangtuanya. Sampel penelitian ini

diambil dengan metode purpossive sampling dimana pengambilan sampelnya

dilakukan dengan pertimbangan tertentu (Nasution, 2003). Pertimbangan tersebut

ditentukan melalui kriteria inklusi sebagai berikut:

1. Responden adalah siswa-siswi kelas 4 dan 5 baik laki-laki maupun

perempuan.
51

2. Responden adalah siswa-siswi yang bersekolah di SDN 02 Kampung Baru dan

SDN 01 Rajabasa Raya Bandar Lampung.

Sedangkan kriteria eksklusi sampel penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Responden merupakan siswa pindahan kurang dari 3 tahun

2. Responden dalam keadaan sakit.

3. Responden tidak mendapat persetujuan dari orang tua/walinya untuk

berpartisipasi dalam penelitian ini.

3.5.3 Perhitungan Sampel

Perhitungan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan software

sample size. dengan menggunakan rumus perhitungan besar sampel survei yaitu

simple random sampling (Lemeshow et. al, 1997). Dikarenakan besarnya populasi

diketahui atau terbatas (finite), maka rumus ukuran sampel untuk menaksir sebuah

populasi, peneliti menggunakan rumus mencari sampel adalah sebagai berikut :

57
Keterangan :
P = Proporsi populasi yang diharapkan = 24% (0,24)
q = 1-P→0,76
d = Tingkat presisi yang sebesar 10% = 0,1
Z 1-α/2 = Tingkat kepercayaan yang sebesar 95 % = 1,96 untuk
α=0,05 n = Jumlah sampel
N = Banyaknya populasi = 291

Perhitungan jumlah sampel untuk penelitian ini menggunakan jumlah

populasi pada kedua sekolah yang berjumlah 291. Setelah dilakukan perhitungan

maka didapatkan jumlah sampel minimal yaitu 57 sampel. Untuk mengantisipasi


52

adanya sampel yang keluar dari penelitian ini, maka jumlah sampel ditambah

10%, sehingga berjumlah 63 sampel. Jumlah responden pada masing-masing

sekolah diambil berdasarkan proporsinya. Perhitungan proporsi yang didapatkan

untuk SDN 02 Kampung Baru dan SDN 01 Rajabasa Raya adalah 1:4,2.

Berdasarkan perhitungan tersebut maka didapat jumlah responden SDN 02

Kampung Baru adalah 12 siswa dan SDN 01 Rajabasa Raya adalah 51 siswa

sehingga jumlah seluruhnya 63 responden. Setelah menentukan jumlah sampel

pada masing-masing sekolah di kelas 4 dan 5, peneliti menulis nama siswa di

kertas dan menentukan secara acak dengan cara menjatuhkan kertas yang

bertuliskan nama masing-masing siswa dua nama sekaligus. Proporsi jumlah

responden pada tiap kelas disajikan pada tabel 5.

Tabel 5.
Proporsi Jumlah Responden Pada Tiap Kelas di SDN 02 Kampung Baru
dan SDN 01 Rajabasa Raya

SDN 01 Rajabasa Raya SDN 02 Kampung Baru


Kelas Jumlah Jumlah Kelas Jumlah Jumlah
Siswa Responden Siswa responden
Kelas 4 98 25 Kelas 4 41 6
Kelas 5 101 26 Kelas 5 45 6
Jumlah 193 51 Jumlah 98 12
Jumlah sampel 63

3.6 Sumber Data Penelitian

Penelitian ini sepenuhnya menggunakan data primer yang diperoleh dari

beberapa kegiatan yaitu pengukuran kebisingan di sekolah untuk mendapatkan

data intensitas kebisingan yang berasal dari kereta api dan diukur bukan pada saat

proses belajar mengajar sedang berlangsung, pemeriksaan audiometri untuk

mendapatkan hasil pemeriksaan fungsi pendengaran setiap siswa yang meliputi


53

telinga kanan dan kiri, serta wawancara kepada siswa sekolah dasar dan kuesioner

yang diisi oleh orang tua siswa.

3.7 Rincian Persiapan dan Pelaksanaan Pengumpulan Data Penelitian

Persiapan penelitian ini dimulai dari penentuan sekolah dan responden serta

survei pendahuluan. Pelaksanaan pengumpulan data penelitian ini meliputi

wawancara, pengukuran kebisingan dan pemeriksaan audiometri. Pelaksanaan

penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data yang berkaitan dengan

responden setelah jam belajar selesai, yang meliputi wawancara dan pemeriksaan

audiometri. Responden diwawancarai terlebih dahulu kemudian dilanjutkan

dengan pemeriksaan audiometri. Pemeriksaan audiometri dilakukan satu hari

untuk semua responden jumlah waktu yang dibutuhkan untuk wawancara adalah

10 menit yang dilakukan oleh peneliti dan enumerator. Adapun pemeriksaan

audiometri dilakukan selama 10 menit di Laboratorium RSAM Bandar Lampung,

sedangkan pengukuran kebisingan dilakukan mulai pukul 08.00 sampai dengan

pukul 11.30 yang dilakukan di SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung

Baru. Penjabaran dari masing masing pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

Kegiatan wawancara merupakan pengambilan data karakteristik

individu yang meliputi data usia, jenis kelamin, tempat tinggal, lamanya

bersekolah, gangguan fungsi pendengaran, intensitas kebisingan, lamanya

paparan, tempat tinggal, riwayat keturunan, riwayat penyakit pendengaran

sebelumnya, dan penggunaan earphone atau headset. Sebelum dilakukan

penelitian peneliti memberikan lembar informed consent kepada responden

untuk disampaikan kepada orang tuanya. Bagi yang setuju maka dilanjutkan
54

mengisi kuesioner yang disediakan. Kegiatan wawancara ini dilakukan di

sekolah. Sebagaimana untuk memenuhi etika penelitian maka identitas

responden dirahasiakan.

Lembar informed consent diberikan satu minggu sebelumnya.

Responden diberi waktu 2 hari untuk menyerahkan kembali lembar informed

consent. Pengembalian lembar informed consent kemudian diperiksa dan

dihitung untuk memastikan jumlah sesuai dengan jumlah sampel penelitian.

Jika ada lembar informed consent belum memenuhi maka mencari responden

pengganti sampai jumlah sampel terpenuhi.

2. Pengukuran Audiometri

Pemeriksaan audiometri pada responden dilakukan setelah jam sekolah

selesai, yaitu pukul 12.00 sampai dengan pukul 17.00. Pemeriksaan

audiometri membutuhkan ruangan yang kedap suara atau minim dari

kebisingan. Hasil dari pemeriksaan audiometri berupa grafik yang berisi

intensitas dan frekuensi suara yangdiperdengarkan serta hasil pengukuran air

conduction dan bone conduction seorang. Hasil pembacaan grafik dapat

diketahui nilai ambang dengar seseorang dan jenis gangguan fungsi

pendengaran yang dialami. Pemeriksaan audiometri dilakukan oleh 2 orang

petugas laboratorium di Rumah Sakit Umum Abdul Moeloek yang sudah

berpengalaman. Audiometri yang digunakan pada penelitian adalah

audiometer merk Elkon Tipe Eda 3N3 mille. Audiometer ini dilakukan

kalibrasi sebelumnya sambil melakukan persiapan baik persiapan ruangan

maupun persiapan untuk responden. Pada pengukuran audiometri dilakukan


55

dengan membuat bilik kedap suara sebagai tempat pemeriksaan. Tahapan dari

pemeriksaan audiometri adalah sebagai berikut:

a. Persiapan alat dan ruangan

1) Pemeriksaan dilakukan di bilik kedap suara

2) Meletakkan peralatan audiometri di atas meja yang rata dan bersih

3) Menyiapkan tempat duduk untuk responden dan pemeriksa

b. Persiapan Responden

1) Responden duduk di kursi yang stabil

2) Posisi responden dalam keadaan rileks

c. Pelaksanaan oleh petugas laboratorium

d. Pelaksanaan Pemeriksaan Audiometri

1) Memberikan instruksi yang jelas dan tepat kepada responden yang

perlu mengetahui apayang harus didengar dan tanda apa yang harus

diberikan kepada pemeriksa jika mendengar nada

2) Memasang headphone dengan posisi warna merah untuk telinga

kanan dan warna biru untuk telinga kiri

3) Pemeriksaan dimulai pada telinga kanan dan dimulai frekuensi 1000

Hz dengan intensitas 40-50 dBA. Bila responden yang diperiksa

mendengar nada tersebut maka ia memberikan tanda

4) Menurunkan secara bertahap intensitas suara sebesar 10 dBA sampai

tidak mendengar, kemudian dinaikkan lagi intensitas suara dengan

setiap kenaikan sebesar 5 dB dan diberikan rangsangan 3 kali. Bila

responden hanya memberikan respon 1 kali dari 3 kali test tersebut.

Maka dinaikkan lagi 5 dB dan diberikan rangsangan 3 kali. Bila telah


56

didapat respon yang tetap, maka perpaduan antara penurunan dan

penambahan tersebut merupakan batas ambang dengar.

5) Mencatat hasil dalam lembar pemeriksaan. Untuk pemeriksaan

frekuensi berikutnya, dimulai pada tingkat 15 dB lebih rendah dari

ambang dengar pada frekuensi 1000 Hz

6) Melakukan pemeriksaan untuk frekuensi di atas 1000 Hz dimulai pada

intensitas 50 dB dan pemeriksaan terakhir pada frekuensi 500 Hz dan

mulai pada intensitas 15 dB.

7) Hasil pemeriksaan dicatat dan dijustifikasi oleh dokter spesialis THT

3. Pengukuran Kebisingan

Pengukuran kebisingan di sekolah dilakukan dengan menggunakan alat

Integrating Souns Level Meter atau SLM merk Braun dan Kjaer tipe 2250.

Pengukuran kebisingan ini dilakukan oleh tenaga ahli berjumlah 7 orang.

Jumlah SLM ini diletakkan di beberapa titik di dalam ruang pengukuran

kebisingan menggunakan ruang kelas 4 dan kelas 5 yang biasa digunakan

untuk kegiatan belajar. Pengukuran kebisingan di kelas dilakukan mulai pukul

08.00 sampai dengan 11.30. Pengukuran kebisingan di SDN 01 Rajabasa Raya

dan SDN 02 Kampung Baru berada di ruang kelas 4 dan 5 yang ada di lantai 1

karena sekolah lantai 1.

Pengukuran kebisingan di area sekolah dibagi menjadi 7 area. Masing

masing area pengukuran terdiri dari 5 titik sehingga di seluruh area sekolah

terdapat 35 titik pengukuran kebisingan. Titik tersebut dinotifikasi dengan titik

A s.d G. Keseluruh titik pengukuran ini merepresentasikan intensitas

kebisingan yang diterima oleh siswa di masing masing area pengukuran


57

kebisingan tersebut. Dari pengukuran luas area sekolah tersebut diketahui

ruang kelas berukuran panjang 7,8 meter dan lebar 6,7 meter. Titik

pengukuran kebisingan pada titik A diambil dari tembok yang paling dekat

dengan perlintasan kereta api, sedangkan titk G merupakan area yang paling

jauh dengan perlintasan kerata api. Adapun kondisi bangunan yang dapat

memberikan gambaran tentang paparan kebisingan di sekolah adalah

tersedianya jendela sekolah yang terbuat dari kaca dengan lubang ventilasi

ukuran 2 meter x 4,5 meter.

Pengukuran kebisingan ini dilakukan ketika proses belajar berlangsung

yang dilakukan di titik-titik yang sudah ditentukan. Masing masing titik ada

yang di dalam kelas dan di luar kelas. Hal ini dimaksudkan agar nilai

kebisingan yang didapat murni berasal dari bising kereta api yang melintas.

Metode pengukuran dilakukan selama 10 menit untuk setiap titik. Nilai yang

digunakan adalah nilai ekuivalen yang diartikan sebagai tekanan bunyi yang

stabil dimana pada periode tertentu memiliki energi yang sama dengan

fluktuasi bising yang sebenarnya.


58

3.8 Tahapan Penelitian


Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap seperti pada gambar 8:

Survei Pendahuluan

Perencanaan Penelitian

Izin Penelitian

Penentuan Sampel

Kriteria eksklusi Kriteria Inklusi

Dikeluarkan Tidak Informed Consent


Setuju

Setuju

Sampel Penelitian

Pengumpulan Data

Pengukuran
1. Intensitas kebisingan
Wawancara 2. Fungsi pendengaran
1. Lama paparan bising
2. Tempat tinggal
3. Riwayat keturunan dalam
keluarga Analisis Data
4. Riwayat infeksi telinga
5. Penggunaan earphone/headset
Analisis Data

Gambar 8. Tahapan Penelitian


59

3.9 Analisis Data

3.9.1 Univariat

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui distribusi frekuensi dari setiap

variabel penelitian. Variabel-variabel yang akan dianalisis univariat dalam

penelitian ini adalah jenis kelamin, lamanya paparan, tempat tinggal, riwayat

keturunan, riwayat infeksi telinga sebelumnya, dan penggunaan earphone.

3.9.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel

dependen dengan variabel independen dan kemaknaannya secara statistika dengan

uji chi square. Pengujian hipotesis mengunakan derajat kepercayaan 95%. Hasil

perhitungan statistik dilihat kemaknaan hubungan antara variabel, jika probabilitas

(p-value) ≤0,05 maka hipotesis diterima dan jika (p-value) >0,05 maka hipotesis

ditolak yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna (Hastono, 2001). Odds

ratio (OR) akan diperoleh dari hasil perhitungan chi square yang menjelaskan

kelompok yang memiliki resiko lebih besar dengan melihat odds kelompok

terekspose dengan kelompok tidak terekspose.

3.9.3 Analisis Multivariat

Analisis multivariat ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh intensitas

kebisingan terhadap gangguan fungsi pendengaran yang dapat terlihat seteah

mengendalikan variabel pengganggu. Analisis dalam multivariat ini dilakukan

dengan analisis regresi logit. Model logit dirancang untuk melakukan prediksi

keanggotaan grup. Regresi logistik digunakan bila variabel-variabel prediktor


60

merupakan campuran antara variabel diskrit dan kontinyu dan distribusi data yang

digunakan tidak normal (Wahyuddin, 2004:34).

Persamaan umum analisis regresi logit dinyatakan sebagai berikut.

µ = A+ b1X1+b2X2 +bkXk

Konstanta A, koefisien regresi bi, dan variabel-varibel prediktor X dengan

jumlah k prediktor (j=1,2,3,4,5 ,......,k ). Untuk menguji hipotesis digunakan model

Hosmer and Lemeshow’s goodness of fit test. Jika nilai Hosmer and Lemeshow’s

goodness of fit test statistik sama dengan atau kurang dari 0,05, maka hipotesis nol

ditolak yang berarti ada perbedaan signifikan antara model dengan nilai

observasinya, yang goodness fit model tidak baik, karena model tidak dapat

memprediksi nilai observasinya. Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow’s

goodness of fit lebih besar dari 0,05, maka hipotesis nol tidak dapat ditolak dan

berarti model mampu memprediksikan nilai observasinya atau dapat dikatakan

model dapat ditemui karena cocok dengan observasinya (Ghozali, 2001:218).


102

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Terdapat sebanyak 55,6% responden merasakan kebisingan pelintasan kereta

api ≥55 dB. Peta kontur kebisingan memperlihatkan bahwa jarak antara

bangunan SDN 1 Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru menunjukkan

tingkat kebisingan >55 dB. Jarak antara SDN 01 Rajabasa Raya dan 02

Kampung Baru Bandar Lampung dengan perlintasan kereta api berkisar antara

20-24 m sehingga paparan tingkat kebisingan mencapai >55 dB. Akibat dari

tingkat kebisingan >55dB menimbulkan gangguan fungsi pendengaran pada

sebanyak 27 (42,9%) siswa.

2. Ada pengaruh intensitas kebisingan terhadap gangguan fungsi pendengaran

setelah dikontrol variabel riwayat keturunan dan riwayat penyakit

pendengaran pada siswa SDN 01 Rajabasa Raya dan SDN 02 Kampung Baru

Bandar Lampung Tahun 2019 (Y=-2,289+2,099+1.916+1,311+e dan

pv=0,000)

5.2 Saran

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebisingan memberikan dampak

terhadap fungsi pendengaran namun demikian dampak tersebut bukan berarti

menimbulkan ketulian permanen. Sumber bising dari perlintasan kereta api

mengganggu konsentrasi dan kenyamanan mendengar siswa dalam menjalani

aktivitas belajar, oleh karenanya perlu adanya upaya pemeriksaan ambang


103

pendengaran bagi siswa secara berkala minimal satu tahun sekali, perlunya

alat pereduksi sumber kebisingan agar kebisingan yang dihasilkan tidak tinggi

agar kegiatan dan aktivitas belajar di sekolah tidak terganggu.

2. Sebaiknya perencanaan pembangunan fasilitas pendidikan setidaknya berjarak

lebih dari 104 m dari sumber bising perlintasan kereta api. Khusus untuk SDN

1 Rajabasa Raya dan SDN 2 Kampung Baru hendaknya mencari alternatif

pembangunan lokasi pendidikan di tempat baru dengan jarak lebih dari 104 m

dari perlintasan kereta api. Pemerintah perlu meninjau ulang lokasi pendidikan

khususnya untuk anak anak sekolah dasar yang berada terlalu dekat dengan

perlintasan kereta api karena akan memberikan efek kesehatan dalam kurun

waktu yang panjang.

3. Fasilitas pendidikan yang sudah terlanjur berada dekat dengan perlintasan

kereta api perlu melakukan upaya untuk mengurangi kebisingan dengan cara

melakukan pemasangan peredam bising (BPB) berupa penghalang alami

(natural barrier) dan penghalang buatan (artificial barrier)yang secara teknis

dapat menurunkan tingkat kebisingan antara 10 s.d 15 dB.

4. Menanam tanaman yang dapat digunakan untuk penghalang kebisingan

terutama pada tanaman yang memiliki kerimbunan dan kerapatan daun yang

cukup dan merata mulai dari permukaan tanah hingga ketinggian yang

diharapkan. Untuk itu, perlu diatur suatu kombinasi antara tanaman penutup

tanah, tanaman perdu, dan pohon berdaun hijau dan lebat seperti sejenis pohon

akasia, flamboyan, pohon ulin atau beringin untuk halaman sempit bisa

memilih pohon tanjung sehingga efek penghalang menjadi optimum.


104

5. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian lebih lanjut

mengenai faktor-faktor lain yang mempengaruhi gangguan fungsi

pendengaran akibat bising pada orang yang terpapar kebisingan melebihi

ambang batas untuk mengurangi risiko keluhan gangguan fungsi pendengaran

pada siswa.
105

DAFTAR PUSTAKA

Afrina. Yusita. 2007. Hubungan Pajanan Kebisingan Terhadap Penurunan Fungsi


Pendengaran Tenaga Kerja PT ABC Intercalline Indonesia Jakarta
Barat Tahun 2006. (Tesis) Universitas Indonesia.

Amira, Chandra. 2012. Pengantar Kesehatan Lingkungan Jakarta: Buku


Kedokteran EGC

Alberti 2002. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia.

Arsyad. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala
& Leher. Ed. 6. Jakarta : Penerbit FK UI.

Addler and Marshall, 2007. Environmental Noise Measurement. Denmark.

Bailey. 1993. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 2 ED. Philadelphia: JB


Lippincott Company.

Bolton & Golding, 2015 Sistem Instrumentasi dan Sistem Kontrol .Jakarta :
Penerbit Erlangga.

Bukhari 2007, Kebisingan Industri dan Hearing Conservation Program, (Jurnal)


Repository USU

Cody & Thane, 1991; Prevalence of Noise induced Hearing Loss in Student
Musicians: International Journal of Audiology 49:309-316.

Departemen Kesehatan RI. 1995. Prosedur Kerja Pemantauan Kebisingan di


Kawasan Bandara Internasional. Direktorat Penyehatan Lingkungan
(Ditjen P2M & PL) Departemen Kesehatan Indonesia.

Departemen Kesehatan RI, 1998. Upaya Kesehatan Kerja Sektor Informal Di


Indonesia, Jakarta: Departemen Bina Peran Serta Masyarakat

Departemen Kesehatan RI, 2002. Modul Pelatihan bagi Fasilitator Kesehatan


Kerja, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 1987 Permenkes No. 718/ MEN/ Kes/ Per/ 1987
Tentang kebisingan yang Berhubungan dengan Kesehatan, Jakarta:
106

Faller, A. & Schuenke, M., 2004. The Human Body: An Introduction to Structure
and Function. New York:Thieme.

Gomella T, Cunningham M, Eyal F, Zenk K, 2004. Infectious diseases.


Neonatology: Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases
and Drugs 4th ed New York, NY: Lange Medical Books/McGraw-Hill.

Ghozali, Imam. 2001. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program IBM SPSS.
Edisi 7. Semarang: Penerbit Universitas Diponegoro

Gabriel, JF. 1996. Fisika Kedokteran. Jakarta : EGC.

Hanum, T. 2007. Stabilitas Suara dari Sumber Kebisingan dan dampaknya


terhadap Fungsi Pendengaran. Buletin Teknologi. 11:17-23.

Hastono, Soetanto Priyo. 2007. Modul Analisis Data Kesehatan Masyarakat.


Fakultas Kesehatan Masyarakat Unibversitas Indonesia

Hastono dan Sabri, 2006. Statistik Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Jacky, Oetoro 2011. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. dalam buku Ajaran
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, Edisi ke-6.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Kurniawan,Halil, A., Yanis, A. and Noer, M. 2012. Penelitian Pengaruh


Kebisingan Lalu lintas terhadap Konsentrasi Belajar Siswa SMP N 1
Padang, (Jurnal) Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), pp. 53–57.

Kementerian Kesehatan, 2014. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No. 118 Tahun 2014 Tentang Kompendium Alat Kesehatan. Jakarta.

Kementerian RI, 2006. Keputusan menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 428
Tahun 2006 Tentang Pedoman Manajemen Kesehatan Indera
Penglihatan dan pendengaran. Jakarta.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Nilai Ambang
Batas Kebisingan di Kawasan atau wilayah.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 51 Tahun 1999. Tentang NAB Faktor
Risiko di Tempat Kerja. Jakarta.

Kusumawati, 2012. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta. PT. Toko
Gunung Agung. 2009

Khoirul 2011. aktor yang Berhubungan dengan Keluhan Gangguan Pendengaran


pada Karyawan Bagian Produksi PT. Kunango Jantan: Universitas
Andalas
107

Lintong, 2009. Ilmi Z. Hubungan Tingkat Kebisingan Dengan Gangguan


Pendengaran Pada Pekerja Bagian Produksi di PT Semen Padang:
Universitas Andalas.

Lynch 2005. The Global Borden of Occupational Noise-Induced Hearing Loss.


Amj Ind Med 48: 446-458.

Marisdayana R. Hubungan Intensitas Paparan Bising Dan Masa Kerja Dengan


Gangguan Pendengaran Pada Karyawan PT. X. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia. 2016.

Mediastika, C. E. 2005. Akustika Bangunan: Prinsip-prinsip dan penerapannya di


Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Mitaran, Primus. 2016. Tingkat Kebisingan dan Gangguan Pendengaran pada


Pekerja di Pelabuhan Udara El Tari Kupang 2016. (Tesis) Universitas
Indonesia.

Mudd, Oghalai JS dan Brownell WE, 2012. Anatomy and physiology of the ear In
Lalwani, Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology Head
and Neck Surgery. New York: McGraw-Hill Company 577-95.

Murti, 2011. Hubungan Antara Intensitas Bising Dengan Keluhan Pendengaran


Subyektif Pada Pekerja Ground Handling BIM Padang Tahun 2013:
Universitas Andalas.

Perkasa, 2012. Analisis Pedigree Gangguan Pendengaran Dan Ketulian Pernah


Dilakukan Kepada Penduduk Dusun Sepang, Polewali Mandar.
(Jurnal Penelitian)

Depkes RI, 2002. Permenkes RI NO: 1405/Menkes/ SK / XI / 2002 tentang


persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran dan industri:

Wahyuningsih, M. 2013 Pengaruh bising terhadap konsentrasi belajar murid


sekolah dasar. Cermin Dunia Kedokteran Jakarta.

Rahayu, S. et al. 2016. Sekolah Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan (Studi


Kasus di SMP Negeri 3 Bangil dan MTs Negeri Bangil) (Jurnal
Penelitian). pp. 10–16.

Ramita & Laksmono, 2011. Pengaruh Kebisingan dari Aktifitas Bandara


Internasional Juanda Surabaya. Envirotek:Jurnal Ilmiah Teknik
Lingkungan, (Jurnal Penelitian) 4 (1). ISSN 2085-501-X, 2013.

Rambe. 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising Bagian Ilmu Penyakit


Telinga Hidung, Tenggorokan. (Jurnal Penelitian) Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
108

Rusli, M. 2009. Pengaruh Kebisingan Dan Getaran Terhadap Perubahan Tekanan


Darah Masyarakat Yang Tinggal di Pinggiran Rel Kereta Api
Lingkungan XIV Kelurahan Tegal Sari Kecamatan. (Jurnal Penelitian)
Medan Denai Tahun 2008.

Rusjadi dan Palupi, 2011. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan


Pendengaran Pada Pekerja di Departemen Mental Forming dan Heat
Treatment PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Jurnal. Jakarta.
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah ; 2015.

Sarah, Nizra Ayu, F Lintong, J Rumampuk, 2016. Hubungan Penggunaan


Earphone dengan Gangguan Pendengaran Pada Siswa SMA Negeri 9
Manado. Jurnal Kedokteran Klinik (JKK), Volume 1 No 1, Desember
2016

Satwiko, 2005. Fisika Bangunan 1, Yogyakarta: Andi Offset

Scientific Committee on Emerging and Newly Identified Health Risks-Schenir,


2008. Potential health risks of exposure to noise from personal music
players and mobile phones including a music playing function.
http://ec.europa.eu/health/ph_risk/committees/04_scenihr. Diakses
pada Tanggal 29 Oktober 2019

Sastrowinoto, 1985. Kesehatan Kerja dalam perspektif hiperkes dan keselamatan


kerja. Jakarta: erlangga; 2014

Suherwin 2004. Analisis faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Penurunan


Pendengaran pada Pekerja di PT. Pertamina Geothermal Energy Area
Kamojang. Depok: Universitas Indonesia

Suwarno, 2006. Kebisingan di Tempat Kerja (Occupational Noise. Yogyakarta.


2005

Stach, B. A, 2010. Buku Saku Kesehatan Kerja. Jakarta : EGC

Siswanto 1991. Indonesian Journal Of Industrial Hygiene OHaS. Majalah


Hiperkes dan Keselamatan Kerja. XXIVII

Prayoga, Chahaya, I & Dharma, S., 2011. Analisis Tingkat Kebisingan pada
Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Medan Baru dan Kecamatan
Medan (Jurnal Penelitian) Petisah Tahun 2011. USU.

Kowalska and Davis, 2012, Statistical Methods 6th ed, Ames, IA: Iowa State
University Press.
Hardini, Sutopo, M. N., Rianto, B. U. D. and Ng, N. 2012. Hubungan Antara
Intensitas Kebisingan Aktivitas Penerbangan, Berita Kedokteran
Masyarakat, (Jurnal Penelitian) 23(718), pp.12–20.
109

Surodjo, B., 2008. Penyembuhan Tinitus (Telinga Mendenging). Diakses pada 30


Agustus 2012. (Artikel) http://www.indoforum.org/archive/index.php
/t-35611

Tambunan, Sihor Tigor B, 2005. Kebisingan di Tempat Kerja (Occupational


Noise), Andi, Jakarta

Tarwaka, Solichul HA. Bakri dan Lilik Sudiajeng. 2004. Ergonomi Untuk
Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas, Uniba Press,
Surakarta

Tipler, Paul A. 1998. Noise and hearing impairment. In: Levy BS, Wegman DH,
editors. Occupational health. 3rd ed. New York. USA: Little, Brown

and Company; 1998. p. 321-5

Tuomi S.K., Jellimann, M. 2009. Hear Today – Hearing Loss Tomorrow: A


Preliminary Survey of the Personal Audio Player User Habits and
Knowledge of South Afrian First-Year University Student. (Jurnal
Penelitian) SA Fam Pract. 51 (2), pp 166-167.

Willem, PJ. 2000. Genetic Causes of Hearing Loss. In : Mechanissm of Diseases.


Department of Clinical Erasmus University Rotterdam and
Department of Biochemistry, Physiology and Genetics University and
Antwerp Belgia.
Wahyuddin, 2004. Hubungan antara Jenis Kelamin, Intensitas Bising, dan Masa
Paparan dengan Risiko Terjadinya Gangguan Pendengaran akibat
Bising Gamelan Bali pada Mahasiswa Fakultas Seni
Pertunjukan.Universitas Udayana; 201

Wiyadi, M.S. 1996. Pemeliharaan Pendengaran di Industri. Majalah Cermin


Dunia Kedokteran. No. 47, hal. 28-31.

World Health Organization (WHO). 1980. Noise Environmental Health Criteria


12. Geneva.

World Health Organization (WHO). 1999. Guidelines for Community Noise.


World Health Organization. Geneva.

World Health Organization (WHO). 1999. Occupational and Community Noise.


Fact Sheet No. 258 Revised February 2001.

Yuni, T. and Hanifa, U. 2006. Pengaruh Kebisingan Terhadap Kelelahan Pada


Tenaga Kerja Industri Pengolahan Kayu Brumbung Perum Perhutani
Semarang Tahun 2005
110

Yunita, 2006. Analisis faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Penurunan


Pendengaran pada Pekerja di PT. Pertamina Geothermal Energy Area
Kamojang. Depok: Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai