Salinan Salinan 4. Pembinaan Kerohanian (Aviary) PDF
Salinan Salinan 4. Pembinaan Kerohanian (Aviary) PDF
Revitalisasi
PEMBINAAN
KEROHANIAN
Disusun oleh:
IIP ICHSANUDIN
LAODE M. APDY POTO
Penulis:
Iip Ichsanudin
Laode M. Apdy Poto
Penyunting:
Huda Saifullah Kamalie
Tim Dit. SMK
Desain Sampul:
Sonny Rasdianto
Layout:
Winih Wicaksono
ISBN: 978-602-5517-66-2
Disusun oleh:
Iip Ichsanudin
Laode M. Apdy Poto
KATA PENGANTAR
Pengembangan dan penerapan pendidikan karakter kerja siswa
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan hal yang pokok dalam upaya
meningkatkan kapasitas dan kualitas lulusan SMK. Hal ini tertuang dalam
penjelasan Pasal 15 Undang Undang nomor20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Sekolah Menengah Kejuruan merupakan pendidikan
menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja.
Perpres No. 87 tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, kemudian
dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 34 Tahun 2018
tentang Standar Nasional Pendidikan SMK/MAK, khususnya Standar
Kompetensi Lulusan terdapat 9 (sembilan) area kompetensi, salah satu area
kompetensi tersebut adalah Karakter Pribadi dan Sosial lulusan SMK/MAK.
Pengembangan karakter kerja bagi siswa SMK merupakan aspek
penting dalam menghasilkan lulusan yang mampu bersaing dan berhasil
dalam pekerjaannya. Siswa SMK harus dipersiapkan untuk menghadapi
persaingan dan tantangan dalam bekerja di dunia usaha dan industri. Bekerja
di dunia usaha dan industri berbeda dengan lingkungan sekolah sehingga
diperlukan adanya pengembangan karakter kerja meliputi pembinaan
ketahanan mental, disiplin kerja, ketahanan fisik, dan perilaku positif siswa.
Pelaksanaan pembentukan karakter kerja di SMK, diperlukan adanya
materi pembentukan tim yang memuat tentang materi Kesamaptaan, Tata
Tertib Siswa, dan Pembentukan Organisasi Siswa. Pembentukan karakter kerja
ini terintegrasi dalam proses pembelajaran dengan melibatkan pihak internal
maupun eksternal sekolah. Dalam rangka inilah Direktorat SMK pada tahun
2020 menyusun Dokumen Pembinaan Karakter Kerja berbasis Ketarunaan,
yang meliputi, Pedoman Pelaksanaan, Materi Pembinaan Ketarunaan
(Membangun Tim Sekolah, Pembinaan Kedisiplinan Peserta Didik, Pembinaan
Ketarunaan, Pembinaan Kerohanian, Pusat Pengembangan Karir Bakat dan
Minat Peserta Didik SMK, Pembentukan Karakter Kerja & Kontrak Belajar) dan
Panduan Training of Trainer (ToT) sebagai dokumen yang utuh dan menyeluruh.
Dokumen pembinaan ketarunaan ini diharapkan dapat digunakan bagi SMK
bersama pihak terkait yang berkepentingan baik langsung maupun tidak
langsung, dalam menyiapkan kemampuan dan membangun karakter utama
para peserta didiknya yang pada akhirnya tercipta suatu budaya yang disiplin,
maju, modern dan kompetitif.
Direktur SMK
BAB II PELAKSANAAN 5
A. Strategi Pelaksanaan 5
B. Metode Pelaksanaan 5
BAB IV PENUTUP 30
DAFTAR PUSTAKA 31
LEMBAR KERJA 1 35
LEMBAR KERJA 2 35
LEMBAR KERJA 3 35
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dimensi rohani sebagai komponen peneguh nilai spiritualisme seseorang
menjadi sangat penting untuk dipahami agar dapat secara lestari
dikembangankan sesuai dengan tuntutan zaman serta diaplikasikan secara
konsisten. Melalui program pendidikan karakter kerja lulusan SMK kekuatan
kerohanian dipandang sebagai salah satu pilar utama penopang terciptanya
sumberdaya manusia lulusan SMK Indonesia yang berkarakter religius dan
berkualitas. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat lima nilai karakter utama
yang bersumber dari Pancasila, yang menjadi prioritas pengembangan gerakan
Pengembangan Pendidikan Karakter; yaitu religius, nasionalis, integritas,
kemandirian, dan kegotongroyongan. Masing-masing nilai tidak berdiri dan
berkembang sendiri-sendiri, melainkan saling berkorelasi antar satu dengan
lainnya, berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi.
Sedangkan proses internalisasinya melalui pendidikan karakter yang diinisiasi
dari empat dimensi pendidikan karakter oleh Ki Hajar Dewantara yaitu olah
hati atau rasa, olah pikir, olah karsa, dan olah raga.
Kehidupan modern dewasa ini telah tampil dalam dua wajah yang
antagonistik. Di satu sisi modernisme telah berhasil mewujudkan kemajuan
yang spektakuler, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di sisi lain, ia telah menampilkan wajah kemanusiaan yang buram berupa
kemanusiaan modern sebagai kesengsaraan rohaniah. Modernitas telah
menyeret manusia pada kegersangan spiritual. Dampak ini merupakan
konsekuensi logis dari paradigma modernisme yang terlalu bersifat
Kerjasama; (6) Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah; 7)
Keadilan dan Kepemimpinan; (8) Baik dan Rendah Hati; dan (9) Toleransi, Cinta
Damai dan Persatuan.
Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model
pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good,
dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab
pengetahuan bersifat kognitif saja. Akan tetapi, setelah knowing the good
harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan
mencintai kebajikan menjadi engine (mesin penggerak) yang bisa membuat
orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Dengan demikian tumbuh
kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena cinta akan
perilaku kebajikan itu. Selanjutnya setelah terbiasa melakukan kebajikan,
maka acting the good itu berkembang menjadi kebiasaan.
Pada akhirnya relasi yang positif dalam konstruksi pembinaan kerohanian
yang basisnya adalah pemahaman beragama, melalui pendidikan karakter ini
terdapat pada pengamalan nilai-nilai luhur falsafah Negara Republik Indonesia
yaitu Pancasila. Kesepakatan utama yang menjadi landasan penting bahwa
seluruh warga Negara Indonesia adalah mahluk berketuhanan tertuang dalam
sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu,
pembinaan kerohanian ini berkorelasi erat dengan frame of thinking nya
pengamalan praktis dari makna norma dan nilai luhur sila tersebut. Sehingga di
dalam bangsa Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan
Yang Maha Esa. Kita seharusnya menghindari sikap atau perbuatan yang anti
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, anti agama. Untuk itulah sebagai generasi
penerus bangsa, kita wajib mengkaji, memahami, dan menerapkan sila
pertama Pancasila. Diharapkan melalui pemahaman sila Ketuhanan Yang Maha
Esa ini, akan terwujud generasi-generasi penerus bangsa Indonesia yang
menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan dan berbudi luhur.
B. Tujuan
Materi ini merupakan bagian terintegrasi dari proses pendidikan dan
pengembangan karakter kerja Siswa SMK yang menjadi prioritas
programnya. Secara berurutan tujuan materi ini sebagai berikut:
1. Membekali pemahaman dan keyakinan peserta akan pentingnya
melaksanan peran dan fungsi diri sebagai mahluk Tuhan.
2. Menumbuhkembangkan kesadaran peserta akan rasa cinta dan
pengabdiannya terhadap Tuhan Yang maha Esa.
3. Memperkuat rasa cinta terhadap Tanah Air dan Bangsa.
4. Memberikan gambaran umum tentang implementasi Ketuhanan ke
dalam kehidupan berbangsa, bertanah air, serta bermasyarakat dalam
bentuk serta manifestasi gotong royong.
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup materi Pembinaan Kerohanian meliputi:
1. Prinsip-Prinsip Universal Penerapan Pembinaan Karakter Kerja Siswa
SMK
2. Karakter Rohani bagi Siswa SMK
3. Metode Penerapan Pembinaan Karakter Kerja Siswa SMK
4. Penerapan Nilai – Nilai Kerohanian dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara
5. Implementasi Pembinaan Kerohanian di Sekolah
6. Karakter Moral sebagai Landasan Karakter Kerja Lulusan SMK
D. Manfaat
Pembinaan Kerohanian memiliki manfaat dan implikasi sebagaimana
tercantum di bawah ini:
1. Proses pembinaan kerohanian sebagai bagian dari pendidikan karakter
kerja diupayakan agar sumberdaya manusia lulusan SMK dapat
menyadari sebagai mahluk ciptaan Tuhan, mencintai Tuhan dan
memiliki moralitas yang baik.
2. Kegiatan pembinaan kerohanian ini diharapkan menghasilkan individu
yang memiliki karakter baik sesuai dengan pengamalan Pancasila sila
Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Nilai-nilai relijiusitas yang disampaikan diharapkan lulusan SMK
mampu melahirkan keteguhan dan pembelaan terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai wujud patriotisme dan
nasionalisme.
4. Penguatan karakter kerja peserta didik dalam mempersiapkan daya
saing melalui kompetensi abad 21, yaitu: berpikir kritis, kreativitas,
komunikasi, dan kolaborasi
BAB II
PELAKSANAAN
A. Strategi Pelaksanaan
Melalui tahapan Training of Trainer (ToT), baik Instruktur Inti maupun
Instruktur Sekolah, diorientasikan pada proses collaborative dan atau
participatory learning. Hal ini didasarkan atas pertimbangan pemaduan
kekuatan belajar dan pemahaman peserta ToT yang secara resiprokatif
dianggap mampu menghasilkan kondisi pelatihan yang cenderung aktif dan
dinamis. Dalam hal ini para calon instruktur dikelola dalam kelompok-
kelompok klasikal dan forum-forum diskusi agar kesetaraan pemahaman
tentang subtansi pembinaan kerohanian yang sama dimiliki oleh
seluruhnya. Sehingga ketika proses delivery content yang merupakan
tanggungjawab para trainers pasca ToT ini dapat terwujud sesuai dengan
target dan sasaran program.
B. Metode Pelaksanaan
Proses pengelolaan pembelajaran menggunakan Model Latihan
Partisipatif (Participatory Training Model). Penggunaan metode ini
dilatarbelakangi oleh keuntungan jika menggunakan model pembelajaran
partisipatif yang menekankan pada proses pembelajaran, di mana kegiatan
belajar dalam pelatihan dibangun atas dasar partisipasi aktif
(keikutsertaan) para peserta. Peserta pelatihan (ToT) terlibat dalam semua
aspek kegiatan, mulai dari kegiatan merencanakan, melaksanakan, sampai
pada tahap menilai kegiatan pembelajaran dalam pelatihan.
Materi ini dirancang untuk melengkapi peserta dengan konsep karakter
kerja lulusan SMK dan kegiatan yang praktis untuk diterapkan di kelas
pelatihan. Modul ini juga memberikan pengalaman belajar aktif dan
relevan. Dengan demikian, pelatihan ini banyak menerapkan pendekatan
partisipatori dan reflektif. Dalam proses pelaksanannnya, diterapkan
Variasi metodologi seperti penjelasan/presentasi, brainstorming, sharing
expertise, diskusi, kerja dalam kelompok/berpasangan, studi kasus, diskusi
tayangan video, tanya jawab, simulasi, demonstrasi, dan main peran (role
play).
BAB III
MATERI
A. Prinsip-prinsip Universal Penerapan
Pembinaan Karakter Kerja Siswa SMK
2. Prinsip 2 – Holistik.
Menyeluruh dalam arti pengembangan fisik (olah raga), intelektual (olah
pikir), estetika (olah rasa), etika dan spiritual (olah hati) dilakukan secara
utuh-menyeluruh dan serentak, baik melalui proses pembelajaran
intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler, berbasis pada
pengembangan budaya sekolah maupun melalui kolaborasi dengan
komunitas-komunitas di luar lingkungan pendidikan.
3. Prinsip 3 – Terintegrasi.
Pembinaan Pendidikan Karakter Kerja sebagai poros pelaksanaan
pendidikan nasional terutama pendidikan dasar dan menengah (kejuruan)
y a n g d i ke m b a n g k a n d a n d i l a k s a n a k a n d e n g a n m e m a d u k a n ,
4. Prinsip 4 – Partisipatif.
Proses pelibatan para pihak dan komponen pendukung yakni dilakukan
dengan mengikutsertakan dan melibatkan publik seluas-luasnya sebagai
pemangku kepentingan pendidikan menjadi pelaksana. Kepala sekolah,
pendidik, tenaga kependidikan, komite sekolah, dan pihak-pihak lain yang
terkait dari kalangan masyarakat luas dapat menyepakati prioritas nilai-
nilai utama karakter dan kekhasan sekolah yang diperjuangkan dalam
pengembangan karakter Siswa SMK, untuk selanjutnya menyepakati bentuk
dan strategi pelaksanaan, bahkan dukungan pembiayaan.
9. Prinsip 9 – Terukur.
Berlandaskan prinsip keterukuran agar dapat diamati dan diketahui proses
dan hasilnya secara objektif. Dalam hubungan ini komunitas sekolah
mendeskripsikan nilai-nilai utama karakter yang menjadi prioritas
pengembangan di sekolah dalam sebuah sikap dan perilaku yang dapat
diamati dan diukur secara objektif; mengembangkan program-program
penguatan nilai-nilai karakter bangsa yang mungkin dilaksanakan dan
dicapai oleh sekolah; dan mengerahkan sumber daya yang dapat disediakan
oleh sekolah dan pemangku kepentingan pendidikan.
hati ini karena ada manusia-manusia yang cuek atau acuh tak acuh terhadap
keberadaan Tuhan, ada juga manusia-manusia yang tidak percaya akan
adanya Tuhan Yang Maha Esa, bahkan ada juga manusia-manusia yang
berani menantang Tuhan.
2. Karakter Ritual atau Ibadah.
Karakter ini berkaitan dengan ritual-ritual atau ibadah-ibadah yang
perlu dilakukan oleh umat beragama untuk menyembah Tuhan Yang Maha
Esa. Bentuk ibadah yang paling pokok dan ada pada semua agama adalah
sembahyang, berdo`a, dan berpuasa. Ibadah dan do`a ada yang ditentukan
waktunya dan ada juga yang tidak ditentukan waktunya. Maksudnya bisa
dilakukan kapan saja tergantung keperluan penganut agama.
Dalam konteks yang lebih implementatif, karakter ritual atau
peribadatan secara umum dapat diaplikasikan kepada hal yang banyak
dirasakan oleh manusia. Contohnya adalah dengan melakukan pekerjaan
atau bekerja. Setiap orang yang bekerja pada hakikatnya adalah
melaksanakan salah satu pertintah Tuhan dengan sungguh-sungguh agar
dapat memperoleh imbalan sesuai dengan yang diharapkan, baik itu
imbalan duniawi berupa gaji/honor atau penghasilan lainnya, maupun
imbalan yang bersifat ukhrawi sebagai bekal bagi kehidupan di masa datang
sesudah kematian. Ketika memulai bekerja kita diharuskan berdoa, dalam
prosesnya kita tetap memperhitungkan banyak hal seperti etika
berkomunikasi, berdiskusi, berdebat, dan lain sebagainya. Secara eksplisit
semua menyadari akan eksistensi Tuhan yang telah memberikan
pengaturan dan bimbinganNYA dalam pelaksanaan ibadah melalui
penuntasan tanggungjawab pekerjaan masing-masing.
Secara lahiriah mengenai nilai relasi antara Tuhan dengan hambanya
akan dapat terlihat dari perilaku dan kebiasaan manusia sehari-hari. Karena
menyadari bahwa Tuhan sedang melihat dan memantau seluruh aktifitias
kehidupannya, maka manusia akan selalu berusaha untuk tidak menentang
aturan dan perintah-NYA. Sehingga pada akhirnya akan dipahami dan
bahkan diyakini bahwa melakukan tanggungjawab adalah ibadah yang
sejati. Memberi perhatian kepada sesama dan memanusiakan manusia
adalah wujud dari ibadah. Beribadah adalah menjalankan perintahNya
untuk memikul tanggungawab pribadi dan sosial sebagai wujud
penyembahan kepada Alloh. Memberi perhatian kepada yang kecil dan
lemah, mendahulukan yang tua dan layak mendapat penghormatan juga
merupakan ibadah. Sikap menjauhkan diri dari keserakahan, pementingan
diri sendiri juga perlu dijauhkan.
4. Karakter Takwa.
Karakter ini sering dimaknai takut kepada Allah. Makna ini benar tapi
dalam pembelajaran kurang operasional. Kalau sudah paham makna iman
dan ibadah akan lebih mudah memahami makna takwa. Orang bertakwa
adalah orang beriman yang bersungguh-sungguh menjalankan ibadah
dengan benar dan ikhlas. Level orang bertakwa berada di atas level orang
beriman. Oleh karena itulah orang yang bertakwa dipuji oleh Allah sebagai
orang yang paling mulia di sisiNya. Jika ibadah harus dilakukan dengan
benar dan ikhlas, maka bagi orang yang bertakwa mereka bersungguh-
sungguh dalam ibadahnya dengan benar dan ikhlas.
Orang bertakwa pasti beriman, orang beriman pasti yakin bahwa suatu
hari pasti akan kembali kepada Tuhan, bagimana orang bisa kembali kepada
Tuhan jika tidak kenal dengan Tuhan. Selain kenal dengan Tuhan, orang
bertakwa itu meyakini Hari Akhir karena ia telah beribadah dengan
sungguh-sungguh secara benar dan ikhlas, sehingga ia yakin dapat
memasuki Hari Akhir (yakni mati) dengan selamat, yakni mati yang husnul
khotimah dan dimasukkan ke surgaNya.
Secara umum prinsip yang mendasari bagian ini adalah kemampuan
untuk menanamkan keihklasan atau tanpa pamrih, rela berserah pada
Tuhan, bersungguh-sungguh dalm berbuat kebaikan. Melakukan semua
tanggungjawab semata-mata untuk ibadah dan disertai niat baik. Bila
berbagi benar-benar ikhlas, bukan untuk mencari pujian dan dan
menimbulkan tekanan kepada pihak lain. Bila mempunyai rejeki atau
keberuntungan tidak dinikmati sendiri, namun senantiasa ingat orang lain
yang membutuhkan. Orang yang bertakwa berbuat baik dimana saja dan
kapan saja meski tanpa diawasi dan dituntut untuk suatu penilaian. Berbuat
baik dan benar atas inisiatif sendiri dan mempertimbangkan kepentingan
terbaik bagi sesama dan hidup bersama.
kajian-kajian, maka akan menjadikan individu tetap eksis dan update dalam
menghadapi perkembangan zaman.
1. Metode Keteladanan
Dalam Dalam Kamus Besar Indonesia disebutkan, bahwa keteladanan
dasar kata katanya “teladan” yaitu perihal yang dapat ditiru atau dicontoh
(Purwadarminta, 1993, hlm.1036). Oleh karena itu keteladanan adalah hal-
hal yang dapat ditiru dan dicontoh. Dalam bahasa Arab keteladanan
diungkapkan dengan kata “uswaħ”dan “qudwaħ”.Kata “uswaħ”
terbentuk dari huruf-huruf hamzah, as-sin dan al waw. Secara etimologi
setiap kata bahasa Arab yang terbentuk dari ketiga huruf tersebut memiliki
persamaan arti yaitu “pengobatan dan perbaikan” (Armai A., 2002, hlm.117)
Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari sejumlah
metode yang paling ampuh dan efektif dalam mempersiapkan dan
membentuk anak secara moral, spiritual, dan sosial. Sebab, seorang
pendidik merupakan contoh ideal dalam pandangan anak, yang tingkah laku
dan sopan santunnya akan ditiru, disadari atau tidak, bahkan semua
keteladanaan itu akan melekat pada diri dan perasaannya, baik dalam
bentuk ucapan, perbuatan, hal yang bersifat material, inderawi, maupun
spritual.
Dari definisi di atas, maka dapat diketahui bahwa metode
keteladanan merupakan suatu cara atau jalan yang ditempuh seseorang
dalam proses pendidikan melalui perbuatan atau tingkah laku yang
patut ditiru (modeling).
Sebagai salah satu referensi, dalam pendidikan Islām konsep
keteladanan yang dapat dijadikan sebagai cermin dan model dalam
pembentukan kepribadian seorang muslim adalah ketauladanan yang
dicontohkan oleh Rasūlullāh. Rasūlullāh mampu mengekspresikan
kebenaran, kebajikan, kelurusan, dan ketinggian pada akhlaknya. Dalam
keadaan seperti sedih, gembira, dan lain-lain yang bersifat fisik, beliau
senantiasa menahan diri. Bila ada hal yang menyenangkan beliau hanya
tersenyum. Bila tertawa, beliau tidak terbahak-bahak. Diceritakan
dari Jabir bin Samurah: “beliau tidak tertawa, kecuali tersenyum.” Jika
menghadapi sesuatu yang menyedihkan, beliau menyembunyikannya
serta menahan amarah. Jika kesedihannya terus bertambah beliau pun
tidak mengubah tabiatnya, yang penuh kemuliaan dan kebajikan (Hasyim,
2004, hlm. 29).
2. Metode Praktik/Latihan
Pernyataan filosofis bahwa 'kita bisa karena biasa dan biasanya kita
karena dipaksa/terpaksa' sebagai upaya untuk menanamkan kemampuan
melalui proses natau tahapan tertentu dapat diubah kepada 'kita bisa
karena biasa dan biasanya kita karena diajarkan melalui latihan/praktik'.
Dalam proses belajar konsep repetisi atau pengulangan merupakan bagian
dari pemahaman behavioristik yang menginginkan terjadinya pemerolehan
pengetahuan atau kompetensi yang dapat dimaknai oleh setiap individu
pembelajar.
3. Metode Pembiasaan
Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang sangat
penting, terutama bagi anak-anak. Mereka belum menyadari apa yang
disebut baik dan buruk dalam arti susila. Mereka juga belum mempunyai
kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan seperti pada orang dewasa.
Sehingga mereka perlu dibiasakan dengan tingkah laku, keterampilan,
kecakapan dan pola pikir tertentu. Anak perlu dibiasakan pada sesuatu yang
baik sercara terus menerus. Lalu mereka akan mengubah seluruh sifat-sifat
baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu
tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa
menemukan banyak kesulitan (Nata, 1997, hlm. 101)
Renungan:
mungkin lirik lagu berikut dapat menginspirasi.
Bait 2
Sungguh Indah tanah air beta
Tiada bandingnya di dunia
Karya indah Tuhan Maha Kuasa
Bagi bangsa yang memujaNya
Reff:
Indonesia Ibu Pertiwi
Kau kupuja kau kukasihi
Tenaga bahkan pun jiwaku
Kepadamu rela kuberi
sembahyang pada pagi hari, siang hari, dan sore hari. Guru-guru pun
memberikan teladan melakukan sembahyang bersama siswa, baik di
masjid, gereja ataupun di pura. Kepala SMK di Denpasar menceritakan, awal
mula dibisaakannya sembahyang di sekolah ini sangat memberatkan
sebagian siswanya.
Dalam upaya menyadarkan siswa untuk merasa ringan menjalankan
sembahyang tiga waktu, Kepala Sekolah di Denpasar menjelaskan dengan
membandingkannya sembahyang pada agama Islam. Siswa! Kata Kepala
Sekolah. Kalian itu hanya sembahyang tiga waktu. Coba bandingkan dengan
agama Islam yang penganutnya menjalankan sembahyang lima waktu.
Masa kalian merasa berat? Dengan penjelasan dan pembisaaan yang terus-
menerus akhirnya siswa pun terbisaa menjalankan sembahyang tiga waktu.
Efek lainnya, terutama dengan dibisaakannya sembahyang pagi di sekolah,
adalah semakin berkurangnya jumlah siswa yang terlambat datang di
sekolah. Bahkan nyaris sudah tidak ada lagi siswa yang terlambat datang.
Pengembangan karakter religius ini sudah bagus, terlebih-lebih untuk
pembisaaan beribadah. Di semua SMK sudah berdiri rumah-rumah ibadah
dan diramaikan dengan sembahyang berjamaah. Tapi alangkah lebih
baiknya jika disertai penyadaran beribadah (bukan sekedar pembisaaan).
Mengapa demikian? Di salah satu SMPN Kota Bandung seorang guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) mengadakan studi khusus tentang kesadaran
shalat di kalangan siswanya. Guru ini bertugas di kelas VII. Dia adalah pre-
test. Hasilnya hanya 30% siswa yang bisa mengerjakan shalat (tahu syarat-
rukun shalat, hapal bacaan dan gerakan shalat, serta serasi antara gerakan
dan bacaan shalat). Dia ingin agar seluruh siswa muslim (100%) bisa
mengerjakan shalat. Maka dia fokus pembelajaran agama untuk
mengentaskan agar semua siswa bisa mengerjakan shalat. Ancaman pun
diterapkan, “Siapa saja yang tidak bisa shalat maka tidak akan lulus PAI.
Konsekuensinya tidak akan naik kelas. Di akhir tahun dilakukan post-test.
Hasilnya, 100% siswa bisa mengerjakan shalat. Semua siswa tahu syarat
dan rukun shalat, hapal bacaan dan gerakan shalat, serta serasi antara
gerakan dan bacaan shalatnya. Tahun berikutnya guru PAI itu meminta
Kepala Sekolah menugaskan dirinya di kelas VIII. Maksudnya, dia ingin
menguji kembali apakah seluruh siswa masih bisa mengerjakan shalat?
Hasilnya sangat mengagetkan. Ternyata, setelah libur kenaikan kelas sekitar
satu setengah bulan, hanya 30% siswa yang masih bisa mengejakan shalat.
Sebanyak 70% siswa kembali ke asal (ketika pre-test) yakni tidak bisa
mengerjakan shalat. Ketika ditanya, mengapa hasilnya seperti itu? Guru PAI
menjawab, karena sebanyak 70% siswa itu tidak mengerjakan shalat.
Artinya, penyadaran tentang sembahyang jauh lebih penting. Pembisaaan
sembahyang saja tanpa penyadaran tentang pentingnya sembahyang
kurang bermakna. Atas dasar fakta seperti ini maka pihak sekolah sudah
4. Karakter Peduli
Peduli adalah sebuah nilai dasar dan sikap memperhatikan dan
bertindak proaktif terhadap kondisi atau keadaan di sekitar kita. Peduli
adalah sebuah sikap keberpihakan kita untuk melibatkan diri dalam
persoalan, keadaan atau kondisi yang terjadi di sekitar kita. Orang-orang
peduli adalah mereka yang terpanggil melakukan sesuatu dalam rangka
memberi inspirasi, perubahan, kebaikan kepada lingkungan di sekitarnya.
Ketika ia melihat suatu keadaan tertentu, ketika ia menyaksikan kondisi
masyarakat maka dirinya akan tergerak melakukan sesuatu. Apa yang
dilakukan ini diharapkan dapat memperbaiki atau membantu kondisi di
sekitarnya. Sikap peduli adalah sikap keterpanggilan untuk membantu
mereka yang lemah, miskin, membantu mengatasi penderitaan, dan
kesulitan yang dihadapi orang lain. Orang-orang peduli adalah orang-orang
yang tidak bisa tinggal diam menyaksikan penderitaan orang lain. Sikap
peduli adalah sikap yang terpanggil untuk mengajak dan mengingatkan
orangorang kaya yang selama ini lalai terhadap penderitaan orang-orang
miskin yang ada di sekitarnya. Sikap peduli adalah sikap untuk pro aktif
dalam mengatasi masalah-masalah di masyarakat dengan menggunakan
dan memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat. Sikap peduli
adalah sikap kesediaan untuk memberi solusi terhadap persoalan
masyarakat. Agar masyarakat dapat mau berdonasi, agar masyarakat mau
menyumbang, agar masyarakat memilih kerelawanan sehingga mau
membantu kesulitan saudara-saudara kita. Peduli Adalah sikap untuk
memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, selalu tergerak membantu
kesulitan manusia lainnya. Sikap peduli adalah sikap untuk berusaha
5. Karakter Toleransi
Konstitusi Negara kita menjamin kebebasan beragama dan
berkeyakinan religius bagi setiap warga negara. Para tokoh bangsa dan
pemuka agama sering mendengungkan perlunya masing-masing warga
untuk menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinan religiusnya
masing-masing serta menghargai agama dan keyakinan religius yang dianut
oleh warga lainnya. Di dunia persekolahan terminologi kerukunan hidup
beragama ini merupakan salah satu tujuan dan kompetensi inti (KI)
pendidikan. Dalam Kurikulum 2013 (Permendiknas No. 69/2013 tentang
Struktur Kurikulum SMA-MA), juga dalam Struktur Kurikulum SMK, sikap
'toleran dan rukun' tertuang dalam KI-2, yang tentunya wajib
diimplementasikan dalam pembelajaran.
Hubungan antara karakter moral dan karakter kerja dengan
mengadaptasi hirarki nilai dasar, instrumental, dan praksis yang dapat
digambarkan sebagai berikut.
WUJUD KONGKRIT
KARAKTER KERJA
SISWA SMK
KARAKTER
KERJA
KARAKTER
MORAL
BAB IV
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LEMBAR KERJA 1
Menganalisis kebutuhan pengembangan pendidikan kerohanian ke dalam
program kerja berkelanjutan (Lk1)
Diskusikan dan Kerjakan secara berkelompok sesuai dengan arahan fasilitator
1) Gunakan Analisis S-W-O-T untuk melakukan analisis kebutuhan
pengembangan pendidikan kerohanian ke dalam program kerja
berkelanjutan
2) Tuliskan daftar kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung terhadap
program penidikan karakter kerohanian
LEMBAR KERJA 2
Menerapkan karakter spirtualitas kerohanian ke dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. (Lk2)
a. Buatlah daftar aktifitas kemasyarakatan yang berdasarkan niliai-nilai
kerohanian dan kebertuhanan yang secara umum berlangsung di
masyarakat Indonesia yang diketahui.
b. Buatlah rancangan program untuk:
(1) Penerapan Karakter Kerohanian di lingkungan Sekolah
(2) Penerapan Karakter Kerohanian di lingkungan Masyarakat sekitar
LEMBAR KERJA 3
Mengembangkan program kerja kegiatan kerohanian berdasarkan karakteristik
sekolah. (Lk3)
Dikerjakan secara berkelompok sesuai dengan arahan fasilitator
Buatlah program kerja kegiatan kerohanian sesuai dengan karakteristik dan
atau ke-khas-an yang dimiliki oleh sekolah dengan mempertimbangkan
keragaman masyarakat yang ada dalam hal keyakinan bergamanya sesuai
dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha ESa