D. Rentang Respon
Adaptif Maldaptif
E. Mekanisme koping
1. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi pertumbuhan
belajar dan mencapai tujuan. Kategori ini adalah klien bisa
memenuhi kebutuhan perawatan diri secara mandiri.
2. Mekanisme koping maladaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai
lingkungan. Kategorinya adalah tidak mau merawat diri
(Damaiyanti & Iskandar, 2017)
II. Proses Terjadinya Masalah
A. Faktor predisposisi
1. Biologis, seringkali defisit perawaan diri disebabkan karena adanya
penyakit fisik dan mental yang menyebabkan pasien tidak mampu
melakukan perawatan diri dan adanya faktor herediter yaitu ada
anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
2. Psikologis, faktor perkembangan memegang peranan yang tidak
kalah penting hal ini dikarenakan keluarga terlalu melindungi dan
memanjakan individu sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
Pasien gangguan jiwa mengalamai defisit perawatan diri
dikarenakan kemampuan realitas yang kurang sehingga
menyebabkan pasien tidakpeduli terhadap diri dan lingkungannya
termasuk perawatan diri.
3. Sosial, kurangnya dukungan sosial dan situasi lingkungan
mengakibatkan penurunan kemampuan dalam perawatan diri.
(Nurhalimah, 2016).
B. Faktor presipitasi
Faktor presiptasi yang dapat menimbulkan defisit perawatan diri
adalah penurunan motivasi, kerusakan kognitif atau persepsi, cemas,
lelah, lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu
kurang mampu melakukan perawatan diri (Nurhalimah, 2016)
III. Pohon Masalah dan Masalah Keperawatan
A. Pohon Masalah
(Nurhalimah, 2016)
B. Masalah Keperawatan
Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi
kepada pasien dan keluarga. Tanda dan gejala defisit perawatan diri
yang dapat ditemukan dengan wawancara, melalui pertanyaan sebagai
berikut:
1. Coba ceritakan kebiasaan/ cara pasien dalam membersihkan diri?
2. Apa yang menyebabkan pasien malas mandi, mencuci rambut,
menggosok gigi dan,menggunting kuku?
3. Bagaimana pendapat pasisen tentang penampilan dirinya? Apakah
pasien puas dengan penampilan sehari-hari pasien?
4. Berapa kali sehari pasien menyisir rambut , berdAndan, bercukur
(untuk laki-laki) secara teratur?
5. Menurut pasien apakah pakaian yang digunakan sesuai dengan
kegiatan yang akan dilakukan
6. Coba ceritakan bagaimana kebiasaaan pasien mandi sehari-hari ?
peeralatan mandi apa saja yang digunakan pasien ?
7. Coba ceritakan bagaimana kebiasaan makan dan minum pasien ?
8. Menurut pasien apakah alat makan yang digunakan sesuai dengan
fungsinya ?
9. Coba ceritakan apa yang pasien lakukan ketikan selesai BAB atau
BAK ?
10. Apakah pasien membersihkan diri dan tempat BAB dan BAK
setelah BAB dan BAK?
11. Tanyakan mengenai pengetahuan pasien mengenai cara perawatan
diri yang benar
LAPORAN PENDAHULUAN
HALUSINASI
F. Mekanisme Koping
1. With Drawal : Menarik diri dan klien sudah asik dengan pelaman
internalnya
2. Proyeksi : Menggambarkan dan menjelaskan persepsi yang
membingungkan
3. Regresi : Terjadi dalam hubungan sehari hari untuk memproses
masalah dan mengeluarkan sejumlah energi dalam mengatasi cemas.
(Iskandar, 2012)
Isolasi sosial
V. Diagnosa Keperawatan
Gangguan sensori persepsi: Halusinasi
SP II SP II
- Mengevaluasi kemampuan px dalam - Melatih keluarga mempraktekkan
mengontrol halusinasi dengan cara merawat px dengan
menghardik halusinasi
- Melatih px mengendalikan halusinasi
dengan cara bercakap-cakap dengan
orang lain
- Menganjurkan px memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP III
SP III - Melatih keluarga melakukan cara
- Mengevaluasi kemampuan px dalam merawat langsung kepada px
mengontrol halusinasi dengan dengan halusinasi
menghardik dan bercakap-cakap
dengan orang lain
- Melatih px mengendalikan halusinasi
dengan cara melakukan kegiatan
(kegiatan yang biasa dilakukan)
- Menganjurkan px memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
SP IV
SP IV
- Membantu keluarga membuat
- Mengevaluasi kemampuan px dalam jadwal aktivitas di rumah
mengontrol halusinasi dengan termasuk minum obat (discharge
menghardik, bercakap-cakap dengan planning)
orang lain dan kegiatan teratur - Menjelaskan follow up px setelah
- Memberikan pendidikan kesehatan pulang
tentang penggunaan obat seara teratur
- Menganjurkan px memasukkan dalam
jadwal kegiatan harian
DAFTAR PUSTAKA
C. Klasifikasi
Gangguan harga diri rendah merupakan masalah bagi banyak
orang dan diekspresikan melalui tingkat kecemasan yang sedang sampai
berat. Umumnya disertai oleh evaluasi diri yang negatif membenci diri
sendiri dan menolak diri sendiri. Gangguan diri atau harga diri rendah
dapat terjadi secara :
1. Situasional
Harga diri rendah situsional yaitu terjadi trauma yang tiba-tiba,
misalnya harus dioperasi, kecelakaan,dicerai suami, putus sekolah,
putus hubungan kerja. Pada klien yang dirawat dapat terjadi harga
diri rendah karena prifasi yang kurang diperhatikan. Pemeriksaan
fisik yang sembarangan, pemasangan alat yang tidak sopan,
harapan akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh yang tidak tercapai
karena dirawat/penyakit, perlakuan petugas yang tidak menghargai
(Makhripah D & Iskandar, 2012).
2. Kronik
Harga diri rendah kronik yaitu perasaan negatif terhadap diri telah
berlangsung lama,yaitu sebelum sakit/dirawat. Klien mempunyai
cara berfikir yang negatif. Kejadian sakit dan dirawat akan
menambah persepsi negatif terhadap dirinya. Kondisi ini
mengakibatkan respons yang maladaptive, kondisi ini dapat
ditemukan pada klien gangguan fisik yang kronis atau pada klien
gangguan jiwa (Makhripah D & Iskandar, 2012).
D. Rentang Respon
Adaptif Maldaptif
B. Faktor Presipitasi
1. Trauma.
2. Ketegangan peran.
3. Transisi peran perkembangan.
4. Transisi peran situasi.
5. Transisi peran sehat-sakit
III. Pohon Masalah dan Masalah Keperawatan
A. Pohon masalah
(Nurhalimah, 2016)
B. Masalah Keperawatan
Pengkajian harga dirii rendah dilakukan dengan cara wawancara
dan observasi pada pasiendan keluarga(pelaku rawat).Tanda dan gejala
harga diri rendah dapat ditemukan melalui wawancara dengan
pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana penilaian Anda tentang diri sendiri?
2. Coba ceritakan apakah penilaian Anda terhadap diri sendiri
mempengaruhi hubungan Anda dengan orang lain?
3. Apa yang menjadi harapan Anda?
4. Apa saja harapan yang telah Anda capai?
5. Apa saja harapan yang belum berhasil Anda capai?
6. Apa upaya yang Anda lakukan untuk mencapai harapan yang
belum terpenuhi?
Ungkapan negatif tentang diri sendiri merupakan salah satu tanda
dan gejala harga diri rendah. Selain itu tanda dan gejala harga diri
rendah didapatkan dari data subyektif dan obyektif, seperti tertera
dibawah ini
Data Subjektif :
1. Hal negatif diri sendiri atau orang lain
2. Perasaan tidak mampu
3. Pandangan hidup yang pesimis
4. Penolakan terhadap kemampuan diri
5. Mengevaluasi diri tidak mampu mengatasi situasi
Data Objektif :
1. Penurunan produktivitas
2. Tidak berani menatap lawan bicara
3. Lebih banyak menundukkan kepala saat berinteraksi
4. Bicara lambat dengan nada suara lemah
5. Bimbang, perilaku yang non asertif
6. Mengekspresikan tidak berdaya dan tidak berguna
Pasien Keluarga
SP 1 SP 1
- Mengidentifikasi kemampuan - Mendiskusikan masalah yang
dan aspek positif yang dimiliki dirasakan keluarga dalam
klien (buat daftar kegiatan) merawat klien
- Membantu klien menilai - Menjelaskan pengertian HDR,
kemampuan klien yang masih tanda dan gejala serta proses
dapat digunakan (pilih daftar terjadinya HDR
kegiatan) :buat daftar kegiatan - Menjelaskan cara merawat klien
yang dapat dilakukan pasien saat dengan HDR
ini
- Membantu klien memilih
kegiatan yang akan dilatih sesuai
dengan kemampuan klien
- Melatih klien sesuai dengan
kemampuan yang dipilih (alat dan
cara melakukannya)
- Menganjurkanklien
memasukkan dalam jadwal
kegiatan harian untuk latihan 2
kali/hari SP 2
SP 2 - Melatih keluarga
- Mengevaluasi jadwal mempraktekkan cara merawat
kegiatan pertama yang telah klien dengan HDR
dilatih dan berikan pujian
- Bantu pasien memilih
kegiatan kedua yang akan dilatih
- Latih kegiatan kedua (alat
dan cara melakukannya)
- Masukkan pada jadwal
kegiatan untuk latihan : 2 kegiatan
masing-masing 2 kali/hari
SP 3
SP 3
- Evaluasi kegiatan pertama
- Melatih keluarga melakukan cara
dan kedua yang telah dilatih merawat langsung kepada klien
dan berikan pujian dengan HDR
- Bantu pasien memilih
kegiatan ketiga yang akan
dilatih
- Latih kegiatan kedua (alat
dan cara melakukannya)
- Masukkan pada jadwal
kegiatan untuk latihan : dua
SP 4
kegiatan masing-masing 2
- Membantu keluarga membuat
kali/hari
jadwal aktivitas di rumah
SP 4 termasuk minum obat (discharge
- Evaluasi SP 1, SP 2 dan SP 3 planning)
yang telah dilatih dan berikan - Menjelskan follow up klien
pujian setelah pulang
- Bantu pasien memilih kegiatan
ketiga yang akan dilatih
- Latih kegiatan keempat (alat dan
cara melakukannya)
- Masukan pada jadwal kegiatan
untuk latihan : 2 kegiatan
masing-masing 2 kali/hari
DAFTAR PUSTAKA
ISOLASI SOSIAL
C. Rentang Respon
Berikut ini akan dijelaskan tentang respon yang terjadi pada isolasi sosial:
1) Respon adaptif
a. Adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan secara umum berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas normalketika menyelesaikan masalah.
Berikut ini adalah sikap termasuk respon adaptif.
b. Menyendiri, respon yang dibutuh kan seseorang untuk merenungkan
apa yang terjadi di lingkungannya.
c. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
d. Bekerja sama, kemmapuan individu yang saling membutuhkan satu
sama lain.
e. Interdependen, saling ketergantungan antara individu dengan orang
lain dalam membina hubungan interpersonal.
2) Respon maladaptif
a. Adalah respon yang menyimpang dari norma sosial dan kehidupan di
suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respon
maladaptif.
b. Menarik diri, seseorang yang mengalami kesulitan dalam membina
hubungan secara trebuka dengan orang lain.
c. Ketergantungan, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya diri
sehingga tergantung dengan orang lain.
d. Manipulasi seseorang yang mengganggu orang lain sebagai objek
individu sehingga tidak dapat membina hubungan sosial secara
mendalam.
e. Curiga, seseorang gagal mengembangkan rasa percaya terhadap orang
lain.
6. Etiologi Faktor predisposisi
Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung terjadinya perilaku isolasi
sosial (Yosep,I., & Sutini, T. 2014)
a. Faktor perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa bayi
sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseorang sehingga
mempunyai masalah respon sosial menarik diri. Sistem keluarga yang
terganggu juga dapat mempengaruhi terjadinya menarik diri.
Organisasi anggota keluarga bekerja sama dengan tenaga profesional
untuk mengembangkan gambaran yng lebih tepat tentang hubungan
antara kelainan jiwa dan stress keluarga. Pendekatan kolaboratif dapat
mengurangi masalah respon sosial menarik diri.
b. Faktor biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptif.
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan
berat dan volume otak serta perubahan limbik diduga dapat
menyebabkan skizofrenia.
c. Faktor sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini
merupakan akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan
terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang
tidak produktif, seperti lansia, orang cacat dan berpenyakit kronik.
Isolasi dapat dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku dan
sitem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas. Harapan
yang tidak realistis terhadap hubungn merupakan faktor lain yang
berkaitan dengan gangguan ini.
7. Faktor presipitasi
Ada beberapa faktor presipitasi yang dapat menyebabkan seseorang
menarik diri. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dario berbagai stressor
antara lain:
a. Stressor sosiokultural
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya gaangguan
dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya menurunnya
stabilitas unit keluarga, berpisah dari orang yang berarti dalam
kehidupannya, misalnya karena dirawat di rumah sakit.
b. Stressor psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan keterbatasan
kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan
orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi
kebutuhannya hal ini dapat menimbulkan ansietas tinggi bahkan dapat
menimbulkan seseorang mengalami gangguan hubungan (menarik
diri).
c. Stressor intelektual
1) Kurangnya pemahaman diri dalam ketidakmampuan untuk
berbagai pikiran dan perasaan yang mengganggu pengembangan
hubungan dengan orang lain.
2) Klien dengan “kegagalan” adalah orang yang kesepian dan
kesulitan dalam menghadapi hidup. Mereka juga akan sulit
berkomunikasi dengan orang lain.
3) Ketidakmampuan seseorang membangun kepercayaan dengan
orang lain akan persepsi yang menyimpang dan akan berakibat
pada gangguan berhubungan dengan orang lain.
d. Stressor fisik
1) Kehidupan bayi atau keguguran dapat menyebabkan seseorang
menarik diri dari orang lain
2) Penyakit kronik dapat menyebabkan seseorang minder atau malu
sehingga mengakibatkan menarik diri dari orang lain.
8. Mekanisme Koping
a. Perilaku curiga : regresi, proyeksi, represi.
b. Perilaku Dependen : regresic.
c. Perilaku Manipulatif : regresi, represid.
d. Isolasi atau menarik diri : regresi, repsesi. Isolasi
(Eko prabowo:2014:113)
C. Pohon masalah
Halusinasi Effect
b. Data Minor
Data Subjektif :
1) Curiga dengan orang lain
2) Mendengar suara/melihat bayangan
3) Merasa kesepian
4) Merasa tidak berguna
5) Merasa tidak aman berada dengan orang lain
Data Objektif
1) Mematung
2) Mondar-mandir tanpa arah
3) Tidak berinisiatif berhubungan dengan orang lain
E. Diagnosa Keperawatan
Adapun masalah keperawatan yang muncul adalah
1. Isolasi sosial : Menarik diri
F. Rencana Tindakan Keperawatan Jiwa
Strategi Pelaksanaan
Adapun strategi pelaksanaan Isolasi Sosial, yaitu (O’Brien, 2014) :
SP Pasien SP Keluarga
Strategi Pelaksanaan 1 Strategi Pelaksanaan 1
1. Mengidentikasi penyebab isolasi 1. Diskusikan masalah yang
pasien : siapa yang serumah, siapa dirasakan keluarga dalam
yang dekat, yang tidak dekat, dan merawat pasien
apa sebabnya. 2. Jelaskan pengertian isolasi
2. Mendiskusikan dengan pasien sosial, tanda dan gejala serta
tentang keuntungan punya teman proses terjadinya isolasi sosial
dan bercakap-cakap (gunakan booklet)
3. Mendiskusikan dengan pasien 3. Jelaskan cara merawat pasien
tentang kerugian tidak punya dengan isolasi sosial
teman dan tidak bercakap-cakap. 4. Latih dua cara merawat : cara
4. Latih cara berkenalan dengan berkenalan, berbicara saat
pasien dan perawat atau tamu. melakukan kegiatan harian.
5. Masukan pada jadwal kegiatan 5. Ajurkan membantu pasien
untuk latihan berkenalan. sesuai jadwal dan memberikan
pujian saat besuk.
Strategi Pelaksanaan 2 Strategi Pelaksanaan 2
1. Evaluasi kegiatan berkenalan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
(berapa orang beri pujian) dalam merawat / melatih pasien
2. Latih cara berbicara saat berkenalan dan berbicara saat
melakukan kegiatan harian (latih 2 melakukan kegiatan harian. Beri
kegiatan) pujian
3. Masukkan pada jadwal kegiatan 2. Jelaskan kegiatan rumah tangga
untuk latihan berkenalan 2-3 orang yang dapat melibatkan pasien
pasien, perawat dan tamu, berbicara (makan, sholat
berbicara saat melakukan kegiatan bersama) di rumah
harian. 3. Latih cara membimbing pasien
berbicara dan memberi pujian
4. Anjurkan membantu pasien
sesuai jadwal saat besuk.
Strategi Pelaksanaan 3 Strategi Pelaksanaan 3
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
berkenalan (berapa orang) dan dalam merawat / melatih
bicara saat melakukan dua berkenalan, berbicara pasien
kegiatan harian. Beri pujian. saat melakukan kegiatan harian.
2. Latih cara berbicara saat Beri pujian.
melakukan kegiatan harian (2 2. Jelaskan cara melatih pasien
kegiatan baru) melakukan termasuk minum
3. Masukan pada jadwal kegiatan obat ( discharge planning)
untuk latihan berkenalan 4-5 3. Menjelaskan follow up pasien
orang, berbicara saat melakukan 4 setelah pulang
kegiatan harian.
Strategi Pelaksanaan 4 Strategi Pelaksanaan 4
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
berkenalan, bicara saat melakukan dalam merawat / melatih pasien
empat kegiatan harian. Beri pujian berkenalan, berbicara saat
2. Latih cara bicara sosial : meminta melakukan kegiatan harian /
sesuatu, menjawab pertanyaan. RT, berbelanja. Beri pujian.
3. Masukan pada jadwal kegiatan 2. Jelaskan follow up ke RSJ/
untuk latihan berkenalan >5 oang, PKM, tanda kambuh dan
orang baru, berbicara saat rujukan.
melakukan kegiatan harian dan 3. Anjurkan membantu pasien
sosialisasi. sesuai jadwal kegiatan dan
memberikan pujian.
Strategi Pelaksanaan 5 Strategi Pelaksanaan 5
1. Evaluasi kegiatan latihan 1. Evaluasi kegiatan keluarga
berkenalan, bicara saat melakukan dalam merawat / melatih pasien
kegiatan harian dan sosialisasi. berkenalan, berbicara saat
Beri pujian melakukan kegiatan harian. RT,
2. Latih kegiatan harian berbelanja dan kegiatan lan dan
3. Nilai kemampuan yang telah follow up. Beri pujian.
mandiri 2. Nilai kemampuan keluarga
4. Nilai apakah isolasi sosial teratasi. merawat pasien
3. Nilai kemampuan keluarga
melakukan kontrol ke RSJ /
PKM
DAFTAR PUSTAKA
Damayanti, M., & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Aditama.
Keliat, B. A. 2015. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta : EGC
Keliat, B. A., Akemat, Helena, N., & Nurhaeni, H. 2012. Keperawatan Kesehatan
Jiwa Komunitas: CHMN (Basic Course). Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Munith, A. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Andi.
Nurarif, A.H., & Kusuma, H. 2018. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (North Amercan Nursing Diagnosis
Association) NIC-NOC Jilid2. Jogjakarta : Medication.
O’Brien, dkk. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Pskiatrik Teori dan Praktik.
Jakarta : EGC.
Yosep,I., & Sutini, T. 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika
Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Salemba
Medika
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM
I. Kasus (Waham)
A. Definisi
Waham adalah suatu keyakinan klien yang tidak sesuai dengan
kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah secara logis oleh
orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang sudah
kehilangan kontrol (Direja, 2011).
Waham curiga adalah keyakinan seseorang atau sekelompok orang
berusaha merugikan atau mencederai dirinya, diucapkan berulang-ulang
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan (Keliat, 2009).
Gangguan proses pikir adalah ketidakmampuan individu
memproses stimulus internal dan eksternal secara akurat. Gangguannya
adalah berupa waham yaitu keyakinan individu yang tidak dapat divalidasi
atau dibuktikan dengan realitas. Keyakinan individu tersebut tidak sesuai
dengan tingkat intelektual dan latar belakang budayanya, serta tidak dapat
diubah dengan alasan yang logis. Selain itu keyakinan tersebut diucapkan
berulang kali (Kusumawati & Hartono, 2010).
C. Tingkatan
1. Fase kebutuhan manusia rendah (lack of human need)
Waham diawali dengan terbatasnya berbagai kebutuhan pasien baik
secara fisik maupun psikis. Secara fisik, pasien dengan waham dapat
terjadi pada orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas.
Biasanya pasien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan
kompensasi yang salah. Hal itu terjadi karena adanya kesenjangan
antara kenyataan (reality), yaitu tidak memiliki finansial yang cukup
dengan ideal diri (self ideal) yang sangat ingin memiliki berbagai
kebutuhan, seperti mobil, rumah, atau telepon genggam.
2. Fase kepercayaan diri rendah (lack of self esteem)
Kesenjangan antara ideal diri dengan kenyataan serta dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi menyebabkan pasien mengalami
perasaan menderita, malu, dan tidak berharga.
3. Fase pengendalian internal dan eksternal (control internal and
external)
Pada tahapan ini, pasien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia
yakini atau apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi
kekurangan, dan tidak sesuai dengan kenyataan. Namun, menghadapi
kenyataan bagi pasien adalah sesuatu yang sangat berat, karena
kebutuhannya untuk diakui, dianggap penting, dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, sebab kebutuhan
tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan
sekitar pasien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang
dikatakan pasien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara
adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjadi perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau
konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan pasien tidak
merugikan orang lain.
4. Fase dukungan lingkungan (environment support)
Dukungan lingkungan sekitar yang mempercayai (keyakinan) pasien
dalam lingkungannya menyebabkan pasien merasa didukung, lama-
kelamaan pasien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai
suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Oleh karenanya,
mulai terjadi kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma
(superego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat
berbohong.
5. Fase nyaman (comforting)
Pasien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat pasien
menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya, pasien lebih sering
menyendiri dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
6. Fase peningkatan (improving)
Apabila tidak adanya konfrontasi dan berbagai upaya koreksi,
keyakinan yang salah pada pasien akan meningkat. Jenis waham sering
berkaitan dengan kejadian traumatik masa lalu atau berbagai
kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham bersifat
menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan
ancaman diri dan orang lain.
B. Klasifikasi
Waham dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam, menurut
Direja (2011).
Jenis Waham Pengertian Perilaku klien
Waham Keyakinan secara berlebihan “Saya ini pejabat di
kebesaran bahwa dirinya memiliki kementrian Semarang!”
kekuatan khusus atau kelebihan “Saya punya perusahaan
yang berbeda dengan orang paling besar lho.”
lain, diucapkan berulang-ulang
tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan.
C. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
B. Faktor Presipitasi
1. Faktor biologis: Stressor biologis yang berhubungan dengan
neurobiologis yang maladaptif termasuk gangguan dalam putaran
umpan balik otak yang mengatur perubahan isi informasi dan
abnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
mengakibatkan ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi
rangsangan.
2. Faktor biokimia: dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya
diduga dapat menjadi penyebab waham pada seseorang
3. Faktor sosial budaya: waham dapat di picu karena adanya perpisahan
dengan orang yang berarti atau diasingkan dari kelompok.
4. Faktor psikologis: kecemasan yang memanjang dan terbatasnya
kemampuan untuk mengatasi masalah sehingga klien mengembangkan
koping untuk menghindari kenyataan yang menyenangkan..
5. Faktor kesehatan lingkungan, sikap dan prilaku individu, seperti: gizi
buruk, kurang tidur, infeksi, keletihan, rasa bermusuhan atau
lingkungan yang penuh kritik, masalah perumahan, kelainan terhadap
penampilan, stres gangguan dalam berhubungan interpersonal,
kesepian, tekanan, pekerjaan, kemiskinan, keputusasaan dan
sebagainya.
6. Interpersonal: Faktor predisposisi interpersonal, orang yang
mengalami psikosis akan menghasilkan hubungan orang tua anak yang
penuh akan kecemasan. Anak menerima pesan-pesan yang
membingungkan dan penuh konflik dari orang tua dan tidak mampu
membentuk rasa percaya terhadap orang lain.
V. Diagnosa Keperawatan
1. Waham
A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan emosi yang merupakan
campuran perasaan frustasi dan benci atau marah. Hal ini didasarkan
keadaan emosi yang mendalam dari setiap orang sebagai bagian penting
dari keadaan emosional kita yang dapat diproyeksikan ke lingkungan,
kedalam diri atau destruktif (Yoseph, Iyus, 2010).
Marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasanatau kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dirasakan
sebagai ancaman (Stuart & Sundeen, 2007).
Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan adalah suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan baik verbal maupun non
verbal yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan
yang muncul akibat perasaan jengkel / kesal / marah.
B. Manifestasi Klinis
Menurut Keliat (2006) adalah:
1. Klien mengatakan benci / kesal dengan seseorang
2. Suka membentak
3. Menyerang orang yang sedang mengusiknya jika sedang kesal atau
kesal
4. Mata merah dan wajah agak merah
5. Nada suara tinggi dan keras
6. Bicara menguasai
7. Pandangan tajam
8. Suka merampas barang milik orang lain
9. Ekspresi marah saat memnicarakan orang
C. Tingkatan
1. Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Pada keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem saraf
otonom beraksi terhadap sekresi epinephrin yang menyebabkan
tekanan darah meningkat, takikardi, wajah merah, pupil melebar,
sekresi HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran urine
dan saliva meningkat, konstipasi, kewaspadaan juga meningkat diserta
ketegangan otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh
menjadi kaku dan disertai reflek yang cepat.
2. Menyatakan secara asertif (assertiveness)
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam mengekspresikan
kemarahannya yaitu dengan perilaku pasif, agresif dan asertif.
Perilaku asertif adalah cara yang terbaik untuk mengekspresikan
marah karena individu dapat mengekspresikan rasa marahnya tanpa
menyakiti orang lain secara fisik maupun psikolgis. Di samping itu
perilaku ini dapat juga untuk pengembangan diri klien.
3. Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku “acting
out” untuk menarik perhatian orang lain.
4. Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri,
orang lain maupun lingkungan
D. Klasifikasi
1. Irritable agression
Merupakan tindak kekerasan akibat ekspresi perasaan marah. Agresi ini
dipicu oleh oleh frustasi dan terjadi karena sirkuit pendek pada proses
penerimaan dan memahami informasi dengan intensitas emosional yang
tinggi (directed against an available target)
2. Instrumental agression
Suatu tindak kekerasan yang dipakai sebagai alat untuk mencapai
tujuan tertentu. Misalnya untuk mencapai tujuan politik tertentu
dilakukan tindak kekerasan secara sengaja dan terencana
3. Mass agression
Suatu tindak agresi yang dilakukan oleh massa sebagai akibat
kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Pada saat orang
berkumpul terdapat kecenderungan berkurangnya individualitas, bila
ada ada seseorang yang mempelopori tindak kekerasan maka secara
otomatis semua akan ikut melakukan kekerasan yang dapat semakin
meninggi karena saling membangkitkan. Pihak yang menginisiasi
tindak kekerasan tersebut bisa saja melakukan agresi instrumental
(sebagai provokator) maupun agresi permusuhan karena kemarahan
tidak terkendali (Keliat, 1996 dalam Muhith, 2015)
E. Etiologi
1. Faktor Predisposisi (Keliat, 2006) :
a. Faktor Psikologis
Psiconalytical Theory : teori ini mendukung bahwa perilaku
agresif merupakan akibat dari instructual drives. Freud berpendapat
bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua insting, pertama
insting hidup yang diekspresikan dengan seksualitas ; dan kedua :
insting kematian yang diekspresikan dengan agresifitas.
b. Faktor Sosial Budaya
Ini mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan
respon-respon yang lain. Agresif dapat dipelajari melalui observasi
atau imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka
semakin besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan
berespon terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respon yang dipelajarinya. Kultur dapat pula
mempengaruhi perilaku kekerasan, adanya norma dapat membantu
mendefinisikan ekspresi agresif mana yang diterima atau tidak
dapat diterima sehingga dapat membantu individu untuk
mengekspresikan marah dengan cara yang asertif.
c. Faktor biologis
Ada beberapa penelitian membuktikan bahwa dorongan
agresif mempunyai dasar biologis, penelitian neurobiologis
mendapatkan bahwa adanya pemberian stimulus elektris ringan
pada hipotalamus (yang berada ditengah sistem limbik).
2. Faktor Presipitasi
Secara umum seseorang akan berespon dengan marah apabila
merasa dirinya terancam. Ancaman tersebut dapat berupa injury secara
psikis, atau lebih dikenal dengan adanya ancaman terhadap konsep diri
seseorang, ketika sesorang merasa terancam, mungkin dia tidak
menyadari sama sekali apa yang menjadi sumber kemarahannya.
Ancaman dapat berupa internal ataupun eksternal, contoh stressor
eksternal : serangan secara psikis, kehilangan hubungan yang dianggap
bermakna dan adanya kritikan dari orang lain, sedangkan contoh dari
stressor internal : merasa gagal dalam bekerja, merasa kehilangan
seseoranga yang dicintai, dan ketakutan terhadap penyakit yang
diderita. Bila dilihat dari sudut pandang perawat-klien, maka faktor
yang mencetuskan terjadinya perilaku kekerasan terbagi dua (Yosep,
2010) yaitu :
a. Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak berdayaan, kurang
percaya diri.
b. Lingkungan : ribut, kehilangan orang atau objek yang berharga,
konflik interaksi social.
F. Rentang Respon
Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat menimbulkan respon
pasif dan melarikan diri atau respo melawan dan menentang. Respon
melawan dan menetang merupakan respon maladaptive, yaitu agresif-
kekerasan perilaku yang menampakkan mulai dari yang rendah sampai
yang tinggi (Yosep, 2010), yaitu:
G. Psikopatologi
Menurut Depkes (2000), bahwa stress, cemas dan merah merupakan
bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh setiap individu.
Stress dapat menyebabkan kecamasan yang menimbulkan perasaan tidak
menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan
yang mengarah pada perilaku kekerasan.
Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun
internal. Secara eksternal dapat barupa perilak kekerasan sedangkan secara
internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.
Mengekspresiakan marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata- kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa
menyakiti orang lain, akan member perasaan lega, menurunkan
ketegangan, sehingga perasaan marah dapat diatasi.
H. Pohon Masalah
Core Problem
Perilaku Kekerasan
Halusinasi Causa
I. Diagnosa Keperawatan
1. Perilaku kekerasan
J. Rencana Tindakan Keperawatan
Strategi Pelaksanaan
Sp untuk pasien Sp untuk keluarga
SP 1 SP 1
a. Identifikasi penyebab, tanda dan a. Diskusikan masalah yang dirasakan
gejala, perilaku kekerasan yang dalam merawat pasien
dilakukan akibat perilaku b. Jelaskan pengertian tanda gejala dan
kekerasan proses terjadinya perilaku kekerasan
b. Jelaskan cara mengontrol prilaku (gunakan booklet)
kekerasan: fisik, obat, verbal dan c. Jelaskan cara merawat pasien
spitual perilaku kekerasan
c. Latihan cara mengontrol prilaku d. Latih satu cara merawat pk dengan
kekerasan secara fisik: tarik nafas melakukab kegiatan fisik: tarik nafas
dalam, pukul kasur dan bantal dalam dan pukul bantal atau kasur
d. Masukan pada jadwal kegiatan e. Anjurkan untuk membatu sesuai
untuk latihan fisik. jadwal kegiatan dan memeberi
pujian
SP 2 SP 2
1) Evaluasi kegiatan latihan fisik, beri 1) Evaluasi kegiatan keluarga dalam
pujian merawat/ melatih pasien cara fisik,
2) Latih cara mengontrol perilaku beri pujian
kekerasan dengan obat ( 6 benar 2) Jelaskan 6 benar cara memberikan
obat, guna, dosis, frekuensi, cara, obat
kontiuitas minum obat, akibat jika 3) Latih cara memberikan/
obat tidak di minum sesuai membimbing meminum obat
program, putus obat) 4) Ajurkan membatu sesuai jadawal
3) Masukan pada jadwal kegiatan kegiatan dan memberikan pujian.
untuk latihan fisik dn minum obat
SP 3 SP 3
1) Evaluasi kegiatan latihan fisik dan 1) Evaluas kegiatan keluarga dalam
obat serta beri pujian merawat/ melatih fisik 1 dan 2 dan
2) Latih pasien mengontrol prerilaku memberikan obat, berikan pujian
kekerasan secara verbal ( 3 cara 2) Latih keluarga cara membimbing:
yaitu : mengungkapkan, meminta, cara berbicara dengan baik
menolak dengan benar) 3) Latih keluarga cara membimbing
3) Masukan pada jadwal kegiatan kegiatan spiritual
untuk latihan fisik, minum obat dan
verbal
SP 4 SP 4
1) Evaluasi kegiatan latihan fisik, 1) Evaluas kegiatan keluarga dalam
obat, dan verbal, berikan pujian merawat/ melatih fisik 1 dan 2,
2) Latih pasien mengontrol perilaku memberikan obat, cara bicara yang
kekerasan secara spiritual (2 baik dan kegiatan spiritual, berikan
kegiatan) pujian
3) Masukan pada jadwal kegiatan 2) Jelaskan follow up ke RSJ/PKM
untuk latihan fisik, minum obat, tanda kambuh dan rujukan
verbal serta spiritual 3) Anjurkan membantu pasien sesuai
jadwal dan berikan pujian
SP 5 SP 5
1) Evaluasi kegiatan latihan fisik1&2, 1) Evaluas kegiatan keluarga dalam
obat, verbal dan spriyual, berikan merawat/ melatih fisik 1 dan 2,
pujian memberikan obat, cara bicara yang
2) Nilai kemampuan yang telah baik dan kegiatan spiritual serta
mandiri follow up, berikan pujian
3) Nilai apakah perilaku kekerasan 2) Nilai kemampuan keluarga merawat
terkontrol pasien
3) Nilai kemampuan keluarga
melakuakn kontrol ke RSJ/PKM
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, B. A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. (Edisi 2). Jakarta:
EGC.
Stuart & Sudart. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa.(Edisi 5). Alih Bahasa:
Ramona P, Kapoh. Jakarta: EGC.
Yoseph, Iyus. 2010. Kepeerawatan Jiwa. (Edisi Revisi). Bandung: Revika
Aditama.
LAPORAN PENDAHULUAN
RISIKO BUNUH DIRI
5. Wawancara
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
d. Impulsif.
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat
patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
g. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan
tentang obat dosis mematikan).
h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik,
marah dan mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang
depresi, psikosis dan menyalahgunakan alkohol).
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau
terminal).
k. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau
mengalami kegagalan dalam karier).
l. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
m. Konflik interpersonal.
n. Latar belakang keluarga.
o. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
C. Tingkatan
Pengelompokkan bunuh diri, antara lain:
1. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak
langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan “Tolong
jaga anak-anak karena saya akan pergi jauh!” atau “Segala sesuatu
akan lebih baik tanpa saya.” Pada kondisi ini pasien mungkin sudah
memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, tetapi tidak disertai
dengan ancaman dan percobaan bunuh diri. Pasien umumnya
mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/sedih/marah/putus
asa/tidak berdaya. Pasien juga mengungkapkan hal-hal negatif
tentang diri sendiri yang menggambarkan harga diri rendah.
2. Ancaman bunuh diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh pasien, yang berisi
keinginan untuk mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri
kehidupan dan persiapan alat untuk melaksanakan rencana tersebut.
Secara aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh diri, tetapi
tidak disertai dengan percobaan bunuh diri. Walaupun dalam
kondisi ini pasien belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan
ketat harus dilakukan. Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan
pasien untuk melaksanakan rencana bunuh dirinya.
3. Percobaan bunuh diri
Percobaan bunuh diri adalah tindakan pasien mencederai atau
melukai diri untuk mengakhiri kehidupannya. Pada kondisi ini,
pasien aktif mencoba bunuh diri dengan cara gantung diri, minum
racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan diri dari tempat yang
tinggi.
D. Klasifikasi
1. Bunuh diri egoistik, akibat seseorang yang mempunyai hubungan
sosial yang buruk.
2. Bunuh diri altruistik, akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
3. Bunuh diri anomik, akibat lingkungan tidak dapat memberikan
kenyamanan bagi individu.
E. Rentang Respon
Adaptif Maldaptif
F. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku
pengerusakan diri tak langsung adalah pengingkaran (denial).
Sementara, mekanisme koping yang paling menonjol adalah
rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.
B. Faktor presipitasi
1. Psikososial dan klinik
a. Keputusasaan
b. Ras kulit putih
c. Jenis kelamin laki-laki
d. Usia lebih tua
e. Hidup sendiri
2. Riwayat
a. Pernah mencoba bunuh diri.
b. Riwayat keluarga tentang percobaan bunuh diri.
c. Riwayat keluarga tentang penyalahgunaan zat.
V. Diagnosa Keperawatan
Risiko bunuh diri